BAB 3 - Hidup lagi capek-capeknya, malah dijebak teman sialan
Kupikir, semua rahasia Ibu sudah selesai terungkap beberapa tahun lalu.
Sejak lulus SMA, aku sudah mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan dari masa lalu Ibu. Beberapa memang milik Ibu seorang. Sayangnya, tak jarang ada yang berhubungan denganku. Bagian kedua sering kali agak menyakitkan pada awalnya.
Kejutan pertama kudapat ketika umurku delapan tahun. Saat itu, aku mendengar kabar bahwa aku bukan anak kandung Ayah dan Ibu. Teman-teman SD mengejekku lahir dari timun raksasa. Konyol memang, tapi saat itu, entah kenapa aku percaya. Mungkin karena otak anak-anakku masih percaya adanya kuda terbang dan ibu peri. Aku menangis karena malu. Menjadi anak pungut benar-benar ide yang terasa mengerikan saat itu. Ide itu bahkan langsung bisa membunuh rasa percaya diriku yang semula baik-baik saja. Apalagi, jika teman-temanku sudah mulai mengejek dengan sebutan bayi yang dipungut dari timun busuk. Aku bisa menangis berjam-jam karena hal itu.
Sesampainya di rumah, aku meminta penjelasan dari Ibu. Ibu tak langsung mengatakan yang sebenarnya waktu itu. Mungkin, Ibu pikir aku masih terlalu kecil untuk tahu yang sebenarnya. Hingga, ketika umurku tujuh belas tahun, Ibu mulai berani membuka diri. Dia memberitahuku bahwa aku memang bukan anak kandungnya.
Ibu dinyatakan tidak bisa memiliki anak saat umurnya dua puluh tujuh tahun. Dia selalu mengalami keguguran setiap kali hamil. Karenanya, Ayah-Ibu memilih mengadopsiku daripada harus berjuang lagi. Ibu tidak siap mengalami kehilangan untuk keempat kalinya. Soal aku yang lahir dari timun, itu hanya akal-akalan ketua geng perisakku saja. Aku benar-benar merasa bodoh sempat percaya hal seperti itu benar-benar terjadi.
Saat kebenaran akan status pertalian darahku akhirnya terungkap, aku sempat marah. Sempat mendiamkan Ibu selama beberapa hari. Untungnya, Ibu cukup sabar membantuku sadar bahwa tidak ada yang berubah, apa pun status hubungan kami.
"Ibu tetap Ibu, kamu tetap kamu," ujar Ibu kala itu. "Nggak ada yang berubah. Kamu tetap anak Ibu, dari siapa pun kamu lahir."
Tangisku langsung pecah. Aku benar-benar menyesal sempat marah pada Ibu waktu itu.
Rahasia kedua yang Ibu akui padaku adalah soal kematian Ayah.
Sejauh yang aku ingat, aku tak pernah tahu seperti apa sosok Ayah. Wajahnya hanya bisa kulihat dari foto-foto keluarga di ruang tamu, bukan dari ceruk-ceruk ingatanku sendiri. Kata Ibu, Ayah meninggal saat aku baru berusia dua tahun, enam belas bulan setelah mereka mengadopsiku.
Awalnya, saat naik ke kelas enam, Ibu bilang Ayah meninggal karena penyakit jantung. Nyatanya, bukan itu yang sebenarnya terjadi. Setelah aku lulus SMA, Ibu baru menceritakan kebenarannya. Bukan jantung. Kecelakaan tragislah yang menjadi penyebab kematian Ayah.
Tabrakan hebat. Entah di mana. Ibu tak pernah mau membagikan cerita ini padaku. Aku pun tak pernah mengoreknya lebih jauh. Ini luka lama yang jelas sangat menyakitkan untuk Ibu ingat. Aku paham. Bahkan, aku pun bersyukur Ibu menceritakan kisah yang sebenarnya setelah aku cukup dewasa. Ini bukan kisah yang menyenangkan untuk dijejalkan ke benak seorang anak-anak.
Dan, rahasia baru yang aku dapat hari ini pun tak kalah mengejutkan dibanding dua rahasia sebelumnya.
