Extra Part #1
Agak tertatih, Inara berjalan dari dapur menuju ruang tamu. Ada secangkir kopi yang di tangannya. Sembari menduduki sofa bed, Inara menaruh kopinya di meja. Barulah dia menyelonjorkan kaki-kakinya dan juga merebahkan punggung. Kehamilan yang sudah memasuki sembilan bulan membuatnya sulit bergerak, apalagi berjalan.
Sesaat wanita itu mengedarkan pandang. Ini bukan rumahnya di Bali, melainkan apartemen Narendra. Mengingat rumah itu cukup besar dan Inara cepat lelah saat bergerak, memaksanya dan sang suami pindah ke sini. Sekalian saja, Narendra akan merenovasi rumah itu dengan tambahan kamar bayi.
Baru juga hendak memejamkan mata, suara pintu terbuka mengalihkannya. Refleks, Inara menoleh. Senyum lebar wanita itu tersungging tatkala menemukan Narendra berdiri di depan pintu. Tampak santai dengan polo hitam dan celana jeans. Tangan sang suami menenteng satu plastik besar kotak makanan.
"Ra, I'm home," sapa Narendra seraya berdekat.
"Re," balas Inara. "Ayam betutuku sudah datang!"
Seketika Narendra berubah cemberut. Harusnya mendekati Inara, pria itu malah berbelok begitu saja menuju dapur. Cukup lama, akhirnya dia kembali. Ada beberapa piring yang dia angkut ke meja kopi.
"Serius nih, kamu lebih tertarik sama ayam betutu daripada suami kamu?" protes Narendra seraya menduduki sofa di sisi Inara.
Inara tergelak, lalu mengangguk. "Laper, Re. Habisnya kamu lama banget, padahal restorannya di ujung jalan sana."
"Ini minggu, Ra, mana ada tempat makan di Kuta yang sepi."
Meski tampak kesal, tapi Narendra tetap menyiapkan makanan Inara. Memindahkan nasi ke piring dan juga ayam betutu ke piring. Tanpa sambal karena sejak hamil, perut Inara mulai sensitif terhadap pedas.
"Makan yang banyak, Ra," bisik Narendra.
"Sebagai bentuk terima kasih untuk suamiku." Inara menunjuk cangkir di meja. "Aku sengaja buatin kamu kopi."
"Ah ...." Senyum lebar Narendra akhirnya mengembang. Diraihnya cangkir kopinya. Dihirupnya aroma kafein yang menguar. Lalu, melirik Inara dengan sorot penuh rasa yang tak pernah berubah sejak dulu. "Terima kasih. Aku akan selalu menyukai perpaduan kamu, kopi, senja, dan kantor, Ra."
Inara hanya tersenyum kecil. Sekarang, dua-duanya sibuk dengan makanan dan minuman di tangan masing-masing.
Cukup lama keheningan nyaman menyelimuti mereka, akhirnya piring kosong sudah berpindah ke meja kopi. Di sebelahnya, ada cangkir kopi Narendra juga sudah tersisa ampasnya.
Tiba-tiba saja Inara meremas lengan Narendra, lalu berkata lirih, "Aku juga akan selalu menyukai momen-momen aku galau Robi."
"Ra!" Seketika Narendra memelotot. Menambah girang diri Inara karena berhasil membuat sang suami sebal akibat cinta masa lalunya. "Kayaknya bentar doang kamu galauin Robinya, sisanya kamu kan pelan-pelan aku taklukan."
"Iya, iya, Pak Suami. Aku lebih banyak kena sihir kamu daripada mikirin Robi." Inara mendesah panjang. "Sayangnya, kita udah nggak bisa melakukan kegiatan itu bersama di kantor kayak dulu. Aku bakalan kangen nih."
"Mau gimana lagi, Ra, besok hari terakhir kamu di kantor dan ... anak-anak bikin acara perpisahan."
Ekspresi wajah Inara berubah sendu. Dia tidak pernah berpikir harus resign dan berpisah dengan rutinitas serta anak-anak KickAds. Dia benci perpisahan. Namun, keadaannya dan Narendra yang hanya berdua di Bali, menyulitkan Inara untuk tetap bekerja.
"Ra, jangan sedih. Kita udah bicarain masalah resign ini berulang kali, loh."
Inara mengangguk. "Iya, Re, aku paham. Aku ... hanya bakal kehilangan hal yang kusukai, rutinitas kantor, anak-anak KickAds, terutama kamu yang sok-sokan galak padahal aslinya hangat banget. Aku juga takut ... kesepian." Air mata Inara mulai menitik. "Oh ... hormon!"
Narendra merangkul Inara. Merapatkan sang istri ke dalam pelukannya. "Kamu nggak akan kesepian, Ra. Setelah baby kita lahir, kamu bakal sangat sibuk dengannya. Cuma ... ini sisa seminggu dari due date, jadi aku sangat memaksa kamu untuk berhenti sekarang."
