HEALS #2
I want to raise your spirits
I want to see you smile but
Know that means I'll have to leave
(Marshmello - Happier)
*****
Positif hamil, hasil yang dia terima dari dokter kandungan pagi tadi. Sebagai calon ibu, Inara jelas berbahagia. Di dalam perutnya sedang bertumbuh sebuah janin yang akan dia bawa ke mana-mana selama sembilan bulan ke depan.
Kebahagiaan itu seolah lenyap saat teringat Narendra. Luka masa lalu yang pria itu tanggung, pasti akan membuatnya menolak pernikahan yang Inara inginkan. Gadis itu berusaha untuk tidak ingin meminta pernikahan lagi, hanya saja masa depan anak mereka lah taruhannya.
Suara decitan mobil sontak mengembalikan Inara ke dunia nyata. Untuk sesaat gadis itu memperhatikan sekitar, mereka sampai di rumah. Tempat ini menyimpan banyak kisah tentang mereka. Tempat paling aman yang mereka ciptakan.
Keinginan mereka yang tidak sejalan, tanpa sadar membuat air mata gadis itu meleleh. Refleks, Inara membuka pintu. Dia bahkan tidak mengucapkan apa pun pada Narendra dan pergi begitu saja. Hati gadis itu sedang sensitif. Pikiran buruk berputar di kepala. Semua hal terasa salah baginya.
"Ra! Inara!" teriakan Narendra diikuti cekalan pada lengan Inara, berhasil menghentikan langkah gadis itu. Seketika pria itu terkejut menemukan air mata gadisnya meleleh seperti air bah. "Babe ... kenapa menangis?"
Narendra berusaha menarik Inara mendekat. Sayang, gadis itu malah mendorong tubuh prianya sekuat yang dia bisa. Sambil menggeleng, dia bergumam pelan, "Jangan mendekat."
"Inara ...."
"Naren ...," suara Inara semakin memelan. Kesedihan terdengar begitu kental. "Saya mau pernikahan."
"Inara, kita sudah selesai membahas ini, bukan? Saya belum siap menikah, tapi bukan berarti saya akan meninggalkan kamu. Ayo kita bangun keluarga tanpa pernikahan," jawab Narendra yang langsung dibalas anggukan Inara.
Gadis itu tidak terkejut mendengar jawaban Narendra, tapi tetap saja dia kecewa. Segala penantiannya, bahkan seluruh sesi psikolog yang mereka lakukan bersama masih tidak membuat Narendra berubah pikiran. Kali ini, Inara lelah. Kalau bukan karena anak ini, mungkin dia masih ingin bertahan.
Inara menegakkan kepala. Mata gadis itu menatap lurus Narendra tepat di maniknya. Gadis itu berusaha keras untuk terlihat tegar, sekalipun air mata masih mengaliri pipinya. "Saya ... punya dua opsi untuk kamu, Re. Pertama adalah kita menikah, membangun keluarga bersama dan mematahkan ketakutanmu. Kedua, kita tidak perlu menikah, tapi saya mau melepaskan kamu. Saya ... akan cari orang lain yang mau menerima saya dan anak kita."
"KAMU GILA, YA?" teriak Narendra. Tangan pria itu sontak mencengkram kuat kedua lengan Inara.
"Saya emang segila itu, Re." Air mata Inara meleleh semakin deras. Napas gadis itu tertahan sesaat, "Tapi saya akan lebih gila lagi kalau biarin anak ini tumbuh tanpa kepastian hukum dari kamu. Sekarang, kamu bisa kasih saya cinta, perhatian, atau bahkan materi. Cuma, apa jaminan yang bisa saya pegang dari kamu nanti? Kalau tiba-tiba kamu pergi, saya nggak punya kekuatan untuk menahan kamu tetap tinggal, karena Narendra ... ini komitmen tanpa hukum. Saya memang bisa setega itu menggantimu dengan orang lain, sebagai calon ibu, anak saya yang lebih penting. Lagipula kalau kamu belum siap, saya nggak mau paksa kamu. Re, take it or leave it? Keputusan ada di tangan kamu."
"Inara, saya itu sayang kamu, anak kita juga." Narendra mulai terdengar putus asa. Pria itu bingung dan juga ketakutan karena ancaman Inara.
"Pulang, Re. Temui saya jika kamu sudah punya jawaban. Dua minggu batasnya, Re, lebih dari itu, maka opsi dua yang kamu pilih. Selama itu pula kita nggak perlu bertemu dulu. Saya nggak mau mempengaruhi pilihanmu, karena ... kamu yang menentukan kebahagiaanmu sendiri, bukan?"
