BAB 10 - Yang patah tumbuh, yang hilang kesabaranku

Saat duduk di bangku kelas tujuh, sekolahku pernah mengadakan study tour ke Bandung. Tidak jauh memang, tapi aku benar-benar menantikan datangnya hari itu. Malam sebelum hari keberangkatan, aku sampai tidak bisa tidur saking semangatnya. Aku yakin, banyak dari kalian juga pernah mengalami hal ini. Sampai-sampai, aku harus pura-pura tidur karena Ibu terus menerus mengecek kamarku, memastikan aku sudah tidur agar besok pagi bisa pergi dalam keadaan prima. Aku bisa tidur, tapi cuma beberapa jam. Aku bahkan terbangun dua jam sebelum alarm berbunyi. Itu pun, aku sudah menyetel ulang alarm menjadi jauh lebih dini.

Aku berangkat ke sekolah dengan perasaan terbaik. Optimis dan penuh semangat. Aku seakan bisa melakukan apa saja hari itu. Sayangnya, semangat membara itu langsung lenyap begitu aku tahu teman sebangkuku batal ikut study tour karena diare. Aku langsung bingung. Dengan siapa aku akan duduk nanti? Aku tidak mau duduk sendiri atau dipasangkan dengan orang lain yang tidak terlalu dekat denganku. Ini semester pertama masa SMP-ku. Aku belum terlalu dekat dengan banyak orang.

Rasanya, aku ingin batal ikut saat itu, tapi Ibu terus menyemangati. Dia mengeluarkan seratus satu cara membujuk terbaiknya.

"Duduk sama siapa aja nggak masalah. Malah bisa sekalian nambah teman dekat."

"Duduk sendiri juga asyik. Nggak pepet-pepetan. Bisa bebas."

"Atau duduk sama wali kelas. Pasti aman."

Semua tidak terlalu meyakinkan, tapi aku tetap berangkat pada akhirnya. Di dalam bus, aku dipasangkan dengan ketua kelas. Cewek. Dia baik. Mengajakku mengobrol dan menawariku makanan ringan. Sedikit melegakan aku mendapat teman duduk yang baik, tapi perasaan kecewa karena tidak duduk dengan sahabat sendiri pun mendominasi. Pada akhirnya, aku tidak terlalu menikmati acara study tour itu.

Dalam kadar yang sedikit berbeda, perasaan yang sama aku alami lagi, ketika semalam Ben tiba-tiba membatalkan rencananya ikut ke Surabaya. Padahal, dua hari lalu Ben sudah mengantongi izin dari Pak Pala agar bisa menemaniku tugas di Surabaya.

"Lo kenapa tiba-tiba batal, sih?" tanyaku pada Ben lewat telepon.

Aku baru saja sampai di hotel tempatku menginap. Kali ini, tidak ada drama delay pesawat, sehingga aku masih punya cukup banyak energi yang tersimpan selama perjalanan.

"Nggak tahu." Ben terdengar sangat kesal. "Kemarin tiba-tiba Pak Pala batalin izin gue pergi. Padahal tiket pesawat dan lain-lainnya udah di-book."

"Pak Pala nggak ngasih alasan apa-apa?" Aku membongkar koper dan mengeluarkan beberapa alat mandi tambahan yang tidak disediakan pihak hotel. Udara Surabaya ternyata panas luar biasa. Pendingin udara tidak bisa langsung menguapkan keringat dari tubuhku. Aku butuh mandi biar lebih segar.

"Katanya, salah satu dari kita kudu stay di kantor," jawab Ben. Nada kesalnya belum hilang. "Takut kalau ada kejadian di luar kendali sama staf teknis terkait proyek yang lagi kita tangani."

"Tumben Pak Pala separno itu sama staf teknis?" Aku tak tahu kenapa, tapi ini tidak seperti Pak Pala yang biasa.

Selama ini, Pak Pala punya rasa percaya yang tinggi terhadap staf teknis. Mereka adalah pegawai-pegawai terampil, yang sudah melewati masa training yang cukup lama. Belum lagi, mereka melakukan hal yang sama setiap hari, sehingga kecakapan dan ketelitian mereka sudah tidak perlu diragukan lagi.

