BLEEDING #3
No one even has to know
I'm dealing with it on my ownI got way too much time to be this hurt
Somebody help, it's getting worse
What do you do with a broken heart?
(LANY - Malibu Night)
***
Tengkuk Narendra terasa kaku. Berkali-kali dia memijat pelan bagian itu, sayangnya sama sekali tidak membantu. Kebiasaannya yang sudah berlangsung setiap hari selama dua tahun terakhir adalah penyebab utamanya pegal-pegalnya. Hanya saja niat untuk berhenti itu tidak pernah terealisasi, karena Narendra belum menemukan pelarian lain.
Langkah Narendra terhenti tepat di ambang pintu pantri. Alisnya mengernyit menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah satu siang. Biasanya jam-jam seperti ini pantri selalu sepi karena para pegawainya memilih makan siang di luar, hanya saja siang ini ada yang berbeda.
Ingatan seminggu yang lalu berputar, Narendra menyebutnya kesan di hari pertama. Kejadian di lift adalah awal perjumpaan keduanya dan itu cukup membekas di kepala Narendra. Bukan karena betapa konservatif pakaian yang gadis itu kenakan, melainkan sikap terlalu akrabnya itu.
Hanya saja siang ini Inara—kalau tidak salah ingat—tampak lebih sedap dipandang. Pakaian konservatifnya berganti dengan pakaian modern yang lebih sederhana; kemeja merah muda pastel dengan rok pensil selutut berwarna senada, serta sepatu heels hitam yang menambah kesan profesionalnya. Gadis itu kini sedang menekuni coffee maker di hadapannya. Tanpa sadar Narendra berdecak pelan, mempertanyakan matanya yang malah memperhatikan Inara sedetail itu.
Narendra kembali melanjutkan tujuannya menuju rak cangkir yang berada tepat di samping Inara. Saking seriusnya, gadis itu sepertinya tidak menyadari kehadiran Narendra. Melirik ke arahnya saja tidak.
"God!" teriak Inara tatkala mendengar suara berdeham Narendra.
Kepalanya refleks menoleh. Matanya seketika melebar menemukan sang bos berdiri di sampingnya. Rasa gugup langsung menjalari Inara, ketika insiden bodoh di lift kala itu berputar di kepala. Setelah sekian lama, hari ini adalah pertama kalinya mereka kembali terjebak berdua di dalam satu ruangan yang sama.
"Pak Nara," bisik Inara yang terdengar begitu jelas di telinga Narenda. Pria itu mengangguk singkat. Bersikap ramah, tersenyum serta banyak bicara dengan pegawainya bukanlah gaya Narendra.
"Mau saya buatkan kopi juga, Pak?" tawarnya ketika melirik cangkir di genggaman Narendra.
Sebagai pegawai yang memiliki kesan pertamanya yang buruk di mata bosnya, Inara sepantasnya bersikap lebih baik. Bukan menjadi penjilat, hanya berusaha memperbaiki citranya dan tidak segera dipecat begitu saja.
Narendra mengangguk singkat seraya menyodorkan cangkirnya. "Saya bukan pecinta kopi pahit," pesannya.
Tanpa membalas ucapan Narendra, Inara segera meraih cangkir tersebut. Di dalam keheningan, Inara bergegas meracikkan pesanan Narendra. Gadis itu menuangkan kopi yang sudah dibuatnya melalui coffee maker ke dalam cangkir Narendra. Dimasukkannya tiga sendok gula, lalu diaduknya sesaat.
Narendra mengernyit, semoga tidak terlalu manis. Biasanya dia hanya menambah satu atau setengah sendok teh gula, tapi ini terlalu banyak. Ingin dia hentikan, hanya saja gula itu sudah terlanjur masuk ke cangkirnya. Semua gerak-gerik gadis itu seolah tidak lepas dari perhatian Narendra.
Begitu kopi siap, Inara dengan segera menyodorkannya pada Narendra. Senyum tipisnya tersungging. "Maafkan tingkah saya pagi itu, Pak Nara. Saya benar-benar tidak tahu."
"Tidak masalah," jawabnya cepat seraya mengambil miliknya. "Thanks."
Inara mengangguk singkat sebagai balasan. Tanpa sadar kedua mata mereka bersirobok di udara.
"Nara!" Sebuah teriakan yang berasal dari pintu sontak mengalihkan tatapan keduanya.
Mereka berdua menoleh, mendapati Rose sudah berdiri di ambang pintu. Ekspresinya tampak terkejut, dia menyadari kesalahannya dan membuatnya batal memasuki pantri.
Rose melempar senyum bersalah pada Narendra. "I'm so sorry, Pak Nara. I called Inara."
Perhatian Rose langsung tertuju pada Inara yang sedang asyik menikmati kopinya. Meskipun begitu dia tetap melirik Rose melalui cangkirnya. "Kita harus ketemu klien di Seminyak, Inara. Hurry!"
