BANAFSHA | CHAPTER 5
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tak perlu bersusah payah menumbangkan orang lain, hanya agar diri dianggap jauh lebih baik."
💍🤲💍
RAIQA dibuat terperanjat karena saking terkejutnya oleh ulah sang sahabat yang datang-datang langsung berteriak heboh, padahal dirinya tengah asik melamun seorang diri di ruangan.
"Bisa biasa aja nggak?" protesnya sedikit sebal.
Anjani malah tertawa tanpa dosa, lalu duduk manis di kursi yang ada di depan Raiqa. Mereka duduk saling berhadapan dan hanya terhalang meja.
"Aku punya solusi dari permasalahan yang tengah kamu hadapi."
"Masalah apa maksud kamu?"
"Kamu bingung, kan mau dialokasikan ke mana lagi rezeki yang kamu dapat selama ini?"
"Ya terus?"
Dia mengeluarkan sebuah proposal dalam tasnya, lalu menyerahkan berkas tersebut pada sang sahabat. "Kamu jadi donatur tetap di sebuah RA. Ide yang bagus, bukan?"
Raiqa membacanya sekilas. "Ini, kan RA yang sempat kamu ragukan, kok aneh sekarang jadi berubah pikiran?"
Anjani terkekeh kecil. "Tadi aku habis blusukan ke sana, dan ya RA itu emang benar-benar ada. RA itu dibangun oleh dua orang pemuda yang memiliki visi serta misi untuk melahirkan generasi qur'ani."
"Buat apa kamu ke sana, An?"
"Ya untuk memastikan, apa memang dana yang kita keluarkan jatuh pada orang yang tepat atau bukan. Aku nggak mau lagi lho kita kecolongan, kena tipu oknum tertentu yang memanfaatkan kebaikan serta kepolosan kamu yang mudah percaya sama orang."
"Itu terlalu berlebihan, Anjani!"
"Hey, kita itu wajib tahu uang yang kita hibahkan lari ke mana aja. Kita jangan pura-pura nutup mata dan telinga, bahkan seolah lepas tangan seakan kalau uang itu sudah diberikan, kita nggak ada hak untuk mengetahuinya. Cobalah sekali-kali kamu hadirkan buruk sangka sama orang, jangan terlalu lurus dan gampang percayaan."
Raiqa geleng-geleng dibuatnya. "Kamu ini bukannya ngajarin yang bener, malah yang salah. Harusnya berprasangka baik, bukan malah berprasangka buruk. Aneh!"
"Tapi kalau untuk tipe kamu ini ya buruk sangka sedikit diperlukan. Jangan iba mulu yang dinomorsatukan."
"Ya udah, iya, terserah kamu aja."
"Balik ke topik yang tadi. Aku udah visit ke sana, RAQ Imad Din meskipun memiliki cakupan tempat yang kecil dan minimalis, tapi cukup bersih, rapi, serta nyaman. Fasilitas di sana juga lumayan, lha, untuk ukuran tempat belajar anak-anak."
"Mereka cuma punya dua ruangan kelas. Yang satu untuk proses belajar mengajar, dan satunya tempat khusus untuk praktik sekaligus bermain. Di sini penataannya cukup fungsional, karena mereka sangat pandai dalam memaksimalkan ruang."
"Dilengkapi lapangan untuk olahraga juga, meskipun tidak terlalu besar tapi cukuplah. Untuk kamar mandi hanya ada satu, jadi ya nggak ada pemisah gender untuk anak-anak murid. Minus nggak ada kantin, dan space bagi para orang tua yang hendak menunggu anak-anak mereka."
"Aku paham sih, karena, kan mau gimana pun mereka membangun RA ini dari dana pribadi, yang pasti nggak bisa leluasa karena uangnya yang mungkin terbatas. Kalau kamu berkenan ni ya, mungkin kamu bisa bantu mereka dalam hal pendanaan, agar sarana dan prasarana di RAQ Imad Din bisa jauh lebih baik lagi."
"Mereka juga kekurangan SDM, khususnya tenaga pengajar. Mereka membangun dan mengelola RA hanya berdua, sebelumnya ada dua orang sukarelawan yang bersedia untuk menjadi tenaga pengajar, tapi sekarang udah nggak."
Raiqa mengangguk paham mendengar penjelasan panjang lebar sahabatnya. "Baik laporan saya terima, dan dengan senang hati saya akan menyetujui usulan saudara."
Anjani memutar bolanya. "Apaan sih, Ray, pake sok-sokan formal segala."