"Gue juga nggak paham." Nada kesalnya sudah agak melunak, sedikit bercampur maklum. "Moodnya lagi kacau, mungkin. Kayaknya lagi butuh belaian. Kalau Pak Pala mau sama gue mah udah gue belai dari dulu. Lo, sih, nggak mau dijadiin istri."

"Woy, kenapa jadi gue yang salah?" tukasku tak terima. "Kalau butuh belaian kan Pak Pala tinggal main Tinder aja. Banyak pasti yang mau sama dia. Masak butuh dibelai aja kudu ribet pakai resepsi."

Ben tertawa di ujung sambungan. "Mungkin Pak Pala nggak kenal Tinder."

"Ajarin, gih."

"Kalau gue yang ngajarin, entar gue ajarin main app lain." Ben tertawa lagi. "Udah dulu, ya. Gara-gara batal pergi, tiba-tiba Pak Bos ngasih gue kerjaan banyak banget. Dendam kayaknya Pak Bos sama gue gara-gara kucing versus timun itu."

"Lo, sih, kalau ngomong nggak hati-hati." Aku tertawa membayangkan wajah kesal Ben. "Oke, deh. Gue mau mandi dulu. Selamat lembur."

***

Aku buru-buru turun ketika mobil yang akan mengantarku ke site pengambilan eksplan datang. Pukul enam pagi, sesuai yang dijadwalkan. Sebuah sedan hitam mengilap sudah menunggu ketika aku sampai di lobi hotel.

Seorang laki-laki bertubuh tinggi mengampiriku. Usianya mungkin kisaran empat puluh tahun, atau lebih. "Mbak Grisella?"

"Panggil Gris aja, Pak."

"Saya Mukti," ujar pria itu memperkenalkan diri. Dia menawarkan jabat tangan. "Saya yang akan mengantar Mbak ke site pengambilan eksplan."

Aku menyambut jabat tangannya yang kokoh. "Salam kenal, Pak."

Pak Mukti tersenyum, lalu mengulurkan leher ke arah lain lobi, seakan mencari seseorang. Refleks, aku mengikuti arah pandangnya. Penasaran juga siapa yang dia cari.

"Temannya mana, Mbak?" tanya Pak Mukti beberapa saat kemudian setelah tak menemukan orang yang dia cari.

Oh, ternyata Pak Mukti mencari Ben. Pasti belum ada yang memberitahunya kalau Ben batal ikut. "Teman saya nggak jadi ikut, Pak. Nggak jadi diizinin sama kantor karena deadline-nya lagi banyak."

Kening Pak Mukti berkerut. Jelas kebingungan. Dia mengambil ponsel yang tersimpan di saku celana kainnya dan mengoperasikannya. Sesaat, dia sibuk dengan ponsel itu, membaca entah apa.

"Tapi, Mbak, baru tadi jam lima saya diminta jemput dua orang di hotel ini," ujar Pak Mukti masih tampak kebingungan. Dia memeriksa ponselnya lagi. "Saya juga udah telepon orangnya tadi, sebelum saya telepon Mbak Gris tadi."

Kini giliran aku yang bingung. Apa jangan-jangan Ben mengerjaiku. Dia sebenarnya datang, tapi pura-pura batal hanya untuk lelucon konyolnya. Namun, itu nyaris tidak mungkin. Kalau dia benar-benar datang, kemungkinan besar kami akan ada di satu pesawat. Meski tempat duduk berjauhan karena pemesanan tiket yang terlalu mendadak, tapi aku yakin aku seharusnya ketemu dengannya. Selain itu, waktu kemarin telepon, background suara keributan di belakangnya terdengar familiar. Khas laboratorium kami. Bahkan, aku sempat mendengar suara Dera. Atau, Ben berangkat setelah pulang kantor, makanya dia tidak berada di pesawat yang sama denganku, pun masih berada di kantor waktu aku meneleponnya.

"Nama teman saya Harbeno Widyatka, bukan, Pak?" Kalau ternyata Ben memang benar-benar datang dan sengaja menghindariku hanya untuk lucu-lucuan, aku bersumpah akan mengabaikannya selama di sini.

"Bentar, Mbak." Pak Mukti memeriksa ponselnya sekali lagi dan membaca pesan di sana cepat-cepat.

Aku menunggu.

"Bukan, Mbak," lanjutnya setelah menemukan nama yang dia cari. "Namanya..."

"Maaf, saya terlambat. Tadi..."

