HEALING #1

I told her, "Thinking is all wrong
Love will happen when it wants
I know it hurts sometimes, but don't let it go"

(Pink Sweat$ - Honesty)

*****

Dalam diam, keduanya berjalan menuju apartemen Narendra. Pria itu melirik sekilas jam tangannya, sudah pukul sebelas malam. Larut, tapi Inara tidak ingin menunda kesepakatan apa pun yang telah mereka buat.

Saat Inara memintanya tinggal saat itu juga, sesaat Narendra ragu. Melihat Inara yang histeris di dalam pelukannya tadi, pikiran buruk memenuhi kepalanya. Narendra mendadak tidak percaya diri untuk memberikan rasa aman pada Inara. Dia tidak menampik, Inara mampu menciptakan rasa nyaman serta kenyataan bahwa mereka lawan jenis dan Narendra memiliki nafsu pada seorang wanita.

Namun, ketika Inara mengatakan bahwa dia ingin bahagia. Sorot mata yang penuh tekad, Narendra tidak bisa mundur. Pria sejati itu yang dipegang omongannya, maka Narendra harus bertanggung jawab atas apa yang telah dia ucapkan dan janjikan.

"Welcome to my home."

Narendra memecahkan keheningan seraya membuka pintu apartemen. Pemandangan pertama adalah ruang tamu besar lengkap dengan home theater mini. Sengaja Narendra membeli sofa bed berukuran besar, karena dia suka menghabiskan waktu luang untuk menonton. Sayang, itu dulu karena kini film tidak mampu mengalihkan kesepiannya. Makanya sofa bed itu hampir tidak pernah dia duduki.

Tanpa berbasa-basi, Naredra segera berbelok memasuki lorong kecil menuju ruangan di ujung sana. Sisi kiri lorong ada dapur sederhana yang hanya dia gunakan saat pagi hari serta larut malam. Demi memanfaatkan tempat, Narendra tidak menaruh meja makan dan digantikan mini bar yang bersatu dengan kabinet. Sedangkan sisi kanannya ada pintu tertutup lainnya, kamar mandi.

Sesampainya di depan pintu kamar, Narendra berhenti. Pria itu memutar badan menghadap Inara, membuat perhatian gadis itu pada sekitarannya terhenti. Ini dilakukan Narendra karena bagaimanapun kamar adalah wilayah pribadinya. Bukan tidak mengizinkan masuk, hanya saja Narendra tidak ingin membuat Inara canggung.

"Inara, ini kamar saya," jelasnya. "Kamu tunggu di ruang tamu saja."

Inara menggeleng cepat. "Saya bantuin biar cepat packing-nya."

"Inara, bukan saya nggak kasih izin tapi kan saya mau packing. Kalau kamu lihat hal yang nggak ingin kamu lihat, saya nggak mau kamu teriak-teriak."

Gadis itu melongoh sejenak, namun dengan cepat menguasai situasi. Sekali lagi dia menggeleng, masih kukuh menolak. "Itu terakhir saja, Re, bagian kamu. Biar saya bisa bantuin, boleh ya?"

Tanpa sadar Narendra menghela napas, lalu mengangguk pelan. Pria itu tidak mengerti, bagaimana dia jadi begitu menurut kepada Inara. Pada akhirnya, Narendra mendorong pintu kamar. Sama halnya di ruang tamu, ruangan ini tidak banyak perabotan. Lemari di sisi dekat pintu. Tempat tidur berukuran besar di tengah ruangan dengan nakas di kedua sisinya. Meja kerja di dekat jendela kamar serta rak buku kecil yang penuh di sudut kosong. Minimalis dan terlihat nyaman, tapi hanya dia tempati beberapa jam setiap harinya.

Narendra bergegas menuju lemari pakaian. Diturunkan koper dari atas lemari, lalu digelar di atas tempat tidur. Segera saja Narendra membuka lemari, bersiap untuk memindahkan isinya ke dalam koper.

"Apartemen kamu besar dan bagus, Re. Kenapa nggak saya aja yang pindah ke sini?"

Gumaman Inara berhasil menghentikan gerakkan Narendra. Kepalanya menoleh menuju Inara yang kini sedang duduk di samping koper sambil menatapnya. Narendra mengangguk singkat dengan wajah datar. "Boleh saja, tapi saya nikahin kamu dulu, ya. Di sini hanya ada satu kamar."

