BAB 2 - Lama-lama, gue dribble juga ini Bumi

"Formulasi media tanam C dengan penambahan hormon auksin terbukti mampu memberikan pertumbuhan tunas yang jauh lebih cepat. Dengan kecepatan tumbuh itu, kita bisa memangkas waktu produksi hingga lima puluh persen," ujarku menyimpulkan, mengakhiri presentasi hasil riset yang sedang aku kerjakan. "Untuk skala laboratorium, formulasi ini bisa dibilang menguntungkan. Tapi, saya tidak terlalu optimis jika sudah diaplikasikan ke skala produksi. Mungkin akan terjadi pembengkakan biaya di pengadaan auksin."

Aku mencuri pandang ke arah Pak Pala, mencoba melihat reaksinya. Laporan ini sama sekali tidak aku konsultasikan dengannya, jadi aku tidak terlalu yakin apakah kami sependapat atau tidak. Untungnya, Pak Pala mengangguk-angguk ringan mendengar simpulanku. Cukup membuatku lega. Setidaknya, kami tidak perlu beradu pendapat di depan perwakilan Divisi Produksi dan Divisi Jaminan Mutu.

"Saya minta dua opsi media tanam terbaik untuk masing-masing jenis bambu." Salah seorang dari Divisi Produksi berbicara. Tadinya aku berharap Mas Sagara yang akan ikut rapat hari ini, ternyata dia mengirim dua orang lain untuk mewakilinya. "Nanti akan kami pertimbangkan kira-kira mana yang lebih menguntungkan perusahaan, tapi tidak menurunkan standar kualitas produk kita secara umum."

"Baik, Pak," jawabku pada orang itu. "Nanti, sehabis rapat langsung saya email-kan ke Bapak."

Beberapa dari kalian mungkin asing dengan apa yang dari tadi aku bicarakan. Kalian juga mungkin bertanya-tanya, pekerjaan macam apa yang aku lakukan? Di perusahaan seperti apa aku bekerja? Agar kalian sedikit lebih mengenalku, biar aku perkenalan secara singkat di mana aku mengais Rupiah selama ini.

Aku bekerja di sebuah perusahaan agribisnis yang bergerak di bidang kultur jaringan, JC Tissue Culture (JCTC). Induk perusahaan ini berbasis di Bogor, kantorku sekarang. Ada beberapa anak perusahaan yang tersebar di beberapa kota. Lima bulan setelah wisuda (itu tiga tahun lalu), aku diterima bekerja di sini sebagai peneliti di Divisi Riset. Sebenarnya JCTC bukan perusahaan multinasional yang dikenal semua orang. Aku dan teman-teman kuliahku bahkan tidak pernah sadar perusahaan ini eksis.

"Daripada nggak ngapa-ngapain sambil nunggu panggilan kerja, coba kamu masukin lamaran ke sini aja," ujar Ibu kala itu, di masa menganggurku yang sudah memasuki bulan keempat. Dia menunjukkan laman sebuah web di ponselnya. Ibu sepertinya sudah pusing melihat putrinya hanya berurusan dengan bantal, guling, dan ponsel selama berbulan-bulan. Aku benar-benar beban keluarga saat itu.

Aku membaca profil singkat perusahaan itu. Kultur jaringan, sesuai sekali dengan bidangku. "Ibu dapat info ini dari siapa?"

Ibu menggeleng. "Nggak tahu. Ada nomor asing yang ngirim tautan ini ke WA Ibu."

Aneh, tapi kami mengabaikan keanehan itu. Jalan sukses seseorang bisa sangat tidak terduga. Mungkin ini jalanku.

Singkat cerita, aku resmi melepas status pengangguranku di bulan kelima.

Selama tiga tahun di Divisi Riset JCTC, aku sudah terlibat pada berbagai proyek kultur jaringan. Namun, proyek tahun ini adalah yang terbesar. Lima bulan lalu, JCTC baru menandatangani kontrak dengan seorang investor yang sedang merencanakan pembangunan kawasan wisata hutan bambu di beberapa tempat di pulau Jawa. JCTC dipercaya untuk menyediakan bibit bambu berbagai jenis, mulai dari Bambu Tiongkok hingga Bambu Wulung.

"Masih ada lagi yang mau kamu laporkan?" tanya Pak Pala setelah sejenak hening.

Aku memandang setiap wajah. Enam orang yang duduk di depanku tidak menunjukkan keinginan untuk berbicara, termasuk Pak Pala dan Ben. Selain aku, Ben juga ikut terlibat dalam proyek ini. Sementara Dera, rekan kerjaku yang lain memilih absen saat ditawari proyek ini. Dia sedang menangani proyek penting kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait konservasi anggrek Papua.

Aku menggeleng. "Saya rasa sudah cukup dari saya."

Pak Pala mengangguk. "Bapak-Ibu Produksi dan QC, gimana? Masih ada yang perlu diperjelas?"

"Untuk sementara, kami rasa sudah cukup," jawab wakil Produksi, masih orang yang sama. "Kami tunggu email Mbak Gris dulu untuk feedback lebih lanjutnya."

