HEALING #2

Whatever happens, you know you go wherever I go
It doesn't matter, I'll never leave you in the dark
Tell me I'm wrong, tell me I'm wrong
But you belong next to me
Whatever happens, you know I got your back

(Christian Paul - Strong)

*****

Mata Inara terus memperhatikan gerak-gerik Narendra. Pria itu terlihat terbiasa di rumah ini, seolah memang rumahnya. Dia baru saja menggiring kepergian pengantar perabotan dan kini sedang berada di dapur terlihat sibuk sendiri.

Inara sendiri sedang duduk di sofa bed baru mereka. Meskipun terlihat nyaman sambil berselonjor, tapi bukan berarti kakinya yang terkilir sudah baik-baik saja. Nyerinya sudah sedikit reda berkat kantong plastik berisi es batu yang mengompres kakinya.

Tanpa sadar dia menghela napas dalam. Jika saja pramuniaga tidak iseng asal berbicara, mungkin Inara tidak salah tingkah dan membuatnya terkilir. Bukan hanya itu saja, berkat kakinya ini Narendra jadi batal mencari perabotan lainnya karena harus mengurus Inara. Terpaksa, kamar Narendra hanya berisikan tempat tidur, tanpa lemari atau bahkan meja kerja yang dia butuhkan.

"Kakimu ... sudah baik-baik saja?"

Kepala Inara sontak mendongak, terlihat Narendra telah berdiri di hadapannya. Salah satu tangannya memegang plastik berisi es lain. Menemukan Narendra mengenakkan pakaian rumahan; kaos oblong putih dengan celana khaki selutut berhasil membuat Inara canggung. Dia bahkan tanpa sadar menelan ludah dan kehilangan kata-kata di kepalanya.

Inara mengangguk.

Perlahan Narendra duduk di sisi Inara. Diambilnya plastik di kaki Inara, lalu menggantinya dengan plastik baru yang dibawanya.

"Jangan ceroboh," peringatnya. "Saya jadi tidak tega membuat kamu harus berjalan besok."

Inara meringis. Gadis itu juga sama bingungnya, bagaimana mereka besok. Mereka sepakat untuk berangkat-pulang bersama agar Inara bisa berhemat, tapi pasalnya Inara tidak memungkinkan berjalan seperti pagi tadi. Kalau harus turun bersama Narendra di parkiran, Inara jelas menolaknya mentah-mentah.

Pada akhirnya gadis itu menghela napas, dia harus kembali dengan kebiasaan lama. Lagipula ojek online di Bali juga sudah gampang. Bertahan satu sampai dua hari atau sampai kakinya sembuh juga tidak akan merugikan siapa-siapa, paling merugikan gaji Inara saja.

"It's okay, masih ada ojek online ... sampai sembuh, Re."

Tangan Inara refleks menyentuh lengan Narendra, membuat pria itu seketika menoleh padanya. Sesaat mata mereka bersirobok di udara. Sekali lagi Inara menelan ludah. Kecanggungan terasa semakin kental, mau tidak mau membuat Inara menarik tangannya. Inara berusaha mengalihkan tatapannya, tapi tidak dengan Narendra. Pria itu malah terus menatap tajam Inara. Ekspresinya terlihat sedang berpikir keras. Lama sekali, hingga akhirnya Narendra mengangguk setuju.

Beberapa saat suasana kembali hening. Televisi memang menyala dengan volume kecil, namun itu tidak bisa mengisi kekosongan di antara keduanya. Canggung serta sedikit tidak nyaman bagi Inara. Inara memang sering ditinggal berdua dengan kak Ivan, tapi jelas kak Ivan serta Narendra berbeda. Kak Ivan bahkan tidak pernah begitu memperhatikan Inara seperti yang Narendra lakukan, padahal pria itu adalah kakak kandungnya.

"Re ...." Inara memulai pembicaraan. Narendra kembali menoleh. "Kamu nggak canggung? Maksud saya ... kamu bos saya."

Tanpa berpikir panjang, Narendra mengangguk singkat. Pria itu kembali mengalihkan perhatiannya pada televisi. "Canggung, tapi nanti juga terbiasa. Kita sering bersama setelah jam pulang kantor. Hari ini juga adalah hari ketiga saya tidur di rumah kamu."

