BANAFSHA | CHAPTER 7
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tangan kanan memberi, tangan kiri tidak berhak untuk mengetahui. Itu adalah prinsip agar tidak merasa tinggi hati."
💍🤲💍
ABAYA HITAM sudah seperti jadi ciri khas Raiqa dalam hal penampilan. Isi lemarinya dihuni oleh pakaian tersebut, tak ada warna dan model lain. Yang membedakan hanyalah warna khimar yang kerapkali berubah-ubah setiap harinya.
Namun untuk abaya, dia sangatlah konsisten. Tidak pernah memakai warna lain, selain hitam saat keluar rumah. Dengan dalih kenyamanan, dia tak memedulikan setiap omongan orang, yang mengatai dirinya tak mampu membeli baju karena memakai pakaian yang sama setiap hari.
Padahal bukan tidak mampu, tapi karena memang semua pakaian perempuan itu sama semua.
"Maaf Ibu ini ada sedikit sembako, mohon diterima ya," katanya dengan diiringi senyuman
"Terima kasih, Mbak."
Raiqa mengangguk dan tersenyum ramah sebagai bentuk respons. Dia berjalan menyusuri trotoar, melihat ke segala arah untuk mencari orang-orang yang sekiranya layak untuk dia berikan bantuan.
Kedua tangannya menentang banyak bingkisan sembako, sedangkan mobilnya sengaja dia parkiran tak jauh dari tempatnya sekarang. Raiqa memang lebih senang membagikannya seorang diri, selagi dirinya mampu, maka dia akan dengan senang hati melakukannya.
Matanya menyipit kala melihat di depan sana ada seseorang yang tengah membawa kardus besar, bahkan saking besarnya wajah sang empunya sampai tak terlihat.
Raiqa bergegas menghampiri saat dia menyadari kalau kantung keresek yang terselip di jari pemuda itu akan jatuh. Dia meletakkan terlebih dulu sembako yang tengah ditentengnya, lalu mengambil alih kantung keresek yang akan terjatuh, jika tangan Raiqa tidak cepat tanggap dalam menangkap.
"Saya bantu, Mas," kata Raiqa.
Pemuda di depannya terperanjat, dan dia sedikit menyampingkan kepalanya agar bisa melihat Raiqa, pemilik suara yang berhasil mengejutkannya.
Dia beristigfar beberapa kali sebelum akhirnya berucap, "Terima kasih, Mbak, mohon maaf merepotkan." Dia melirik ke arah tangan Raiqa yang tengah menentang barangnya.
"Mobilnya parkir di mana? Mari saya bantu, barang bawaan Mas sangat banyak sekali."
Dia meletakkan kardus besar yang dibawanya terlebih dahulu, tangannya benar-benar kebas karena bobot yang terlalu berat. "Saya pakai motor, Mbak, itu motornya di sana."
Pandangan Raiqa berpusat pada sebuah kendaraan beroda dua, lebih tepatnya Honda Spacy keluaran tahun 2018.
"Maaf jika sedikit menyinggung, saya rasa Mas akan kerepotan jika membawa barang-barang sebanyak ini dengan menggunakan motor. Kalau diizinkan, boleh saya bantu?"
Dia menggeleng pelan. "Terima kasih, tapi ndak usah repot-repot, Mbak."
"Tawaran saya sedikit memaksa. Selain akan membahayakan Mas sebagai pengendara, membawa barang dengan kapasitas yang tak seharusnya pun akan membahayakan pengguna jalan lain. Saya bantu," katanya teguh pendirian.
Akhirnya dia pun mengangguk setuju. "Terima kasih banyak yo, Mbak," ungkap Ghazwan.
Ya, pemuda yang baru saja Raiqa bantu tidak lain, tidak bukan ialah Ghazwan Danadyaksa. Pendiri Raudhatul Athfal Qur'an Imad Din.
Raiqa mengangguk pelan. "Sebentar, saya ambil mobil dulu. Titip barang-barang saya ya, Mas."
Tanpa menunggu jawaban, Raiqa berlari cepat menuju tempat parkir. Setelah sampai, dia pun langsung menjalankan mobilnya ke tempat di mana Ghazwan sudah menunggu.
"Mas bisa letakkan barang-barang Mas di jok belakang, bagasi mobil saya masih cukup penuh dengan sembako," tutur Raiqa setelah kembali turun dari mobil, dan menghampiri Ghazwan.
"Sembako?"
"Iya, kebetulan saya sedang membagikan sembako pada orang-orang sekitar."
Ghazwan terpaku beberapa saat, sampai akhirnya tanpa sadar dia pun berucap, "Banafsha."
"Ya, Mas memanggil saya?"
Pemuda itu gelagapan seketika.
"Mas tahu dari mana nama saya?" tanyanya seraya memasukan beberapa sembako yang tadi dia tanggalkan ke dalam mobil.
"Emm, anu, saya pernah mendapat nasi kotak yang diberikan oleh, Mbak."
