BAB 8 - Pengin ketawa, tapi takut dosa

Beberapa hal tak menyenangkan terjadi bersamaan. Kuharap bukan karma berat, mungkin cuma kesialan beruntun.

Semua bermula dari pertanyaan mengejutkan ini. "Besok kita punya waktu luang sehari. Ada tempat yang mau kamu kunjungi sebelum balik ke Bogor?"

Pertanyaan itu keluar dari mulut Pak Pala semalam, saat kami makan malam di cafe yang ada rooftop hotel. Aku memandang Pak Pala, meneliti pakaian yang dia kenakan. Polo shirt abu-abu, celana pendek hitam, dan sandal hotel. Pakaian santai. Pantas ramah.

Pekerjaan yang seharusnya memakan waktu empat hari, berhasil kami selesaikan dalam dua hari. Dua hari berturut-turut, kami menghabiskan lebih dari sepuluh jam di calon laboratorium Magelang. Kami bekerja sampai petang. Hari pertama melakukan fiksasi tata letak lab, hari kedua fiksasi protokol-protokol yang akan digunakan di lab ini.

"Saya penasaran sama Gereja Ayam yang jadi lokasi syuting AADC 2, Pak," jawabku semalam. Sejak selesai nonton AADC 2 di bioskop, aku punya cita-cita untuk mengunjungi lokasi-lokasi syutingnya. Sayangnya, aku tak pernah punya kesempatan. Baru kali ini kesempatan itu muncul. "Mumpung lagi di Jogja, saya pengin banget ke sana."

Karena jawaban itu, di sinilah kami sekarang. Di Gereja Ayam? Tentu saja tidak. Mendekati pun tidak. Sejujurnya, aku bahkan tak tahu di mana persisnya kami sekarang.

Singkat kata, kami tersesat.

Seharusnya aku mengingat peringatan Ben untuk tak membiarkan Pak Pala menyetir di daerah yang tidak dia kenali. Awalnya, ketika masih di jalan raya, perjalanan sangat lancar, aku sampai yakin Pak Pala benar-benar tahu ke mana kami harus menuju. Sayangnya, begitu perjalanan mulai memasuki wilayah perkampungan, Pak Pala mulai meragukan kemampuan navigasinya. Kemampuanku? Sama buruknya.

"Menurut google map, harusnya kita belok di pertigaan yang tadi, Pak," ujarku beberapa belokan lalu, sebelum kami benar-benar tersesat. Aku mencoba memahami peta elektronik di ponsel yang tidak benar-benar akurat. Sinyal ponsel di tempat ini agak buruk.

Sekarang, matahari sudah sangat tinggi. Ponselku menunjuk pukul 11.43. Terlalu pusing untuk tersesat lagi, kami berhenti di dekat sebuah lapangan sepak bola, sembari mencoba mendinginkan suasana. Di seberang lapangan itu, ada bangunan sekolah dasar yang ramai oleh anak-anak berseragam merah-putih. Di depan gerbang SD itu, terdapat beberapa gerai penjual makanan dan minuman. Aku butuh minuman dingin untuk me-refresh otak.

"Bapak haus?" tanyaku sembari melepas sabuk pengaman. "Saya mau beli minum di sana."

"Saya nggak haus," jawab Pak Pala agak ketus, terlihat agak kesal. Sepertinya, dia kesal dengan dirinya sendiri.

Dia menatap lekat ponsel yang sedang menampilkan aplikasi google map. Serius sekali, sampai-sampai kedua alisnya hampir menyatu. Tatapannya tajam. Kalau mata Pak Pala bisa mengeluarkan laser, ponsel itu pasti sudah berlubang.

"Pak, hape-nya bisa bolong kalau dilihatin sampai segitunya," ujarku bercanda agar Pak Pala menjadi sedikit lebih santai. Dia tampak tertekan. Tak kusangka, orang seperti Pak Pala bisa stress hanya karena gagal memahami cara kerja sebuah peta elektronik.

Pak Pala tak merespon. Pandangnya masih belum berubah, tak mengendur sedikit pun.