"Dulu, Pala itu junior Ibu di UKM Aksi Sosial kampus," ujar Ibu ketika aku menanyakan bagaimana Pak Pala bisa mengenal Ibu. "Ibu sudah lama lulus waktu kenal sama dia, sementara Pala baru masuk semester dua waktu itu. Meski begitu, semakin sering baksos bareng, kami makin dekat. Sebagai teman, bukan pacar atau semacamnya. Waktu itu, Ibu udah tunangan sama ayahmu. Sampai Pala lulus dan kerja pun kami masih sering kontakan. Sampai suatu waktu dia mulai sangat sibuk dengan kerjaannya dan kami jadi mulai jarang komunikasi. Kontak akhirnya benar-benar putus bertahun-tahun lalu."
Cukup sulit membayangkan Pak Pala dan Ibu menghabiskan waktu bersama. Aku tidak melihat kemiripan apa pun yang membuat mereka bisa bertahan untuk satu sama lain. Pak Pala dengan wajah kakunya dan Ibu yang nyaris tak pernah berhenti tersenyum, duduk di meja yang sama, saling bercanda. Aku kesulitan membuat gambaran nyata pertemanan mereka di otakku. Atau, mungkin mereka punya cara tersendiri dalam berteman. Berbicara lewat pesan singkat, misalnya, sekali pun tengah duduk berdampingan. Siapa tahu, kan?
"Bahkan, Pala-lah yang nyaranin Ibu buat ngadopsi kamu." Ibu memang tidak pernah kehabisan cara memberiku kejutan. Aku memang suka mendapat kejutan. Hanya saja bukan jenis kejutan yang seperti ini.
"Maksud Ibu?" tanyaku tak benar-benar paham dengan kalimat Ibu.
"Saat kandungan Ibu gugur untuk ketiga kalinya, Pala datang jenguk Ibu di rumah sakit," jawab Ibu. Nada suaranya terdengar lebih ceria. "Saat itu dia cerita tentang kunjungan terakhirnya ke sebuah panti asuhan."
Ibu tersenyum, seolah mengingat hal menyenangkan tentang hari itu.
"Pala cerita tentang seorang bayi perempuan yang baru datang di panti," lanjut Ibu masih dengan wajah semringah yang sama. "Seseorang meninggalkan bayi berumur kurang dari enam bulan di depan pintu panti. Saat itu, entah karena merasa kasihan dengan Ibu atau kasihan pada si bayi, Pala nyaranin Ibu buat ngadopsi bayi perempuan itu."
Yap, bisa kalian tebak. Bayi perempuan itu adalah aku. Mengerikan. Ternyata, aku punya masa lalu seperti itu. Masih untung aku ditinggal di depan panti, bukan dibiarkan mati kedinginan di semak-semak.
"Setelah Ibu merasa cukup sehat, akhirnya Ibu dan Ayah datang menengok bayi itu." Ibu melanjutkan ceritanya. Senyumnya makin lebar. Aku berani bertaruh, aku versi bayilah yang mengguratkan senyum lebar itu di wajahnya. "Ibu langsung jatuh cinta sama bayi itu. Dia cantik sekali."
Aku tersipu. Jarang-jarang ada yang memujiku cantik setulus itu. Biasanya cuma Ben yang bilang aku cantik. Itu pun lebih sering sebagai bentuk olok-olok.
"Akhirnya, Ibu sama Ayah sepakat buat ngadopsi bayi itu." Ibu mengalihkan pandang padaku. "Setelah mengurus banyak hal terkait legalitas dan kesiapan kami sebagai orangtua, akhirnya bayi itu resmi jadi putri kami. Ayah sama Ibu menambah nama Kanani di belakang nama pemberian panti."
Grisella Putri Kanani. Ya, itulah nama lengkapku.
Ibu selalu bilang aku punya arti nama yang bagus, tanpa mau memberi tahuku arti yang dia maksud. Suatu hari, aku berselancar di internet dan iseng meng-googling arti setiap kata dalam namaku. Grisella artinya pejuang yang pemberani. Putri, siapa pun tahu apa arti kata itu. Dan, Kanani, berarti cantik. Silakan kalian gabungkan sendiri artinya. Aku tidak ingin terkesan terlalu sombong.
Jadi, ya, aku setuju dengan kata-kata Ibu.