Inara melemparkan cengiran, terlalu bingung memulai obrolan lain dengan Narendra saat ini. Pria itu melirik ke arah kakinya. Tangannya terangkat begitu saja untuk membenarkan letak kantong es yang miring di kaki Inara.

"Saya tahu kamu masih merasa tidak aman dengan keberadaan saya." Narendra mulai berbicara. Kini dia memilih menatap lekat-lekat Inara dan hal ini jelas membuat gadis itu berdebar. "Itu wajar, Ra. Apalagi kita sudah sama-sama dewasa."

Tiba-tiba tangan Narendra yang bebas menunjuk sesuatu di belakang tubuh Inara. Gadis itu sontak menengadah mengikuti arah tunjuk Narendra.

"Kamar kamu." Tangannya lalu menunjuk lantai atas. "Dan kamar saya adalah wilayah pribadi, tempat aman masing-masing. Di antara kita, tidak boleh ada yang masuk begitu saja kecuali diizinkan atau ada hal mendesak."

"Hal mendesak?" alis Inara seketika mengernyit. Narendra mengangguk singkat.

"Contohnya, jam harusnya kamu bangun tapi kamu belum bangun. Saya sudah ketuk pintu kamar kamu berulang kali, tapi tidak ada jawaban. Mau nggak mau saya harus masuk untuk memastikan kamu ada di dalam atau kamu baik-baik saja di dalam."

Kali ini Inara mengangguk mengerti.

"Lalu area selain kamar adalah milik umum. Bagaimana? Ah satu lagi, jika kamu merasa saya sudah melebihi batas saya terhadap kamu, kamu berhak untuk mengusir saya."

Sejenak Inara terdiam menatap Narendra. Memikirkan baik-baik untung-rugi dari segala kesepakatan yang telah mereka buat hingga saat ini. Hanya saja menemukan Narendra tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan, Inara seperti tersihir. Heran, segala omongan Narendra seolah harus gadis itu turuti tanpa pikir panjang.

Kali ini tanpa keraguan, Inara membalas jabat tangan Narendra. Mereka berjabat tangan erat sembari melempar senyum.

"Deal, housemate?"

Inara terkekeh pelan. "Deal, housemate!"

*****

Rasanya Inara tidak lagi menyesali keputusannya memasuki bar dengan pakaian kerja; celana kain merah, kaos putih yang dibalut dengan blazer senada dengan celananya serta sneakers putih. Sejak kakinya terkilir, gadis itu tidak lagi bisa mengenakkan heelsnya.

Sore ini Narendra tiba-tiba saja mengajaknya ke daerah uluwatu. Pria itu tidak banyak bicara hanya terus mengemudi sambil berbincang, menghindari topik tujuan mereka. Hingga mobil berhenti tepat di depan bar, seketika Inara menolak masuk. Apalagi saat melihat para gadis yang mondar-mandir mengenakkan pakaian modis. Tapi Narendra adalah Narendra, perintahnya tidak pernah bisa Inara tolak.

Begitu pelayan mengantarkan ke meja yang telah Narendra pesan, seketika Inara berdecak kagum. Tempatnya mungkin tidak sebesar bar-bar pada umumnya di daerah yang sama, hanya saja suasananya terkesan sangat hangat. Musik country mengalun lembut melalui speakers. Lampu-lampu hias di dekorasi memenuhi langit-langit restoran. Tapi yang Inara sangat suka adalah sebuah meja panjang yang di atur memanjang dan mengikuti pinggiran tebing, sengaja agar para tamu mendapatkan pemandangan laut lepas yang membentang.

"Cantiknya ...." Gumam Inara tanpa sadar saat melihat langit yang mulai keemasan. Salah satu tangannya terangkat untuk menyesap mocktail, tidak ada kopi sore ini. "Ini senja terbaik."

"Benarkah?"

Kepala Inara sontak menoleh pada Narendra. Pria itu duduk di sampingnya. Punggungnya bersandar nyaman pada kursi kayu. Jari-jarinya memainkan gelas mocktailnya, sementara tatapannya tertuju pada Inara. Sekalipun Narendra terlihat berantakan dengan rambut acak-acakkan dan melepaskan jas serta dasinya, pria itu tetap terlihat menakjubkan. Untuk sesaat Inara mengutuki pikirannya terhadap Narendra.