"Bener ini, Pak, nggak mau beli minum?" Aku makin berani mengganggunya.

"Nggak," balas Pak Pala, agak meninggikan suara. Aku berjengit, agak terkejut. Sepertinya aku sudah mulai melewati batas bercanda yang bisa dia tolerir.

"Baik, Pak." Aku buru-buru membuka pintu dan keluar dari mobil. Tanpa peduli dengan Pak Pala, aku langsung menuju ke sebuah gerai kecil penjual jus buah.

Lima belas menit kemudian, aku sudah kembali dengan dua gelas mix juice rekomendasi pemilik gerai. Katanya, mix juice itu yang paling laris di sini.

"Yuk kita lanjut ke Gereja Ayam. Saya udah paham cara baca google map," ujar Pak Pala tiba-tiba begitu aku membuka pintu mobil. Dia terlihat sangat ceria.

Aku melongo bingung. Mood Pak Pala benar-benar berubah hanya dalam waktu kurang dari lima belas menit. Tekanan yang dari tadi muncul di wajahnya sudah lenyap. Benar-benar tak bersisa.

"Bapak nggak apa-apa?" Aku khawatir sesuatu yang buruk terjadi padanya.

"Saya baru lihat di Youtube," jawab Pak Pala masih dengan keceriaan yang mengkhawatirkan.

Aku masuk ke mobil dan menaruh satu gelas jus di tempat gelas. Ketika aku memasang kembali sabuk pengaman, Pak Pala tiba-tiba berujar, "Ini buat saya, kan?"

Dia mengambil satu gelas jus yang aku taruh di tempat gelas.

"Loh, katanya tadi Bapak nggak haus?" Aku hanya mengerjainya. Sebenarnya aku memang sengaja membeli lebih, kalau-kalau Pak Pala kehausan di tengah perjalanan nanti. Tidak kusangka dia malah langsung mengklaim minuman itu.

"Itu kamu beli dua. Sayang kalau satunya nggak diminum." Dia sudah menyedot minumannya. Cepat, sampai hanya bersisa seperempat gelas dalam waktu kurang dari lima menit. Dalam waktu yang sama, aku baru berhasil menyedot seperempat isinya saja.

Setelah itu, dia mulai melajukan mobilnya. Untuk sesaat aku seolah percaya dengan Pak Pala. Dia tampak paham ke mana harus melajukan mobilnya. Setiap persimpangan dia pilih dengan mantap. Aku lega. Dia benar-benar mulai tahu cara berdamai dengan peta elektronik, hingga tiba-tiba sesuatu yang buruk terjadi.

Hal pertama yang kusadari adalah perubahan wajah Pak Pala. Wajah cerianya tiba-tiba berubah khawatir. Sedikit kesakitan juga. Aku sempat takut dia kehilangan kepercayaan dirinya lagi dan kami harus tersesat lebih jauh. Tapi, yang muncul di wajah Pak Pala bukan ekspresi tertekan seperti beberapa puluh menit lalu. Ini ekspresi wajah yang lain. Yang membuatku agak ketakutan.

Dia mulai menggaruk tangannya. Mula-mula pelan, hanya di sekitar siku. Lama-lama, tangan kirinya menjarah pergelangan dan lengan kanan, lalu beranjak ke leher dan wajah. Bahkan, Pak Pala seperti ingin menjangkau semua bagian tubuhnya secara bersamaan.

Aku tak tahu apa yang terjadi. Aku melihat apa yang Pak Pala lakukan seperti yang pernah kulakukan saat puluhan semut menyebar di tubuhku karena aku tak sengaja menginjak sarang mereka. Waktu itu, aku sedang membantu Ibu beberes gudang di rumah. Kejadian saat itu mengerikan. Gatal di sekujur tubuh.

Apa Pak Pala juga mengalami hal itu? Tapi, tidak ada satu pun semut yang terlihat. Pasti ada masalah lain.

