BAB 7 - Sederhana, tapi Pak Pala enggak suka

Aku bersyukur Pak Pala tahu ke mana dia harus menyetir. Kupikir, apa yang dikatakan Ben waktu itu akan terjadi. Untungnya, tidak. Kami sampai lokasi tujuan dengan selamat. Yah, memang beberapa kali sempat salah belok, tapi tak butuh waktu lama bagi Pak Pala untuk ingat jalur sebenarnya.

Saat akhirnya mobil yang kami tumpangi berhenti di parkiran sebuah bangunan dua lantai, matahari sudah beranjak. Udara dingin agak berkabut langsung menyerang begitu aku keluar dari mobil. Untung saja aku mengenakan kemeja lengan panjang dan celana kain. Pak Pala juga mengenakan kemeja lengan panjang dan celana kain. Dia sudah kembali ke kostum formalnya. Mungkin, sudah saatnya aku berjaga-jaga untuk menghadapi Pak Pala yang seorang bos.

"Selamat pagi, Pak, Mbak." Seorang laki-laki paruh baya menyambut kedatangan kami. Dia menjabat tangan kami satu per satu.

"Pagi," jawab Pak Pala membalas jabat tangan laki-laki itu.

Aku juga membalas jabat tangan yang sama. "Pagi, Pak."

Di samping laki-laki itu, berdiri dalam balutan celana jeans biru dan kemeja hijau army, ada Mas Sagara. Dia pun turut menjabat tangan kami. Namun, alih-alih mengucapkan selamat pagi, Mas Sagara malah menanyakan hal yang kupikir tidak dia ketahui. "Gimana, Gris? Udah baikan?"

Aku memandangnya agak terkejut sebelum menjawab dengan malu-malu. Ternyata insiden sakit perut itu sampai juga di telinga Mas Sagara. "Udah, Mas. Udah nggak apa-apa sekarang."

Setelah basa-basi sebentar dengan laki-laki asing itu, yang ternyata bernama Hendru, kami masuk ke bangunan dua lantai itu. Pak Hendru mengajak kami berkeliling ke setiap ruang dalam bangunan itu. Sementara Pak Pala berjalan di samping Pak Hendru, aku berjalan di samping Mas Sagara, sekitar dua langkah di belakang Pak Pala.

Semalam aku sudah membaca ulang laporan singkat yang dibuat oleh Mas Sagara kemarin. Laporan itu sebenarnya dikirim oleh Mas Sagara ke Pak Pala, tapi Pak Pala mem-forward-nya ke email-ku juga. Katanya, ini penting untuk dipelajari sebelum kunjungan ke lapangan.

Dari laporan singkat yang aku pelajari, bangunan dua lantai ini akan difungsikan menjadi laboratorium baru JCTC. Ini akan jadi bagian dari JCTC Jawa Tengah, khusus untuk produksi bibit sayur. Tugas Pak Pala, Mas Sagara, dan aku di sini adalah untuk memastikan semua sudah siap untuk dioperasikan dalam satu bulan ke depan.

"Lantai satu akan jadi kantor administrasi dan ruang preparasi," ujar Mas Sagara ketika kami berada di ruangan luas dengan empat beton besar berpermukaan keramik tertata dalam jarak teratur. Rak-rak berisi botol-botol bahan kimia berdiri di samping masing-masing meja. Di sisi kanan ruangan, rak-rak besar penuh dengan barang-barang pecah belah, seperti gelas ukur dan erlenmeyer.

Ruang preparasi adalah ruangan di mana kami menyiapkan semuanya, termasuk sterilisasi alat, persiapan eksplan sebelum ditanam, dan pembuatan media tanam.

"Lantai dua akan jadi ruang transfer dan inkubasi," lanjut Mas Sagara.

Aku mengangguk.

Tak lama setelah Mas Sagara menjelaskan tata letak ruang transfer dan ruang inkubasi, Pak Hendru mengajak kami ke lantai dua. Ruang pertama yang kami kunjungi adalah ruang transfer, tempat kami menanam eksplan ke media tanam. Belasan laminar air flow cabinet, kabinet untuk menanam eksplan, berjajar rapi di ruangan yang sebenarnya tidak terlalu luas ini. Menurutku, bahkan terlalu sempit untuk jumlah laminar sebanyak itu. Sepertinya pergerakan pegawai tanam akan sedikit terbatas di ruangan ini. Agak membahayakan.

