NEW SCARS #2
I've been broken before
Don't break me again
(Ali Gatie - It's You)
*****
Sejak tadi pekerjaan Inara hanyalah menggelengkan kepala. Kedua tangan gadis itu bersedekap. Mata menatap awas dua orang yang mondar-mandir mengelilingi rumahnya. Ivan gila, lebih tepatnya menggila. Kakaknya itu selalu bersikap berlebihan terhadap sesuatu dan sekarang dia lah korbannya.
Baru saja menuruni mobil Narendra, Ivan telah berdiri di teras. Pria itu mengawasi gerak-gerik Inara. Jengah, tapi dia berusaha sabar. Lagi pula kakaknya akan pulang dua hari lagi dan dia bebas. Sayang, ekspetasi itu segera dipatahkan saat memasuki rumah. Mendadak setiap sudut telah terpasang kamera CCTV.
Melihat para pekerja naik ke lantai dua, buru-buru Inara mendekati Ivan. Dia mencekal lengan sang kakak, menahan pria itu agar tidak ikut naik. Gadis itu menatap kakaknya dengan sendu.
"Apa sih, Ra?" tanya Ivan. Kening pria itu berlipat. Nada suaranya terdengar bosan. Jelas, kakaknya tidak akan peduli sekalipun gadis itu merajuk.
"Ini ... berlebihan, kak," rengek Inara tanpa sadar. Matanya sudah berkaca-kaca. Ini adalah cara gadis itu menunjukkan ketidaksukaannya. Ivan berlebihan. Pria itu merenggut privasinya.
"Bagian mana yang berlebihan, Inara?" Ivan turun dari tangga, berdiri sejajar dengan sang adik. Tangan pria itu dengan kasar menarik cekalan Inara, lalu menggenggamnya erat, "Bilang ke gue bagian mana yang berlebihan?"
Inara mendesah. Dia menujuk kamera CCTV yang telah terpasang. "Kenapa harus pasang CCTV di rumah? Kak, lo melanggar privasi gue."
"Privasi lo aman, Inara." Ivan memperlihatkan layar iPad yang dibawanya. Ada video hitam putih di sana. Salah satu video menampakkan keduanya yang sedang berdiri di bawah tangga. Video CCTV ini sudah merekam keadaan mereka sekarang.
Ivan memang dikenal berlebihan terhadap segala hal, terutama orang-orang yang pria itu sayang. Ivanka pernah menjadi korban. Sekalipun wanita itu tertua di antara mereka, tapi dia yang lebih sering menjadi korban 'penjagaan' Ivan. Entah sudah berapa kali Inara harus mendengar nada frustasi kakak perempuannya ditelepon saat berkeluh kesah mengenai saudara pria mereka.
Inara pun sering diperlakukan berlebihan. Saat SMA, dia hampir tidak bisa ke mana-mana karena Ivan selalu mengantar-jemputnya. Tidak menyenangkan, karena dia jadi kesulitan bersosialisasi dengan teman-temannya yang lain. Keputusan ke Bali pun, pria itu yang menentang paling keras. Rumah ini juga adalah ide kakak prianya itu. Sekarang, pria itu akan mengawasinya 24 jam.
"Kak, mana ada privasi yang aman kalau lo ... mengawasi gue 24 jam!" Inara sudah hampir menangis sekarang.
Ivan menggeleng tegas. Tatapan pria itu tajam. "Kalau gitu kasih gue satu alasan logis agar kejadian pagi itu tidak terulang lagi? Apa pun, mungkin Narendra tinggal di luar kota dan lo di sini."
Seketika Inara bungkam. Dia sama sekali tidak memiliki alasan apa pun untuk menyanggah Ivan. Hal yang berhasil membuat kakaknya memasang senyum penuh ejekan.