Hingga akhirnya, Pak Pala menghentikan mobil di tepi jalan. Sangat mendadak, sampai-sampai aku khawatir ada kendaraan lain di belakang yang tiba-tiba menyeruduk. Untungnya jalanan perkampungan ini sepi.

"Bapak kenapa?" Aku khawatir. Ada ketakutan tak wajar yang mulai mengintip. Aku sempat berpikir Pak Pala sedang mengerjaiku. Namun, Pak Pala bukan tipe yang bercanda dengan cara seperti itu. Malahan, dia memang nyaris tak pernah bercanda.

"Jus tadi," kata Pak Pala di tengah usahanya menjangkau setiap inci tubuhnya. Suaranya menunjukkan betapa dia sangat tersiksa. "Itu mix juice, ya?"

"Iya, Pak," jawabku takut.

"Mix nanas sama apa?" Napas Pak Pala mulai terengah. Mulai muncul bintik-bintik kemerahan di tangannya. Leher dan wajahnya pun memunculkan gejala yang sama.

"Timun, Pak." Ya, Tuhan, jangan sampai aku meracuni bosku. Kalau ada apa-apa, aku satu-satunya orang di sini. Sudah pasti aku akan menjadi tersangka.

"Kenapa nggak bilang kalau dicampur timun?" Meski tadi sempat terengah, ternyata Pak Pala masih bisa membentak. Aku sampai menjauhkan diri hingga tubuhku menghimpit pintu.

"Saya nggak tahu Bapak nggak suka timun. Bapak juga tadi langsung ambil saja nggak nanya saya dulu." Aku semakin jauh mengambil jarak dari Pak Pala. Perasaanku mulai tak keruan. Takut seandainya Pak Pala melakukan sesuatu yang tidak kuharapkan.

"Saya bukan nggak suka timun." Dia mengoreksi. Nadanya sudah mulai turun, tapi masih lebih tinggi dari normal. "Saya alergi timun."

Alergi? Timun?

Aku tak pernah menyangka hal seperti ini bernar-benar ada.

***

Ya, alergi timun memang benar-benar ada. Aku mencari informasi ini setelah kami sampai di hotel. Tentu saja rencana kami mengunjungi Gereja Ayam berantakan.

Siang tadi, setelah Pak Pala bilang dia alergi timun, aku tak langsung percaya. Kupikir dia bercanda hanya untuk membuatku merasa bersalah. Namun, dia tak sedikit pun menunjukkan raut bercanda apa pun. Hingga, saat sadar dia serius, aku tiba-tiba panik. Aku tak pernah menangani orang alergi. Lebih tepatnya, aku tidak pernah berada di kondisi harus merawat orang sakit.

"Bapak bawa obat alergi atau semacamnya?" Aku tak tahu jenis obat apa yang harus kuminta. Rasa panikku tak membantu, membuatku sulit untuk berpikir jernih.

"Ada di hotel." Rasa gatal itu sepertinya makin parah. Pak Pala makin sulit menahan untuk tak menggaruk tubuhnya.

Obatnya ada di hotel. Sama sekali tak membuat tenang. "Apa yang harus saya lakukan?"

"Kamu bisa nyetir?"

Aku menggeleng. Sebenarnya, aku sudah berlatih. Hanya saja, aku belum berani membawanya di jalan raya. Lagi pula, aku tidak mau kena tilang karena tidak punya SIM.

"Kalau gitu, telepon Pak Hendru."

Setelah itu, waktu berlalu dalam kepanikan. Aku menghubungi Pak Hendru dan menjelaskan kejadian yang menimpa kami. Pak Hendru sempat tertawa waktu aku bilang kami tersesat.

"Harusnya Mbak bilang kalau mau main di sekitar Magelang. Kan saya bisa minta tolong orang buat jadi penunjuk arah," sela Pak Hendru di tengah kepanikanku.

Masalah pertama muncul begitu aku harus menjelaskan di mana kami sekarang. Sialnya, aku benar-benar tak tahu. Aku mencoba mengirim titik lokasi via pesan singkat, tapi sepertinya tidak akurat. Hingga, saat ada seseorang yang melintas, aku meminta bantuannya untuk menjelaskan di mana kami berada. Syukurlah, Pak Hendru akhirnya tahu di mana kami.

