BANAFSHA | CHAPTER 6
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Kalau memang hendak berbagi dan memberi, tidak perlu dapat titel kaya dulu. Sebab, sedekah bisa dilakukan di kala sempit maupun lapang."
💍🤲💍
MATA Ghazwan hampir meloncat dari tempatnya saat melihat nominal transferan yang baru saja masuk, dan ditunjukkan langsung oleh Raziq. Kedua pemuda itu hanya diam dan saling memandang, tidak bisa berkata-kata karena saking shock-nya.
"Apa cukup, atau masih kurang?" tanya Anjani setelah cukup lama terdiam, melihat reaksi dua pria di hadapannya.
Ghazwan mengerjapkan matanya sebelum berujar, "Justru harusnya saya yang mempertanyakan, apa ini ndak kebanyakan to, Mbak?"
Anjani menggeleng pelan. "Atasan saya berpesan agar uang itu digunakan untuk pembangunan RA, jika masih kurang bisa ajukan kembali proposal melalui saya."
"Sekaya apa atasan kamu, An sampai semudah ini dalam beramal?"
"Beramal nggak harus nunggu kaya dulu, kan? Atasan aku bukan milyader, dia hanya perempuan mandiri dengan karier yang sukses dan cemerlang. Meskipun demikian, dia nggak berbangga diri dengan apa yang dia miliki. Karena dia sadar kalau apa yang saat ini dia miliki murni hanya titipan, yang sewaktu-waktu bisa diambil pemiliknya lagi."
"Apa ada hajat khusus yang tengah beliau ikhtiarkan? Maaf sebelumnya, bukan bermaksud lancang, tapi mungkin kami bisa bantu untuk mendoakan. Karena saya rasa, ucapan terima kasih saja ndak cukup," seloroh Ghazwan.
"Ada, dia sangat ingin menikah," jawab Anjani diakhiri sunggingan lebar.
"Menikah?" sahut Ghazwan dan Raziq berbarengan.
Anjani mengangguk tanpa ragu.
"Biasanya perempuan kalau sudah mapan dalam segi finansial, nggak akan tertarik dengan pernikahan. Kenapa atasan kamu berlainan arus?"
"Dia mau merasakan hangatnya sebuah keluarga yang nggak dia miliki, karena dia seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara di tengah hiruk pikuk Ibu kota."
"Kalau boleh tahu, nama atasan Mbak Anjani siapa? Insyaallah saya akan bantu untuk mendoakan beliau."
"Saya sebut inisial aja ya, Mas, atasan saya sudah mewanti-wanti untuk nggak menyebarkan identitas lengkapnya."
Ghazwan mengangguk paham. "Kalau memang seperti itu yo ndak usah, to, Mbak. Saya menghargai privasi beliau."
"Yakin, Mas? Saya bisa kasih inisialnya ini."
Ghazwan menggeleng tegas. "Amanah dan kepercayaan itu harus dijaga, sekalipun hanya inisial kalau beliau ndak rida yo jangan."
Anjani tak lagi memaksa. "Kalau inisial sudah jadi rahasia umum, sering seliweran, apalagi kalau hari Jumat."
"Emang apa hubungannya sama Jumat, An?" tanya Raziq penasaran.
"Sudah, to, Ziq, ndak usah dibahas lagi. Kowe ini kalau udah penasaran suka dikepoin sampai ke akar-akarnya. Ndak baik tahu."
"Ya udah, An kita lanjut bahasnya nanti. Jangan di depan Ghazwan," katanya enteng.
Anjani menyambutnya dengan gelak tawa.
"Oh, ya ini ada nasi kotak, siapa tahu kalian belum sarapan, kan?"
Raziq lebih dulu berkomentar. "Perasaan dari bungkusnya nggak asing, kamu dapet ini dari mana?"
"Orang yang ngasih nasi kotak emang konsisten dalam segala hal, termasuk packaging-nya. Mungkin kamu pernah jadi salah satu penerima Jumat Berkah. Ini, kan ada kalau hari Jumat aja."
Seketika itu juga ingatan Raziq terkumpul sempurna. "Ah, iya bener. Dua minggu lalu aku ketemu sama perempuan yang lagi bagi-bagi nasi kotak, bungkusnya sama persis kayak gini. Tapi waktu itu, nggak sepagi ini sih."
"Iya, aku juga dapat dari orang yang sama."
Raziq pun membuka dengan semangat nasi kotak tersebut. Tapi, keningnya mengernyit saat tak mendapati secarik kertas dengan tulisan serupa sebagaimana waktu itu.
"Kok aneh ya? Dua minggu lalu aku dapet nasi kotak ini ada tulisannya. Sekarang nggak ada?"
Anjani sedikit tersenyum. "Tulisan yang ada di dalam tutup nasi kotak maksud kamu?"
Dengan semangat Raziq pun mengangguk.
"Setahu aku ya, tulisan itu random, kadang ada, kadang juga nggak. Jadi, emang nggak semuanya dibubuhi kata-kata."
"Kamu kok kayak tahu banget, kamu kenal ya sama perempuan yang suka ngasih nasi kotak?" selidiknya.
"Kenal, lha, orang aku ini langganan nasi kotaknya tiap hari Jumat," jawab Anjani tidak sepenuhnya berbohong, juga tidak sepenuhnya jujur.
