BANAFSHA | CHAPTER 4
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tidak semua hal perlu untuk diceritakan, adakalanya kita butuh ruang untuk menyembunyikan."
💍🤲💍
ANJANI belum beranjak saat Ghazwan pamit undur diri karena ada sesuatu yang harus dia tuntaskan terlebih dahulu. Perempuan itu terlihat akrab saat bercengkrama bersama Raziq yang memang mudah bergaul, terlebih pada lawan jenis.
"Apa keberatan jika saya sejenak berdiam diri di sini?" tanyanya sedikit berbasa-basi.
Raziq tentu menggeleng seraya tertawa kecil. "Santai aja, Mbak, nggak usah terlalu formal. Saya rasa umur kita nggak beda jauh."
"Oke, kalau gitu jangan panggil saya 'mbak' cukup Anjani saja."
Raziq mengangguk tanpa banyak protes.
"Mas Raziq sudah lama mengenal Mas Ghazwan?"
"Dari zaman SMA sampai sekarang."
"Kuliah pun sama-sama?"
"Kampusnya sama, tapi kita ambil jurusan yang berbeda. Ghazwan ambil pendidikan agama islam, kalau aku ambil manajemen keuangan. Kenapa emangnya?"
"Nggak papa pengen tahu aja, pantas kamu menjabat sebagai bendahara, ternyata masih bersinggungan dengan prodi yang kamu ambil."
Raziq mengangguk singkat. "Hitung-hitung menyalurkan ilmu yang sudah susah payah aku perjuangkan."
Anjani mengangguk setuju. "Maaf kalau pertanyaan aku sedikit lancang, apa Mas Ghazwan sudah ada calon?"
Kening Raziq seketika mengernyit. "Kalau iya kenapa, kalau nggak kenapa?"
"Ng-ng-gak papa, nggak ada masalah juga sebenarnya. Sekadar ingin tahu."
Raziq sedikit tersenyum kecut. "Sejauh yang aku tahu, dia masih sendiri."
"Apa kamu tahu kriteria perempuan seperti apa yang hendak Mas Ghazwan cari?"
Raziq mengedikkan bahunya acuh tak acuh. "Ya mana saya tahu."
Tanpa sadar Anjani mengembuskan napas panjang.
"Kenapa?"
Dia hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Ghazwan masih punya tanggungan, adik laki-lakinya sedang kuliah, dan adik perempuannya masih kelas tiga SMA. Dia nggak pernah kepikiran untuk dekat dengan perempuan, apalagi Ghazwan sudah menjadi tulang punggung keluarga sejak ayahnya meninggal."
"Mas Ghazwan emang asli mana? Dari logatnya medok banget."
"Anak rantau dia. Wong Solo."
"Sejak kapan merantau?"
"Ya sejak lulus SMP, dia nekat ke Jakarta buat lanjut SMA sama kuliah."
"Ibu dan adik-adiknya tinggal di Solo berarti?"
"Adik laki-lakinya kuliah di Surabaya, kalau ibu sama adik perempuannya menetap di Solo."
Anjani mengangguk paham. "Pekerja keras dan sangat bertanggung jawab."
"Bukan hanya itu, Ghazwan juga pemuda paling taat yang pernah aku kenal. Dia bukan hanya tahu ilmunya, tapi dia juga selalu berusaha untuk mengamalkan apa yang dia ketahui. Pengetahuannya bukan hanya sampai di otak dan kerongkongan aja, tapi sudah mengakar kuat di hati dan jiwanya."
"Masyaallah," sahutnya terkagum-kagum.
"Kamu suka sama Ghazwan?" tanyanya begitu frontal.
Refleks Anjani pun menggeleng cepat.
"Kalau pun iya nggak papa kali, sangat normal dan wajar menyukai pria seperti Ghazwan."
"Nggaklah, gini-gini aku masih punya kaca di rumah."
Anjani berdehem beberapa kali, lantas berucap, "Saya kagum dengan kegigihan kalian yang begitu peduli dengan masa depan generasi muda. Kok bisa sampai kepikiran untuk mendirikan Raudhatul Athfal, padahal pada saat itu usia kalian pun terbilang muda."
"Pencetus dan pendirinya jelas saja Ghazwan, aku hanya pelengkap di struktur organisasi agar mendapat izin untuk mendirikan RA," sangkalnya.
"Tapi, kan kamu juga ikut berkontribusi dalam hal pendanaan?"
"Iya, tapi nggak sebanyak Ghazwan. Aku nggak sedermawan dia yang begitu mudah mengeluarkan uang untuk perkara yang belum tentu menguntungkan."
"Maaf kalau pertanyaan aku sedikit sensitif, memangnya Mas Ghazwan ada pekerjaan sampingan?"
"Dia itu anaknya sangat mengamalkan sunnah, sampai untuk perkara pekerjaan saja mau mengikuti jejak Rasulullah."
