HIS SCARS #4

I'm only me when I'm with you.

Just a small town boy and girl

Livin' in a crazy world.

Tryna figure out what is and isn't true.

(Taylor Swift - I'm Only Me When I'm With You)

*****

Hidup jauh lebih indah dengan kamu di dalamnya, analogi yang paling cocok untuk dua orang kasmaran. Semua bermula sejak malam pengakuan itu dan berujung seperti yang mereka inginkan. Narendra jadi lebih perhatian. Inara malah semakin menempel pada Narendra.

Meski begitu, keduanya berusaha untuk tetap bersikap profesional di kantor. Fokus pada pekerjaan, sekalipun sesekali mengirimkan pesan instan berisi godaan ala anak puber — mereka mengakui bahwa sebenarnya jijik, tapi tetap dilakukan. Atau sekadar mengirimkan makan siang melalui ojek online.

Lalu, Robi. Semenjak insiden di apartemen pria itu, Robi sempat mengirim lagi bunga pada Inara. Tapi kali ini berbeda. Bukan mawar merah, melainkan mawar putih. Ada surat terselip di sana. Menuliskan kata maaf dan juga terima kasih dengan nama lengkapnya, tanpa berusaha menyembunyikan identitas seperti sebelumnya.

Inara sadar, buket bunga ini hanya salah satu tanda Robi untuk menyerah. Mengenai persahabatan mereka, Inara tidak yakin. Ada satu babak di hidup Inara yang mengajarkan bahwa Robi bukanlah sahabat yang baik, di luar dari konteks perasaan spesial Inara. Inara hanya belajar melepaskan orang-orang yang menjadi penghalangnya untuk bahagia, itu saja.

Saat sampai rumah—seperti sekarang—Inara dan Narendra kembali menjadi pasangan kasmaran. Diberbagai kesempatan, diberbagai tempat, mereka gunakkan untuk saling mencecap rasa satu sama lain. Tidak terkontrol, apalagi terhitung. Hanya berusaha agar tidak kebablasan seperti sebelumnya.

"No, no!" Inara berusaha menghindari Narendra. Pria itu menyeringai. Kedua tangannya terangkat, bersiap menggelitik gadisnya. "Re, stay there! On the couch!"

Narendra yang gemas malah semakin bersemangat. Besok Sabtu dan jumat malam adalah malam terbaik untuk kencan di rumah, sekaligus menghabiskan dua atau tiga film di ruang tamu. Namun, mengetahui Inara yang mudah geli, membuat Narendra tidak bisa menahan diri. Pria itu suka melihat wajah Inara yang bersemu merah diikuti tawa kencang.

"Come on, babe." Narendra melambaikan tangan, meminta Inara mendekat.

"Nggak ya, kalau pakai digelitik!" Lagi-lagi Inara menolak mendekat.

Seketika Narendra terbahak kencang. Kedua kaki Narendra otomatis berlari mengejar Inara. Refleks, Inara kabur. Sayang, ukuran ruangan yang sempit serta lemah dalam olahraga, membuat Narendra dengan mudah menangkap Inara.

"I'll catch you!" bisik Narendra tepat di telinga Inara.

Pria sengaja merapatkan dirinya pada punggung Inara. Dia berbisik dengan sensual, membuat bulu kuduk Inara berdiri. Hal yang berhasil menciptakan debaran tidak terkontrol pada jantung gadis itu.

Perlahan Inara berbalik. Kedua mata mereka langsung bersirobok di udara. Tanpa Inara sadari, Narendra telah memojokkannya ke tembok. Inara tidak bisa menghindar dan memang tidak ingin menghindar.

"Ra," bisik Narendra pelan. Suaranya mulai terdengar serak.

"Ya, Re."

Tangan Narendra membelai lembut salah satu pipi Inara. "Saya suka kamu, Ra."

"Saya tahu, Re."

"Kamu juga suka saya kan, Ra?"

Inara mengangguk pelan. Tangan gadis itu mulai melingkari leher Narendra. Dia sengaja mendekatkan kepalanya pada Narendra. "Suka banget."

Seringai nakal Narendra pun muncul.

Tangan Narendra terangkat. Dia menyentuh kedua pipi Inara untuk mengusapnya lembut. Pelan-pelan wajah Narendra mendekat, mengikis jarak di antara mereka. Belum sempat Narendra bergerak lebih lanjut, tiba-tiba Inara memajukan bibirnya. Mencium lembut pria kesukaannya. Nantinya, Inara menyebut ciuman ini sebagai pembukaan kencan malam ini.

*****

"INARA!"

Mendengar teriakan dari suara yang sangat dikenalnya, berhasil membangunkan Inara. Perlahan dia membuka mata, lalu mengerjap pelan. Tanpa sadar senyum gadis itu tersungging saat menemukan wajah tampan Narendra berada sangat dekat.