Perlahan Narendra melingkarkan tangannya kepada Inara. Mengusap puncak kepala wanita itu, lalu berbisik, "Semua akan baik-baik aja, Sayang. Aku berjanji sama kamu, aku ... nggak akan pernah biarin kamu kesepian."
Seketika senyum Inara tersunggi. Dibalasnya pelukan Narendra sama eratnya, lalu mengangguk. Karena Inara selalu mempercayai janji-janji yang suaminya itu berikan. Apa pun itu.
***
Senin sore yang berbeda di KickAds. Jika jarum jam menunjukan pukul 5 sore, maka semua pegawai akan serentak menuju area check lock. Kemudian, pulang ke rumah masing-masing. Saat ini, nyaris semua orang masih memilih tinggal padahal jam sudah menunjukan pukul enam petang.
Meja-meja di dekat ruangan Narendra disatukan. Penuh terisi berbagai macam makanan, kudapan, dan juga minuman yang Narendra belikan. Sayangnya, suaminya itu memilih bersembunyi di dalam kantornya. Memberikan Inara dan para karyawan KickAds untuk bersenang-senang tanpa perhatian dari sang bos.
"Jadi, kamu bener-bener resign dari sini, Ra?" tanya Naomi.
Teman samping kubikelnya itu menduduki kursi di sebelahnya. Inara benar-benar kesulitan bergerak, alhasil dia hanya duduk sepanjang hari sambil memperhatikan semua orang bergerak ke sana kemari.
Inara mengangguk lambat. "Ngurus anak, Mi."
"Berarti kamu bakal kembali sendirian di Bali dong? I mean ... Pak Nara kan nine to five di kantor, sementara kamu bakal di rumah jaga anak. Nggak bosen?"
"Ya nggak bener-bener sendirian, Naomi." Inara terkekeh sambil mengibaskan tangan. "Ada baby yang harus dijaga dan diurus. Itu tanggung jawabnya gede loh, seumur hidup. Lagi pula, Narendra udah janji nggak akan bikin aku kesepian dan aku selalu percaya sama dia."
"Ya Tuhan! Kalian tuh kelewatan romantis tau nggak! Envy gue." Naomi berdecak sebal. Namun, akhirnya menyunggingkan senyum. "Coba ya, Ra, kalau aku nggak mergokin kalian di Canggu malam itu, pasti gue sama clueless-nya kayak anak sekantor. Tahu-tahu aja kalian udah married dan lo udah bunting. Kamu sama Pak Nara hebat banget sembunyiin hubungan kalian."
"Sebenarnya nggak ditutupin si, Mi, tapi ngapain juga umbar-umbar kalau kami sepasang kekasih ataupun suami-istri. Lagian, aku kadang ketawa aja pas kalian judge Narendra bakal jadi perjaka tua ataupun gay. Serius, itu lucu banget."
"Sial!"
"Eh, Inara!" Tiba-tiba Rizki ikut bergabung dengan mereka. Ada segelas soda di tangannya. "Kok Pak Nara nggak ikutan nimbrung, sih?"
"Biar kalian nggak canggung kalau ada dia."
"Halah!" Naomi berdecak. "Bilang aja Pak Nara nggak mau kelihatan bucin ke istrinya."
Lagi-lagi Inara tergelak. Inilah yang membuat dia berat hati. Selain menemukan cinta, dia juga menemukan teman-teman yang satu frekuensi dengannya. Perpisahan tidak pernah mudah, apalagi bilang masih ingin bersama.
Ketika salah seorang temannya meminta Inara berdiri untuk mengucapkan kata-kata perpisahan, tiba-tiba wajahnya memucat. Peluh bercucuran di sekitar keningnya. Rasa sakit yang teramat seolah mencengkram sekitaran perutnya. Hingga teriakan seorang temannya, membuat Inara kembali duduk.
"Ra, kaki kamu!"
Seketika semua orang di sekitar Inara mulai berteriak-teriak. Memanggil nama Narendra. Tak lama, sosok suaminya itu berlutut di depannya. Kepanikan tampak jelas di matanya.
"Ra," panggilnya. Diliriknya kaki Inara. "Kamu ... mau melahirkan."
"Re, sakit," rengeknya.
Tanpa lagi berbicara, Narendra segera mengangkat tubuh Inara kuat-kuat. Mengabaikan berat badan istri hamilnya yang sudah naik berkali-kali lipat dari sebelumnya.
Semua orang di kantor bersorak memberikan Inara dan Narendra semangat untuk melahirkan anak mereka. Tepat sebelum lift tertutup, semua orang kompak berkata, "Selamat melahirkan keponakan kami, Inara."
***
Kelahiran dan kematian, dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Setiap kali ada kematian, maka akan ada kelahiran entah di mana pun itu. Kini, Narendra dan Inara tengah mempersiapkan kelahiran anak mereka. Dalam ruangan persalinan bersama dokter dan beberapa suster.
