BANAFSHA | CHAPTER 1
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Saking sibuknya berprasangka, kita sampai lupa untuk berkaca."
💍🤲💍
GHAZWAN sedikit terperanjat saat mendapati sebuah nasi kotak yang dilempar sang sahabat tepat di depan wajahnya. Dia hanya mampu geleng-geleng, sahabatnya itu memang kerapkali bertindak tidak sopan sekaligus di luar nalar.
"Ngopo, to?" tanyanya sangat kental akan logat Jawa.
"Perempuan zaman sekarang kalau belum nikah, makin ngadi-ngadi kelakuannya. Lo, lihat deh, tulisan yang ada di nasi kotak. Nggak banget!"
Pria pemilik nama lengkap Ghazwan Danadyaksa itu pun menurut tanpa banyak protes. Responsnya cukup jomplang, dia malah tertawa terbahak-bahak.
Entah apa yang sedang ditertawakan oleh lelaki berusia 26 tahun tersebut.
"Apa yang salah? Dia cuma minta didoakan, to?" komentarnya.
"Caranya kampungan, ngemis doa dan belas kasihan orang-orang dengan dalih sedekah!"
"Ndak ada yang salah, no. Selagi apa yang dia minta ndak memberatkan si penerima kenapa gak? Sah-sah aja, ndak keluar modal juga, to?" selanya.
"Ah nggak asik lo, Wan!"
"Yo, wes kalau gitu nasinya aku mangan ora popo?"
Raziq mempersilakannya tanpa lagi berkoar-koar. Akan percuma kalau berdebat dengan Ghazwan yang hidupnya terlalu lurus dan tak suka membuat ulah.
Mencak-mencak sendiri pun tidak ada gunanya.
"Iki enak lho, Ziq. Yakin ndak mau?"
"Kenyang gue, apalagi kalau inget kata-kata sarkas tuh cewek. Berlagak sok elegan, tapi nggak sadar tindakannya justru rendahan!"
"Kowe ndak boleh ngomong gitu, to, Ziq. Ndak baik!" tegurnya tak suka.
"Bodo ah!" sahutnya lantas berlalu begitu saja.
Sepeninggalnya Raziq, dia kembali menikmati nasi daun jeruk yang dilengkapi dengan semur daging tersebut dengan sangat lahap.
"Banafsha," gumamnya kala sudut mata kembali tertuju pada secarik kertas yang tertempel apik di dalam tutup nasi kotak.
Tanpa sadar bibirnya sedikit terangkat. "Dermawan sebagaimana arti namanya."
Banafsha ar Rumiyah merupakan putri dari Abdullah Al Rumiyah. Dikenal sebagai sosok yang dermawan, shalihah, serta banyak melakukan kebaikan, terutama untuk orang-orang tidak mampu.
Sebagai salah satu istri dari Kalifah Mustadi dari Kesultanan Abbasiyah di Baghdad, Banafsha memiliki kekuasaan dan harta. Namun, hal itu tidak membuatnya congkak dan lupa diri.
Salah satu istananya bahkan dia ubah menjadi sekolah hukum. Banafsha juga membangun sekolah-sekolah, jembatan, dan rumah umum untuk wanita-wanita tunawisma di Baghdad kala itu.
Tarikan di kedua sudut bibirnya kian terangkat sempurna saat dia mengingat kisah Banafsha yang hidup di abad ke-11 tersebut.
"Ngapa lo malah senyum-senyum sendiri, Wan? Cabut salat Jumat buru, bentar lagi azan."
Teguran Raziq seketika menarik lamunan Ghazwan. Dengan cepat lelaki itu pun menutup kotak nasi yang sudah tandas tak tersisa dan bersiap untuk menyusul langkah Raziq yang lebih dulu meninggalkannya.
"Gue curiga tuh nasi kotak diguna-guna," ocehnya tiba-tiba.
"Astagfirullah, yo ndak usah suudzan, to."
"Bukannya suudzan, tuh buktinya lo aneh semenjak ngabisin tuh nasi kotak. Ada peletnya kali, tuh mbak-mbak yang ngasih, kan ngebet nikah."
"Kowe iki kok sembarangan, Ziq. Orang lagi sibuk beramal kowe malah sibuk meramal. Menduga-duga dan buruk sangka itu perilaku setan!"
"Ya terus kenapa lo jadi mesam-mesem kek betina yang lagi kasmaran, hah?"
Ghazwan menggeleng pelan. "Ndak, aku cuma keinget sama Banafsha ar Rumiyah, putri dari Abdullah Al Rumiyah saat ndak sengaja baca nama perempuan yang ngasih kowe nasi kotak."
"Perempuan shalihah nan dermawan pada masanya. Beda banget sama perempuan yang tadi nggak sengaja gue temuin. Beda jauh malah, nggak bisa lo samain cuma gara-gara nama mereka yang mirip."
"Aku rasa mereka memiliki satu kesamaan, dermawan. Senang berbagi, apalagi di hari Jumat seperti sekarang, di mana Allah akan melipatgandakan sedekah yang perempuan itu keluarkan. Akhwat langka, to?"