"See .... Lo sendiri nggak bisa menjamin untuk tidak melakukan hal itu lagi di kemudian hari. Ra, semua orang itu tinggal berjauhan. Bokap-Nyokap di Jakarta. Ivanka di Singapura. Gue di Surabaya. Jadi, gue yang paling dekat dan paling tahu, terpaksa turun tangan. Terserah lo bilang gue berlebihan, tapi ini cara gue untuk melindungi lo, Inara. Lagi pula kamar lo nggak gue pasang CCTV, lo bebas di sana."
"Kak—"
"Inara!" Ivan menggeleng tegas. Dia tidak mau dibantah. "Apa gue melarang lo dan Narendra pacaran? Gue hanya mengawasi lo agar tidak kebablasan sebelum kalian menikah. Setelah married, silakan lepas semua CCTV ini. Sebelum married, lo masih sah untuk gue jaga baik-baik. Nggak ada bantahan, Adik Kecil."
Ivan melepaskan genggamannya seraya menepuk pelan puncak kepala Inara. Pria itu bergegas menuju lantai dua, meninggalkan Inara yang hampir menangis sekarang. Gadis itu sekarang menyesal, kenapa hari itu dia ataupun Narendra lupa mengunci pintu rumah seperti biasanya.
*****
Jalanan kota Bali akan semakin padat saat mendekati weekend seperti jumat malam ini. Berkali-kali mobil terjebak di kemacetan panjang dan lampu merah yang rasanya tidak pernah berubah hijau. Tempat-tempat wisata juga semakin ramai, kurang nyaman dikunjungi oleh para orang yang menetap di kota ini.
Beruntungnya, restoran langganan dan penuh kenangan keduanya tidak seramai itu. Mereka masih bisa menikmati senja. Obrolan demi obrolan tidak berhenti, bahkan sampai di mobil. Inara tidak akan pernah berhenti tertawa. Narendra tidak akan pernah berhenti tersenyum.
Semua memang terlihat normal, tapi tidak bagi Inara. Suara radio dengan volume rendah dan obrolan itu hanya untuk menutupi ketidaknyamanan Narendra. Pria itu terlihat berbeda, apalagi sejak hari minggu lalu saat pria itu bertemu orang tuanya. Gadis itu hanya terlalu mengenal prianya, hingga dia bisa mendapati perbedaan yang tidak kasat mata ini.
"Kita ... sampai," gumam pelan Narendra seraya memarkirkan mobil di carport rumah.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Dia malah terpaku di tempat sembari menatap dalam Narendra. Tiba-tiba tangannya terangkat, lalu mengusap pelan pipi prianya. "Apa semuanya baik-baik saja, Re?"
Pria itu ikut menoleh. Mata mereka bersirobok di udara. Narendra mengangguk pelan. Sekali lagi pria itu tersenyum, tapi tetap saja Inara merasa janggal. Sorot mata prianya seperti menyimpan sesuatu baginya. "Semuanya baik-baik saja, Ra. Kalau ada apa-apa kan saya pasti cerita."
Inara menggeleng pelan. Tangan gadis itu malah semakin asyik menjelajahi setiap jengkal wajah prianya. Rasanya ada jarak tidak kasat mata yang sedang Narendra ciptakan, itu perasaannya. "Saya merasa ... kamu berbeda."
Tiba-tiba Narendra terkekeh. Anehnya, tawa itu terdengar dibuat-buat di telinga Inara. Pria itu segera meraih tangan gadisnya untuk dia genggam erat. "Ra, itu perasaan kamu aja. Kita sedang membiasakan diri pulang ke ... tempat masing-masing. Bertemu di jam normal. Intensitas kebersamaan yang berkurang. Pasti kamu merasa ada yang berbeda ... kita."
Inara merenung, merasapi penjelasan kekasihnya. Harus dia akui, Narendra benar. Dia belum terbiasa dengan ini hingga menciptakan perasaan curiga pada prianya. Gadis itu menghela napas. "Saya overthinking rupanya, Re. Maaf ya."