Buru-buru gadis itu berdeham pelan, lalu mengangguk pelan. "Tentu saja .... Terima kasih sudah mengajak saya ke sini."

Mata mereka bersirobok di udara. Kali ini Narendra yang memutuskan kontak mata pertama kali. Pria itu tiba-tiba beranjak dari kursi dengan ekspresi tidak terbaca. "Saya ke toilet dulu."

Inara hanya mengangguk.

Perhatiannya kembali pada pemandangan indah di depannya. Beberapa hari bersama Narendra, perasaan Inara sangatlah baik meskipun ada insiden kaki terkilir. Berkat Narendra pula, Inara tidak merasakan kesepian. Dia bahkan melupakan kesedihannya terhadap Robi, sekalipun itu tidak terjadi saat Inara sendirian di kamarnya. Tapi sedikit banyak, Inara menyadari bahwa kebersamaannya dengan bosnya sangatlah menyenangkan.

Getaran kencang dari dalam tas tangannya berhasil mengalihkan perhatian Inara. Buru-buru dibukanya tas, lalu dirogohnya benda tersebut untuk mengambil ponselnya. Begitu ponsel terambil dan nama Robi muncul di layar, seketika tubuh Inara membeku.

Sejak hari di mana Inara mendapati Sherly di apartemen Robi, pria itu tidak sekalipun berusaha menghubunginya. Lalu kini, dia menelponnya. Jari Inara rasanya gatal sekali untuk menekan tombol hijau. Dia merindukan suara berat pria itu.

Baru saja Inara hendak mengangkatnya, seseorang tiba-tiba menarik paksa ponsel Inara. Sontak gadis itu mendongak, mendapati Narendra menjulang dengan ponsel miliknya. Pria itu memperlihatkan layar ponsel Inara, lalu dengan sengaja menekan tombol merah.

"Saya melarang keras kamu ... mengangkat panggilan ini," perintahnya seraya menduduki kursinya kembali.

Pria itu memutar badan menghadap Inara. "Kamu mau bahagia, maka bukan Robi sumber kebahagiaan kamu, Ara. Lihatlah ekspresimu barusan saat melihat nama Robi ... tidak bahagia, menderita, dan pucat. Ra, ingat tujuan kamu, tujuan kita."

Kata-kata Narendra jelas membungkam Inara. Narendra benar saat mengatakan bahwa melihat nama Robi kembali, Inara ketakutan. Bagaimana jika dia kalah dan kembali terjebak dengan perasaannya? Cinta bertepuk sebelah tangan tidak pernah menyenangkan, malah membuatnya semakin sengsara dan menyedihkan.

"Kita sudah sepakat, bahwa kamu harus melepaskan Robi, bukan? Jadi, saya rasa kamu harus menghindarinya dalam waktu yang sangat lama. Setidaknya sampai kamu siap melihatnya tanpa sakit hati."

Menyadari Inara tidak juga merespon, Narendra segera berinisiatif sendiri. Pria itu mengutik cepat ponsel Inara hingga masuk passcode. Menyadari hal itu, Inara berbisik pelan. Meskipun tidak tahu apa yang akan Narendra perbuat dengan ponselnya, tapi Inara percaya saja dengan Narendra. "Dua-dua-satu-satu."

"Ulang tahun kamu, Ra?" tanyanya sambil melirik Inara, sementara tangannya sibuk mengutik ponsel tersebut.

Inara mengangguk pelan, membuat Narendra terkekeh pelan. "Ulang tahun kita beda sebulan rupanya, saya ... dua-dua oktober."

Sayangnya Inara tidak menjawab. Perhatiannya malah tertuju lurus pada Narendra yang terus mengutik ponselnya hingga memasuki pengaturan ponsel. "Kamu ... ngapain?"

"Saya block nomor Robi, Ra," balasnya pada akhirnya sembari mengembalikan ponsel pada Inara. "Cara ini lebih mudah untuk kamu menghindarinya. Katanya, lebih baik pergi tanpa pamit, jadi lakukan saja jika itu membuat kamu nyaman."

Narendra mengangguk pelan. Salah satu tangannya terangkat, lalu mengusap pundak Inara. Menyadari perbuatannya sedikit melukai Inara, Narendra kembali bergumam pelan.

"Ra, cara untuk bahagia adalah menghindari kesedihan. Saya tahu, pria itu membuatmu sedih makanya saya bantu kamu menghindarinya. Saya juga tahu, kamu menyukai senja makanya saya mengajakmu melihat senja."