Suara yang muncul dari belakangku menjawab semua pertanyaan yang mengumpul di kepala. Aku menoleh, sangat cepat, hingga leherku nyaris terpelintir. Beberapa langkah di belakangku, Pak Pala berdiri dengan senyum canggung yang sedang dia berikan pada Pak Mukti sebagai tanda permintaan maaf.

"Pak Pala?!" Aku nyaris berteriak. Bahkan, tak sadar telah memotong permintaan maaf Pak Pala. "Kok Bapak bisa ada di sini?"

Pak Pala sempat kaget melihat responku, yang buru-buru dia tutupi dengan sikap sok santainya. "Ya karena saya juga lagi ada tugas di sini, bareng kamu."

"Bukannya Ben yang harusnya nemenin saya, Pak?" Detik ini, aku merasa otakku bekerja jauh lebih lambat dari biasanya. Aku kesulitan mencari alasan masuk akal dari keberadaan Pak Pala di sini. Aku memang belum sarapan, tapi jelas itu bukan penyebabnya.

"Ben lagi banyak kerjaan?" Pak Pala sengaja menghindari tatapanku. Satu tanda bahwa itu bukan alasan sebenarnya. "Saya lagi ada tugas di sini, jadi sekalian. Memang kenapa kalau saya yang gantiin Ben?"

"Ya, nggak apa-apa, sih, Pak. Saya cuma penasaran kenapa Bapak batalin izin Ben."

Memang tidak apa-apa, sebenarnya. Aku hanya tak suka saat ekspektasi yang sudah kupasang patah berkali-kali. Pertama, aku sudah berekspektasi akan kerja bersama Ben, yang langsung patah ketika Ben menelepon untuk memberitahukan ketidakhadirannya. Kemudian, aku berkekspektasi akan kerja sendiri, yang juga patah karena kedatangan seseorang yang tak disangka-sangka.

"Kayak yang saya bilang tadi. Ben lagi banyak kerjaan." Pak Pala agak meninggikan suaranya. Aku sempat terkejut, meski cuma beberapa saat. Ini terasa tidak wajar. Kenapa pertanyaan sederhanaku bisa memancingnya untuk menaikkan volume suara. "Memang menurutmu karena apa? Karena saya nggak suka kamu pergi sama Ben?"

Aku menatap wajah Pak Pala. Agak bingung dengan maksud jawabannya. "Saya nggak nuduh apa-apa, kok."

"Sebelumnya maaf," sela Pak Mukti. Sepertinya dia mulai merasakan energi negatif yang menguar di antara aku dan Pak Pala. "Karena sudah hampir pukul tujuh, sebaiknya kita berangkat sekarang saja. Takutnya nanti macet di mana-mana."

"Benar. Ide bagus," sambar Pak Pala cepat, sebelum melangkah ke luar lobi dan meninggalkanku. Lebih tepatnya, kabur dariku.

Aku menatap heran punggung Pak Pala, sebelum mulai mengekor dengan kesal.

Aku kembali merasakan kecewa dan kesal seperti yang kurasakan dulu saat study tour. Persisnya, saat wali kelas tiba-tiba memasangkanku dengan ketua kelas yang aku tidak akrab. Bedanya, perasaan itu terasa berkali-kali lipat sekarang.

Author Note:

Halo manteman pembaca. Gimana kabarnya? Baik-baik saja, kan? Terima kasih sudah ngikutin kisah Gris dan Pak Pala sampai sekarang.

Sebelum lanjut, aku mau ngucapin selamat Natal buat manteman yang merayakan. Semoga Natal tahun ini penuh dengan kedamaian dan kebahagiaan.

Natal kalian boleh damai, tapi Gris nggak bisa damai. Baru istirahat sehari, dia sudah langsung lanjut ke Surabaya. Apalagi dia dibohongi Pak Pala. Sok-sokan pakai ngizinin Ben ikut, eh dianya sendiri yang nggak mau Gris bareng orang lain. Tsundere. Harusnya bilang aja kalau mau nemenin Gris, pakai jaim segala.

Nah, sekarang mereka udah di perjalanan ke-2. Kira-kira bakal ada kejadian apa, ya? Setelah kemarin nyasar dan alergi timunnya kambuh, kali ini bakal ada apa lagi, ya?

Kita tunggu apa yang akan terjadi di Bab 11. Sampai jumpa minggu depan.

See you~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top