Jawaban Narendra sontak membuat Inara tersipu. Dengan cepat Narendra membalikkan wajahnya, menutupi tawa tertahannya di balik pintu lemari. Ekspresi yang Inara tunjukkan tadi benar-benar lucu, harusnya Inara melihatnya.

Tiba-tiba suara dehaman keras menarik perhatiannya. Lagi-lagi Narendra menoleh dan mendapati Inara telah berdiri di dekat ranjang.

"Kayaknya ... kayaknya ... saya di luar aja deh."

Narendra mengangguk setuju. Namun, sebelum gadis itu beranjak, sekali lagi Narendra memanggil namanya. Sepertinya Narendra harus meluruskan candaannya barusan. "Kamu tenang saja, Ra. Untuk saat ini, saya belum ingin menikah. Mungkin di kemudian hari, saya tidak akan pernah ingin menikah."

Hanya anggukan balasan Inara, lalu beranjak. Namun tepat di ambang pintu, Inara berhenti. Tanpa menoleh, dia memanggil Narendra. Pria itu kini hanya menatap punggung Inara.

"Sejujurnya, saya tidak suka mendengar bahwa kamu tidak ingin menikah. Kamu boleh sedih, boleh kecewa, tapi bukan berarti memilih untuk menghabiskan hidupmu seorang diri. Life is too beautiful to spend it alone, Naren."

Pintu lalu ditutup begitu saja oleh Inara, meninggalkan Narendra sendirian dengan pekerjaan serta pikiran rumitnya. Sejak dulu pernikahan adalah mimpi buruk, apalagi Narendra tidak memiliki figur hubungan pernikahan yang baik. Hanya saja, melihat Inara barusan, entah mengapa bayangan pernikahan sekelebat muncul di kepalanya.

*****

"Tunggu, tunggu!" teriak Inara sambil berlari menuju lift kantor yang hendak menutup.

Dengan cepat, orang di dalam lift menahan pintu lift hingga kembali terbuka. Gadis itu segera menerjang masuk sembari mengangkat wajahnya. Untuk sesaat mata mereka bersirobok di udara. Keheningan langsung menyelimuti keduanya begitu pintu tertutup, apalagi hanya ada mereka berdua di dalam. Narendra lah yang pertama kali sadar, segera saja dia mengalihkan pandangannya untuk menekan lantai tujuan mereka.

"Lama sekali," gumam pria itu.

Inara berjalan mendekat, mensejajarkan diri dengan Narendra. Senyum tipisnya tersungging. "Heels akan selalu menjadi alasan seorang wanita berjalan lambat, Pak."

Kali ini Narendra memilih tidak membalas.

Narendra dan Inara telah sepakat untuk merahasiakan hubungan apa pun yang mereka miliki. Narendra jelas tidak ingin kesan yang telah dia bangun selama dua tahun terakhir rusak karena anak baru bernama Inara. Inara, gadis itu juga tidak ingin orang-orang kantor menggunjingnya, apalagi sampai berpikiran buruk mengenai kedekatan mereka. Keduanya hanya ingin kedamaian di kantor, bukan mendengar gosip tidak sedap yang malah membuat sakit kepala. Makanya Narendra terpaksa menurunkan Inara di restoran fast food terdekat. Baru setelah Inara berjalan, Narendra segera mendahului. Efisien dan tidak menimbulkan kecurigaan.

Lift berdenting tepat di lantai tujuh. Lobi KickAds menjadi pemandangan pertama. Bergegas Narendra mendahului, disusul dengan Inara. Gadis itu berpura-pura menunduk, hingga tidak menyadari bahwa Narendra baru saja menyunggingkan senyum pada pegawainya. Hal aneh dan sangat jarang atau bahkan tidak pernah terjadi.

"Oh, gosh!"

Refleks, Inara mendongak. Rose berdiri di samping lobi. Hari ini tema gadis itu adalah Rose gold; rambut bergelombang panjangnya dicat rose gold, kemeja panjang putih, serta rok pensil selutut yang memiliki warna senada dengan rambutnya, dan tidak melupakan heels putihnya. Terlihat begitu memukau, jauh berbeda dengan Inara. Gadis itu hanya mengenakan turtleneck hitam, celana sama hitamnya, blazer abu-abu, serta heels sama hitamnya. Inara bahkan terlihat membosankan.

Ekspresi terkejut Rose jelas menarik perhatian Inara. "Rose!"

