BAND AID

I wanna stay with you until we're grey and old

(James Arthur - Say You Won't Let Go)

*****

Semakin lama di sini, dada Narendra terasa semakin sesak. Alasannya bukan hanya tujuan pria itu ke tempat ini, tapi juga penuh sesaknya restoran Sabtu siang ini. Hampir seluruh meja terisi, mulai dari para keluarga besar dengan senyum lebar serta beberapa pasangan muda yang tengah berbincang mesra. Tempat ini terlihat penuh dengan kebahagiaan, berbeda jauh dari yang dia rasakan. Perasaan pria itu campur aduk, begitu pula pikirannya. Beberapa menit lagi dia akan bertemu mereka, tapi sampai detik ini dia belum siap. Namun, ingatan mengenai Inara dan anak mereka lah yang membuat pria itu menguatkan tekad.

"Bang, lo beneran sudah siap, kan?" Pertanyaan Nabil—adik bungsu Narendra, sontak mengembalikan fokus pria itu.

Tanpa memandang sang adik, Narendra mengangguk pelan. Siap tidak siap, dia harus menghadapi dua orang yang dia benci.

"Kalau memang belum siap, jangan dipaksa, Bang," ucap Nabil yang kali ini menarik perhatian Narendra.

Pria itu menoleh, menatap lekat adiknya. Bayangan Inara seolah berputar di kepala, tidak mau berhenti. Kebahagiaan yang dia dapatkan sekarang, tidak ingin dia lepas begitu saja. "Gue ... harus siap, Bil. Demi Inara ... anak gue."

Mata Nabil seketika melebar. Ekspresi terkejut terlihat sekali. "Inara hamil? Anak kalian, Bang?"

"Iya."

"Selamat, Bang! Gue ikut senang." Nabil tersenyum lebar seraya menepuk pelan pundak Narendra, membuat pria itu tersenyum kecil.

Sekalipun dia membenci orang tuanya, tapi Narendra tidak bisa berhenti menyayangi kedua adiknya. Rasanya dia cukup senang saat mengetahui bahwa Nabil turut bahagia dengan berita ini.

"Narendra ...." Sebuah suara yang sangat dia kenal membuat Narendra mendongak. Senyum yang sempat tersungging hilang begitu saja.

Wanita paruh baya yang sangat tidak dia sukai telah berdiri di hadapannya. Masih sangat cantik dalam balutan gaun putih selutut. Uban terlihat jelas, bahkan menutupi rambut hitamnya. Umur yang telah enam puluhan membuat Nayla harus membantu wanita itu berjalan. Ada senyum lebar yang tersungging, tapi tidak membuat Narendra turut tersenyum. Sosok itu adalah Ibu, wanita yang melahirkannya.

"Narendra ...." Sekali lagi sebuah suara lain menginterupsi.

Refleks, seluruh pandangan tertuju pada sumber suara. Sosok lain yang Narendra benci telah berdiri di dekat mereka. Pria enam puluhan dalam balutan jas masih membuatnya terlihat gagah. Ekspresi pria yang pernah dia panggil ayah itu terlihat datar, terlebih saat melihat kehadiran Ibu. "Sedang apa kalian di sini?"

Melihat tidak ada orang yang menjawab pertanyaannya, ayah langsung mengambil duduk di samping Nabil. Sementara ibu di samping Nayla. Aura permusuhan seketika menyelimuti pertemuan ini, sekalipun belasan tahun telah berlalu.

Inilah yang Narendra tidak suka dengan sebuah pernikahan, perceraian. Padahal saat menikah, kita telah berjanji pada Tuhan untuk saling bersama hingga maut memisahkan. Namun kenyataannya, ego masing-masinglah yang lebih sering memisahkan pasangan yang pernah jatuh cinta.

"Saya mau menikah." Narendra buka suara. Tidak perlu basa-basi, langsung hidangan utama saja. Semakin cepat, maka semakin baik untuk suasana hati pria itu.

Tatapan semua orang langsung tertuju lurus pada Narendra. Pria itu memasang ekspresi datar, ekspresi yang ternyata serupa dengan milik sang Ayah.

"Inara?" tanya Ibu yang langsung dibalas anggukan pelan Narendra. Berita ini berhasil menerbitkan senyum wanita itu. "Ibu tahu, Inara memang yang terbaik untukmu, Ren."

Ayah berdeham kencang. "Jadi, kamu minta kami untuk melamar gadismu? Kapan?"

"Sekarang."

Alis Ayah mengernyit. "Kenapa buru-buru sekali, Rendra?"

"Karena ... Inara sedang mengandung sekarang. Saya tidak mau menunggu sampai perutnya membesar, apalagi sampai anak kami lahir."

