PROLOG - Sejauh ini, ini yang paling jauh

"Besok saya akan datang ke rumah dan minta izin ibumu."

Kata-kata itu keluar dari mulut laki-laki yang hendak menyusupkan sebuah cincin ke jari manisku. Bisa kalian bayangkan di situasi seperti apa aku berada sekarang?

Kami duduk berdua di sebuah restoran mewah. Seorang laki-laki muda, pacarku, tersenyum manis dalam balutan pakaian semi-formal yang elegan. Aku balas tersenyum, kikuk, tak siap dengan semua kejutan ini. Wajahku memanas, mungkin merona, hingga perlu kusembunyikan dengan pura-pura tertarik pada hidangan kelas atas di depanku. Makanan porsi diet super yang belum pernah kucicipi, bersanding dengan segelas wine berumur puluhan tahun. Musik jazz mengalun pelan, mengisi ruang-ruang kosong di udara. Setidaknya, aku berpikir itu musik beraliran jazz.

Mungkin hal semacam itu yang ada di pikiran kalian. Aku pun berharap kejadiannya memang seperti itu. Nyatanya, yang sebenarnya terjadi sangat berlawanan.

Tak ada restoran mewah. Yang ada hanyalah pantri kantor tempat aku dan teman-teman menghabiskan makan siang. Tak ada makanan porsi diet atau wine puluhan tahun. Di meja pantri tersaji berbagai makanan berkalori tinggi, yang mewajibkanmu berlari puluhan kilometer untuk sekadar menguapkannya separuh saja kalorinya. Pizza beraneka rupa, burger, kentang goreng, dan beberapa kaleng soda dingin. Sangat urban. Soal musik, Cundamani-nya Denny Caknan mengalun lantang dari ponsel Ben, teman sekantorku, yang seorang sobat ambyar sejati. Entah sedang minggat ke mana dia sekarang. Aku butuh seorang teman dalam kondisi pelik seperti ini.

Lalu, bagaimana dengan laki-laki yang melamarku?

Nah, di sinilah masalah utamanya.

Semua rekan kerjaku tahu. Di umurku yang beberapa minggu lalu sudah menginjak angka dua puluh empat ini, tak pernah sekali pun aku memiliki seorang pacar. Entah kenapa. Aku tidak buruk-buruk amat, sebenarnya. Dengan sedikit bantuan filter Instagram, wajahku cukup pantas disandingkan dengan Sheila Dara atau Mawar Eva. Sayangnya, fakta itu tak mengubah apa pun. Aku tetap seorang jomlo (hampir) seperempat abad. Terakhir putus, dua puluh empat tahun lalu, dengan tali pusar yang harus segera dikubur. Jadi, benar-benar tak ada yang menyangka akan datang seorang laki-laki dengan cincin di tangan, yang berjanji akan meminta izin Ibu untuk menikahiku.

Seharusnya kamu bersyukur karena ada yang mau menjadikanmu istri. Sebagian kecil otak julid kalian mungkin berpikiran seperti itu.

Sial! Aku belum waktunya putus asa soal jodoh.

Karenanya, alih-alih menerima cincin itu, aku malah menarik tangan. Sedikit gemetar, aku berujar, "Bapak kesambet setan dari kebun bambu mana?"

Ya, aku memanggil laki-laki itu dengan panggilan Bapak. Ada dua alasan. Pertama, dia atasanku di kantor. Orang penting yang harus kuhormati demi gaji bulanan yang utuh. Kedua, laki-laki itu hanya sedikit lebih muda dari Ibu. Umurnya sudah empat puluh lima tahun.

Dua puluh satu tahun lebih tua dariku.

Satu-koma-delapan-tujuh-lima kali lipat umurku.

Author Note:

Halo, halo. Salam kenal buat yang baru pertama kali mampir ke akun ini. Salim-salim dulu *udah kayak kondangan aja*

Kalau boleh tahu, kalian tahu cerita ini dari siapa?
Dari ceria Gerha Purana Series yang lain?
Dari sosmed?
Atau, nyasar dan tahu-tahu udah sampai sini?

Apa pun penyebab kalian terdampar di sini, selamat datang. Selamat menikmati kisah Gris dan Pak Pala yang main asal lamar aja. Mainnya nggak cantik. Maklum, emang gitu kalo udah jomlo hampir setengah abad.

Udah kenalan, sekarang silakan lanjut ke bab selanjutnya. Kira-kira, Gris bakal terima lamaran Pak Pala atau nggak, ya? Cari tahu sendiri, ya.

Selamat membaca dan selamat membantu Gris kabur dari Buto Ijo. Eh, dari Pak Pala maksudnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top