Sekarang, setelah mengetahui hubungan Ibu dan Pak Pala, kemungkinan besar nomor asing yang mengirim pesan lowongan pekerjaan JCTC waktu itu adalah Pak Pala. Kalau memang benar, berarti tanpa kusadari aku sudah menjadi anggota Kopaja Odading (Komunitas Pegawai Jalur Orang Dalam Dinding), sebutan kami untuk pegawai-pegawai yang masuk JCTC karena dibawa kerabatnya. Namun, kalau pun aku benar-benar anggota Kopaja Odading, setidaknya aku benar-benar bisa bekerja. Sedikit self-claim tidak apa-apalah.
Ibu memandangku dalam, lalu memelukku. Aku tenggelam dalam pelukannya untuk beberapa waktu. Hangat sekali. Rasanya aku tak ingin lepas. Namun, aku harus mendorong pelukan Ibu. Ada hal penting yang menunggu untuk diperjelas.
"Terus, Ibu udah tahu kan soal lamaran Pak Pala?" tanyaku setelah pelukan kami terlepas. Aku pikir, pembahasan kami sudah cukup melenceng dari tujuan awal. Topik soal lamaran itu malah tersisihkan.
Ibu mengangguk. Senyumnya sudah tidak selebar tadi. "Ya, kemarin lusa Pala datang buat bicarain hal itu."
"Kata Pak Pala, Ibu udah ngasih izin Pak Pala buat jadiin Gris istrinya." Aku memberi tekanan nyaris di setiap kata yang kuucapkan. "Itu benar, Bu?"
Ibu mengangguk.
"Kok Ibu setuju, sih?" Bagian ini yang sedari kemarin sudah ingin aku komplain.
"Ibu memang bilang setuju," jawab Ibu lembut. Dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Tapi, nggak berarti dia bisa maksa kamu seenaknya. Persetujuan Ibu nggak berarti apa-apa kalau kamu nolak. Keputusan akhir tetap ada di tangan kamu."
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Ibu. Otak IPK 3.86-ku kadang tidak benar-benar berguna untuk urusan seperti ini.
Genggaman Ibu di tanganku makin erat. "Jadi, kalau kamu memang nggak mau nikah sama Pala. Datangi dia, tolak secara baik-baik."
"Terus, gimana kalau Gris malah dipecat karena nolak lamaran Pak Pala?" Itu salah satu ketakutan terbesarku.
"Berarti, kamu terbebas dari bos berengsek."
Aku suka sisi Ibu yang ini.
***
[Harbeno sialan!]
[Harbeno sialan!]
Aku mengetikkan pesan singkat yang sama belasan kali ke nomor ponsel Ben. Bahkan, setelah Ben membalas dengan stiker dua gorila tertawa, aku tetap mengirimkan pesan singkat yang sama beberapa kali lagi. Besok, di kantor, nyawa Ben habis di tanganku.
[Harbeno sialan!]
[Gue cuma mau ngasih kalian kesempatan lebih dekat,] balas Ben. Tidak ada stiker atau emoji sekarang. [Siapa tahu, kan, berkat ini, lo jadi beneran nikah sama Pak Pala.]
[Harbeno sialan!] Aku terus mengetikkan umpatan yang sama.
[Kalau lo nikah sama Pak Pala, sebagai bestie lo, siapa tahu gue juga bisa ikut nyicipin Pak Pala.]
[He! Mulut dijaga!]
[Maksud gue, nyicipin harta kekayaan Pak Pala.]
Memang tak berakhlak manusia satu itu.
"Ehem..." Suara deham tiba-tiba keluar dari laki-laki yang kini tengah duduk di kursi kemudi. Sosok itulah yang dari tadi menjadi topik polemik di antara aku dan Ben. Coba tebak siapa? Yup, benar. Pak Pala si Bos Tercinta.
Lagi-lagi, aku harus terjebak berdua dengan Pak Pala. Bedanya kami tidak terjebak di lift kantor seperti beberapa waktu lalu, tapi di mobilnya. Aku sedang pasrah diantar pulang oleh Pak Pala saat ini. Bedanya lagi, ini bukan sebuah kebetulan. Ada makhluk sialan bernama Harbeno Widyatka yang terlibat dalam skenario ini.
