BANAFSHA | CHAPTER 15
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Kepastian bukan hanya sekadar ucapan, tapi lebih pada tindakan."
💍🤲💍
TIDAK ada istilah tukar cincin dalam Islam, yang ada ialah khitbah. Khitbah diartikan sebagai istilah lamaran atau peminangan, secara bahasa khitbah berasal dari kata Arab yang artinya bicara. Proses pra nikah yang diperbolehkan.
Khitbah bukanlah penghalal hubungan, hanya sekadar pengikat sebelum nantinya berakad. Tetap ada batasan yang harus dipatuhi, jangan merasa sudah memiliki karena sebelum kata 'qobiltu' terucap semua kemungkinan masih bisa terjadi.
Di kalangan masyarakat hal ini kerapkali disalahartikan, bahkan setelah dilangsungkannya khitbah sepasang insan yang belum sah kian lengket bak surat dan perangko yang sulit dipisahkan. Ini jelas sudah sangat keliru dan menyalahi aturan.
"Alangkah baiknya jarak khitbah dengan nikah tidak terlalu lama, karena khawatir akan menimbulkan banyak fitnah," ujar Damar saat setelah Rahmi memasangkan sebuah gelang di tangan Raiqa.
"Baiknya memang seperti itu, Pak. Apa mau langsung membicarakan ihwal tanggal saja sekalian?" sahut Rahmi tak kalah antusias.
Meskipun dia baru pertama kali bertemu dengan Raiqa, tapi dari apa yang dia lihat dan dengar, memang calon yang dipilih sang putra merupakan pilihan paling tepat. Perangainya yang tenang, wajah teduhnya yang memancarkan kedamaian, tutur kata yang lembut menyejukkan. Serta yang paling penting ialah, sudah mampu menutup aurat sesuai syariat.
Setidaknya jika bersama Raiqa, sang putra tidak perlu bersusah payah untuk mengingatkan terkait cara berpakaian, yang kerapkali dianggap remeh tapi tentu saja itu merupakan modal utama dan paling mendasar yang seharusnya setiap wanita miliki. Harga diri seorang perempuan bisa dilihat dari seberapa terbuka atau tertutupnya kain yang membungkus tubuh.
Bukan bermaksud merendahkan perempuan yang belum tahu caranya berpakaian 'layak', tapi bukankah rasa malu sebagian dari iman? Jika hilang rasa malu, maka sudah terkikis pula keimanan dalam hatinya.
"Jadinya mau tanggal berapa nih?" tanya Mala sedikit menggoda Raiqa dan juga Ghazwan yang lebih banyak diam, serta menyimak.
"Terserah Mas Ghazwan dan keluarga," sahut Raiqa.
Rahmi terkekeh pelan. "Sebetulnya yang mau menikah ini siapa? Kenapa malah dilempar ke Ibu, to, Nduk?"
"Orang tua biasanya jauh lebih paham jika sudah menyangkut ihwal tanggal," terangnya.
"Baik, Mas maunya kapan?" Kini Rahmi beralih pada sang putra sulung.
"Mbak Raiqa menginginkan pernikahan seperti apa dan bagaimana?" Bukannya menjawab, Ghazwan malah bertanya topik lain.
"Masih kaku aja nih, panggil Raiqa tanpa embel-embel 'mbak' bisa kali, Mas," serobot Anjani merasa gemas sendiri.
"Kamu ini, nggak baik menyela obrolan orang lain. Apalagi di acara formal seperti ini," tegur Mala yang hanya dibalas cengengesan oleh putrinya.
"Cukup akad sederhana di rumah, saya menginginkan pernikahan yang intimate dan khidmat," ujar Raiqa pada akhirnya buka suara.
Ghazwan pun mengangguk paham. "Kalau memang maunya seperti itu, apa berkenan jika pernikahan dilangsungkan dua minggu mendatang?"
Detik itu juga Raiqa langsung membulatkan mata tak percaya. "Apa itu tidak terlalu cepat? Emm, maksud saya apa dua minggu cukup untuk mempersiapkan pernikahan."
"Bisa, Ray. Urus berkas-berkas ke KUA nggak makan waktu kok, yang buat lama itu kalau kamu berencana untuk mengadakan pesta. Nyari vendor dalam waktu dua minggu pasti susah, kan?" timpal Damar.
Raiqa pun akhirnya mengangguk. "Insyaallah kalau memang seperti itu, saya setuju, Mas."
"Nduk mau mahar apa?"
Bukannya menjawab, Raiqa malah memandang ke arah Mala seolah meminta bantuan. Mala memberikan senyuman paling lebar, seakan mengisyaratkan pada Raiqa untuk lebih berani menyuarakan keinginan hati.
"Yang sekiranya Mas Ghazwan mampu saja, Bu. Terkait nominal saya tidak akan mempermasalahkan, mau berupa apa pun insyaallah akan saya terima."
