BAB 9 - Bukannya tobat, malah lanjut Part-2

"Pak Pala lucu, ya? Kayak kucing."

Aku sampai di Bogor kemarin siang. Hari ini, aku sudah masuk kerja lagi, bertemu Ben lagi, yang langsung menagih oleh-oleh dan cerita konyol apa pun tentang bos kami. Aku menceritakan semuanya. Dari aku yang muntah-muntah di jam tiga pagi sampai kejadian kambuhnya alergi Pak Pala. Saat itulah komentar Ben soal Pak Pala yang seperti kucing muncul.

"Kok kayak kucing?" Aku tak tahu apa yang Ben maksud dengan kalimat itu. Pak Pala sama sekali tidak tampak seperti kucing. Singa, mungkin.

Aku melirik Dera, siapa tahu cuma aku yang tidak paham dengan referensi lelucon Ben. Untungnya, Dera pun tampak mengalami kesulitan yang sama denganku. Jadi, bukan cuma aku yang tidak up to date dengan kebaruan lelucon Ben.

"Kucing kan takut sama timun," jawab Ben, membuatku bertanya-tanya dia sedang serius atau tidak. "Jangan bilang lo belum pernah lihat video-video kucing versus timun."

Aku menggeleng.

"Lo, Ra?" tanya Ben pada Dera, tampaknya dia sedang mencari teman untuk memojokkanku. Ketika Dera juga menggeleng, Ben menghela napas dan mengembuskannya keras-keras. Seolah hendak berkata, "Ya, Tuhan. Kenapa teman-teman hamba nggak up to date banget?"

"Lihat ini." Alih-alih menggerutu, Ben malah sibuk menunjukkan ponselnya padaku dan Dera. Dia membuka Youtube dan mengetikkan 'cat versus cucumber' di kolom pencarian. Belasan video dengan thumbnail berisi kucing berekspresi aneh dan sebuah timun muncul di layar. Dia mengetuk video paling atas.

Video terputar. Seekor kucing berbulu jingga sedang bersantai, lalu tiba-tiba seseorang menggelindingkan sebuah timun ke arah kucing itu. Seketika, kucing itu melompat sangat tinggi dan mengeong, sebelum akhirnya kabur. Video berikutnya juga menunjukkan adegan yang hampir sama, meski dalam wujud kucing dan situasi yang berbeda. Ada beberapa video lagi setelah itu. Intinya, Ben berhasil membuktikan kalau leluconnya memang berdasar.

"Tapi, Pak Pala nggak takut timun kayak kucing-kucing itu," ujarku meluruskan kejadian sebelumnya. "Dia alergi, kayak kita kalau alergi seafood atau alergi kacang."

"Lo cuma belum lihat gimana reaksi Pak Pala kalau beneran disodorin timun kayak kucing tadi," sanggah Ben, dia . "Bisa jadi sama. Mau dites buat..."

"Saya dengar ada yang lagi ngomongin timun."

Suara itu bagai kilat yang menyambar tepat di samping telinga, yang aliran listriknya memercik dan mengaliri sekujur tubuh, nyaris menghentikan detak jantungku. Aku melihat Ben dan Dera yang juga mengalami efek yang sama.

Aku menoleh ke sumber suara. Di pintu masuk ruang kerja kami, Pak Pala berdiri dengan tangan terlipat di dada. "Boleh ikut ngobrol? Kebetulan beberapa hari lalu habis ada karyawan yang bikin bosnya hampir gila pakai timun."

Meski saat mengucapkan itu Pak Pala sama sekali tak memandangku, tapi sindirannya langsung ditusukkan ke dada. Dalam dan menyakitkan. Aku langsung melirik Ben dan Dera, yang belum pulih dari efek kejut kedatangan Pak Pala yang tiba-tiba. Ben mencoba menghindari tatapan semua orang, sementara Dera hanya bisa menunduk. Wajahnya pucat pasi. Sungguh sial. Biasanya dia tidak terlibat urusan membicarakan bos seperti ini. Sekali ikut, langsung ketahuan. Benar-benar sial.

"Eh, Pak Pala," sapaku berpura-pura tidak sadar dengan sindirannya. Juga, berpura-pura tidak ada yang terjadi sebelum kedatangan Pak Pala. Padahal, suaraku agak bergetar. "Tumben Bapak ke sini. Ada apa, ya, Pak?"

"Oh, iya, Dera," ujar Pak Pala memandang Dera.