Pria itu sedang tidur terlentang. Salah satu tangannya sengaja dia gunakkan untuk menjadi bantal tidur Inara semalam. Mata yang terpejam dengan napas teratur menunjukkan Narendra masih terlelap.

Udara dingin yang berhembus ternyata meninggilkan tubuh Inara. Refleks, gadis itu bergerak, merapatkan tubuhnya pada Narendra. Pria itu yang terjaga juga telah bangun, dengan sigap mengguling badan Inara hingga kini mereka saling berhadapan.

"Morning," bisik Inara sembari memberikan ciuman singkat di bibir Narendra.

"Morning."

Tiba-tiba terdengar suara dehaman keras. "Demi Tuhan! Inara, bangun!"

Sontak Inara mendongak, menuju sumber suara. Begitu pula dengan Narendra. Mata Inara seketika melebar mendapati kakaknya, Ivan, berdiri menjulang di dekat sofa. Tangan pria itu bersedekap. Ekspresi marah terlihat jelas di wajahnya.

Lupa kunci pintu memang selalu membawa petaka! Maki Inara saat tanpa sengaja melihat pintu rumah terbuka.

Menyadari Inara dan juga Narendra masih terpaku di tempat, Ivan segera bertindak. Kakak Inara itu dengan sigap menarik lengan Inara agar menjauhi Narendra. Saking keras dan kasar perbuat Ivan, Inara sampai mengaduh pelan.

"Kak Ivan!" gerutu Inara. Gadis itu menghentakkan pegangan kakaknya. "Sakit!"

"Makanya, bangun!" Ivan kembali berteriak. Dia melepaskan cekalannya dan membiarkan Inara berdiri sendiri.

Perlahan Inara bangkit dari sofa bed. Dia segera menyilangkan kedua tangan di depan dada saat menyadari tubuhnya hanya berbalut bra serta celana dalam. Sementara itu, Narendra menyusul di belakang Inara. Pria itu lebih parah karena hanya mengenakkan briefs hitam saja.

"Pagi-pagi sudah bikin sakit kepala saja," gerutu Ivan. Tangannya memijat pangkal hidungnya. "Menciduk adik sedang berbuat senonoh."

Inara dan Narendra tidak membalas. Mereka memilih diam. Karena, Ivan benar, Narendra dan Inara memang sedang berbuat senonoh. Bukti pun sudah terpampang jelas di depan mata. Tapi tetap saja, wajah Inara memerah. Dia malu sekali mendapati bahwa salah satu dari kakak kembarnya yang menangkap basah. Di rumahnya lagi.

"Kita harus bicara. Kita bertiga." Ivan menunjuk mereka bertiga. "Cepat ganti pakaian, terus mandi. Pungut itu pakaian-pakaian yang bercecer. Sana, sana!"

Keduanya mengangguk patuh. Dalam keadaan setengah telanjang, baik Narendra maupun Inara segera memungut pakaian-pakaian mereka di lantai. Tidak ada godaan pagi seperti biasa. Suasana terlalu tegang sekarang.

Belum sempat Inara masuk ke kamar, lagi-lagi Ivan berteriak. "Kamu ngapain ke atas?"

Inara menoleh. Dia mendapati Narendra sedang menaiki tangga. Pria itu memasang wajah datar sembari menunjuk lantai atas. "Saya tinggal di sini. Di lantai atas."

"Ya Lord! Kalian bikin makin sakit kepala. Cepat, cepat. Tiga puluh menit sudah di sini ya!" peringatnya yang langsung diangguki oleh Narendra.

Untuk sesaat Inara terpaku di tempat. Perhatiannya beralih pada Ivan. "Kak ...."

Ivan menoleh. Kepala pria itu menggeleng. Ekspresi terkejut masih tersisa di sana. "Kamu tahu Nara ... Kakak kecewa."

"Maaf."

Hanya itu yang bisa Inara ucapkan. Dia tahu Ivan kecewa. Tapi Inara juga tahu, dia sudah dewasa menentukan mana yang baik dan buruk bagi hidupnya.

Perlahan dibuka pintu kamar, kemudian memasukinya. Tanpa bisa Inara cegah, tubuhnya merosok ke lantai. Rasanya dia tidak punya muka di depan Ivan. Sekalipun malu, tapi Inara tidak tidak menyesali perbuatannya dengan Narendra semalam.

*****

Pikiran Narendra carut-marut. Bingung bagaimana harus bersikap. Bahkan, Narendra tidak tahu ekspresi apa yang akan dia pasang sekarang. Ini bukan cara memulai hari yang baik. Karena, pagi-pagi sudah tertangkap basah berbuat senonoh oleh kakak kandung Inara.

Narendra frustasi. Diacak-acaknya rambut. Kemudian, menghela napas berulang kali. Narendra tahu, sebagai pria, dia hanya perlu menghadapi Ivan. Memasang badan di depan Inara apabila Ivan berbuat berlebihan, sekalipun Narendra tidak yakin Ivan akan berbuat buruk pada adiknya itu. Hanya saja Narendra tetap gugup. Ini bukan cara terbaik untuk bertemu keluarga dari pacarmu.