Inara memberikan seulas senyum tipis, sekalipun air mata gadis itu masih meleleh. Perlahan, dia mendekat. Gadis itu berjinjit untuk mendekatkan wajahnya pada Narendra. Sambil mencium bibir pria itu, Inara berbisik. "Aku mencintaimu, Narendra."
Setelahnya, Inara segera berbalik. Gadis itu memasuki rumah, tempat aman yang tidak akan bisa Narendra terobos. Ketika pintu telah terkunci rapat, perlahan tubuhnya merosot ke lantai. Kemudian, membiarkan tangisnya pecah sejadi-jadinya.
*****
Maaf, malam ini kamu sendirian dulu. Re, kamu harus percaya mereka sekalipun tidak ada saya di sana bersamamu.
Berkali-kali Narendra membaca isi pesan Inara, berkali-kali pula pria itu menahan napas. Mata pria itu mulai memperhatikan sekitar. Memori kebersamaan mereka seolah berputar di ruang tunggu ini. Inara selalu duduk di sisinya. Mereka membicarakan banyak hal dengan topik yang tidak ada habisnya. Namun malam ini, dia sendirian. Ini menyedihkan, tapi pria itu tidak berani berbuat apa pun.
Sudah tiga hari mereka tidak saling berbicara. Inara bahkan berusaha keras untuk menghindarinya di kantor. Gadis itu serius memberinya waktu dua minggu untuk berpikir, yang hingga detik ini belum juga muncul jawabannya. Bukan belum menemukan jawaban, tapi takut dengan akhir menyedihkan seperti orang tuanya dahulu. Narendra tidak ingin anak mereka merasakan apa yang pernah dia alami dulu, menjadi korban keegoisan orang tua.
"Pak Narendra."
Sebuah suara berhasil menyentak pria itu. Perlahan dia bangkit menuju pintu bertuliskan Aida Ramadhina, psikolog terbaik di Bali kata Inara.
"Re, Bu Aida benar, kamu harus mulai percaya. Gimana mereka bisa menolong kamu, kalau kamu sendiri nggak yakin mereka bisa tolong kamu? Hey, that's okay, Re, anggap Bu Aida itu saya, so, you can tell her everything."
Dihelanya napas dalam saat suara Inara memenuhi kepala pria itu. Dia memang harus percaya pada Bu Aida. Pria itu menguatkan tekad. Sembuh adalah tujuan utamanya, hal yang harus dia lakukan agar Inara tetap berada di sisinya.
"Selamat malam, Pak Narendra," sapaan Bu Aida lagi-lagi menyentak pria itu. Untuk sesaat Narendra merasa sedikit tidak nyaman ketika duduk sendirian di ruangan ini.
"Sendirian saja, Pak?" tanyanya yang langsung dibalas anggukan singkat Narendra.
"Inara sibuk, Bu." Narendra tertegun mendengar jawabannya. Kata-kata Inara yang menyuruhnya untuk percaya, membuat pria itu segera meralat jawabannya. "Inara ... menghindari saya."
Bu Aida mengernyitkan alis. Ekspresinya masih terlihat tenang, tapi sorot mata yang ditunjukkan tampak tertarik. Wanita berumur empat puluhan itu menangkupkan tangan di meja. "Jadi, Bu Inara menghindari Pak Narendra. Kalau saya boleh tahu, kenapa hal itu bisa terjadi?"
Narendra mengangguk ragu. Pria itu berusaha keras membayangkan wanita di hadapannya ini adalah Inara. Sejak dulu dia kesulitan mempercayai seseorang, terlebih mengenai kisah hidupnya. Kepercayaan itu mahal, sekali dirusak, maka tidak ada lagi kepercayaan yang bisa diberikan. Hanya saja bersama Inara, pria itu mempercayai gadis itu. Mereka berbagi kisah dan cinta. Semua terasa mudah. Kali ini, dia benar-benar merindukan sosok kekasihnya.
Menit demi menit dalam keheingan, perlahan mulut Narendra terbuka. Pria itu sedikit terbata dan kebingungan menceritakan kejadian beberapa hari lalu pada bu Aida. Namun kali ini, pria itu harus jujur.
Begitu cerita berakhir, bu Aida tidak langsung merespon. Wanita itu memandang Narendra dengan penuh minat. Ada senyum tercetak di wajah. Sebuah pujian lah yang mengawali obrolan mereka, "Saya senang, akhirnya Pak Narendra mau berbicara tanpa perlu kehadiran Bu Inara di sini."
"Inara yang minta saya untuk ... percaya."
Bu Aida mengangguk singkat. "Saya perjelas lagi ya, Pak? Jadi, Bu Inara memberikan dua opsi, yaitu pernikahan atau tidak perlu menikah, tapi Bu Inara akan mencari pengganti Bapak? Sampai di hari ketiga ini, jawaban apa yang sudah muncul dalam pikirkan, Pak Narendra?"