"Keberatan kalau saya ndak mencantumkan seperangkat alat salat sebagai mahar?"
Raiqa tentu saja menggeleng. "Justru itu lebih baik, Mas, malah saya akan merasa keberatan kalau seperangkat alat salat dijadikan sebagai mahar. Karena sependek pengetahuan saya, pertanggungjawabannya justru jauh lebih berat. Takutnya saya tidak mampu, begitupun dengan Mas."
Ghazwan mengangguk paham. Ternyata dia dan Raiqa memiliki pandangan sama. Syukurlah, dia merasa sangat lega.
"Untuk hantaran bagaimana? Apa mau beli sendiri, atau semua diserahkan pada Masmu dan Ibu, Nduk?"
Raiqa menggeleng cepat. "Tidak perlu repot-repot mempersiapkan hantaran, bukan termasuk dalam syarat sahnya pernikahan juga. Alhamdulillah pakaian saya masih layak, walaupun nggak banyak. Perintilan-perintilan lainnya juga saya rasa nggak perlu."
"Hantaran itu sebagai simbol tanggung jawab pihak mempelai laki-laki terhadap mempelai perempuan. Masa ndak ada?"
Raiqa tersenyum tipis. "Tanggung jawab setelah akad jauh lebih penting bagi saya, Bu. Lagi pula, setahu saya hantaran hanya tradisi turun-temurun."
"Aneh kamu emang, Ray, harusnya kamu terima bukan malah ditolak," sanggah Anjani seraya geleng-geleng.
"Nggak ada yang aneh, aku hanya ingin menyederhanakan pernikahan sebagaimana yang sudah Allah anjurkan. Untuk apa sih jor-joran buat acara satu hari?"
Anjani memutar bola mata malas. "Iya deh iya terserah yang punya hajat aja!"
"Akadnya mau di Jakarta atau di Solo?" tanya Ghazwan.
"Apa nggak keberatan kalau saya maunya di sini, di rumah saya?"
Ghazwan tak langsung menjawab, dia menoleh sejenak ke arah ibunya.
Rahmi mengangguk dan tersenyum simpul. "Setiap perempuan pasti memiliki pernikahan impian masing-masing, dan sebagai sesama perempuan Ibu mau ikut serta mewujudkan impian kamu, Nduk. Boleh, mau akad di mana pun nggak masalah, yang penting itu sah."
"Tapi apa boleh kalau Ibu minta sesuatu sama kalian?" imbuhnya.
"Apa itu, Bu?" sahut Raiqa hampir bersamaan dengan Ghazwan.
"Kalau bisa setelah kalian menikah di Kota, Ibu mau menggelar acara syukuran kecil-kecilan di Solo. Ibu ndak mau ada fitnah ke depannya, karena pernikahan kalian yang terkesan dadakan serta diam-diam. Ibu hanya ingin menjaga nama baik Mas dan juga kamu, Nduk," terangnya.
"Tentu saja bisa, Bu, sekalian liburan juga, kan. Hitung-hitung nambah silaturahmi, memperpanjang tali persaudaraan antar besan," sahut Damar mengambil alih.
Raiqa mengangguk setuju. Tidak ada salahnya sekarang dia yang menuruti pinta sang calon mertua.
"Setelah menikah mau tinggal di mana?" tanya Ghazwan.
Pertanyaan ini memang sangat basic, tapi jika tidak dibicarakan lebih awal khawatir justru akan menimbulkan konflik.
"Kalau untuk tempat tinggal saya sudah punya rumah pribadi, dan kalau Mas nggak keberatan kita bisa menempatinya. Sebab, selama ini pun saya hanya tinggal seorang diri."
"Saya tidak bermaksud untuk mendikte Mas harus mengikuti mau saya. Anggap saat ini kita sedang mencari sebuah kesepakatan. Saya harap Mas nggak merasa tersinggung. Keputusannya tetap ada di Mas."
Ghazwan tidak langsung menjawab, dia terlihat tengah menimang-nimang.
"Papa sarankan manfaatkan dulu yang sudah ada, karena kita nggak tahu ke depannya akan seperti apa. Memberikan tempat tinggal yang nyaman memang tanggung jawab suami, tapi jangan terlalu berpatok pada standar tersebut. Sekarang bisa tinggal di tempat Raiqa dulu, yang penting itu ada tempat untuk berteduh," jelas Damar bijak.
Ghazwan pun akhirnya mengangguk setuju. "Insyaallah, jika nanti ada rezeki lebih saya akan bangunkan rumah untuk Mbak."
"Aamiin, insyaallah ya."
💍 BERSAMBUNG 💍
Padalarang, 09 Januari 2024
Tanggalnya sudah ada nih, siap buat kondangan online? 🤭
Mau dilanjoott?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top