Rose sontak menoleh. Dia berjalan mendekat. Ekspresinya tidak berubah, bahkan kini dia mengangkat ibu jarinya sambil menunjuk ruang kaca tempat ruangan Narendra berada.

"Lo lihat tadi?"

Inara mengernyit sambil menggeleng. "Lihat apa?"

"Oh, my God! Did you see that? Pak Nara senyum, gila nggak?"

Kini Inara jelas semakin bingung. Senyum Narendra adalah hal biasa bagi Inara.

Lama dia memandang Rose, seketika dia menyadari kebodohannya. Narendra di kantor dan Narendra di luar kantor sangatlah berbeda. Apalagi Narendra yang selalu bersamanya. Senyum adalah hal langkah yang Narendra tunjukkan.

"Aku nggak lihat sih tadi. Masa sih senyum? Bukannya Pak Nara nggak pernah senyum?" dustanya. Bergegas dia berjalan mendahului Rose demi menutupi suaranya yang tiba-tiba terdengar aneh karena berbohong.

"Exactly!" teriak Rose di belakangnya. "Makanya aku shock lihat pak Nara senyum. Dia ... beda!"

"Mungkin suasana hatinya sedang bahagia sekarang."

Hanya saja Inara tidak bisa menutupi betapa senang dia mendengarnya. Meskipun pria itu terpaksa tidur di sofa bed karena lantai dua belum siap, tapi itu tidak membuat pria itu kesal apalagi cemberut. Malah seingat Inara, Narendra tidak pernah berhenti berbicara saat sarapan tadi dan itu cukup menyenangkan bagi Inara.

"Kerja setahun sama dia, moodnya baru bagus hari ini? Well, that's insane! Kalaupun iya, gue penasaran siapa atau apa yang bikin suasana hatinya sebaik itu. Hebat banget bisa membuat Pak Nara yang selalu dingin, menjadi sedikit ... hangat."

Inara berhenti tepat di kubikelnya. Ditaruhnya tas di meja. Kepalanya tanpa sadar terangkat menuju ke arah ruangan Narendra. Pria itu tidak terlihat, terlalu jauh.

Hanya saja kata-kata Rose terdengar menyenangkan. Jika memang keadaan mereka ini mampu membuat Narendra mulai tersenyum, itu artinya Narendra sedikit demi sedikit menemukan kebahagiaannya. Rasanya Inara tidak sabar menemukan kebahagiaannya juga.

*****

Tidak ada orang seaneh Narendra sore ini. Senyum pria itu tersungging lebar di balik kemudinya, padahal sedang terjebak kemacetan tanpa henti. Suasana hatinya pun juga sangat-sangat baik hingga tanpa sengaja beberapa kali melempar senyuman pada pegawainya.

Pria itu melirik sekilas gadis di sampingnya, Inara. Dia tengah menatap jalanan. Mulutnya bersenandung pelan mengikuti alunan lagu dari radio. Karena Inara, inilah pertama kalinya Narendra keluar kantor tepat saat jam pulang kerja dan tidak berniat kembali lagi ke sana sampai besok pagi.

Begitu lampu merah berubah hijau, Narendra segera tancap gap. Menyadari bahwa mobil berbelok ke arah yang berlawanan dari rumah, Inara menoleh. "Kok belok kanan?"

Lagi-lagi diliriknya Inara, tanpa mengucapkan apa pun. Pria itu meletakkan jari di depan bibirnya, menyuruh Inara diam. Menyadari bahwa Narendra tidak akan menjelaskan, pada akhirnya Inara memilih kembali fokus ke jalanan. Tidak sampai sepuluh menit kemudian, mobil telah terparkir.

"Ngapain ke toko perabotan?" tanya Inara yang langsung membuat Narendra menatap aneh gadis itu.

"Saya kan nggak mungkin tidur di sofa setiap hari, Inara. Kamu kemarin bilang, lantai dua kosong melompong. Jadi, saya memutuskan untuk beli saja. Ayo turun!"

"Oh! Benar juga." Gadis itu terkekeh pelan seraya mengikuti Narendra menuruni mobi.

Inara bergegas berlari mengejar Narendra dan mensejajarkan langkah mereka. Satpam yang bertugas segera membukakan pintu sembari menyambut hangat kedatangan mereka.

