BAB 5 - Kalau kamu cari yang tahan pedas, aku mundur

Setidaknya, ada yang bisa disyukuri dari perjalanan ini: keberadaan Mas Sagara.

Akhirnya aku benar-benar ikut dalam perjalanan bisnis Pak Pala, seminggu setelah aku menerima tugasnya. Tadinya, seiring semakin dekat jadwal keberangkatan kami, aku semakin khawatir. Untungnya, H-2 sebelum keberangkatan, aku mendapat kabar gembira.

Hari itu, aku sedang mengunjungi Lita, rekan kerjaku di Divisi Produksi untuk mengonfirmasi beberapa hal. Saat berada dalam diskusi serius, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruangan. Diskusi kami sempat terinterupsi.

"Siang, Pak?" Lita memberi salam pada orang itu.

Aku menoleh, hendak ikut memberi salam, tapi aku malah mematung seperti orang bodoh. Bagaimana tidak? Orang yang baru saja masuk adalah Mas Sagara. Pria bertubuh tinggi dengan setelan warna maroon. Rambutnya tertata rapi, hitam legam dan tampak berkilau. Dia seperti baru keluar dari studio iklan minyak rambut. Wajahnya? Tak perlu ditanya lagi. Dia memiliki tipe wajah oval mulus. Benar-benar berseberangan dengan wajah kotak tegas Pak Pala. Kalau aku menggunakan teori model kalender, aku mungkin akan menempatkannya di lembar bulan Februari atau Maret.

Lantas, siapa yang akan aku taruh di lembar Januari? Ada satu atasan jauh yang jelas tak mungkin ku-halu-kan. Pimpinan tertinggi JCTC. Dia jelas di luar jangkauan budak jelata sepertiku. Jadi, lupakan saja dia.

"Siang," balas Mas Sagara lembut. Dia menebar senyum manis diabetes ke arah kami.

Ya, Tuhan. Bagaimana orang-orang di divisi ini masih bisa bekerja dengan tangkas setelah mendapat senyum semanis itu? Ramuan apa yang mereka minum untuk menetralkannya?

"Siang." Akhirnya aku berhasil bersuara.

"Eh, lusa kamu ikut ke Magelang, kan?" Mas Sagara memandang ke arahku. Aku tidak yakin siapa yang dia ajak berbicara.

Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan siapa yang diajak bicara Mas Sagara. Di ruangan ini hanya ada aku dan Lita. Kalau dia memandang ke arahku, berarti dia bicara padaku. Ya, Tuhan! Aku benar-benar merasa bodoh. Mungkin cuma aku, atau semua orang jadi terlihat bodoh di depan orang yang disukainya?

"Saya, Mas?" tanyaku memastikan. Wajahku agak memanas.

Dengan gayanya yang elegan, dia menguarkan tawa kecil. Sepertinya dia menertawakan kebodohanku barusan. "Iya, kamu. Nggak mungkin Lita. Tanggungan dia di sini lagi banyak-banyaknya. Bisa kacau se-divisi kalau tiba-tiba dia jalan-jalan."

"Oh, iya, Mas," jawabku. Aku tersenyum kikuk. Wajahku masih terasa panas. "Pak Pala pengin saya dapat pengalaman kerja yang lain selain di lab terus-terusan."

Dia mengangguk. "Kalau gitu, sampai ketemu di sana."

Linglungku kembali, bahkan sebelum lenyap sepenuhnya. Aku menatap bingung Mas Sagara. "Eh, maksud Mas Sagara?"

"Saya juga ada tugas ke tempat yang sama," jawabnya, membuat dadaku seperti ingin meledak. Jantungku berdetak sangat cepat karena semangat. "Tapi, saya harus berangkat dulu. Besok pagi saya sudah harus tiba di Magelang."

***

Aku dan Pak Pala baru bisa check-in di hotel pukul sembilan malam. Delay pesawat dari Jakarta membuat kami terlambat sampai Yogyakarta Internasional Airport. Sudah cukup larut, padahal besok pagi-pagi sekali kami harus bertolak ke Magelang, kota yang jaraknya sekitar satu jam dari Yogyakarta. Seandainya tidak ada delay, mungkin pukul lima sore kami sudah sampai di hotel. Kami akan punya cukup waktu untuk sekadar mencari makan malam ala Jogja di sekitar hotel. Sekarang, aku bahkan tak berselera untuk makan. Yang ada di pikiranku hanya mandi air hangat dan tidur nyenyak.

"Ini kunci kamar bapak." Aku menyerahkan kartu seukuran kartu ATM pada Pak Pala, salah satu dari dua kartu di tanganku. Pak Pala terlihat begitu kelelahan. Dalam kondisi seperti ini, wajahnya jadi tampak hampir sesuai dengan umurnya.