"Langka, dikira burung merak kali ah!"
"Burung merak?"
Raziq manggut-manggut.
"Aku kira kowe akan menyamakan akhwat tadi dengan harimau Sumatra karena saking langka dan galaknya."
Langkah Raziq mendadak terhenti. "Burung merak jauh lebih mendefinisikan perempuan pemilik nama Banafsha itu."
"Iyo to?"
"Meskipun mempunyai kemampuan untuk terbang dalam kondisi tertentu, burung merak lebih memilih banyak hidup di darat. Selain berfungsi sebagai simbol keindahan, bulu burung merak juga berguna untuk mempertahankan diri dari serangan lawan. Ngerti, kan maksud gue?"
Ghazwan mengangguk singkat. "Jadi, menurut kowe dia itu indah. Cantik, to?"
Raziq mendengus lalu berujar, "Sebagai makhluk visual, dengan gamblang gue katakan dia emang cantik. Tapi, keindahan wajahnya nggak sebanding dengan mulut pedas nan sarkasnya. Sangat jomplang."
Ghazwan tertawa kecil. "Sebagaimana yang tadi kowe bilang, to? Selain berfungsi sebagai simbol keindahan, bulu burung merak juga berguna untuk mempertahankan diri dari serangan. Itu, artinya kowe adalah salah satu lawan yang harus dia hindari, wujud dari perlindungan diri."
Pemilik nama lengkap Raziq Achmad Arifin itu pun hanya mendengus seraya memutar bola mata malas.
Berbanding terbalik dengan Ghazwan yang justru tertawa terpingkal-pingkal. Melihat wajah kesal sang sahabat, merupakan hiburan tersendiri untuknya.
"Aku jadi penasaran sama akhwat yang kowe maksud, Ziq."
"Nggak usah penasaran, kalau berlanjut ke tahap mendem perasaan berabe entar!"
"Kowe terlalu banyak menduga-duga, Ziq."
"Bukan menduga-duga, tapi gue curiga lo udah tertarik sejak saat pertama kali baca namanya."
"Sok tahu kowe."
Raziq berdecih. "Lo tuh nggak bisa bohong, Wan. Gue tahu gelagat lo kalau lagi 'tertarik' sama perempuan. Tuh cewek burung merak selera lo banget!"
Kening Ghazwan terlipat bingung. "Maksud kowe?"
"Tanpa gue perjelas pun, harusnya lo udah tahu, Wan. Nggak usah masang muka polos gitu, lha."
"Nama sebagus-bagus kowe malah juluki burung merak. Ndak habis pikir aku," ujar Ghazwan menyela.
"Suka-suka gue, lha!"
Ghazwan hanya geleng-geleng, tak lagi menimpali perkataan sahabatnya.
Mereka pun memutuskan untuk tidak memperpanjang obrolan karena memang sebentar lagi akan sampai di masjid tujuan, bahkan saat mereka menapaki teras kumandang azan seketika menguar.
Setibanya di dalam, Ghazwan memilih untuk tetap berdiri seraya mendengarkan azan hingga selesai. Setelahnya baru dia menunaikan salat tahiyatul masjid.
Berbeda dengan Raziq yang lebih memilih untuk langsung duduk seraya bersandar di tembok. Posisi paling nyaman kala menunaikan salat Jumat, karena terkadang lelaki itu suka mengantuk kala imam tengah melakukan khutbah.
Benar-benar tidak patut untuk ditiru!
Ini adalah kali pertama bagi Ghazwan berangkat salat Jumat mepet waktu, karena biasanya dia selalu datang paling awal. Sebagaimana anjuran yang telah Rasulullah sampaikan;
'Siapa saja yang berangkat salat Jumat pada jam pertama, seakan-akan berkurban dengan seekor unta. Siapa saja yang berangkat pada jam kedua, seakan-akan berkurban dengan seekor sapi. Siapa saja yang berangkat pada jam ketiga, seakan-akan berkurban dengan kambing bertanduk. Siapa saja yang berangkat pada jam keempat, seakan-akan menghadiahkan seekor ayam jantan. Siapa saja yang berangkat pada jam kelima, maka seakan-akan menghadiahkan sebutir telur. Setelah imam keluar, maka catatan amal sudah ditutup, qalam pencatat sudah diangkat, dan para malaikat berkumpul di mimbar untuk mendengarkan zikir. Siapa saja yang datang setelah itu, maka ia datang hanya untuk memenuhi hak salat dan tidak mendapatkan keutamaan apa-apa,' (HR. al-Bukhari dan Muslim).
💍BERSAMBUNG💍
Padalarang, 26 Desember 2023
Ada Mas-mas Jawa nyempil di sana. Kira-kira yang bergelar sebagai pemeran utama siapa? Ghazwan atau Raziq?
Oh, ya kalau ada yang salah terkait penggunaan bahasa Jawa atau istilah-istilah dalam tatanan bahasa Jawa, tolong diingatkan ya. Soalnya aku ini wong Sunda, bukan wong Jowo 😂🤭
Penasaran? Masih mau dilanjutkan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top