BAB 1 - Memang boleh sesial ini?
Aku tahu, hal seperti ini sering terjadi pada banyak orang.
Saat kita sangat ingin menghindari seseorang, entah bagaimana orang itu malah tiba-tiba muncul di posisi yang tidak memungkinkan kita untuk sembunyi. Seolah Tuhan sengaja mengatur jalur dua orang itu agar saling bersapa pada titik yang tak menyenangkan. Mungkin, ini cara Tuhan bermain-main ketika bosan dengan kebebalan manusia. Saat pertemuan itu akhirnya terjadi, mungkin Tuhan tengah puas menertawakan makhluk-makhluk mungil-Nya yang konyol.
Yah, itu persisnya yang sedang kualami.
Sejak insiden lamaran mengejutkan dua hari lalu di pantri, aku mencoba mati-matian menghindari bosku, Pak Pala―Gung Palamarta. Aku belum punya nyali yang cukup untuk bertemu dengannya. Selain itu, aku benar-benar tak tahu harus bersikap bagaimana. Bersikap biasa-biasa saja jelas tidak mungkin. Aku tidak bisa berpura-pura hal itu tidak terjadi, tak bisa pura-pura lupa ingatan. Membenci dan menabuh genderang perang pun bukan solusi bijak. Wajahku masih butuh skincare mahal agar ketergantunganku pada filter Instagram sedikit berkurang.
Usahaku menghindar dari Pak Pala hanya bertahan satu hari. Hari ini, hari kedua petak-umpet, aku malah harus terjebak berdua di lift kantor. Aku sudah berangkat jauh lebih pagi dari siapa pun. Sialnya, Pak Pala juga punya pikiran yang sama.
"Pagi, Pak." Mau tidak mau aku harus menyapa. Tata krama tetap tidak boleh tertinggal.
"Pagi," jawabnya pendek. Kaku, seperti biasa.
Aku jadi berpikir. Apa aku sudah bersikap berlebihan dengan menghindarinya mati-matian, ya? Tidak ada yang berbeda dari laki-laki di sampingku. Insiden dua hari lalu tampaknya tak berpengaruh apa-apa padanya.
Aku mengintip lewat sudut mata, tidak berani menatapnya langsung. Dia berdiri santai dalam balutan jas dan celana kain berwarna senada.
"Mau ke lantai berapa?" tanyanya sambil menekan tombol angka delapan di panel lift.
Pertanyaan konyol macam apa itu? Tentu saja aku mau ke lantai yang sama dengan laki-laki itu. Kami berada di divisi yang sama. Lebih tepatnya, dia kepala divisi tempatku bernaung. Divisi Riset.
Lirikanku berubah menjadi pandang. Aku menoleh padanya, sesaat, untuk memastikan dia tidak sedang bercanda. Tidak. Dia tidak tampak bercanda. Orang yang sedang bercanda tidak mungkin memasang wajah seram seperti itu, kan?
"Emm... lantai delapan, Pak," jawabku sedikit heran. "Divisi Riset belum pindah lantai, kan? Atau semalam Bapak mindahin satu divisi ke lantai lain?"
Pertanyaan retoris untuk membuatnya kesal.
"Ya, siapa tahu mau ngecengin Sagara dulu di lantai sembilan," jawab Pak Pala agak ketus. Sehari-hari, kata-kata Pak Pala memang sudah sering menyebalkan. Tipikal para bos kalau sedang tidak punya kerjaan: marah-marah tanpa sebab. Namun, kata-katanya kali ini terasa lebih menyebalkan.
Aku tak membalas, bingung sekaligus kesal.
Lift terangkat naik. Dua lantai terlewati dalam diam. Aku berharap, sangat berharap, ada orang lain yang masuk. Siapa pun, kumohon, agar kami tidak perlu berbagi udara pekat ini berdua saja. Sayangnya, hingga lantai lima, isi dalam lift tetap tak berubah.