Perabotan ruang tamu langsung disuguhkan begitu mereka masuk; sofa dengan berbagai jenis, ukuran dan warna, nakas, lampu meja maupun lampu berdiri, dan segala hal yang biasa ditemukan di ruang tamu. Bukan hanya itu saja, setiap perabotan ditata seapik mungkin agar terlihat selayaknya di ruang tamu sungguhan dengan berbagai tema.

"Haruskah saya mengganti sofa rumah?"

Narendra kembali bersuara. Refleks, Inara menoleh dengan alis mengernyit. "Kenapa dengan sofa di rumah?"

"Terlalu pendek, Ra. Agak keras juga. Saya nggak mau encok di umur segini."

Lama Inara berpikir sambil memperhatikan sofa-sofa yang berderet. Pada akhirnya gadis itu mengangguk setuju. "Terserah saja."

Keduanya pun segera mendatangi sofa bed yang dipajang. Melihat-lihat serta merasakan keempukkan setiap sofa. Begitu menemukan yang cocok, keduanya segera beralih menuju ke tujuan utama, perabotan kamar Narendra.

Lantai dua rumah Inara hanya berisikan tiga bagian; kamar tidur dengan kamar mandi dalam, sedikit lahan untuk ruang serba guna, serta balkon kecil. Narendra bersyukur tidak banyak barang yang perlu dibeli, terpenting adalah kamar.

"Ada yang bisa kami bantu, Pak, Bu?" Sebuah suara tiba-tiba menyela keduanya. Seorang pria dengan seragam toko telah berdiri di dekat mereka. Wajahnya memasang senyum ramah.

Narendra langsung menunjuk beberapa king size bed yang terpajang di hadapannya. "Mana yang terbaik?"

Pramuniaga tersebut tidak langsung menjawab, tapi malah memperhatikan Inara dan Narendra bergantian. Tidak lama, pramuniaga berjalan menuju ke arah king size bed yang terlihat paling besar, paling cantik dengan desain rumit pada headboardnya, serta mungkin paling nyaman.

"Ini bed terbaik dari yang terbaik, Pak. Sebagai pengantin baru pasti kalian butuh bed yang kukuh, bukan? Jadi saya merekomendasikan ini," ucapnya seraya mengangkat jempol. "Bed ini juga kuat guncangan, meskipun ada goyangan kuat di atasnya."

Seketika Narendra melongo mendengar penjelasan pramuniaga tersebut. Otak bersihnya mendadak kotor, apalagi tanpa sadar dia melirik Inara. Gadis itu sepertinya memahami maksud pramuniaga ini karena pipinya merona.

"Bli, kami—"

"Aduh!" teriakan Inara sontak menghentikan penjelasan yang hendak Narendra berikan.

Kepalanya menoleh, Inara kini tiba-tiba terduduk di salah satu bed di belakangnya. Tangannya memegang pergelangan sambil memijatnya. Ekspresi kesakitan juga terlihat jelas di wajahnya. Narendra langsung berlutut di depan Inara sembari ikut menyentuh kaki gadis itu.

"Kamu baik-baik saja?"

"Terkilir, kayaknya ... heels-nya, Re."

Narendra berdecak pelan. Buru-buru dilepasnya heels Inara sambil menggeleng tidak percaya. Pria itu sudah mengingatkan Inara untuk tidak mengenakkan heels tinggi. Selain karena gadis itu harus berjalan cukup jauh untuk sampai kantor, tapi juga karena Inara jadi hampir setinggi dirinya.

Tangan Narendra menyentuh pergelangan kaki Inara, lagi-lagi gadis itu mengaduh pelan. "Kan tadi sudah bilang, jangan pakai heels tinggi!"

"Maaf, Re."

"Kalau bengkak nanti susah jalannya, Ra."

"Iya ... maaf, Re."

Inara terus meminta maaf mendengar rentetan omelan Narendra. Untungnya pramuniaga tadi segera memberikan Narendra minyak oles untuk pertolong pertama. Dipijatnya pelan kaki Inara sambil berpikir. Narendra tidak mungkin mengulur waktu untuk membeli bed yang dia butuhkan, tapi tidak mungkin memaksa Inara untuk kembali berjalan.

"Bli," panggil Narendra sambil terus memijat pergelangan kaki Inara. Tidak ada pilihan lain.

"Ya, Pak?"

"Kami ambil bed yang kamu sarankan tadi. Kalau saya masih merasakan guncangan pada bed, saya balikkan ke toko!"

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top