Seketika suasana berubah senyap mendengar berita yang Narendra berikan. Sebagai keluarga yang berpedoman kuat pada adat ketimuran, terlebih Ayah, tindakan Narendra jelas tidak bisa dimaafkan. Namun, saat menyadari bahwa mereka tidak bisa berbuat apa pun, terpaksa mereka diam.

"Satu lagi." Narendra kembali bersuara. "Pertemuan ini membuat saya berjanji pada diri saya sediri, saya berjanji akan menjaga keluarga saya. Saya tidak mau keluarga yang saya bangun hancur seperti keluarga ... ini."

"Ren—"

"Kita pergi. Sekarang!" Narendra segera memutus ucapan Ibu. Pria itu beranjak dari kursi, kemudian berbalik menuju pintu. Dia memberi isyarat kedua adiknya untuk bergegas menyusulnya menuju parkiran.

Begitu udara panas Jakarta menerpa wajahnya, seketika pria itu bernapas lega. Awalnya dia pikir akan sulit, tapi ternyata tidak sesulit itu. Meskipun tidak nyaman berada di antara mereka, setidaknya dia bisa melalui pertemuan ini dengan baik.

Tanpa sadar senyum lebar Narendra terukir. Pria itu kini sadar, ketakutannya kini telah berganti. Jika dulu dia takut berkomitmen dan menganggap akhir pernikahan adalah perpisahan seperti orang tuanya, maka sekarang dia jauh lebih takut kehilangan Inara. Baginya, kebahagiaan yang dia cari selama ini hanyalah bersama sang gadis, Inara.

*****

Sejak pagi, Inara terus menyibukan diri di dapur. Tangan gadis itu tidak berhenti bergerak. Dia mengambil alat apa pun yang bisa digunakan untuk membuat berbagai macam masakan. Saking banyaknya, dia lupa sudah berapa masakan yang telah dibuat. Kesibukan ini jauh lebih baik daripada dia kembali bersedih karena teringat Narendra.

Bel rumah yang berbunyi seketika menghentikan aktivitas gadis itu. Dia sudah akan berteriak meminta Bibi membuka pintu, tapi batal begitu saja. Gadis itu lupa, setengah jam yang lalu dia menyuruh Bibi keluar. Terpaksa, Inara yang harus turun tangan. Dimatikan kompor listriknya, barulah bergegas menuju pintu utama.

"Sebentar!" teriak Inara sembari melepas celemek yang dia kenakan. Sayangnya, kehamilan membuat gerakan gadis itu melambat. Dia tidak bisa berlari dan hanya mampu berjalan cepat.

Perlahan pintu terbuka di hadapan Inara. Sontak gadis itu membeku di tempat saat menemukan sosok Narendra. Pria itu menyunggingkan senyum tipis saat mata mereka beradu di udara.

"Ra ...."

"Re ...."

Panggil mereka bersamaan. Untuk sepersekian detik suasana hening menyelimuti, tapi tidak berlangsung lama karena sesuatu di balik punggung Narendra mencuri perhatiannya. Ada dua pria asing di sana. Seorang pria berumur, kira-kira setengah abad lebih, berdiri sembari bersedekap. Ekspresinya datar dan dingin, hal yang tiba-tiba saja mengingatkannya pada topeng Narendra saat di kantor. Sementara pria lainnya bahkan terlihat lebih muda daripada Narendra. Pria itu menyunggingkan senyum lebar. Fitur wajah yang mengingatkannya pada Ibu Narendra. Pandangan Inara langsung beralih pada dua wanita lain di sisi berlainan, Nayla dan Ibu Narendra.

Tanpa bisa dicegah, jantung Inara berdebar. Ada yang berbeda dengan kedatangan Narendra siang ini, membuat tatapannya kembali tertuju pada sang kekasih. "Kamu ... kenapa ke sini?"

"Orang tuamu ada, Ra?" tanyanya yang dibalas dengan anggukan pelan Inara. "Orang ... tua saya mau bertemu mereka."

"Ke ... napa?"

Lagi-lagi Narendra menyunggingkan senyum, kali ini hanya lebih lebar. "Biar mereka saja yang mengatakannya. Boleh kami masuk, Ra?"

Inara mengangguk patuh. Gadis itu mundur beberapa langkah untuk memberi akses masuk pada Narendra beserta keluarga. Dengan gugup dia mempersilakan para tamunya duduk di sofa ruang tamu. Kemudian, barulah dia menuju lantai dua tempat kamar orang tuanya berada.

Suara berisik dari lantai bawah ternyata mampu membuat sang Mama berdiri di puncak tangga. Jelas, Mama menyambut kedatangan Inara. Dengan ekspresi keibuan itu, Mama menatap sang putri bungsu dengan tertarik. Saat Inara menyampaikan kabar bahwa Narendra beserta keluarganya ingin bertemu, seketika Mama berteriak dengan hebohnya. Wanita itu langsung berlari memasuki kamar sembari meneriakan nama Papa.