"Oh iya!" jawabnya seraya menepuk jidat. Sesaat dia kembali menghadap Narendra, lalu mengangguk singkat. "Saya permisi dulu, Pak Nara."
"Ya, silahkan."
Inara pun segera berlalu, meninggalkan Narendra sendirian. Tatapannya tiba-tiba jatuh pada kopi bikinan Inara. Dia ragu mencicipinya, takut bukan seleranya. Hanya saja usaha Inara patut diberi sedikit apresiasi. Jika tidak cocok, maka tinggal dibuang saja.
Perlahan disesapnya kopi tersebut. Seketika dia termenung merasakan setiap aliran kopi ini. Aneh, manis dan pahitnya terasa begitu pas. Bukan hanya itu saja, kopi ini berhasil membangkitkan ingatan Narendra pada sesosok yang begitu dia rindukan. Inara, gadis baru itu baru saja mengobati kerinduan Narendra.
*****
Entah sudah berapa banyak momen favorit Inara saat bersama Robi. Sore tidak biasa, tiba-tiba Robi datang menjemput padahal perjanjian seminggunya telah berakhir. Hatinya berbunga-bunga, tapi alasannya bukan sekadar itu melainkan acara selanjutnya, makan malam.
Bukan jenis makan malam romantis, hanya makan malam biasa di salah satu restoran favorit Robi. Kebetulan tempatnya dengan kantor Inara dekat, alhasil mereka berjalan beriringan ke sana.
Tawa Robi yang berkumandang berikut ceritanya yang mengalir dari mulutnya adalah memori yang akan terekam di dalam benak Inara. Inara percaya bahwa tanda seseorang yang telah mempercayaimu adalah ketika orang tersebut sudah merasa nyaman untuk menceritakan apa saja denganmu. Bukankah ini baik?
"Ngeselin kan, Ra, punya cust kayak gitu? Pengen banget ditolak, tapi temen-temen gue juga pada nolak," keluhnya sembari menenggak es tehnya.
Inara menggeleng tegas. "Jangan ditolak dong, Bi! Menurut gue ini malah kesempatan bagus untuk unjuk gigi di depan bos lo. Klien merepotkan tertasi itu tandanya lo kompeten. Lumayan kan kalau dapat bonus? Syukur-syukur naik gaji."
"Wow! You're right! Kenapa gue nggak mikir sampai situ?" gumamnya sembari tertawa pelan.
Sesaat keduanya tersenyum lebar sembari menatap mata satu sama lain. Inara tidak berbohong, jantung mendadak berdebar kencang.
Hingga suara dering ponsel Robi berhasil memutuskan kontak keduanya. Tangan pria itu meraih ponsel di meja, lalu mengernyit sesaat. "Sherly," gumamnya yang langsung merusak suasana hati Inara.
Tanpa sadar Inara mendengus dengan kesal ketika perhatian Robi kini teralihkan. Ingin sekali Inara merebut ponsel Robi, lalu melemparnya jauh-jauh agar pria itu hanya fokus kepadanya. Hanya saja Inara sadar, itu terlalu jahat dan Inara bukan orang jahat.
"Hey, baby, what's wrong?" raut wajah Robi tampak berubah. Pria itu sejenak melirik Inara, lalu mengalihkan perhatian ke arah lain.
Inara juga memilih mengalihkan perhatiannya ke arah lain. Gadis itu memilih untuk untuk tidak mencari tahu apa pun mengenai isi pembicaraan keduanya. Baginya, cara untuk menghindari sakit hati adalah menjadi tidak tahu apa-apa.
Hanya saja, meskipun matanya kini sedang memperhatikan para pelayan yang sedang berlalu-lalang tanpa henti, tapi telinganya masih cukup jelas mendengar pembicaraan Robi. Terutama kata-kata Robi yang berjanji untuk pulang ke Jakarta malam ini juga.
Alis Inara mengernyit. Sebagai orang yang sangat mengenal Robi, mengorbankan sesuatu demi orang lain selain keluarga intinya jelas bukan sifatnya. Makanya Robi tidak perlu berpikir panjang ketika kantor memberinya mandat untuk bekerja di Bali, padahal saat itu dia dan Sherly baru saja berkencan.
Robi memilih uang daripada hubungannya. Dan jika Robi mendadak cuti, Inara yakin bahwa gaji pria itu akan dipotong bulan depan. Bukankah hal seperti itu jelas akan merugikan seorang Robi?
"Inara," panggilan Robi segera mengembalikan perhatian Inara.
Raut wajahnya terlihat buruk. Inara bahkan bisa melihat sorot khawatir dari matanya. "Apa semua baik-baik saja, Bi?"
Robi menggeleng cepat. "Nyokap Sherly meninggal. Gue harus pulang sekarang, lo jaga diri, ya. Sori nggak bisa anterin pulang."