"Oalah, pantas kalau gitu. Perlu sembako, Mas? Siapa tahu untuk istri atau orang tua di rumah mungkin."
Seketika itu juga Ghazwan tersedak ludahnya sendiri. "Ndak usah, Mbak, alhamdulilah saya masih mampu untuk membelinya sendiri."
Raiqa manggut-manggut. "Apa barang-barangnya urgent? Harus diantar sekarang juga?"
"Ndak harus sekarang, itu hanya berisi buku serta alat-alat tulis. Memangnya kenapa?"
"Kalau urgent saya akan dahulukan untuk mengantar barang-barang Mas. Tapi, kalau tidak, saya akan minta sedikit waktu untuk membagikan sembako-sembako ini terlebih dahulu. Itu, pun jika Mas setuju."
"Lebih baik, Mbak dahulukan keperluan Mbak saja. Apa Mbak memerlukan bantuan saya?"
Raiqa menggeleng kecil. "Saya bisa sendiri, kalau gitu boleh saya minta alamat Mas?"
Ghazwan menuliskan alamat lengkapnya di gawai, lalu memperlihatkan pada Raiqa. Dengan cepat Raiqa pun mengambil gawai dan membuka fitur kamera, lalu memfotonya.
"Mas bisa bawa tumbler ini sebagai jaminan, kalau memang saya tidak kunjung datang untuk mengantar barang-barang. Ini tumbler kesayangan saya, sangat berharga, dan saya pasti akan datang untuk mengambilnya lagi."
Ghazwan menahan senyum melihat tempat minum dengan gradasi biru serta putih yang sangat soft tersebut. Tumbler berkapasitas 500 ML itu sangat elegan, cantik, dan juga manis. Terlebih, tutupnya pun bening, hingga nampaklah minuman di dalamnya.
"Lemon tea?" cetus Ghazwan saat sudah mengambil alih tumbler tersebut.
"Iya, tapi Mas tenang saja meksipun itu minuman dingin dan terdapat banyak es batu, saya jamin tidak akan bocor ataupun berembun. Insyaallah Mas tidak akan kerepotan membawanya."
Ghazwan hanya mengangguk. "Kalau gitu saya duluan, Mbak, terima kasih."
Raiqa hanya menanggapinya dengan anggukan serta senyuman tipis. Setelahnya, dia pun bergegas untuk kembali duduk di balik kemudi. Berjalan dengan pelan, lalu melanjutkan kegiatan berbaginya.
Tepat saat kumandang azan zuhur, Raiqa berhasil menuntaskan kegiatan berbaginya. Kebetulan pada saat itu dia tengah kedatangan tamu bulanan, jadi tanpa membuang banyak waktu lagi, dia pun segera bergegas menuju alamat yang sudah Ghazwan berikan.
Matanya menyipit saat melihat plang bertuliskan Raudhatul Athfal Qur'an Imad Din tepat di depan gerbang. Dia seperti tidak asing dengan nama tersebut, beberapa detik terdiam dan mengingat-ingat.
Sampai akhirnya ada sebuah suara yang berhasil mengejutkan perempuan itu.
"Raiqa!"
Dia pun menoleh, dan langsung mendapati sang sahabat yang berjalan cepat menghampirinya.
"Kamu ke sini kok nggak bilang-bilang aku sih, Ray?"
Raiqa menggaruk bagian belakang kepalanya. "Aku nggak sengaja ke sini."
"Nggak sengaja gimana maksud kamu?"
Raiqa menunjuk ke arah pintu belakang mobilnya yang sudah terbuka. "Aku mau antar barang-barang ini, dan aku baru ngeh kalau ternyata alamat yang mas-mas tadi berikan bertempat di sini."
Anjani manggut-manggut. "Ternyata kamu yang dimaksud Mas Ghazwan, yuk masuk dulu. Mas Ghazwan-nya belum pulang, masih di masjid."
Raiqa menggeleng tegas. "Nggak usah, aku ke sini cuma mau nganter barang doang kok."
"Tapi Mas Ghazwan sudah berpesan agar aku menjamu kamu dengan baik."
"Nggak usah, aku masih ada meeting sama client. Ini disimpan di mana?"
Anjani hanya bisa menghela napas berat. "Kamu ini emang benar-benar keras kepala, Ray."
Mereka pun menggotong kardus berukuran besar tersebut, dan menyimpannya di dekat ruang kelas. Setelah semua barang-barang dipindahkan, Raiqa langsung berpamitan.
"Jangan kasih tahu pengurus RA yang tadi aku bantu, terkait donasi yang sudah aku keluarkan," pesannya.
Hanya anggukan kecil yang Anjani berikan.
💍 BERSAMBUNG 💍
Padalarang, 01 Januari 2024
Alhamdulillah sudah masuk tahun baru aja nih. Semoga bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi ya ☺️🤲
Masih mau dilanjoott?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top