Sore tadi, setelah berbincang dengan Ibu, aku merasa perlu menghirup udara segar. Kamarku tak lagi cukup menjadi tempat untuk menenangkan diri. Akhirnya, aku mengajak Ben untuk nongkrong di kafe langganan kami, walaupun waktu sudah sedikit lebih malam dari seharusnya. Ben setuju untuk datang, tapi entah karena apa dia tiba-tiba mengabari tidak bisa datang, persis lima puluhan menit setelah aku menunggu. Cukup mengesalkan. Karenanya, aku memilih pulang beberapa menit kemudian, setelah aku menandaskan hazelnut latte-ku.
Kesialanku ternyata belum usai. Begitu kaki menjejak teras kafe, mataku langsung menangkap sedan Audi Pak Pala terparkir di parkiran dekat pintu masuk kafe. Aku berharap itu hanya mobil yang sama. Sayangnya, kesialanku masih berlanjut. Pintu mobil terbuka. Laki-laki yang tidak aku harap kehadirannya muncul dari balik pintu mobil.
"Ayo, saya antar pulang," pintanya ketika aku masih memutuskan antara lari atau masuk ke kafe lagi.
"Saya naik taksi online saja," balasku setelah mempertimbangkan opsi mana pun tidak akan berguna.
"Kata Ben, kamu takut naik taksi online kalau malam," balasnya cukup mengejutkan. Apa saja yang Ben katakan pada Pak Pala? "Makanya saya ke sini buat ngantar kamu pulang."
Aku kehilangan kata-kata.
Dan, di sinilah aku akhirnya.
"Ehem..." Suara deham itu terdengar lagi. Kentara sekali dibuat untuk mencari perhatian. Mungkin, ini bentuk sindiran karena aku lebih memilih mengutuk Ben daripada berbincang dengan bosku. Bukannya tak ingin berbincang, tapi aku tak tahu harus membicarakan masalah apa.
Obrolanku dengan Pak Pala selama ini tak pernah jauh dari urusan pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini, rasanya tidak tepat membicarakan perihal pekerjaan. Opsi obrolan lainnya, lamaran Pak Pala dan pembicaraanku dengan Ibu sore tadi. Tidak. Aku belum siap dengan topik obrolan itu. Keselamatanku malam ini ada di tangan Pak Pala. Kalau aku menolaknya sekarang, siapa yang bisa menjamin dia tak akan melajukan mobil ini ke tempat sepi dan meninggalkanku di sana.
Lagi pula, saat ini, mengutuk Ben jauh lebih mendesak.
Ayolah, Gris. Berpikir. Pikirkan basa-basi apa pun yang tidak berpotensi membuatmu dibuang di tengah jalan.
"Bapak...?" Saat akhirnya aku tahu topik yang cukup aman, Pak Pala juga tengah berinisiatif memulai percakapan.
"Kamu...?" ujarnya memulai, persis bersamaan.
Kami berdua langsung terdiam.
"Kamu dulu." Pak Pala mempersilakan. "Ladies first."
"Bapak dulu," balasku turut mempersilakan. "The Boss first."
Karena tampaknya tak mau berdebat untuk urusan tak penting, Pak Pala mengalah. Dia memulai pertanyaannya. "Kamu kalau takut pulang sendiri, kenapa keluar malam-malam?"
Aku tak menyangka pertanyaannya akan seperti ini. Namun, ini justru jenis pertanyaan yang bisa dengan mudah kujawab. Sekali pun berbohong, tidak akan ada konsekuensi besar yang menunggu.
"Sumpek aja di rumah, Pak," jawabku sekenanya. "Lagi butuh udara segar."
Pak Pala mengangguk-angguk. "Sumpeknya bukan gara-gara saya, kan?"
Aku nyaris menjatuhkan ponsel di genggaman. Lebih dari sebelumnya, pertanyaan ini sangat di luar prediksi. BMKG pun sepertinya tak akan pernah sanggup memprediksi tanda-tanda munculnya pertanyaan ini.
"Ya, menurut, lo? Harusnya lo sadar udah bikin hidup anak orang nggak tenang." Rasanya ingin kujawab begitu, tapi aku masih terlalu sayang dengan pekerjaanku. Aku belum siap menjadi job seeker lagi. Alih-alih, aku menjawab, "Nggak, kok, Pak. Sama sekali bukan karena Bapak."
Lagi-lagi, Pak Pala hanya mengangguk-angguk dengan tatapan tetap mengarah ke jalanan yang cukup lancar. Aku bersyukur tidak macet malam ini. Aku mungkin bisa mati karena canggung kalau harus ditambah menunggu jalanan yang macet.