"Kamu bisa, Ra," bisik Narendra. Tangan pria itu semakin mengeratkan pegangannya pada Inara sebagai bentuk support suami pada istri.
Tanpa bisa dicegah, mata Narendra berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk. Antara terharu, tetapi juga bersalah karena melihat Inara menderita sementara dia tak bisa melakukan apa pun untuk mengurangi rasa sakit sang istri.
Hati Narendra terenyuh. Teriakan kesakitan terus keluar dari bibir Inara. Peluh membanjiri, padahal pendingin ruangan menyala. Napasnya putus-putus. Namun, istrinya tersebut terus berusaha sekuat tenaga untuk mengejan demi melahirkan anak mereka ke dunia.
"Kepalanya sudah keluar, Bu Inara," ucap Dokter. "Dorong sekali lagi dan sekuat tenaga. Mari kita temui anak kalian segera mungkin."
Inara menarik napas banyak-banyak, lalu berteriak kencang sambil mengejan kuat-kuat. Tak lama, suara tangisan bayi terdengar. Narendra tak bisa menahan diri, terlebih mendapati bayinya sedang digendong oleh dokter sekarang. Pertahanannya pecah dan air matanya menitik.
"Putri yang cantik, sehat, dan sangat sempurna, Pak Narendra, Bu Inara." Dokter kembali berbicara. Menunjukkan kelamin anak mereka, sebelum akhirnya menyerahkan bayi kepada salah seorang suster. "Kami bersihkan dulu bayi kalian dari darah. Setelah itu ... mari biarkan bayi kalian menyusu ke ibunya."
Begitu Dokter beranjak mengikut para suster, perhatian Narendra terpusat pada Inara. Istrinya itu sedang memejamkan mata. Napas dia masih tersengal. Ekspresinya sangat kelelahan. Namun, ada seulas senyum tipis di wajah. Puas.
"Inara, terima kasih," bisik Narendra. "Dan ... maaf."
Permintaan maaf Narendra berhasil menarik perhatian Inara. Wanita itu membuka mata. Mengernyitkan kening. Agak terbata, dia merespons, "Kenapa ... maaf?"
"Kamu kesakitan, Ra, dan aku ... nggak bisa berbuat apa pun buat bantuin kamu." Lagi-lagi air mata Narendra menitik. "Satu anak cukup ya, Ra. Aku bener-bener nggak mau lihat kamu sakit kayak gini. Aku tersiksa, Ra."
Inara terkekeh pelan. Salah satu tangannya terangkat untuk mengusap air mata Narendra yang mengaliri pipi pria itu. "Tadi itu emang sakit, Re, tapi ... aku mau ngerasain itu lagi. Ya nggak sekarang sih, sampai putri kita cukup besar untuk memiliki adik."
Namun, Narendra memilih untuk tidak merespons. Hanya mendekatkan wajahnya ke tangan Inara. Membiarkan istrinya itu mengusap puncak kepalanya untuk mengurangi rasa tegang yang dia rasakan selama beberapa menit terakhir.
Sekitar lima menit kemudian, dokter kembali. Meminta Inara untuk membuka kancing pakaiannya. Menaruh bayi tersebut ke atas dada Inara sambil membiarkan bayi mereka mencari-cari sumber makanan dan minumannya beberapa bulan ke depan.
"Re," panggil Inara begitu dokter pergi dan putri mereka sukses menemukan tempat minumnya. "Kamu mau namain putri kita siapa?"
"Naraya," balas Narendra. Tangannya begitu hati-hati menyentuh puncak kepala sang putri. "Another Nara in our family, Ra. Do you like it?"
"Nama yang indah."
Pelan tapi pasti Narendra merengkuh Inara dan Naraya dalam dekapannya. Mengecup puncak kepala sang istri, lalu beralih pada sang putri. Masih dengan mata berkaca-kaca penuh haru, pria itu berucap, "Aku bersyukur pada Tuhan atas pertemuan kita, Ra. Bagiku, kamu bukan hanya sekadar plester luka untuk masa laluku, tapi kamu juga pelengkap hidupku. Sekarang, setelah Naraya hadir, putri kita semakin melengkapi kita. Aku ... mencintaimu, Inara. Sepenuh hati. Terima kasih sudah memberikan akhir bahagia untukku."
Inara mendongak. Mengunci tatapan mereka di udara. "Ini bukan akhir bahagia, Re, tapi ini ... awal dari kebahagian-kebahagian lain untuk kita. Aku juga mencintaimu, Narendra."
Segera saja Narendra menyatukan bibirnya dengan milik Inara. Menyegel ungkapan cinta keduanya. Sekaligus sebagai penutup kisah ini dan awal kisah baru di buku lainnya. Kini keduanya lengkap dan semakin sempurna dengan adanya Naraya di tengah-tengah mereka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top