Kali ini tatapan Inara beralih menatap senja. Perasaannya berkecamuk, antara sedih dan juga lega. Hanya saja, ketika merasakan usapan lembut Narendra pada bahunya, entah mengapa dia kembali yakin bahwa keputusan ini akan membuatnya baik-baik saja kedepannya.

*****

Keheningan seketika tergantikan ributnya air saat Narendra menyalakan keran. Segera saja dimasukkannya peralatan makan kotor ke dalam wastafel cuci, sebelum akhirnya pria itu mencuci piring.

Hidupnya bersama dengan Inara berisikan banyak sekali kesepakatan. Selain untuk membuat gadis itu nyaman, Narendra juga tidak ingin Inara kerepotan. Pekerjaan domestik salah satu contoh kesepakatan mereka. Narendra tidak tega membiarkan Inara terus yang membersihkan rumah, lagipula di rumah ini mereka tinggal bersama. Agar adil, mereka melakukan pekerjaan domestik secara bergantian.

Sementara Inara sedang mandi di kamarnya, maka Narendra mencuci piring. Gadis itu berjanji akan menemani Narendra menonton film malam ini. Sejujurnya, Narendra merasa sedikit asing ketika membayangkan seseorang duduk di sampingnya saat menonton film, karena selama ini Narendra selalu menonton sendirian.

Suara bel rumah seketika menghentikan aktifitas Narendra. Diliriknya jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Alisnya mengernyit, mempertanyakan orang gila mana yang bertamu semalam ini. Bahkan Narendra yakin, Pak RT tidak akan melakukannya.

Hanya saja, saking terburunya mematikan keran air, Narendra tidak menyadari bahwa dia memutar keran ke arah yang salah. Air terciprat kencang ke arah Narendra, membuat pakaian pria itu basah kuyup. Pria itu mendengus kesal, terpaksa dia harus melepaskan kaosnya dan jadi setengah telanjang. Kalau sudah begini, Narendra harus menyerahkan tamu pada si empunya rumah karena dia harus kembali ke kamar untuk berganti pakaian.

Dilemparnya baju kotor ke keranjang pakaian kotor, sebelum akhirnya menuju kamar Inara. Sambil mengetuk, pria itu berteriak. "Ra, ada tamu tuh!"

Tidak ada jawaban. Berkali-kali Narendra berteriak sambil mengetuk, tapi Inara tidak juga menjawab. Sepertinya dia masih mandi, batinnya.

Bel rumah mulai terdengar semakin tidak sabaran, membuat Narendra mendesah. Buru-buru dia mendatangi pintu, melupakan bahwa keadaannya yang setengah telanjang sekarang.

"What the f—" suara makian terdengar begitu Narendra membuka pintu.

Wajah Robi kini berhadapan tepat di depan wajah Narendra. Narendra terkejut sesaat, namun pria itu dengan cepat memasang ekspresi datarnya. Narendra tidak paham maksud kedatangan Robi ke sini malam-malam. Setelah meneror Inara melalui telepon, lalu untuk apa Robi datang jika memang Inara menolak untuk berbicara. Narendra juga yakin, jika Inara dan Robi bertemu nanti, gadis itu pasti akan kembali kacau menangis.

"Siapa, Re?"

Sontak Narendra menoleh menuju sumber suara. Inara terlihat baru keluar dari kamarnya dengan pakaian rumahnya; kaos putih kebesaran serta celana training abu-abu. Rambut basahnya jelas menunjukkan bahwa dia memang baru selesai mandi. Keadaan Inara yang seperti ini seketika memunculkan ide di kepala Narendra.

"Ro ... bi?" suara Inara terdengar terkejut.

Menyadari bahwa Inara begitu dekat dengannya, Narendra refleks merangkul Inara. Menarik gadis itu mendekati tubuh setengah telanjangnya.

"Bisakah kamu mengusir temanmu dan mengatakan bahwa kamu sedang tidak ingin diganggu malam ini, Sayang?"

Kepala Inara sontak mendongak. Matanya melotot lebar, bahkan tubuhnya ikut membeku mendengar ucapan Narendra. Namun, sebuah kedipan dari Narendra, berhasil membuat Inara memahami drama apa yang sedang pria itu mainkan.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top