Raiqa pun tertawa kecil. "Supaya vibes kantornya terasa tahu."
"Berasa ada sekat pemisah yang menjelaskan kalau di antara aku sama kamu itu murni hanya sebatas hubungan atasan dan bawahan."
Raiqa menggeleng kuat. "Bercanda, An, maaf ya."
"Lagian aku juga cuma bercanda kali, kamu ini apa-apa diseriusin," sahutnya diakhiri tawa puas.
"Dasar. Terus gimana kelanjutannya? Ada yang mau kamu sampaikan lagi?"
Dia berdehem sejenak. "Aku mengajukan diri untuk jadi sukarelawan di RA, sudah dapat lampu hijau dari pengurusnya, tapi aku khawatir akan dapat lampu kuning atau bahkan lampu merah dari kamu."
"Kamu ini belum apa-apa sudah suudzan, masa orang mau buat kebaikan aku larang. Ya silakan aja kalau emang kamu mau, aku nggak akan keberatan sama sekali. Malah aku seneng dengernya."
"Kerjaan aku sama kamu gimana?"
"Kamu di RA hanya ngajar, kan? Atau menjabat sebagai pengurus juga?"
"Cuma bantu-bantu ngajar, kasihan mereka kekurangan tenaga pengajar. Nggak ada figur perempuan di sana, mau bagaimana pun anak-anak pasti membutuhkan ibu guru, bukan hanya bapak guru. Meskipun pada dasarnya sama, tapi cara men-treatment laki-laki dan perempuan pasti beda, kan?"
Raiqa manggut-manggut paham. "Dalam sehari kamu perlu berapa jam untuk stay di RA? Kerjaan kamu di sini akan mengikuti jadwal kamu di RA."
"Apa nggak kebalik, Ray? Harusnya aku yang ngikutin jadwal kamu. Aku, kan asisten kamu."
"Anak-anak jauh lebih membutuhkan kamu dibanding aku. Di sini juga, kan ada karyawan lain yang bisa bantu aku kalau emang akunya lagi agak hectic."
"Apa permintaan aku nggak merugikan kamu? Mau bagaimanapun aku ini bawahan kamu, aku dibayar untuk kerja sama kamu," sahutnya sedikit merasa tidak enak hati.
"Selagi apa yang kamu minta untuk kebaikan, aku nggak akan melarang. Profesi guru itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang pilihan, karena tidak semua manusia mau menikmati peran dan profesi tersebut. Aku malah salut sama kamu, An."
"Aku sadar nggak bisa sedermawan kamu dalam berbagi, maka dari itu aku pilih jalan ini. Ya, semoga aja bisa nambah-nambah pahala gitu," katanya diakhiri kekehan.
"Aamiin, insyaallah. Jadi, kapan mulai ngajarnya?"
"Nanti aku kontak dulu Mas Raziq ya."
Kening Raiqa mengerut. "Mas Raziq? Siapa?"
"Salah satu pemuda yang tadi aku ceritakan."
Raiqa hanya mengangguk tanpa merespons apa pun lagi.
"Kamu nggak penasaran apa sama dua sosok pemuda yang aku ceritakan tadi? Bagaimana mereka, latar belakang pendidikan dan track record mereka misalnya."
Raiqa bangkit dari duduknya. "Untuk apa? Memangnya harus ya? Urusan aku, kan hanya berdonasi dan menjadi donatur tetap. Bukan begitu?"
"Apa kamu nggak mau coba visit ke sana? Lihat-lihat RA yang akan kamu bantu biayai."
"Buat apa? Mereka nggak perlu tahu lebih banyak tentang aku, dan aku pun nggak ada kapasitas lebih untuk tahu perihal mereka."
"Baik, Ms. Frozen Food!"
"Frozen Food kamu bilang, An?"
Anjani mengangguk mantap. "Saking dingin dan bekunya kamu, Ray."
Raiqa geleng-geleng. "Nggak ada yang lebih bagusan dikit apa?"
"Batu Es mau?"
"Itu malah lebih parah."
"Bagus itu, perpaduan antara kepala kamu yang serupa dengan batu karena saking kerasnya, dan sikap kamu yang dinginnya ngalahin es di Kutub Utara. Jadilah, Ms. Batu Es."
"Terserah, suka-suka kamu aja."
💍 BERSAMBUNG 💍
Padalarang, 30 Desember 2023
Kalau di dunia ada atasan seperti Raiqa, surga dunia banget pasti. 🤭
Dilanjoott nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top