Narendra tidak menjawab. Pria itu malah dengan sengaja menarik keras lengan Inara, hingga gadis itu jatuh ke dalam pelukannya. Mereka saling menatap sesaat, sebelum akhirnya saling menyatukan bibir. Lama dan dalam.
"I'm sorry for not let you in, Re." Sesal Inara saat mereka akhirnya kembali duduk dengan normal di mobil. Lagi-lagi gadis itu mengeluhkan sang kakak, "Ivan benar-benar troublemaker. Perusak kebahagiaan."
"Aku mengerti," balas Narendra sambil terkekeh sekali lagi.
Dihelanya napas dalam, baru akhirnya Inara siap menuruni mobil. Baru saja menjejakkan kaki ke lantai, tiba-tiba Narendra mencekal lengannya. Gadis itu menoleh. "Kenapa, Re?"
"Besok Nayla datang. Kemungkinan saya bakal temenin dia. Kamu ... nggak apa-apa kan saya tinggal, Ra?"
Dengan setengah hati gadis itu mengangguk. Pacar sekalipun rasanya dia tidak berhak melarang Narendra menghabiskan waktu dengan sang adik. Belum lagi, mereka juga jarang bersama. Inara harus mengerti.
"Salam ya buat, Nayla," balas Inara.
"Makasih ya, Ra. Come here. Cause, Baby, I'll miss you this weekend." Pria itu tersenyum lembut seraya membuka lebar-lebar kedua tangannya. Tanpa ingin membuat Narendra menunggu, segera saja Inara menubrukkan dirinya ke pelukan prianya. "I love you, Inara."
Ketika pelukan mereka terlepas, Inara terpaksa turun. Mereka berciuman sekali lagi, barulah gadis itu rela melepaskan kepulangan Narendra. Rasanya, ketika dia melihat mobil prianya melaju menjauh, mendadak hatinya kembali tidak tenang. Pernyataan cinta itu juga terdengar tidak menyenangkan.
*****
Lagi-lagi deringan ponsel memecahkan keheningan malam. Sayang, si pemilik hanya melirik sekilas tanpa berusaha mengangkatnya. Deringan tersebut berhenti untuk sesaat, sebelum akhirnya kembali berbunyi. Nama yang sama untuk kesekian kalinya, menunjukkan betapa gigihnya si penelepon.
Tanpa sadar pria itu mendesah panjang. Ponsel memperlihatkan pukul delapan malam, hari Sabtu. Ketika panggilan berhenti, ada 21 panggilan tidak terjawab. Nama kekasihnya, Inara, yang memenuhinya. Pria itu seperti tidak punya nyali mengangkatnya.
Dia merasa bersalah pada kekasihnya. Seminggu ini, dia mencoba untuk sedikit menjaga jarak dan gadis itu menyadari perubahannya. Dia memang tidak benar-benar lari, hanya menghindar. Kedatangan Nayla berkat permintaannya, sedikit membantunya untuk menghilang sejenak. Dua hari ini akan dia gunakan untuk berpikir. Bukan Inara yang membuat Narendra seperti ini, melainkan dirinya sendiri.
"Kak." Suara panggilan diikuti suara pintu terbuka, sontak mengalihkan perhatian pria itu. Nayla berdiri di ambang pintu. Dia menggeleng pelan dengan ekspresi sedih. "Jangan gini, dong."
Adiknya mendekat seraya menduduki sisi ranjang Narendra. "Jangan lari, tapi hadapi kenyataan di depan mata. Mau sampai kapan lo kabur-kaburan?"
"Gue nggak kabur, Nay. Buktinya gue hadapin orang tua Inara." Narendra terdengar kesal. Dia bosan ketika sang adik menganggapnya kurang jantan dengan kabur. Pria itu tidak kabur dari apa pun, kecuali satu hal.
Naylah menghela napas dalam. Dia bergerak pelan untuk mengambil posisi bersila di ranjang. Menghadapkan tubuhnya kepada Narendra. "Bukan itu maksud gue."