"Berdagang maksud kamu?"
Raziq mengangguk singkat. "Dia jualan kain dan juga batik di Tanah Abang, tapi yang handle karyawannya."
"Sejak kapan?"
"Dari zaman kuliah. Semenjak masuk semester empat dia sudah memikirkan peluang usaha, karena dia nggak mau kerja di bawah telunjuk orang."
"Start-nya paling awal, pantas kalau sekarang Mas Ghazwan bisa menghidupi diri sendiri, ibu, serta adik-adiknya."
"Katanya sadar diri itu perlu, karena Ghazwan merasa dirinya bukan pewaris melainkan seorang perintis. Maka dari itu, dia harus lebih gigih dalam berusaha, bahu anak pertama harus lebih kokoh untuk menopang ibu serta adik-adiknya bukan?" terang Raziq.
"Ternyata kamu tahu banyak tentang Mas Ghazwan ya."
Raziq sedikit terkekeh. "Namanya juga sohib, mana kita tinggal bareng lagi. Baik buruk udah sama-sama tahu."
Anjani manggut-manggut. "Kamu sendiri gimana? Merantau juga?"
"Aku asli Jakarta, cuma emang lebih enak tinggal jauh dari orang tua."
"Kenapa gitu?"
"Ya pengen aja."
Anjani tak lagi mengulik lebih dalam. Dia tahu akan kapasitas dirinya yang hanya sekadar orang asing.
"Kamu gimana, An?"
"Aku ya nggak gimana-gimana, cuma anak lulusan administrasi perkantoran yang nyasar jadi asisten pribadi."
"Keren dong, secara aspri gitu."
"Alhamdulillah setelah lulus kuliah dan nganggur cukup lama, ada temen yang nawarin buat jadi aspri. Ehh, berlanjut sampai sekarang."
"Gimana rasanya punya bos rasa temen?"
"Cukup enjoy karena atasan aku nggak banyak nuntut dan menyusahkan, cuma kadang suka jengkel aja karena dia itu gampang iba dan percaya sama orang lain. Beda sama aku yang lebih condong curigaan, terlalu waspada mungkin lebih tepatnya. Selisih paham munculnya dari sana tuh."
"Namanya juga kerja, plus minus pasti akan selalu ada."
Anjani mengangguk setuju.
"Btw, kamu ada kenalan yang lagi nganggur nggak? Lulusan SMA juga nggak papa, asalkan mau kerja."
"Kamu lagi buka loker?"
"Kita kekurangan tenaga pengajar, dulu sih ada dua orang perempuan yang bantu-bantu aku sama Ghazwan. Tapi sekarang udah nggak lagi, mereka dapet pekerjaan yang jauh lebih baik katanya."
"Jam kerjanya gimana?"
"Kita ada dua sesi yang dimulai dari pukul 8 sampai setengah 10, lanjut sesi kedua dari setengah 10 sampai jam 11."
"Satu jam setengah emangnya cukup untuk kegiatan belajar mengajar?"
"Anak usia 4-6 tahun itu dunianya masih tentang main, main, dan main. Kalau kita terlalu banyak memakai waktu mereka, khawatir akan mengurangi kualitas fokus mereka dalam belajar. Nggak papa sebentar asalkan berkualitas, dan si anak nggak merasa tertekan. Kita mau menghadirkan suasana belajar mengajar yang menyenangkan, maka sebisa mungkin kita membuat mereka nyaman dengan lingkungannya."
"Kalau aku mengajukan diri apa diterima?"
"Emangnya boleh? Kamu, kan kerja, An."
"Aku kerja sesuai instruksi dari atasan, nggak terlalu hectic juga karena emang atasan aku sudah sangat mandiri dan bisa menuntaskan pekerjaannya sendiri. Aku itu hanya formalitas semata, lagi pula aku yakin akan dengan mudah dikasih izin. Atasan aku itu jiwa sosialnya kelewat tinggi, dia akan lebih mementingkan orang lain sebelum dirinya sendiri."
"Lebih baik kamu bicarakan masalah ini terlebih dahulu sama atasan kamu, An. Supaya kita sama-sama enak, nggak ada beban dalam menjalaninya."
Anjani mengangguk patuh.
"Tapi aku sama Ghazwan nggak bisa menjanjikan gaji yang besar dan layak. Bayaran kamu tergantung pada besar kecilnya iuran ibu-ibu, serta dana pribadi yang kami miliki."
Anjani tertawa kecil. "Aku nggak mempermasalahkan soal itu, aku mau jadi sukarelawan seperti kalian."
"Kamu serius, An?"
"Duarius malah."
💍 BERSAMBUNG 💍
Padalarang, 29 Desember 2023
Ekhem, ini Anjani lagi pdkt sama Raziq atau Ghazwan kira-kira? 🤣🤭 ... Kepo nggak sih sama kelanjutannya.
Mau dilanjoott?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top