Tawa kedua Pak Hendru muncul ketika aku bilang alergi timun Pak Pala kumat.

"Alergi timun? Masak sih, Mbak? Alergi itu biasanya udang atau kacang."

Aku tak terlalu menggubris itu. Aku cuma minta Pak Hendru untuk cepat ke sini. Untungnya, dia langsung setuju.

Dia datang sekitar setengah jam kemudian. Berdua, berboncengan motor dengan salah satu bawahannya yang aku temui di laboratorium kemarin. Hanya saja, aku tak ingat namanya.

Akhirnya, Pak Hendru menggantikan Pak Pala menyetir dan kami meluncur pulang ke Jogja. Anak buah Pak Hendru mengekor di belakang dengan motor. Dia adalah alat transportasi pulang Pak Hendru nanti.

Dan, di sinilah aku sekarang. Kembali ke hotel, batal mengunjungi Gereja Ayam, dan harus menjaga bos yang alergi anehnya kumat gara-gara aku.

"Kamu bisa balik ke kamar kamu." Suara agak serak Pak Pala memecah hening. Aku yang sedang mencicil laporan langsung menoleh pada Pak Pala yang baru bangun tidur.

Beberapa jam lalu, setelah sampai di hotel, Pak Pala kami langsung membawa Pak Pala ke kamarnya. Kami langsung membongkar tas Pak Pala untuk mencari obat alerginya. Setelah minum obat itu, Pak Pala jadi sedikit lebih tenang, dan dia pun tertidur.

"Bapak sudah baikan?" Ini seperti kebalikan adegan tiga hari lalu. Bedanya, ini aku yang menunggui Pak Pala tidur.

Pak Pala bangkit dan bersandar di kepala Ranjang. "Ya, udah nggak kerasa apa-apa."

"Kalau gitu, saya balik ke kamar saya," ujarku pamit. "Saya belum sempat packing."

Pak Pala mengangguk. "Makasih, ya, Gris."

"Santai aja, Pak," balasku agak menyombong. "Tiga hari lalu Bapak juga jagain saya. Jadi, anggap aja kita impas."

"Mana bisa impas. Tiga hari lalu, bukan saya yang bikin kamu sakit perut."

Dasar. Sudah bagus-bagus saling berterima kasih, malah mengungkit masa lalu. Tua bangka ini memang selalu mengajak perang.

"Bapak jangan pura-pura lupa kalau Bapak yang ngajak saya makan di tempat pedas itu," balasku tak mau kalah dalam perang semacam ini. Aku berjalan ke arah pintu. "Saya udah googling. Alergi timun nggak bikin amnesia, Pak."

Author Note:

Hallo, manteman pembaca. Ketemu lagi sama Gris dan Pak Pala. Setelah minggu lalu Pak Pala agak cemburu lihat Gris ngobrol sama Mas Sagara, sekarang Pak Pala punya waktu banyak buat berdua sama Gris. Tapi, sok-sokan mau berdua doang sama Gris, jadinya malah nyasar hahahaha. Belum lagi, ada kesialan lain.

Ternyata Pak Pala punya alergi. Alergi bukan sembarang alergi. Beliau alergi Timun. Ada yang udah pernah denger alergi jenis ini?

Untungnya, ada yang siap-siaga bantuin Gris sampai Jogja lagi. Sekalipun rencana pikniknya jadi berantakan. Awal perjalanan Gris yang sakit, akhir perjalanan Pak Pala yang sakit. Impaslah. Mereka sudah saling merawat dan dirawat. Simulasi tipis-tipis 🤭

Oke, manteman. Segitu dulu ya update malam ini.

Oh, iya. Buat yang udah baca dan komen di 2 bab sebelumnya, sorry ya belum sempet balesin satu-satu. Aku balesin secepatnya.

See ya next week.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top