"Makasih, Gris."

Setelah itu, tak ada hal istimewa yang terjadi. Kami hanya melakukan prosedur check-in yang biasa, mengikuti seorang room service yang menunjukkan letak kamar kami sembari memberi beberapa detail informasi tambahan yang tidak benar-benar kami butuhkan. Sepuluh menit kemudian, setelah memastikan kamar kami benar-benar layak huni, petugas itu pergi.

"Besok pagi kita berangkat pukul enam," ujar Pak Pala memperingatkan sebelum aku masuk ke kamarku. Kamar Pak Pala persis di seberang kamarku. Kami memesan tipe kamar yang sama. Sekali pun seorang atasan, Pak Pala tidak pernah mau kamarnya lebih mewah dari kamar rekan kerja yang pergi dinas bersamanya.

Satu hal positif yang baru aku tahu di perjalanan ini. Cukup menyentuh.

"Baik, Pak," jawabku sebelum menghilang di balik pintu kamar hotel.

Hal pertama yang aku lakukan setelah menaruh koper adalah mengecek kamar mandi. Ini adalah kebiasaan yang kulakukan setiap kali menginap di hotel. Bagiku, kebersihan dan kenyamanan kamar mandi hotel tak kalah penting dibanding ranjang hotel itu sendiri. Bahkan, bisa dibilang, bagus tidaknya review-ku terhadap suatu hotel lebih besar dipengaruhi oleh kondisi kamar mandinya. Kalau nyaman, aku bisa mengabaikan kekurangan minor lain. Sebaliknya, aku bisa me-review jelek kalau kamar mandinya tidak memenuhi standar yang seharusnya. Ben sering protes soal ini padaku.

Aku melongok ke kamar mandi. Tidak terlalu luas, tapi terlihat sangat nyaman. Selain shower, closet, drawer, ada bathtub juga. Sepertinya aku akan memberikan penilaian bagus pada hotel ini.

Tiga puluh menit kemudian, aku sudah tenggelam dalam bathtub. Air hangatnya terasa nyaman sekali di tubuh. Rasa lelah dan kesal akibat perjalanan beberapa jam terakhir seolah luruh begitu saja ke dalam air hangat. Aku merasa segar seketika. Keinginan untuk tidur nyenyak setelah mandi jadi tidak terlalu mendesak. Sehabis mandi, mungkin aku akan jalan-jalan sebentar di sekitar hotel. Menghirup udara Jogja. Siapa tahu ada makanan yang bisa dicoba.

Tak sampai satu jam kemudian, aku sudah berdiri di depan lift.

"Mau keluar juga?"

Sedikit terlonjak kaget. Aku baru menunggu pintu lift terbuka ketika suara itu terdengar. Aku menoleh ke samping tempat suara itu berasal. Pak Pala berdiri di sebelahku. Dia terlihat sangat berbeda dari biasanya.

Selama tiga tahun bekerja bersamanya, aku belum pernah melihatnya berpakaian sesantai ini. Tidak ada lagi setelan rapi. Yang ada hanya kaus putih sederhana pas badan, yang begitu menonjolkan pesona tubuhnya, celana pendek selutut warna cream, dan sandal hotel. Rambutnya agak berantakan, seolah sengaja dibiarkan seperti itu. Lebih dari itu, wajah lelah empat puluh tahunnya sudah lenyap. Mungkin ini terdengar konyol, tapi dia terlihat jauh lebih muda dari biasanya.

"Bapak juga?" balasku setelah tertegun selama beberapa saat. Untung aku tak sampai mematung memandangnya.

"Iya, mau nyari makan," jawabnya. Dia mendongak melihat angka lift yang sebentar lagi sampai di lantai tempat kami berada. "Temani saya makan, ya?"

Lift berdenting. Pintu terbuka. Tanpa menunggu jawabanku, Pak Pala masuk ke lift.

Aku mengekor persis di belakangnya.

Itu jawabanku untuk pertanyaannya.

***

"Setiap kali ke Jogja, saya pasti mampir ke tempat ini," ujar Pak Pala ketika kami menunggu pesanan makanan selesai disiapkan. "Bahkan, saya sengaja meminta di-booking-in hotel yang nggak terlalu jauh dari tempat ini."

Aku pikir, Pak Pala tidak akan pernah mau makan di warung tenda seperti ini. Orang seperti Pak Pala lebih mudah dibayangkan duduk di meja mewah sebuah restoran berbintang, alih-alih lesehan di trotoar tempat sebuah warung tenda menggelar dagangannya. Kendaraan berlalu lalang tepat di samping kami.