"QC belum bisa banyak main juga di sini." Seorang wanita berhijab dari Divisi Jaminan Mutu menimpali. Aku bersyukur wanita ini yang datang rapat. Kalau yang datang kepala divisinya, rapat ini mungkin tidak akan pernah kelar. Kepala Divisi Jaminan Mutu adalah tipe atasan yang banyak bicara (baca: banyak protes), tapi aksi nol besar. "Kami butuh laporan final-nya. Untuk saat ini, saya rasa cukup."

Pak Pala mengangguk. "Kalau begitu, saya cukupkan saja rapat hari ini."

Rapat bubar tak lama kemudian. Sepuluh menit berlalu, semua orang mulai meninggalkan ruangan, termasuk Pak Pala. Aku dan Ben masih bertahan di ruang rapat. Ada beberapa hal yang perlu kami bereskan, termasuk mengirim email ke Produksi.

"Oh, iya, Gris," ujar Pak Pala tiba-tiba, ketika aku membuka akun email-ku.

Aku dan Ben serentak menoleh pada Pak Pala, yang kini tengah mematung di ambang pintu.

"Ya, Pak?" tanyaku was-was. Jangan-jangan ada yang salah dengan presentasiku tadi. Apa tadi dia cuma pura-pura setuju untuk menghindari debat di depan divisi lain?

"Habis ini, saya tunggu kamu di ruangan saya," ujar Pak Pala sebelum meninggalkan ruang rapat. Nada kaku Pak Pala tidak biasa. Sepertinya, ini bukan urusan pekerjaan.

Ben sontak memandangku. Cengiran lebar muncul di wajahnya. "Mampus lo, Gris."

Aku menatap memelas ke arah Ben, berharap dukungan. Sialnya, mengharap dukungan dari Ben adalah sesuatu yang sia-sia.

"Hati-hati," lanjut Ben. Cengirannya belum hilang. "Jangan lupa benerin kemeja, touch up lipstick, dan sisir rambut dulu sebelum keluar dari ruangan Pak Pala nanti."

Untuk sepersekian detik, aku sempat bingung dengan maksud kata-kata Ben. Namun, pensil di tangan langsung melayang ke arahnya begitu pemahaman melintas kepala.

***

Pada suatu titik, aku memang harus menghadapi kondisi ini. Aku tidak bisa terus-terusan menghindar dari Pak Pala. Masalah ini harus segera dibereskan kalau tidak ingin proyek besar yang sedang kami hadapi tertahan oleh urusan tidak penting.

Setelah selesai dengan urusan email ke Produksi, aku dan Ben keluar ruang rapat. Sementara Ben kembali ke ruang kerja, aku berjalan ke ruangan Pak Pala. Jantungku berdebar tak karuan, was-was dan khawatir. Kecuali urusan pekerjaan, aku tidak siap dengan pembicaraan apa pun yang akan terjadi di dalam.

"Saya masih berharap Bapak main-main soal lamaran itu," ujarku sekitar sepuluh menit setelah Pak Pala mempersilakan aku duduk. Kami tidak memulai pembicaraan dengan basa-basi. Pak Pala langsung menodongku, langsung menagih kesediaanku menerima lamarannya. Dia sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk mengatur napas.

"Saya nggak pernah main-main untuk urusan sepenting ini," jawabnya dengan nada mengintimidasi yang biasa. "Memang kamu nggak bisa lihat kalau saya sungguh-sungguh?"

Jawaban Pak Pala benar-benar membuatku kehabisan kata-kata. Wajahnya serius. Tatapan tajamnya langsung menghunjam mataku. Aku merasa ditelanjangi oleh sorot itu. Harusnya ada training 'Menjadi Cenayang Handal' waktu probation dulu untuk menghadapi kondisi seperti ini, saat atasan menganggap bawahan bisa membaca pikiran.

"Tapi, Pak." Aku mencoba mengeluarkan pembelaan apa pun yang mungkin bisa kugunakan sebagai tameng. "Ini terlalu tiba-tiba buat saya. Nggak masuk akal. Nggak ada angin nggak ada hujan, masak tiba-tiba Bapak ngelamar saya. Apalagi, sebelumnya Bapak nggak pernah nunjukkin perhatian khusus apa pun ke saya. Jujur, Pak, saya bingung dan nggak tahu harus gimana."

"Karena kamu nggak sadar, bukan berarti saya nggak pernah ngasih perhatian khusus ke kamu." Jawaban-jawaban Pak Pala seolah sengaja disusun untuk membuat detak jantungku menguat secara gradual.

Jadi, selama ini Pak Pala memberiku perhatian lebih selain untuk urusan pekerjaan?

Aku mencoba mengingat-ingat. Siapa tahu ada satu-dua kejadian yang memberiku bukti akan kata-kata Pak Pala. Kukorek dalam-dalam ingatan. Nihil. Aku tak berhasil mengingat satu kejadian pun. Ingatanku tentang Pak Pala penuh oleh perintah-perintah, coretan tinta merah di laporan yang kusodorkan padanya, dan bentakan yang kadang muncul tanpa sebab jelas. Tidak ada ingatan manis satu pun. Bagian mana yang dia sebut perhatian khusus?

