HEALING #4
Now I've tried to talk to you and make you understand
All you have to do is close your eyes
And just reach out your hands and touch me
Hold me close don't ever let me go
More than words is all I ever needed you to show
Then you wouldn't have to say that you love me
'Cause I'd already know
(Extreme - More Than Words)
*****
Inara langsung loncat begitu mobil terparkir di carport rumah. Dibantingnya pintu keras-keras, berusaha meredam teriakan Narendra yang memintanya tinggal.
Langkahnya cepat, bahkan hampir berlari memasuki kamarnya. Sekali lagi dibantingnya pintu, lalu menguncinya rapat-rapat. Narendra pernah mengatakan bahwa kamar adalah tempat teramannya, maka pria itu tidak akan berani masuk tanpa seizinnya.
Punggung Inara seketika membentur pintu. Kedua kaki yang sejak tadi dipaksa berdiri tegak mulai melemas. Tanpa bisa dia cegah, perlahan tubuhnya merosot dan kini terduduk di lantai.
Air mata yang sejak tadi ditahannya mulai meleleh. Tangannya menyentuh bibir. Ciuman pertamanya kini telah dimiliki oleh Narendra, tanpa izin. Inara marah, tapi juga bingung.
Sesaat setelah Narendra menciumnya, hati gadis itu menghangat. Dia bahkan menikmati dan membalas ciuman tersebut. Tapi, begitu tautan mereka lepas, tiba-tiba Inara begitu marah. Hatinya bingung menentukan bagaimana seharusnya dia menyikapi tindakkan Narendra. Haruskah dia marah pada kelancangan Narendra, meskipun dia menikmati apa yang terjadi?
"Ra ...." Napas Inara seketika tertahan saat mendengar ketukan pintu kamarnya. Suara pria itu terdengar memohon. "Can we talk?"
Buru-buru dibekap mulut rapat-rapat, karena intensitas isakkannya tiba-tiba bertambah. Inara tidak ingin Narendra mendengar isakkan tersebut. Pasalnya, Inara semakin bingung pada dirinya sendiri. Mulutnya keluh, namun dia iba mendengar suara Narendra.
"Ra ...." Sekali lagi pria itu memanggil namanya. "Jangan nangis."
Kemudian suasana kembali hening. Sesaat kemudian, terdengar suara langkah kaki menaiki tangga di samping kamarnya. Inara bisa menebak ke mana pria itu pergi, ke tempat amannya sendiri.
Menyadari Narendra tidak lagi di dekatnya, dilepaskan bekapannya. Isakkan gadis itu semakin kencang, cenderung meraung. Kini dia dilema, bagaimana harus menghadapi Narendra setelah ini. Ciuman serta perasaan yang beradu di dalamnya, jelas merupakan plot twist di dalam hubungan mereka.
*****
Narendra membanting kencang pintu kamarnya. Dilepas jaket dengan kasar, lalu dibuangnya begitu saja ke lantai.
"BERENGSEK!" Tanpa sadar dia menendang keras kaki tempat tidurnya. Jari-jarinya seketika sakit dan perit, namun bagi Narendra itu sepadan.
Harus diakui Narendra gila, tidak dia juga kurang ajar. Dia mempertanyakan ke mana akal sehatnya saat di bukit tadi.
Namun, satu hal yang tidak bisa Narendra sangkal, Inara terlihat berbeda di matanya tadi. Senyumnya yang cemerlang, terlihat memukau. Dia bahkan tidak memedulikan matahari terbit, melainkan gadis itu. Untuk sesaat kala itu, dia menyadari dan tidak ingin menyangkal bahwa Narendra menyukai Inara.
Lalu, semua hal berjalan begitu cepat. Akal sehat serta kontrol tubuhnya hilang karena tiba-tiba saja bibirnya menyentuh bibir Inara. Dia menyukai rasa gadis itu setiap kali didekapnya dan kali ini bertambah saat dia mampu merasakan bagaimana bibir tipis itu di bibirnya. Sebagai pria yang sangat menghormati wanita, harusnya Narendra menahan diri. Atau setidaknya meminta izin lebih dulu.