Tanpa basa-basi Robi bergegas beranjak dari kursi. Dirogohnya saku belakang celananya untuk mengambil dompet beserta uang di dalamnya. Belum sempat Inara memahami keadaan, tiba-tiba saja Robi sudah pergi begitu saja.
Mata Inara langsung menatap punggung Robi yang perlahan menghilang di balik lalu-lalang orang-orang di restoran ini. Tanpa sadar tangannya meremas kuat gelas es teh manisnya, menyadari bahwa sikap Robi aneh dan salah.
Robi yang dikenalnya kini telah berubah. Robi sepertinya telah benar-benar jatuh cinta pada kekasihnya. Dan Inara merasa lelah dan kalah telak.
*****
Rasanya Inara berjalan sangat lama. Gadis itu buta arah dan satu-satunya yang dia andalkan hanyalah insting. Inara tahu ini tindakan bodoh, harusnya gadis itu memesan ojek online dan langsung membawanya pulang. Hanya saja melihat jalanan padat Bali malam ini, Inara memilih berjalan tanpa arah seperti ini.
Hatinya baru saja patah dan sekali lagi Robi adalah penyebabnya. Inara menyadari dengan telak, bahwa kali ini dia sudah kalah. Perasaan khawatir Robi serta pengorbanan pria itu jelas memperlihatkan perasaan Robi sesungguhnya. Bukan Inara yang Robi inginkan, melainkan kekasihnya. Sejauh apa pun dan segila apa pun Inara memperjuangkan Robi, pada kenyataannya pria itu tidak pernah menatapnya lebih daripada sahabat.
Lalu sekarang gue harus apa? Batinya. Inara menahan air matanya untuk tidak menetes, meskipun dia sadar matanya sudah berkaca-kaca sekarang. Pengorbanannya berada di sini terasa sia-sia karena tidak mendapatkan apa pun.
Haruskah gue pulang aja dan menyerah? Kenapa sih, gue bisa sebodoh ini karena jatuh cinta?
Seketika langkahnya terhenti. Kepalanya terangkat dan sontak saja mata Inara melebar ketika menemukan dirinya malah berjalan menuju ke kantornya. Diliriknya pos satpam, para penjaga berada di dalam. Sudah telanjur di sini, akhirnya Inara memilih masuk ke kantor dan menangis di dalam saja. Lagipula, siapa yang masih berada di kantor pukul delapan malam di hari rabu tanpa lembur seperti ini?
Petugas yang berjaga langsung memberikan akses begitu mengetahui kehadiran Inara. Kalau bukan karena alasan barang tertinggal, Inara rasa para satpam itu tidak akan membiarkan Inara masuk.
Lobi malam ini terasa asing karena tampak temaram dan sepi. Tapi Inara tidak peduli, kakinya terus berjalan menuju ke kantornya di lantai tujuh. Satu yang dia butuhkan, menangis sendirian dan mengutuk semua kebodohannya.
Pencahayaan minim langsung menyambut Inara begitu lift terbuka di lantai tujuh. Tanpa peduli bahwa Inara sebenarnya cukup penakut, kakinya terus melangkah menuju sudut terluar kantornya atau lebih tepatnya menuju jendela raksasa yang menghadap langsung jalanan padat Bali malam ini.
Tidak di Jakarta, tidak di Bali, kegilaan lalu lintas tampak di bawah sana. Keheningan panjang menyelimutinya, berikut kesendirian, keasingan, serta ketakutan semuanya perlahan menyatu di dalam hatinya. Inara menyadari bahwa kali ini dia sudah berada di batas. Tanpa bisa ditahan lagi, air matanya luruh begitu saja. Isakan kencang berikut raungan keras lolos dari mulutnya.
Gue kalah!
"Demi Tuhan!" teriakan lain di balik punggung Inara sontak menghentikan tangisnya.
Inara refleks memutar tubuhnya. Matanya sontak melebar, mendapati Pak Narendra berdiri di hadapannya. Pakaian yang sama seperti saat bekerja masih melekat di tubuhnya; kemeja kotak-kotak berwarna abu-abu, serta celana berwarna senada.
"Inara?"
"Pak Narendra?"
Keduanya memanggil bersamaan. Hingga tiba-tiba saja Narendra mencekal tangan Inara, lalu ditariknya kencang.
"Pak ... Pak ...." Inara seketika panik. Tempat ini terlalu sepi, bahkan Inara yakin hanya ada mereka berdua di lantai ini. Belum lagi langkah panjang Pak Narendra membuat Inara sempoyongan mengejarnya. "Pak ... Pak ...."
"Tenanglah, Inara," gumam Narendra. "Saya cuma mau hukum kamu karena takut-takuin saya. Simple, just make me a coffee, Inara."
Begitu Narendra membuka pintu pantri, Inara sadar dia tidak bisa kabur. Bukan seperti ini yang Inara inginkan untuk mengobati kesedihannya. Apalagi terjebak bersama bosnya yang dingin, perfeksionis serta sok misterius ini.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top