BANAFSHA | CHAPTER 14
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Orang beriman akan lebih memilih untuk mengamalkan, ketimbang terus memupuk ilmu tapi tak kunjung dipergunakan."
💍🤲💍
SELAIN dikenal sebagai Kota Budaya, Solo juga identik dengan sebutan Kota Batik. Batik sendiri sebagai salah satu sektor industri penting hasil manifestasi seni dan budaya di kota tersebut, tentu tak salah apabila batik menjadi identitas yang melekat dari kota ini.
Pertiga bulan sekali Ghazwan selalu menyempatkan waktu untuk pulang, dan untuk kali ini kepulangannya bukan hanya sekadar singgah dan menginap. Namun, bermaksud untuk menyampaikan apa yang sudah terjadi padanya di kota rantau.
"Mas berencana untuk menikah dalam waktu dekat, alhamdulilah pinangannya pun sudah diterima," ungkapnya begitu to the point.
Rahmi cukup tersentak, tidak pernah sekalipun sang putra membahas ihwal perempuan tapi sekalinya bercerita, mengatakan sudah meminang seseorang. Benar-benar sangat mengejutkan.
"Mas ndak macam-macam to, di kota? Ndak buat anak gadis orang meteng, to?"
Ghazwan terkekeh kecil. "Yo, ndak to, Bu."
Rahmi mengucap hamdalah berulang kali. "Mana calon bojomu, to? Ndak dibawa ke sini buat dikenalken sama Ibu."
"Kalau Ibu yang Mas bawa ke Kota piye?"
"Calonmu ndak mau yo ke sini, Mas?"
Ghazwan menggeleng kecil. "Ndak gitu, to, Bu. Kito, kan belum halal ndak baik kalau pergi-pergian berdua."
"Kapan Ibu bertemu calonmu, to?"
"Ibu bisanya kapan?" Ghazwan malah bertanya balik.
"Mas ini ditanya malah nanya balik, piye to?" sambung sang adik bernama Ambarwati.
"Yo, Mas, kan ngikut gimana Ibu, to. Ndak mau terkesan memaksa dan terburu-buru."
"Kalian ini malah ribut, kapan pun Ibu siap. Ndak sabar juga mau ketemu calonmu, Mas. Siapa namanya?"
"Namanya Raiqa Shezan Banafsha, Bu."
"Apik tenan, yo namanya, Bu," komentar Ambar.
Rahmi mengangguk setuju. "Orang Kota, yo beda, ndak kayak kita."
"Lewat jalur pacaran atau ta'aruf, Mase'?"
"Dibilang pacaran yo ndak, dibilang ta'aruf juga ndak. Mas langsung ketemu walinya buat ngelamar, ndak tahu, tuh jalur opo namanya."
"Yowes, Ibu manut-manut aja, terserah Mas. Toh, yang nantinya akan menjalani juga kalian, sing penting Ibu sudah kasih restu, to?"
Ghazwan mengangguk paham. "Ada yang mau Mas sampaikan, tapi Mas harap Ibu bisa menanggapinya dengan bijak."
Rahmi tersenyum tipis, meyakinkan sang putra bahwa dirinya akan menerima apa pun yang nanti disampaikan oleh si sulung.
"Ibu ndak masalah, kan kalau punya mantu wanita karier?"
Rahmi menggeleng kecil. "Malah itu bagus, perempuan memang harus berdiri di atas kakinya sendiri. Karena yo kita ndak pernah tahu dengan apa yang terjadi di masa depan. Setidaknya kalau ada apa-apa sama Mas, istri Mas ndak hilang arah dan hidup susah. Ibu ndak maksud doain Mas yang jelek-jelek, tapi yo, ini sebagai bentuk antisipasi, to?"
Ghazwan tersenyum lega mendengarnya. "Calonnya Mas sedang diuji dalam hal kesehatan, dia mengidap gagal ginjal kronis yang mengharuskannya untuk cuci darah 2-3 kali dalam sepekan. Mas ndak keberatan soal itu, tapi Mas khawatir Ibu yang justru merasa keberatan."
Rahmi mengelus pundak putra sulungnya. "Keberatan opo, to, Mas. Yo, ndak, Mas yang akan menjalaninya aja bisa legowo, kenopo Ibu harus merasa keberatan?"
Ghazwan mengucap syukur dan mencium punggung tangan ibunya berulang kali. Sangat amat berterima kasih.
"Kalau nanti Mas ada rezeki lebih, kan bisa melakukan transplantasi ginjal. Ibu ridai apa pun keputusan Mas."
"Sebetulnya Raiqa sudah sangat mampu untuk melakukan cangkok ginjal, tapi Mas juga ndak tahu kenapa dia lebih memilih untuk rutin melakukan cuci darah," sela Ghazwan.
"Memangnya ndak Mas tanyakan alasannya, to?" timpal Ambar.
"Belum, Dek, mungkin nanti."
"Yowes, itu bisa dibahas nanti. Boleh Ibu tahu calonmu kerja di mana?"