Dihelanya napas dalam, lalu berjalan cepat menuju jendela kamar. Dibuka jendela, membuat sinar terik matahari menyilaukan matanya. Pria itu membutuhkan udara segar sebanyak mungkin untuk mengurangi emosinya. Dia juga berharap, kelakuannya barusan tidak akan membuat Inara menjauh darinya. Baru saja merasakan bahagia, Narendra jelas tidak ingin kehilangan untuk kesekian kalinya.
*****
Langkah Narendra terhenti tepat di anak tangga pertama. Dia ragu untuk turun, apalagi sejak kemarin siang Inara terus mengurus diri di kamar. Berkali-kali pria itu mengajak makan, tapi Inara tidak menggubrisnya. Meskipun khawatir, tapi Narendra ingat janjinya untuk membiarkan Inara berada di tempat amannya. Alhasil, dia harus membelah kemacetan menuju restoran langganan Inara. Membelikan makanan kesukaan gadis itu, lalu untuk digantungkan ke gagang pintunya. Setidaknya, Inara tahu bahwa dia masih memedulikannya.
Dihelanya napas dalam, sebelum akhirnya dikuatkan hati menuruni tangga. Ketika tatapannya jatuh pada gagang pintu kamar Inara, bungkusan makanan itu kini sudah lenyap. Hingga suara grinder kopi di dapur sontak menarik perhatiannya.
Sekali lagi langkah Narendra terhenti. Disandarkannya punggung pada dinding sembari memperhatikan Inara. Gadis itu terlihat sibuk. Sesekali perhatiannya tertuju pada grinder, sesekali berpindah pada wastafel. Pagi ini dia terlihat santai mengenakan pakaian rumahannya; sweater kebesaran warna marun serta celana jeans pendek. Rambut sebahunya diikat asal-asalan, membuat beberapa anak rambutnya mencuat. Tidak ada pulasan apa pun, membuat beberapa bekas jerawatnya terlihat. Sederhana dan polos di mata Narendra.
Tanpa bisa dicegah senyum pria itu tersungging. Dia tidak tahu suasana hati Inara saat ini. Namun, melihatnya masih berdiri di dapur, menyiapkan kopi serta sarapan untuknya, hati Narendra menghangat. Narendra menyukai fakta, meskipun Inara marah padanya, tapi gadis itu tidak bisa berhenti memperhatikannya.
Segera saja dia melanjutkan langkahnya, untuk bergabung dengan gadis itu. Meja makan sudah terhidang sarapan sederhana, andalan Inara; nasi goreng dengan telur mata sapi. Namun, jelas sekali, kopi buatan Inara yang pria itu nanti-nantikan.
"Kopimu." Tiba-tiba Inara menyodorkan secangkir kopi pada Narendra.
Dengan sigap pria itu menerimanya, sementara Inara lebih dulu menduduki tempatnya. Pria itu untuk sesaat terpaku. Matanya lagi-lagi terus memperhatikan Inara.
"Kamu tidak makan?" Inara kembali bersuara yang hanya dibalas dengan anggukan pelan.
Narendra bergegas mengikuti Inara, menduduki kursi di seberangnya. Perhatian pria itu terus tertuju pada Inara yang kini sedang melahap makanannya dalam diam. Dia tidak banyak bicara seperti pagi kebanyakan dan tentu itu mengusik Narendra.
"Ra ...."
"Makan, Re," jawab gadis itu begitu saja tanpa berusaha melihat sedikit pun pada Narendra.
Narendra menghela napas dalam. Masalah mereka harus segera selesai dan kalau bisa mengembalikan keadaan sebelum insiden kemarin. Atau mungkin mengganti keadaan mereka menjadi lebih baik.
"Masalah kemarin, Ra—"
Ucapan Narendra segera terpotong saat Inara mulai memelototinya. Pipinya bersemu merah, menjadikan tanda tanya besar dalam benak Narendra. Apakah Inara sedang marah atau sedang tersipu saat ini?
"Makan, Re, makan. Please ...," suara gadis itu memelan. Dia menghela napas dalam. "Lupakan kejadian kemarin. End conversation, okay?"
"Tapi ...."
"Re." Inara terdengar merengek. "Saya berusaha untuk mengembalikan keadaan kita seperti semula, jadi tolong kerja samanya. Saya nggak mau kehilangan lagi, Re."