Lalu, ruang berikutnya adalah ruang yang berisi puluhan rak kayu lima sap. Di masing-masing sap, botol-botol kaca mirip botol selai berjajar rapi. Botol-botol itu masih kosong, tapi dalam beberapa bulan ke depan, tunas-tunas kecil akan tumbuh di dalamnya. Bagian paling menyenangkan dari rangkaian kultur jaringan selalu ada di ruangan ini. Ruang inkubasi, tempat kita menunggu dengan cemas apakah eksplan yang kita tanam akan tumbuh atau tidak.

Tur singkat kami berakhir di rooftop bangunan, yang ternyata tidak kosong. Ada dua rumah kaca di atas bangunan itu. Dua rumah kaca itu akan jadi tempat adaptasi bibit pertama kali setelah keluar dari botol, sebelum ditanam di lahan petani.

Tidak hanya keberadaan rumah kaca itu yang mengejutkan, tapi pemandangan di sini juga menakjubkan. Sejauh mata memandang, deretan warna hijau mendominasi. Sawah dan ladang sayuran yang sedang hijau-hijaunya. Di sisi Barat, cukup jauh, dua gunung berdiri gagah. Entah gunung apa. Aku tidak terlalu paham dengan letak geografis gunung-gunung nusantara. Yang jelas, tampak sangat cantik.

Rooftop ini sepertinya bisa menjadi tempat melepas lelah yang menyenangkan bagi orang-orang yang nanti bekerja di laboratorium ini. Udara dingin, cenderung segar saat matahari yang sudah agak tinggi, dengan pemandangan alam yang siap memanjakan mata. Andai saja kantor di Bogor punya pemandangan seperti ini.

"Itu Sindoro-Sumbing," ujar Mas Sagara tiba-tiba, sedikit membuatku terkejut. Sepertinya kebingunganku terlalu kentara di wajah, sampai-sampai Mas Sagara bisa membaca isi kepalaku. "Letaknya di perbatasan Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo. Besok, customer produk dari lab ini sebagian besar akan datang dari petani-petani di dua kabupaten itu."

Aku mengangguk. Mas Sagara benar-benar royal soal pengetahuan. Dari tadi, tanpa kuminta, dia terus menjelaskan detail-detail dari tempat yang sedang kami survei. Cukup membantuku dalam memahami kondisi sebenarnya dari tempat yang sedang kami hadapi.

"Pernah naik gunung?" tanya Mas Sagara lagi, dia ikut menerawang jauh ke balik Sindoro-Sumbing.

"Pernah sekali, pas kuliah semester-semester awal dulu. Naik Papandayan." Aku bukan orang yang suka dengan kegiatan outdoor. Dulu saja, aku ikut naik gunung karena sedang naksir bego kakak angkatan. Konyol, aku rela menyiksa diri demi bisa dekat dengan cowok itu, yang sekarang entah di mana.

"Tanggal 24 bulan depan, mumpung long weekend, saya ada rencana ke Ijen. Mau ikut?"

Tawaran yang menarik, tapi...

Belum juga aku sempat memikirkan jawaban untuk pertanyaan Mas Sagara, tiba-tiba namaku dipanggil Pak Pala.

"Gris," panggil Pak Pala. Aku langsung berbalik dan mendekat padanya. Pak Pala tampak tak senang. Entah tak senang aku malah mengobrol alih-alih kerja, atau dia cuma tak senang aku mengobrol dengan Mas Sagara. "Sebagai orang yang setiap hari kerja di lab, menurutmu gimana lab ini? Ada hal yang kurang atau nggak tepat?"

Aku membuka block note yang dari tadi kupegang. Selama tur gedung, aku sudah mencatat beberapa hal yang menurutku bisa diperbaiki. Detail-detail yang akan mengganggu efektifitas kerja kalau dibiarkan.

"Menurut saya, secara umum kesinambungan antarruang sudah saling terhubung," ujarku memulai. Laboratorium kultur jaringan memang harus berkesinambungan antarruangnya. Dari ruang preparasi, ke ruang transfer, dan berakhir di ruang inkubasi. Alur itu protokol wajib untuk meminimalkan kontaminasi yang bisa menyebabkan kegagalan. "Tapi, saya menemukan beberapa hal yang bisa mengurangi efektifitas kerja."

Semua orang memandangku. Wajah mengintimidasi Pak Pala yang biasa sudah kembali. Aku jadi yakin dengan teoriku. Pakaian yang dikenakannya berpengaruh pada pembawaan diri.