"Dia seorang wiraswasta jasa boga, Bu, lebih tepatnya pemilik catering yang cabangnya ada di beberapa kota besar."
"Wong sugih?"
Ghazwan pun mengangguk.
"Lha, kok iso wong sugih mau sama Mas, to?"
"Yo, ndak tahu, mungkin memang sudah jodoh, to."
"Keluarganya piye, Mas? Opo ndak masalah besanan sama kita? Ibu takut malah buat Mas malu," ujar Rahmi mendadak merasa rendah diri.
"Raiqa itu yatim piatu, Bu, wali yang kemarin Mas temui pun merupakan orang tua dari temannya. Alhamdulillah, mereka sangat baik dan menerima Mas dengan tangan terbuka lebar."
"Awalnya Mas juga khawatir dan minder, tapi ternyata Raiqa ndak kayak perempuan Kota pada umumnya yang gila sama harta."
"Itu tandanya Mbak Raiqa benar-benar wong sugih, dia ndak menilai rendah orang lain yang ada di bawahnya. Aku jadi ndak sabar mau ketemu kakak ipar. Kapan kita Kota, Mas?" seloroh Ambar begitu antusias.
"Tanya Ibu, bukan tanya Mas."
"Kapan, Bu?"
"Mas ndak capek kalau besok kita berangkat ke Kota? Atau mau istirahat dulu?" tawarnya.
"Lebih cepat lebih baik, Bu, besok juga ndak papa."
Rahmi mengangguk setuju. "Kita ndak mungkin, to datang dengan tangan kosong. Ibu belum menyiapkan apa-apa, Mas."
Ghazwan mengambil sebuah kotak perhiasan dari dalam saku celananya. "Mas sudah beli gelang sebagai simbol untuk mengikat Raiqa, sebelum akhirnya nanti kita menikah."
Rahmi mengambil alih gelang tersebut, dia melihatnya lalu tersenyum lembut. "Mau sekalian bahas tanggal juga?"
"Insyaallah, gimana keputusan nanti saja, Bu."
"Kalau nanti Mas sudah menikah, yang didahulukan harus istri Mas, bukan Ibu ataupun adik-adik Mas. Meskipun istri Mas berpenghasilan, tapi kewajiban Mas untuk memberi nafkah ndak sama sekali gugur. Itu tetap akan jadi kewajiban, dosa kalau sampai Mas abai."
"Nafkah itu ada tiga. Pertama nafkah kebutuhan sehari-hari, yakni berupa uang belanja, ongkos transportasi, tempat tinggal, listrik, pulsa dan lain sebagainya. Kedua nafkah kebutuhan pribadi istri, semisal skincare-nya, pakaiannya, make-up-nya dan masih banyak lagi. Terakhir nafkah batin, berupa diperlakukan dengan baik, dihargai, diajak bicara, didengarkan, termasuk dalam hal ini ihwal ranjang. Mas harus paham dulu soal ini, karena hukum memberi nafkah adalah wajib," terang Rahmi memberi banyak wejangan.
Ghazwan mengangguk mantap. "Insyaallah Mas akan selalu ingat dengan setiap omongan Ibu."
"Bukan hanya diingat, tapi diamalkan, yo?"
"Insyaallah."
"Kalau Mas perlu sesuatu bilang sama Ibu, jangan sampai Mas membiarkan anak dan istri Mas kekurangan. Meskipun Ibu bukan wong sugih, tapi Ibu akan mengusahakan karena Mas adalah tanggung jawab Ibu, sekalipun Mas sudah menikah."
Rahmi tidak pernah menganggap bahwa sang putra milik dia sepenuhnya, sekalipun sang putra sudah menikah. Justru Rahmi beranggapan bahwa setiap anak laki-laki akan tetap menjadi tanggung jawab orang tuanya, sekalipun mereka sudah menikah.
Dia tak ingin menyulitkan posisi sang putra. Jika memang putranya itu bisa hidup bahagia, kenapa dia harus repot-repot mengurusi kehidupannya?
Dia sadar betul, bahwasannya konflik di antara mertua dan menantu sudah jadi rahasia umum. Maka sebisa mungkin, dia menjadi figur mertua yang dapat menjalin hubungan baik dan minim akan konflik.
Mau bagaimanapun dia memiliki anak perempuan, yang pastinya berharap sang putri bungsu kelak bisa hidup berdampingan dengan damai bersama mertuanya. Dan saat ini dia hendak menabur benih, agar kelak saat tiba waktunya panen hanya ada kebaikan yang menyertai.
💍 BERSAMBUNG 💍
Padalarang, 08 Januari 2024
Alhamdulillah restu sudah dikantongi, mari kita lihat pertemuan pertama Banafsha dengan calon mertuanya. 🤭☺️
Oh, ya kalau ada penempatan kata dan istilah-istilah dalam tatanan bahasa Jawa yang keliru, tolong diingatkan ya. Terima kasih. ☺️
Masih mau dilanjoott?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top