Kali ini Narendra memilih menuruti Inara. Dia mengangguk pelan sebagai persetujuan. Bukan hanya Inara yang tidak ingin kehilangan, Narendra juga. Terlebih setelah dia menyadari perasaannya terhadap gadis itu.
*****
Selama perjalanan pulang ke rumah, Inara berpura-pura tidur. Rasanya dia masih canggung berdua dengan Narendra, terlebih di dalam mobil. Tempat ini sempit. Dia juga akan kesusahan menutupi wajahnya apabila tiba-tiba tersipu. Belum lagi jantungnya berdebar kencang diikuti bayangan ciuman pagi itu.
"Kita sudah sampai, Ra."
Mata Inara otomatis terbuka. Seketika dia melongo mendapati bahwa mereka tidak pulang ke rumah, namun ke tempat lain yang tidak asing di ingatan Inara. Restoran bercat putih dengan nuansa China serta aroma lezat ikan bakar tercium. Ingatan samar Inara perlahan terbentuk, dia pernah ke sini bersama Narendra dalam versi hujan.
Suara pintu terbuka, mengembalikan kesadaran gadis itu. Matanya menemukan sosok Narendra berdiri tepat di depan mobil, menghadapnya. Kedua tangannya dimasukkan ke celana. Jas kerja ditanggalkan, menyisakan kemeja putih dengan dua kancing terbuka di bagian atas. Dihelanya napas dalam, Inara tidak bisa lari dan terpaksa ikut turun.
Begitu memasuki restoran, seorang pelayan segera menghampiri. Tempat ini cenderung selalu terlihat sepi, padahal desain ruangan dan makanan yang ditawarkan sangat menarik. Inara yang lebih memperhatikan sekitar, tidak menyadari bahwa Narendra tengah menggiringnya menaiki bagian balkon restoran.
"Saya pernah berjanji untuk mengajakmu makan di sini lagi saat tidak hujan. Malam ini, saya bayar utang saya." Narendra kembali bersuara. Refleks, Inara menoleh dan mendapati senyum tipis pria itu tersungging. Angin sepoi yang berhembus membuat rambut Narendra sedikit berantakan. Anehnya, di mata Inara, Narendra terlihat oke.
"Terima kasih ... masih mengingat janjinya," balas Inara pelan.
Mereka segera duduk di kursi yang disediakan. Inara memilih menerawang jauh menuju lautan lepas di sisi kanannya. Indah, meskipun gelap. Sedangkan Narendra berbicara pada pelayanan untuk memilihkan makan malam mereka.
"Mau jalan-jalan menyusuri tepi pantai?" Kepala Inara seketika menengadah. Tahu-tahu saja Narendra telah berdiri di sampingnya dengan salah satu tangan yang terulur.
Tatapannya yang tertuju lurus pada Inara, seolah membuat tubuh Inara bergerak dengan sendirinya. Diraihnya tangan Narendra, lalu membiarkan pria itu menggiring Inara menuruni tangga kayu memasuki pasir di tepian pantai.
Di saat seperti inilah, Inara menyadari banyaknya karang yang memenuhi pasir. Berkat panduan singkat Narendra, dia mengetahui bahwa pantai berkarang cenderung memiliki ombak yang tenang. Pantas saja, ombak di sini tidak sebesar ombak-ombak yang dilihatnya saat di Kuta.
Keduanya berdiri bersisian di bibir pantai. Tangan mereka saling bertautan, bahkan Narendra menggenggamnya begitu erat. Kedua kaki mereka sengaja direndam di dalam pasir sambil menunggu ombak menerjangnya. Inara tidak berbohong, jika kini jantungnya berdebar semakin kencang.
"Ra ...." Narendra kembali berbicara, membuat Inara menoleh padanya. "Masalah kemarin —"
"Re ...," potong Inara. Kedua pipi gadis itu memerah, lagi-lagi dia tersipu karena ingatan itu terus menghantuinya. Dia ingin melupakan kejadian itu dan mengembalikan keadaan semula. "Please."
Sayang, Narendra menggeleng tegas. "Saya mau jelasin semuanya, kamu cukup diam dan mendengarkan."