"Ya, Pak?" Tubuh Dera menegak seketika. Dengan takut-takut, dia memandang wajah Pak Pala. Aku khawatir. Please, jangan Dera yang jadi tumbal. Kalau ada yang pantas ditumbalkan di sini, orang itu adalah Ben.

"Saya butuh laporan perkembangan proyek yang sedang kamu tangani," jawaban Pak Pala benar-benar melegakan. Ternyata bukan urusan tumbal lelucon Ben. "Tolong kirim ke saya besok pagi."

"Baik, Pak." Dera benar-benar terdengar lega.

"Dan, kamu, Gris." Tatapan Pak Pala beralih ke arah Gris. Ada sorot mengancam di matanya. "Ke ruangan saya sekarang."

"Ada apa, ya, Pak?" Ya, Tuhan. Tolong hambamu yang lemah dan tak berdaya ini.

"Saya mau diajari nyari video kucing versus timun," jawab Pak Pala, sebelum pergi meninggalkan ruang kerja kami. Nada suaranya kaku. Jelas, apa yang akan terjadi nanti tidak ada hubungannya dengan kucing versus timun.

Rasanya, aku ingin menonjok mulut Ben saat ini juga.

***

Suara pintu yang tertutup di belakangku serasa bunyi palu hakim. Kesalahanku sudah terbukti. Kini, aku harus mempertanggungjawabkannya. Entah hukuman macam apa yang akan aku terima.

Pak Pala sedang sibuk dengan ponselnya ketika aku duduk di depan mejanya. Dia tidak memandangku sedikit pun. Sampai-sampai, aku merasa tidak tampak baginya.

Aku menunggu. Diam.

Lama sekali kami saling terdiam. Pak Pala tak sekali pun memandang ke arahku. Apalagi memandang, melirik pun tidak. Fokus matanya tak pernah lepas dari ponsel.

"Pak, soal yang tadi..."

Aku ingin menjelaskan bahwa kami tak bermaksud menghinanya. Tapi, kata-kataku terpotong saat dia membuat gestur menyuruhku diam dengan tangannya. Persis gestur yang biasa polisi bikin saat meminta suatu kendaraan berhenti.

Aku terdiam menunggu lagi.

Lagi-lagi, ini terlalu lama. Apa ini hukuman darinya? Disuruh menghadap bos terus didiamkan entah sampai kapan. Benar-benar membuat tak nyaman. Kalau benar-benar ini hukuman, Pak Pala jelas tahu cara menghukumku.

Akhirnya, setelah belasan menit berlalu, Pak Pala meletakkan ponselnya di meja. Dia memandangku. Terdiam sejenak, lalu tampak berpikir. Lagi-lagi, ratusan detik kembali terbuang sia-sia.

"Soal yang tadi..." Aku mencoba meminta maaf lagi, tapi Pak Pala kembali membuatku terbungkam.

"Kita skip dulu soal itu," potong Pak Pala serius. Dia tidak tampak marah, untungnya. Tapi, itu tak banyak berarti. Bisa jadi, kepalanya sedang merumuskan balas dendam nan keji. "Ada hal penting lain yang harus saya bicarakan sama kamu. Soal hukuman sudah menghina saya dengan tragedi timun itu, kita selesaikan lain waktu."

"Pak, itu kami..."

"Gimana perkembangan eksplan Bambu Wulung yang kemarin bermasalah?" potong Pak Pala lagi. Sepertinya, dia benar-benar tidak ingin aku memperbaiki keadaan. "Sudah datang?"

Aku menggeleng. "Mereka masih ngusahain, Pak."

Sampai sekarang, tim lapangan belum mendapatkan eksplan yang kuminta. Mereka mengalami kendala untuk mendapatkan eksplan akar Bambu Wulung. Aku sudah menjelaskan semendesak apa kebutuhan eksplan itu, tapi tetap saja. Responnya sangat lambat. Kemudian, komunikasiku dengan tim lapangan agak terjeda urusan tugas ke Magelang, semakin molor urusan ini.

"Okey. Kalau gitu, lusa kamu berangkat ke Surabaya buat ngambil sendiri eksplannya," lanjut Pak Pala tanpa basa-basi, seolah tengah menyuruhku mengambil air putih di pantri.

Aku memelotot tak percaya. "Kok Surabaya, Pak? Sumber eksplannya, kan, di Malang?"

"Ini sumber lain."

"Terus, ini tugas keluar kota lagi buat saya?" Rasanya tak masuk akal. Rasa lelah dari Magelang saja belum hilang sampai sekarang.