Narendra hanya mengernyitkan alis sebagai jawaban.
"Turutin permintaan Bokap Inara, ajak Ibu dan Ayah ketemu keluarga Inara."
Kali ini Narendra terlihat semakin tidak nyaman di tempatnya. Pria itu berdecak keras. Dia ingin beranjak dari tempat tidur, sayangnya Nayla lebih cepat untuk menahannya.
Hingga detik ini, ego pria itu masih tidak mau mengalah. Sakit hati yang bertahun-tahun lalu jelas masih tinggal di hatinya. Dia belum siap, bahkan mungkin tidak pernah siap bertemu. Menginjakkan kaki di rumah mereka saja Narendra tidak mau, apalagi harus bertatap muka dan berbicara.
Pada akhirnya, Narendra hanya menggeleng tegas.
"Kak ...." Suara Nayla terdengar sedih. "Terus gimana pernikahan kalian?"
"Inara pasti mengerti, Nay."
Nayla terdengar gemas. "Kak, lo cinta nggak sih sama Inara? Hubungan kalian yang sejauh itu, apa lo nggak pernah berpikir bahwa ... bisa aja dia hamil. Kak ... mau sampai kapan lo jadi pengecut?"
Narendra tidak menjawab. Pria itu malah membalikan badan, membelakangi adiknya. Pria itu mencintai Inara, sangat. Gadis itu satu-satunya orang yang mengajarkan pria itu untuk kembali jatuh cinta. Jika nanti kekasihnya hamil pun, dia akan sangat amat senang. Sayang, menikah dan mencintai, adalah dua hal yang berbeda baginya.
*****
Kekhawatiran yang Inara rasakan tidak juga menghilang, sekalipun weekend telah berlalu. Sabtu-minggu, gadis itu berusaha menelepon kekasihnya. Sayang, pria itu tidak pernah menjawab. Ingin pergi ke apartemen pria itu, tapi Inara sadar bahwa mungkin Narendra sedang membutuhkan quality time dengan sang adik.
Akhirnya, Inara memilih untuk berpikir positif saja. Berdoa tidak pernah putus juga untuk Narendra. Menunggu senin yang terasa lama. Hari ini, dia ingin menanyakan segala hal pada prianya. Apa saja yang memenuhi kepala gadis itu.
Hanya saja Senin, hari paling sibuk bagi semua orang. Inara mungkin sibuk, tapi tidak sesibuk prianya. Berkali-kali dia melihat Narendra keluar masuk ruangannya. Ekspresinya lelah. Belum lagi beberapa rapat dengan beberapa divisi terlihat menguras energi pria itu. Gadis itu harus bersabar. Menunggu waktu senja kesukaan mereka.
Itulah yang membuat Inara masih tinggal sekarang. Gadis itu sedang berdiri di depan jendela dekat kubikelnya. Tangan memegang cangkir kopi kesukaannya. Sedangkan tatapannya tertuju lurus pada langit jingga di kejauhan. Dia menunggu Narendra yang entah ke mana. Sekalipun prianya tidak memberi kabar, dia yakin pria itu datang.
"Ra," panggilan di balik punggungnya, sontak mengalihkan gadis itu. Dia menghela napas dalam saat menemukan Narendra berdiri beberapa meter di depannya. Pria itu terlihat lelah.
Perlahan gadis itu mendekat. Dia merindukan sosok kekasihnya. "Re, kamu ke mana aja?"
Tiba-tiba saja tubuh Narendra merosot ke lantai. Pria itu berlutut dengan kepala merunduk dalam. Inara jelas terkejut. Membuat gadis itu ikut berlutut bersama. "Re ... ada apa?"
"Ra, saya minta maaf." Narendra mengangkat wajah seraya menatap lurus kedua mata Inara. "Saya ... belum siap menikah."
Refleks, Inara menampar pipi Narendra.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top