Dia sudah berjanji untuk merahasiakan identitas Raiqa sebagai donatur tetap di RA. Maka sudah jadi kewajibannya untuk mengabulkan permintaan tersebut.
"Malah bengong, lo kenapa, Wan?" cetus Raziq saat mendapati Ghazwan malah terfokus pada nasi kotak yang berada di tangannya.
Ghazwan memperlihatkan tutup nasi kotaknya, di sana terdapat secarik kertas bertuliskan, 'Doakan saya semoga segera menikah. Siapa tahu di antara kalian ada yang doanya lebih cepat Allah ijabah'.
"Punya kamu ada tulisannya nggak, An?" tanya Raziq penasaran.
Anjani pun menunjukkannya. "Ada, tapi tulisannya beda. Punya aku bunyinya kayak gini, 'Ya Allah, aku jadikan shodaqoh ini sebagai perantara kepada-Mu sebagai amal sholeh yang mudah-mudahan Engkau terima doaku'. Emang suka random kok kata-katanya. Nggak usah heran."
"Dua kali saya dapat tulisan seperti ini, yang pertama pemberian dari Raziq, lalu sekarang dari Mbak Anjani," ungkap Ghazwan.
"Mungkin nanti untuk yang ketiga kali, Mas sendiri yang menerima langsung nasi kotaknya."
"Ehh, gimana maksudnya?"
Anjani hanya tersenyum samar lalu menggeleng pelan.
"Pantes waktu itu lo makan lahap banget, orang masakannya enak banget. Nyesel gue, kenapa dulu malah ngasih ke lo," oceh Raziq berhasil menarik segala pemikiran Ghazwan.
Pemuda itu terlihat tengah berpikir keras seraya menatap nasi kotak. Seolah, pusat perhatiannya ada di sana semua, bahkan tanpa sadar lagi-lagi dia tersenyum kala melihat nama Banafsha yang tertera di sana.
Ghazwan mengangguk setuju lalu mulai memasukkan nasi gurih dengan lauk ayam saus mentega tersebut ke dalam mulut. "Apa aku bilang, emang enak, to?"
"Iya, iya, kayaknya gue bakal langganan ini. Biasanya suka bagi-bagi di mana dan jam berapa, An?"
"Kalau nggak salah ya, sekitar jam 9 sampai sebelum zuhur. Kalau untuk lokasi pastinya nggak tahu, suka berubah-ubah, suka-suka dia aja gitu."
Ghazwan melirik arlojinya. "Tapi ini baru jam 7, kok Mbak Anjani bisa dapat nasi kotaknya?"
"Oh, kalau ini kebetulan, Mas, yang ngasih lagi ada urusan katanya jadi dimajukan. Nggak kayak biasanya," kilah Anjani.
Ghazwan tak lagi mengulik lebih dalam. Dia pun mengangguk singkat sebagai bentuk respons.
Sedangkan Anjani mengembuskan napas lega, karena dua rekannya tak lagi mengulik lebih detail. Syukurlah, untuk kali ini dia merasa aman.
"Kita mau mulai pembangunan kapan? Apa bisa proses belajar mengajar tetap dilakukan di tengah pembangunan?" tanya Raziq setelah menandaskan nasi kotak miliknya.
"Bisa, Ziq, sesuai usulan Mbak Anjani yang lebih dulu kita utamakan ialah merenovasi toilet agar terpisah, supaya anak-anak merasa lebih aman dan nyaman."
"Hanya direnovasi? Nggak ada niatan untuk bangun baru aja, Wan?"
Ghazwan menggeleng pelan. "Toilet yang sudah kita bangun luasnya cukup kalau untuk dibagi dua, kita maksimalkan ruang aja. Tanah kita ini, kan ndak terlalu luas, jadi emang harus pinter-pinter ngaturnya. Ndak usah bangun toilet yang neko-neko, yang penting fungsional dan juga bersih."
Anjani mengangguk setuju. "Apa saya boleh ikut kasih usul?"
Kedua pemuda itu mengangguk tanpa ragu.
"Pinggir lapangan yang tepat menghadap kelas akan lebih fungsional kalau ditambahkan kanopi serta tempat duduk, yang bisa dipergunakan bagi para ibu-ibu yang hendak menunggu anak-anak mereka. Saya lihat di samping ruangan kalian juga ada lahan kosong, akan lebih baik kalau dibangunkan kantin supaya anak-anak merasa lebih nyaman, dan kalau mau jajan nggak harus keluar RA. Bahaya, anak-anak kalau dibiarkan nyeberang, apalagi itu akses jalan yang banyak dilalui kendaraan."
"Sebetulnya itu juga yang udah kami pikirkan, tapi karena pendanaan yang belum ada, itu hanya jadi wacana belaka," sahut Raziq.
"Sekarang, kan sudah ada, insyaallah semua hal terkait pendanaan akan ditanggung oleh atasan saya."
💍 BERSAMBUNG 💍
Padalarang, 31 Desember 2023
Jadi kapan nih, Raziq dan Ghazwan dipertemukan dengan Banafsha? Nanti kalau nggak hujan ya. 😂🤭
Happy New Year teman-teman 🥳🤭
Masih mau dilanjoott?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top