"Iya."

Perjalanan bisnis lagi? Secepat ini? Yang benar saja? "Tapi, Pak, saya baru pulang kemarin."

"Ini tugas kantor." Nada suaranya benar-benar menyebalkan. Kenapa dia bisa semarah itu, sih, soal guyonan timun saja? "Kamu yang akan memimpin pengambilan eksplan itu. Tim lapangan Surabaya nggak ada yang berpengalaman dengan eksplan bambu, jadi harus ada orang dari pusat yang datang. Kamu yang paling tahu project ini, jadi kamu yang berangkat."

Tak ada harapan. Aku menghela napas dan membuangnya. "Apa ini hukuman buat saya?"

"Bukan. Ini cuma tugas kantor biasa," jawab Pak Pala tak terlihat bercanda. Sejak tadi, memang tidak ada hawa lucu-lucunya sama sekali. "Soal hukuman karena diam-diam gunjingin bos, sudah saya siapin yang lebih dari ini. Terbang ke Surabaya setelah pulang dari Jogja akan terasa seperti liburan dibanding hukuman ini."

***

Ben benar-benar merasa bersalah setelah tahu aku dihukum dengan tugas keluar kota lagi. Yah, Pak Pala memang bilang ini bukan hukuman yang dimaksud, sih. Tapi, tetap saja. Ini terasa seperti hukuman bagiku.

"Sendirian, Gris?" tanya Ben. Rasa bersalah masih menodai nada suaranya. "Nggak sama Pak Pala lagi?"

Aku menggeleng. "Iya, kali ini gue tugasnya sendirian."

Ben terdiam, seperti tak tahu harus melanjutkan dengan percakapan seperti apa lagi. Ini sangat bukan Ben. Dia adalah cowok paling banyak omong yang pernah Gris kenal. Jadi, kalau dia sampai kehabisan kata-kata, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, rasa bersalahnya benar-benar besar dan nyata, yang seketika membuat kekesalanku padanya luntur pelan-pelan. Kedua, dia sedang merencanakan sesuatu. Kupikir, dua opsi itu sedang bekerja bersama.

Ben tiba-tiba berdiri dari kursinya. Sangat tiba-tiba, sampai-sampai aku dan Dera berjengit terkejut.

"Mau ke mana lo?" tanyaku penasaran. Jangan-jangan ini hasil buah pikirannya tadi, yang membuatnya kehilangan kata-kata.

"Mau ke ruangan Pak Pala." Dia sudah meninggalkan meja kerjanya.

"Ngapain?" Entah apa pun rencana Ben, aku khawatir ini akan jadi masalah baru.

"Gue mau minta ditugasin ke Surabaya sama lo," jawab Ben membuatku terdiam. Aku tak menyangka rencana seperti itu yang keluar dari otaknya. "Bambu Wulung emang bukan tanggung jawab gue, tapi gue juga tim riset proyek bambu ini. Jadi, ya, gue ngerasa ada tanggung jawab moral buat bantuin lo agar proyek ini sukses besar."

Kata-kata seperti itu nyaris tak pernah keluar dari mulut Ben. Entah apa yang terjadi padanya. Namun, apa pun, aku menyukai ide itu. Pasti menyenangkan kalau Pak Pala menyetujui permintaan Ben. Setidaknya, akan ada orang yang benar-benar kukenal di Surabaya nanti. Berada di tempat dengan orang-orang baru tanpa ada seorang pun yang kukenal selalu agak menakutkan.

Aku memberi Ben acungan jempol. "Good luck, then."

Author Note:

Hallo, manteman. Sorry, ya, kemarin kudu lembur akhir tahun, jadi nggak sempet buat update. Sebagai gantinya, aku update hari ini.

Setelah kemarin beberapa bab Ben nggak muncul, sekarang Ben udah kembali dengan mulut racunnya. Malah, di Bab ini omongan Ben bikin Gris kena getahnya. Capek dari Jogja belum kelar, eh udah disuruh pergi lagi. Sendirian lagi.

Kira-kira, Pak Pala bakal ngizinin Ben ikut ke Surabaya, nggak, ya? Atau, Gris bakal bener-bener sendirian? Atau, malah Pak Pala yang mau ikut?

Yang mana yang bener, kita lihat di update minggu depan.

Oh, iya. Terakhir, terima kasih sudah membersamai Gris dan Pak Pala sampai sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top