"Tapi, Re ...."
"Nggak hanya kamu, Ra, saya juga nggak mau kehilangan kamu." Pria itu berteriak, membuat Inara bungkam. Narendra yang sejak tadi menatap lautan, tiba-tiba menoleh menghadap Inara.
Saking terkejutnya, gadis terhuyung mundur. Untungnya, tangan Narendra yang menggenggamnya erat berhasil menahan gadis itu untuk tetap berdiri tegak. Tatapan keduanya bersirobok di udara, menciptakan parade hebat di jantung Inara. Inara menyerah. Dia luluh dan tidak bisa berpaling sedikitpun dari Narendra.
"Saya minta maaf kalau ciuman itu bikin kamu tidak nyaman, tapi yang harus kamu tahu ... saya tidak menyesal melakukannya." Dia menghela napas dalam. "Karena saya menyukainya. Saya menyukaimu."
Kedua mata Inara sontak melebar. Pernyataan ini jelas mengejutkan Inara. Pasalnya, Narendra tahu benar bagaimana kacau perasaannya saat ini. Robi, bahkan perpisahannya dengan Robi yang baru saja terjadi. Tapi Inara tidak menampik, diam-diam dia menyukai pernyataan Narendra, meskipun lebih banyak rasa menyedihkannya.
"Tapi, Re ... Robi—"
"I know, I know!" Narendra terdengar tidak sabaran. "Saya tahu perasaan kamu terhadap Robi. Tapi saya juga tahu, kamu berniat untuk melupakan perasaan itu. Makanya saya di sini, membantu kamu dan jadi obat yang menyembuhkan patah hatimu. I want to fix your broken hearted, Ra, be your band-aid."
Kata-kata Narendra sukses mengosongkan pikiran Inara. Gadis itu masih ingat bahwa Narendra pernah mengatakan hal yang serupa pada Robi malam itu. Pria itu tidak memainkan dramanya. Dia bersungguh-sungguh.
"Tapi ...."
"Apa yang membuatmu ragu, Ra?" bisiknya. Suaranya Narendra yang memelan, tanpa sadar membuat Inara meneteskan air mata.
"Saya ragu ... akan perasaan saya. Re, jika pada akhirnya saya memang sembuh tapi perasaan saya ke kamu tidak seperti yang kita harapkan, bagaimana? Bukan hanya kamu yang patah hati, tapi saya juga. Saya nggak mau nyakitin kamu."
Narendra mengangguk sambil menghela napas. "I'll take the risk. Kebahagiaan itu tidak abadi, Ra. Bersama kamu, saya merasa bahwa kesedihan tidak begitu berarti. Kalaupun pada akhirnya, cerita kita tidak berakhir baik, saya tidak akan menyesalinya. Inara, karena kamu jugalah saya percaya dengan harapan dan kamulah hal baik bagi saya sekarang."
Inara semakin kehilangan kata-kata. Air matanya meleleh semakin deras. Isakkan bahkan mulai terdengar.
Tangan Narendra otomatis terangkat. Kedua ibu jarinya perlahan menghapus air mata Inara. Menyadari gadis itu hendak merunduk, refleks, Narendra menahan gerakannya. Diangkatnya kembali wajah Inara agar mereka saling bertatapan.
"Inara ... maukah kamu mengizinkan saya untuk jadi penyembuh lukamu?"
Entah apa yang Narendra perbuat pada Inara, gadis itu tiba-tiba saja mengangguk tanpa ragu. Dia masih terisak kencang, tapi tidak menyesali persetujuannya.
Senyum Narendra merekah lebar. Dia menghela napas dalam. Narendra tidak menyangka, bahwa dia mampu membuat Inara percaya padanya.
Tanpa basa-basi, Narendra dengan cepat menyatukan kembali bibirnya dengan bibir Inara. Kedua tangan Inara secara otomatis melingkari leher Narendra. Dia tidak ragu ataupun merasa bersalah membalas ciuman pria itu sekarang.
Inara tidak tahu seperti apa masa depan. Tapi, sama halnya dengan Narendra, gadis itu mengambil resikonya. Dia berharap, tidak ada akhir menyedihkan untuk kisah mereka.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top