"Untung saya lagi di sekitar sini waktu Ben ngasih tahu saya," lanjut Pak Pala kemudian. Nada suaranya benar-benar datar.
Aku tahu Pak Pala berbohong. Tak mungkin dia benar-benar sedang berada di sekitar sini. Tapi, aku mengangguk saja. Tidak perlu juga rasanya memastikan bahwa dia benar-benar berbohong atau tidak.
"Jadi, Bapak di parkiran tadi udah agak lama?" tanyaku. Pandangku mengedar keluar, mencari petunjuk sebagai dasar taksiran berapa lama lagi aku harus terus berbasa-basi seperti ini. Sepertinya sepuluh menit lagi sampai.
"Lumayan," jawab Pak Pala masih dengan suara datarnya.
"Kenapa nggak masuk aja?" Cukup mengherankan.
"Saya nggak mau bikin kamu canggung," balasnya. Detak jantungku tiba-tiba menguat. Sial, kenapa malam ini kata-kata Pak Pala diluar prediksi terus? "Lagian, kalau di sini saya bisa sambil merokok."
"Kafe ini kan punya smoking area?"
"Ya kalau gitu, apa bedanya dengan di parkiran?" balasnya. Aku agak bingung dengan maksud kalimatnya. "Sama-sama nggak semeja sama kamu."
Ya Tuhan apa ini? Jantungku makin tidak bisa dikendalikan. Aku bersyukur suasana dalam mobil cukup gelap. Mungkin, wajahku agak memerah sekarang.
Mungkin, selama ini Pak Pala memang benar-benar memberiku perhatian lebih. Hanya saja aku terlalu buta untuk melihatnya. Kata-kata Pak Pala waktu itu mungkin tidak sepenuhnya bohong.
Aku melempar pandang keluar jendela. Lagi. Masih mencari petunjuk untuk menaksir waktu. Gerbang kompleks perumahan tempatku tinggal sudah terlihat. Sebentar lagi sampai.
Pak Pala berbelok masuk ke gerbang masuk kompleks.
Sebentar lagi sampai.
Rumahku hanya berselang beberapa rumah saja dari gerbang itu.
Sebentar lagi sampai.
"Itu rumah saya," ujarku buru-buru begitu rumahku tampak.
Pak Pala hanya mengangguk.
Tak sampai dua menit kemudian, dia sudah menghentikan mobilnya di depan rumahku. Aku mengucapkan terima kasih dan hendak buru-buru turun. Namun, Pak Pala menghentikan langkahku dengan satu pernyataan.
"Gris, kalau sumpekmu gara-gara lamaran saya, jangan terlalu dipikirin," ujarnya, membuatku mematung. Tanganku batal membuka pintu mobil. "Kamu nggak harus nerima lamaran saya."
Tunggu! Ini benar-benar Pak Pala yang bicara seperti ini? Jangan-jangan ini orang lain yang entah bagaimana sangat persis dengan Pak Pala?
"Tapi, ingat," lanjut Pak Pala. Sepertinya ada yang tidak beres. "Saya masih atasan kamu."
Terdengar seperti ancaman.
Oke. Tidak ada penyamaran apa pun. Ini memang benar-benar Pak Pala.
Author Note:
Halo, manteman. Gimana Bab 3-nya? Agak panjang, ya?
Tadinya mau dipotong, tapi kok kayaknya nanggung banget kalau dipotong jadi 2. Plus, partnya jadi aneh nanti. Karenanya, agak panjang dari sebelum-sebelumnya nggak apa-apa, ya. Itung-itung bonus. Hehehe~
Di bab ini, kelakuan Ben benar-benar di luar nurul. Masak batalin janjian gitu aja dan malah minta bosnya buat nemenin Gris. Kira-kira, gimana ya Ben ngomong ke Pak Pala soal Gris yang lagi di kafe sendiri? Mungkin dia ngerayu-rayu pake memelas.
Mungkin habis ini Ben bakal dijadiin pepes sama Gris.
Oke, manteman pembaca. Terima kasih sudah membaca Bambusa Wishes sampai bab ini. Nantikan Bab 4 minggu depan di jam yang sama.
See ya~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top