Langkah Inara langsung memelan saat menuruni tangga, terlebih saat menemukan Narendra berdiri di ujung tangga untuk menyambutnya. Mata pria itu mengamati lekat-lekat sang kekasih. Begitu kaki gadis itu menyentuh anak tangga terakhir, tiba-tiba tangan Narendra menggenggam tangan Inara.

"Kita bicara ya, Ra."

Inara mengangguk. Gadis itu nyaris tidak bisa berkata apa pun. Dia bingung, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa dia juga gugup dengan maksud kedatangan Narendra. Padahal dia sudah berusaha keras tidak ingin berharap lebih. Namun sayang, dia tidak menemukan alasan lain yang lebih masuk akal dari lamaran yang Inara harapan.

"Re—" kata-kata Inara seketika terpotong tatkala Narendra memeluk erat tubuhnya.

Refleks, gadis itu membalas pelukan Narendra sama erat. Mereka tidak saling berbicara, tapi sentuhan serta usapan satu sama lain sudah menunjukkan rasa masing-masing.

"Rindu," bisik Narendra yang langsung dibalas anggukan pelan Inara. Perlahan pria itu menguraikan pelukannya. "Saya benar-benar merindukanmu, Ra."

Bukannya menjawab bahwa dia juga merindukan Narendra, Inara malah menanyakan sesuatu yang mengganggu pikirannya, "Kenapa ... ke sini, Re?"

Narendra terkekeh geli sambil menggeleng. Kepala pria itu tiba-tiba miring, seperti menunjuk ruang tamu tempat keluarganya berada. "Mereka di sini lho, Ra, ingin bertemu orang tuamu."

"Re ... jadi ...." Kata-kata Inara terpotong, apalagi saat air mata mulai ikut meleleh. Hati gadis itu menghangat terlebih saat Narendra mengiyakan pikirannya dengan menggumamkan kata cinta.

Tiba-tiba saja Narendra berlutut di depan Inara. Kepala pria itu mendongak. Mata mereka beradu di udara. Sikap pria itu jelas menambah isakan Inara sekarang. Narendra berdeham pelan, lalu kembali bersuara, "Inara, babe, saya pernah terpuruk. Kebahagiaan bahkan menjadi barang paling langka bagi saya, tapi setelah bertemu kamu, semua berbeda. Kamu membuat saya menemukan alasan untuk kembali bahagia. Kamu juga buat saya berani melangkah maju. Bersamamu pula membuat saya merasa lengkap. Inara, bagi saya masa lalu selalu membuat saya ketakutan. Nyatanya, kehilangan kamu dan juga ... anak kita membuat saya lebih takut. Maaf ya, Ra, saya nggak bawa apa-apa buat bilang ini, tapi yang harus kamu tahu, Ra, saya mencintaimu. Inara ... ayo kita menikah. Ayo kita bangun keluarga kita sendiri. Penuh cinta, tawa, dan juga kebahagiaan. Bantu saya untuk mematahkan pikiran saya mengenai pernikahan. Karena Inara, saya mau bersama kamu sampai maut memisahkan."

"Naren ...." Inara terbata memanggil nama Narendra. Napas gadis itu bahkan tertahan saat prianya dengan natural mencium perut datarnya.

Harus dia akui, bertemu Narendra bukanlah rencana yang dia harapkan, apalagi pertemuan ini berakhir seperti ini. Namun anehnya, sekalipun bukan direncanakan, tapi Inara menyukai pertemuan mereka. Tanpa pria ini, gadis itu tidak tahu bahwa kebahagiaan yang sebenarnya adalah saling jatuh cinta dan terus berjuang untuk bersama sesulit apa pun semesta berusaha memisahkan.

Perlahan Inara ikut bersimpuh di depan Narendra. Mereka saling berhadapan untuk sesaat, sebelum akhirnya Inara melemparkan diri di dalam pelukan prianya. "Saya ... juga cinta kamu, Re."

Sama halnya dengan Narendra, Inara hanya mengiyakan permintaan prianya dengan kata cinta. Keduanya sama-sama tahu, pernyataan itu cukup membuat mereka memahami jawaban satu sama lain.

Isakan pelan akhirnya menyelimuti mereka. Bukan jenis tangis menyedihkan, melainkan kebahagiaan. Segala penantian, segala rindu, akhirnya bisa mereka tuntaskan siang ini. Jelas, ini bukan akhir kisah mereka, tapi awal kisah-kisah lainnya. Inara percaya, mereka berdua sengaja dipertemukan untuk menjadi plester luka di hati masing-masing, maka begitu salah satu terluka akan ada satunya lagi untuk menjadi obat luka.

Terkadang, Tuhan sengaja mempertemukan dua orang terluka. Membuat keduanya saling jatuh cinta untuk mengobati luka satu sama lain. Kemudian, berbahagia bersama.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top