Seperti kata Pak Pala, tempat ini memang tidak terlalu jauh dari hotel. Kami hanya butuh berjalan kaki santai tak lebih dari sepuluh menit untuk sampai.

"Meski kecil, tempat ini cukup terkenal," ujar Pak Pala lagi. Selain penampilan, sikapnya juga entah kenapa ikut berubah. Sikap khas bos-nya seolah ikut tanggal begitu dia mengganti setelan resminya dengan kaus dan celana pendek.

Aku mengamati sekeliling. Benar. Tempat makan ini pasti cukup terkenal. Banyak driver ojek online yang mengantre. Tikar-tikar yang tergelar di trotoar pun penuh dengan manusia-manusia yang kelaparan menjelang tengah malam.

Tak lama setelah percakapan basa-basi kami yang canggung dimulai, pesanan kami datang. Dua piring nasi oseng mercon. Ya, tempat makan favorit Pak Pala adalah makanan super pedas ini.

Sebenarnya, aku tidak terlalu tahan pedas. Sayangnya, aku tidak tahu kalau Pak Pala akan mengajakku makan di tempat ini. Karena itu, aku sengaja meminta menu yang paling tidak pedas di antara semua menu. Aku bahkan meminta porsi sangat kecil, takut tidak tahan. Saat Pak Pala bertanya kenapa, aku tak menjawab jujur. Aku tidak ingin mengecewakan usaha dan niat baiknya. Ya, agak aneh aku bisa bersikap seperti itu pada laki-laki yang seminggu lalu begitu aku hindari. Entahlah. Mungkin ini pengaruh udara malam Jogja yang agak gerah.

Pak Pala langsung menyuap satu sendok penuh makanan ke mulutnya, sementara aku mencoba mencicipinya pelan-pelan. Aku tidak ingin terkejut dan megap-megap karena kepedasan. Untungnya, separuh sendok yang kucicipi tidak terlalu mengejutkan. Rasanya enak, gurih dan manisnya pas. Aku tak bisa me-review makanan dengan benar. Intinya ini enak. Aku bisa merasakannya di balik rasa pedas yang masih bisa kutolerir.

Aku menyuap lagi, sedikit lebih banyak. Rasa pedasnya makin terasa, tapi masih di batas wajar. Hingga, tanpa kusadari aku menggigit cabai utuh. Pelan, lidahku mulai terasa terbakar. Aku minum, tidak terlalu membantu. Minum lagi. Hingga gelas air putihku habis, rasa itu tak kunjung reda.

Tiba-tiba, segelas air putih tersodor ke arahku. Pak Pala memberikan minuman miliknya padaku. "Ini, minum. Wajahmu merah."

Aku menerima gelas itu dengan sedikit rasa malu. Sekarang, dia pasti tahu aku tak tahan makanan pedas. Dia mungkin sedang menilaiku sebagai cewek sok kuat.

"Lain kali, kalau kamu nggak suka sama makanan tertentu, jangan dipaksain. Bilang ke saya," ujarnya. Aku mendongak, memandangnya. Mata kami bertemu. Ada ketulusan yang nyata di matanya. "Saya yang memaksa kamu buat ikut business trip ini, jadi kalau terjadi apa-apa sama kamu, saya yang tanggung jawab."

Aku tertegun mendengar kata-katanya. Ini benar-benar Pak Pala yang berbicara?

Pak Pala menarik piring makananku yang masih cukup banyak. "Nggak usah dihabisin. Habis ini, kita cari makanan yang bisa kamu makan."

Aku makin yakin. Laki-laki di depanku bukan Pak Pala yang kukenal selama ini.

Atau, jangan-jangan, ada bagian dalam diriku yang mulai berubah?

Author Note:

Baru dinas keluar bareng pertama aja, Gris udah tahu beberapa kebiasaan Pak Pala. Nggak mau kalau kamar hotelnya lebih mewah dari bawahan, kalau lagi nggak pakai setelan kerja jadi jadi jauh lebih ramah (mungkin, besok-besok di kantor suruh pakai baju santai aja, kali, ya?), dan demen makan makanan super pedas. Kira-kira, sampai dinas ke-4 nanti, informasi apa aja ya yang bakal bisa dikumpulin Gris? Kebiasaan tidur ngorok atau nggak, mungkin.

Kalian kalau sama makanan pedes, tipe yang kayak Gris (anti pedas, cabe mahal nggak ngaruh) atau kayak Pak Pala (paling demen pedes, geprek ayam minimal cabe sepuluh)?

Nggak banyak hal istimewa yang terjadi di malam ini. Keseruan baru akan dimulai besok. Apa yang akan terjadi besok. Tunggu minggu depan hahahaha~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top