Bergegas Narendra menuruni tangga. Inara ternyata telah duduk di sofa bed lebih dulu. Sedangkan Ivan berdiri kaku di depan adiknya. Sorot mata Ivan terlihat penuh amarah saat menatap Inara.

Jujur saja, Narendra tidak bisa menyalahkan sikap Ivan. Narendra juga seorang kakak dari seorang adik perempuan dan laki-laki. Apabila dia mendapati Nayla berbuat tidak senonoh bersama seorang pria, sikap Narendra juga akan sama. Kini Narendra menyesal karena kalah oleh setan di dalam dirinya.

"Jadi ... alasan lo ke Bali karena ini, Ra? Lo jadi bisa bebas ngapain aja sama cowok. Gitu?" Ivan kembali bersuara. Nada penuh tuduhan terdengar.

Inara menjawab dengan gelengan tegas. Memang bukan itu alasan Inara datang ke sini. Kebersamaannya dengan Narendra pun bukan ada dalam rencana gadis itu, sebelumnya.

"LO!" teriakkan Ivan berhasil menyentak Narendra.

Mata Ivan menatap tajam Narendra. Dia menunjuk Narendra, lalu tempat di samping Inara. Meminta Narendra untuk segera menuruti pria itu. Tanpa banyak membantah, Narendra mendekat. Dia menduduki sisi Inara. Sebenarnya Narendra hampir menggenggam tangan Inara untuk memberi gadis itu kekuatan, tapi pelototan Ivan jelas mengurungkan niatnya.

"JANGAN DEKAT-DEKAT DONG! INI ITU SIDANG, BUKAN ACARA IJAB KABUL!" Ivan memukul pelan bahu Narendra.

Narendra pun menurut. Dia segera menggeser pantatnya menjauh. Namun, pukulan sekali lagi di bahu Narendra mengisyratkan bahwa dia harus menggeser duduknya lebih jauh hingga ke pojok sofa.

"Jadi ... lo pria brengsek yang ngerusak adik manis gue, iya?"

Kini giliran Ivan yang menuduh Narendra. Saking kesalnya, Ivan sampai menunjuk Narendra tepat di depan hidung pria itu. Hal yang sebenarnya tidak sopan dan Narendra tidak menyukainya. Namun, Narendra harus menahan diri. Ivan sedang marah.

"Kami melakukannya atas dasar suka sama suka," jawab Narendra dengan suara datarnya.

"Iya, gue tahu kalian sama-sama suka. Tapi pasti lo duluan kan yang ngajak?"

Narendra sudah berniat membalas, tapi Inara lebih cepat. Dia melirik gadisnya. Wajah Inara pucat pasi. Matanya berkaca-kaca, berusaha menahan tangis.

"Nggak, Kak. Gue yang minta duluan." Inara berusaha berteriak.

Ivan mengalihkan tatapannya pada Inara. "Gila ya lo! Perasaan Bokap sama Nyokap nggak pernah ngajarin kita seperti ini. Mentang-mentang kami kasih kepercayaan lo untuk hidup mandiri di Bali, sekarang lo malah berbuat seenaknya. Nara, lo bisa nggak sih memikirkan untung-rugi sebelum berbuat?"

Kata demi kata yang Ivan ucapkan, semakin menambah kesedihan Inara. Refleks, Narendra berdiri. Dia bersiap untuk pasang badan. Sejak mengenal Inara, Narendra paling tidak suka melihat gadisnya menangis.

"Sori, kalau saya ikut campur urusan keluarga kalian—"

"Diam! Diam!" Ivan memotong kalimat Narendra.

Pria itu hendak menerjang Narendra, tapi Inara jauh lebih cepat menghalangi gerakkan kakaknya. Kini air mata gadis itu meleleh. Sambil terisak dia bergumam. "Gue khilaf. Kami khilaf. Maafin gue. Sudah kak, sudah!"

"Ra, tapi cowok ini kurang ajar! Pakai ngerusak kamu!"

Lagi-lagi Inara menggeleng. Kepalanya mendongak menatap ke dalam mata Ivan, "Gue yang salah, kak. Gue yang mulai duluan, godain duluan. Please, percaya sama gue sebagai adik lo."

Ivan mendengus kesal. Dia menatap lekat adiknya, lalu menggeleng. Sesaat Ivan menatap Narendra dan Inara bergantian. "Fine. Gue bingung harus ngomong apa sekarang. Kecewa? Jelas. Lo adik gue, Nara, dan gue sayang banget sama lo."

Tiba-tiba Ivan menatap lurus Narendra. "Satu-satunya solusi terbaik dari masalah ini cuma satu, kalian nikah. Itu aja."

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top