"Pertama, ruang preparasi, letak rak glassware berada terlalu jauh dengan autoclave dan oven," lanjutku mencoba merinci detail-detail yang aku temukan. "Sebaiknya, rak glassware dan alat-alat sterilisasi ditata dalam jangkauan satu sama lain. Ini akan mempermudah pekerja sterilisasi nantinya."

Aku membuka block note ke catatan berikutnya. "Yang kedua, jumlah laminar di ruang transfer terlalu banyak. Perbandingan antara luas ruangan dan jumlah laminarnya tidak seimbang, sehingga jarak antar laminar jadi terlalu rapat. Ini akan menggangu kinerja pegawai tanam nantinya." Aku mengintip block note-ku lagi, tapi tak menemukan catatan lain. "Saya pikir, itu saja yang perlu dibenahi."

Pak Hendru mengucapkan terima kasih. Pak Pala mengangguk biasa, tidak terlihat jelas maksud anggukannya. Mungkin 'kerja bagus' atau 'segitu doang?'. Entah yang mana. Tidak mengeluarkan ekspresi kecewa saja sudah cukup buatku. Sementara itu, Mas Sagara menepuk lembut pundakku. Dua kali. "Teliti juga kamu, ya?"

Aku berjengit, terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba. Aku tak siap dengan kontak fisik semacam ini. Pun tidak siap dipuji oleh seseorang yang begitu kukagumi.

"Makasih, Mas." Aku menoleh padanya, hanya untuk mendapati rentangan senyum manis Mas Sagara yang diberikan padaku. Seketika, detak jantungku berlomba dengan embusan napas. Saling susul.

"Sudah agak siang, bagaimana kalau kita turun," ujar Pak Hendru beberapa saat kemudian. "Istri saya sudah siapin minuman hangat sama camilan di bawah."

Semua orang meniti anak tangga ke lantai satu dalam urutan yang sama seperti sebelumnya. Pak Hendru dan Pak Pala berjalan bersisian, sementara aku dan Mas Sagara mengekor di belakang mereka.

"Soal tawaran saya tadi, gimana?" tanya Mas Sagara tiba-tiba.

Aku bingung. Otakku sibuk mencari tawaran apa pun yang sudah diaturkan Mas Sagara padaku. Sialnya, aku tak mengingat satu pun. "Tawaran apa, ya, Mas?"

"Naik Ijen?"

Oh, itu.

Ini kesempatan besar untuk bisa dekat dengan Mas Sagara, agar hubungan kami tak jadi sebatas fans dengan idola seperti kata Ben. Tapi, kegiatan outdoor benar-benar bukan keahlianku. Saat dulu naik Papandayan saja aku hampir merepotkan satu kelompok. Aku tak mau keinginanku dekat dengan Mas Sagara justru menjadi bumerang.

"Saya pikir-pikir dulu deh, Mas," ujarku mencoba meminta waktu untuk memutuskan. Otakku yang mulai kehabisan oksigen sulit berpikir jernih. Aku tak ingin langsung menerima atau menolak. Aku tak ingin menyesali keputusan yang salah. "Saya baru sekali naik gunung, itu pun udah lama banget. Saya takut malah jadi ngerepotin nantinya."

Mas Sagara malah tertawa. "Tenang aja. Kalau kenapa-napa, ada yang siap buat direpotin, kok."

Eh, ada yang siap direpotin? Mas Sagara? Apa itu salah satu bentuk asuransi dari tawaran itu?

Mas Sagara menambahkan senyum manis sesaat setelah kalimatnya berakhir.

Entah. Aku tak tahu sudah sampai mana balapan lari detak jantung dan tarikan napasku sekarang.

Author Note:

Halo, manteman pembaca. Udah sampai Bab 7 aja. Artinya udah 7 minggu Gris dan Pak Pala nemenin kita.

Perjalanan dinas pertama Gris dan Pak Pala akhirnya benar-benar dimulai. Setelah sempat ketunda karena Gris sakit, akhirnya mereka jalan juga. Nyasar dikit nggak ngaruh. Kata-kata Ben ternyata nggak kebukti. Mungkin Ben hiperbola. Dan, di perjalanan pertama ini, Pak Pala udah mulai dapat lawan. Mas Sagara mulai gombal-gombal tipis. Pake modus ngajak naik Ijen segala. Kalau Pak Pala tahu, bakal gimana, ya? Apa Gris dilarang ikut atau Pak Pala jadi orang ketiga di antara Gris dan Pak Pala? Kita lihat aja gimana nanti.

Untuk sekarang, sampai di sini dulu, ya.

Sampai ketemu minggu depan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top