"Sejak kapan Bapak mulai ngasih perhatian lebih sama saya?" Aku tidak ingin terlalu besar kepala. Bisa jadi Pak Pala cuma berbohong. Aku hanya butuh tahu detailnya kalau memang selama ini Pak Pala memberiku perhatian lebih.

Pak Pala menerawang udara, tampak berpikir, atau pura-pura berpikir. "Entah. Saya lupa persisnya."

Mungkin dia memang berbohong.

"Lalu, kenapa saya, Pak?" Aku mencoba terus menggiring percakapan ke arah yang kuinginkan. Aku perlu mempelajari detail dan motivasi Pak Pala memilihku sebagai calon istrinya. Dengan begitu, mungkin aku bisa merumuskan penolakan yang tak menyakiti perasaan Pak Pala (baca: tidak membuatnya menandatangani surat rekomendasi PHK untukku).

Misi besarku detik ini, aku ingin bisa keluar dari ruangan ini dengan jawaban 'tidak' tanpa membahayakan tabunganku yang sudah kurus.

"Ya mana saya tahu. Memangnya saya bisa milih bakal suka sama siapa?"

Ya, bukan itu maksudnya, Gung Palamarta. Ingin sekali rasanya menggampar mulut Pak Pala kalau mode lidah tajamnya sudah aktif. Keinginan menjadikan seseorang sebagai istri, kan, tidak tiba-tiba jatuh dari langit. Pasti ada sesuatu dalam diriku yang membuat Pak Pala tertarik.

"Maksud saya, apa yang membuat Bapak menyukai saya? Apa yang menarik dari saya?"

"Bagian itu biar jadi rahasia saya saja. Lebih baik kamu pikirin jawaban buat lamaran saya." Hore, Pak Pala yang gampar-able sudah kembali.

Percakapan sebelum ini memang tidak benar-benar menyenangkan, tapi setidaknya Pak Pala tidak mengeluarkan kata-kata menyebalkan.

"Beri saya waktu, Pak," ujarku akhirnya. Aku tidak tahu kalimat apa lagi yang bisa kugunakan untuk melindungi diri. "Menikah bukan urusan mudah. Saya perlu pendapat Ibu juga."

"Ibumu sudah setuju." Ini lebih mengejutkan dari jawaban yang sudah-sudah. "Saya tinggal nunggu persetujuan kamu."

Aku bisa melihat kegagalan mulai mengintai misi besarku.

"Bapak sudah ketemu ibu saya?"

Dia mengangguk. "Ibumu ternyata nggak banyak berubah dari terakhir saya ketemu dia empat belas tahun lalu."

Ketemu Ibu 14 tahun lalu?

Aku butuh penjelasan detail soal ini.


Author Note:

Bab baru, info baru. Sekarang, udah pada tahu kan di bidang apa Gris bekerja? Dia seorang peneliti bidang Kultur Jaringan (Tissue Culture).

Ada yang pernah denger istilah kultur jaringan, nggak? Atau, malah baru pertama kali ini denger? Kalau baru pertama, aku kasih sedikit info dump, ya.

Jadi, Kultur Jaringan itu salah satu cabang ilmu budidaya tanaman di mana bahan tanam yang digunakan adalah jaringan tanaman (yaiyalah, sesuai namanya wkwkwk). Jaringan di sini bisa apa saja. Bisa berupa  irisan daun muda (bukan brondong, ya), ujung akar, potongan tunas, bahkan bisa juga lho pakai tepung sari. Media tanamnya nggak pakai tanah, tapi pakai media agar (jelly) yang udah ditambah gula dan nutrisi. Lingkungan tanam kultur jaringan kudu steril (sterilnya pakai banget). Makanya nanamnya nggak di sawah atau di green house, tapi di laboratorium.

Lebih lengkapnya, googling aja, ya, biar info dump-nya nggak dump-dump banget.

Selian Gris, peneliti di JCTC ada Ben juga. Sayangnya, di bab ini Ben muncul bentar banget. Tapi sekali pun munculnya bentar, mulut rusaknya tetap nggak ketinggalan.

Kalian punya nggak sih temen kayak Ben, yang ngomongnya nggak ada saringan (dan nggak jarang mesum)? Kalau nggak punya, berarti pertemanan kalian bersih. Perlu dilindungi sebelum terkontaminasi. Hahahahaha~

Oke, gaes. Kayaknya udah kepanjangan note-nya. Bab 2 cukup, Bab 3 bakal aku update minggu depan di hari dan jam yang sama.

Pesan sponsor: jangan lupa buat cek cerita lain dari "Gerha Purana Series". Nggak kalah keren, lho, cerita-cerita lain. Kalau bingung nyarinya, cek aja reading list-ku yang paling atas.

See ya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top