Narendra menggeleng pelan. "Saya tidak mungkin memilih opsi kedua. Saya ... mencintai Inara."
"Kalau begitu ... pilih opsi pertama."
"Saya takut, Bu. Bagaimana jika nanti saya gagal, kami gagal. Saya nggak mau kehilangan siapa-siapa, apalagi mengorbankan anak kami." Suara Narendra memelan. Terdengar menyedihkan. Dia tidak ingin ada perceraian, itulah mengapa dia tidak ingin ada pernikahan. "Saya bingung, Bu. Apa yang harus saya pilih?"
"Pilih yang terbaik untuk Bapak ke depannya." Bu Aida menghela napas dalam. "Pak Narendra, pilihan Bapak hari ini akan berdampak untuk anda ke depannya. Tugas saya di sini bukan membantu untuk memilih, tapi membantu untuk memahami bahwa semua pilihan ada risiko masing-masing. Pilihan, tetap anda yang memutuskan. Pak Narendra, masa depan itu abu-abu, tidak pasti. Jika anda takut akan suatu hal hari ini, maka jangan sampai terjadi di masa depan. Yang harus anda lawan itu ketakutan anda sendiri ...."
"Jadi ... opsi pertama?"
Bu Aida menggeleng. "Bukan itu maksud saya, saya tidak mengarahkan pilihan apa pun, tapi saya hanya menjelaskan mengenai ketakutan Pak Narendra. Jika opsi dua adalah pilihan anda nanti, maka biar waktu yang akan menyembuhkan luka. Singkatnya, pilih opsi yang tidak akan membuat anda menyesalinya kelak."
"Saya bingung, Bu Aida. Saya juga ketakutan." Suara Narendra semakin menghilang.
Pria itu takut melangkah maju, memilih pernikahan menjadi jawaban yang harus dia ambil. Hanya saja, dasar hati pria itu sadar, dia lebih takut kehilangan Inara dan anak mereka. Bagi Narendra, dia sudah menggantungkan kebahagiaannya pada gadis itu.
*****
Inara berdiam diri di depan jendela besar. Mata gadis itu menatap nyalang hamparan langit luas, berikut pesawat-pesawat yang terparkir. Warna biru sudah mulai berubah menjadi jingga, menandakan bahwa hari ini akan segera berakhir.
Setiap senja yang datang, setiap itu pula dia merindukan sosok Narendra. Pria itu akan selalu menjadi sosok terbaik yang menemani Inara menatap senja bersama. Karena, setiap kali itu pula, gadis itu sadar hari ini telah dia lewati dengan baik karena pria ini.
Hanya saja, hampir seminggu senja terasa asing. Gadis itu bahkan menghindari senja dan juga prianya. Dia tidak bisa berhenti menangisi segala hal yang terjadi pada mereka. Sayang, keputusan Inara bulat apabila akhirnya Narendra memilih pergi.
Gadis itu merogoh saku celana, meraih ponsel. Diutiknya benda itu, lalu menelepon kepala bagian kreatif KickAds. Seminggu telah berlalu dengan mengenaskan, seminggu lagi dia akan mendengarkan jawaban Narendra. Dia butuh lari untuk beberapa hari sebelum mendengar keputusan apa pun yang mungkin menyakiti hatinya kelak.
"Mas London, saya ambil cuti lima hari ya. Saya ... ada keperluan mendadak ke Jakarta. Thanks, mas." Tanpa banyak basa-basi, panggilan pun berakhir.
Perlahan, air mata gadis itu lagi-lagi meleleh. Menangis sekarang menjadi rutinitasnya, karena mendadak dia jadi mudah menangis saat melakukan segala hal. Dia merindukan Narendra, pria yang dia andalkan untuk membuatnya bahagia.
"Nara!"
Kepala Inara refleks berputar. Ais, sahabatnya itu terlihat bingung saat melihat Inara begitu menyedihkan. Buru-buru gadis itu berlari mendekat.
"Inara, lo ... baik-baik aja?" pertanyaan Ais semakin menambah intensitas tangis Inara.
Kepala gadis itu menggeleng cepat. "Narendra ...."
"Narendra, kenapa? Dia jahatin lo?"
Inara lagi-lagi menggeleng. Pria itu tidak menyakitinya secara langsung, tapi sikap pria itu. Dengan segera gadis itu memeluk Ais. "Gue takut Narendra pergi, Is ...."
"Ya, jangan bikin dia pergi. Tahan dia, Ra." Ais kebingungan, tapi tetap merespon Inara.
"Gue cinta dia, Is. Kalau memang kebahagiaan dia adalah pergi, gue nggak mau menahannya. Dia berhak bahagia, tapi gue yang nggak tahu gimana bisa bahagia ... tanpa dia."
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top