"Kemarin, kamu ke mana saja?" Pak Pala mencoba bersikap menyebalkan lagi. Dia menoleh padaku.
"Bersembunyi di ruang tanam untuk menghindari Bapak." Itulah yang memang aku lakukan kemarin, nyaris seharian. Sampai-sampai, Ben dan Dera, dua rekan kerjaku harus mengecek setiap satu jam sekali. Mereka memastikan aku tidak pingsan menghirup aroma spiritus. Bahkan, aku sengaja meminta mereka mencari alasan apa pun kalau Pak Pala mencariku.
Namun, alih-alih jujur mengaku, aku memilih berbohong. "Seharian saya di Divisi Produksi, Pak. Ada data yang perlu disinkronisasi."
"Data apa? Kok nggak ada laporan yang masuk ke saya?" Bos tua bangka ini sepertinya mulai mencium adanya alasan untuk marah-marah.
Kebohongan kecil selalu menuntut kebohongan kecil lain untuk menutupinya.
Mampus. Pak, jangan kritis-kritis kenapa, sih? Masih pagi, ini. Otakku belum bisa bekerja dengan cepat mencari kebohongan lain untuk menutupi.
"Data formulasi media kultur bambu kuning yang sedang kita uji coba skala produksinya," jawabku setelah berpikir sejenak, sedikit terlalu lama dari seharusnya. Semoga Pak Pala tidak curiga. "Bukan masalah serius, kok, Pak."
"Terus kenapa bisa sampai seharian di Produksi?" Sepertinya kebohonganku terendus. Pak Pala mungkin sedang menggiring percakapan ini ke tepi jurang, hingga aku tidak punya pilihan selain mengaku bahwa aku sengaja menghindarinya. Opsi lain, terjun ke jurang itu.
Tidak, aku tidak akan mengikuti alur yang Pak Pala rencanakan. Kepalang tanggung. Aku akan totalitas melanjutkan kebohonganku. Aku nyengir untuk menyamarkan rasa bersalah. "Bapak kayak nggak tahu anak Produksi aja. Kalau udah mulai gibah sering lupa waktu, Pak."
Mata Pak Pala menyipit, menyelidik. "Lain kali gibah sama ngecengin seniornya jangan di jam kerja. Bikin nggak produktif divisi aja."
Selain umur, inilah alasan lain aku menolak lamaran Pak Pala. Mulutnya. Tajam banget kayak pisau keseringan diasah.
Aku mengangguk, berpura-pura menyesal. "Baik, Pak. Maaf."
"Terus..."
Detik itu, lift mencapai lantai delapan. Pintu terbuka. Sebelum Pak Pala menuntaskan kalimat menyebalkan berikutnya, aku buru-buru pamit sebelum semuanya terlambat.
"Pak, maaf. Saya duluan. Buru-buru."
Tanpa menunggu jawaban Pak Pala, aku langsung keluar dari lift.
Kabur.
***
"Gue nggak lihat ada yang kurang dari Pak Pala." Ben, si Sobat Ambyar, sedang memandangi foto Pak Pala yang dia dapat dari grup gibah kantor. Grup yang anggotanya para kacung. Dia sedang melakukan analisis resiko terhadap laki-laki di foto. "Ganteng, tajir, matang pohon. Apalagi yang lo cari, Gris?"
"Terlalu matang buat gue," jawabku asal. Tangaku sibuk membuka tutup kunci ponsel. "Gue nyarinya yang dewasa, tapi yang nggak kematengan juga. Lagian, gue nggak suka sama mulut tajamnya."
"Kalau itu, sih, lo kasih cium juga tumpul sendiri entar." Ben menertawakan leluconnya sendiri. "Coba deh lo perhatiin." Ben menyodorkan ponsel pintarnya padaku. Wajah Pak Pala memenuhi layar. "Umur boleh empat puluh lima, tapi wajah nggak kalah sama yang tiga lima."
Ya, Ben memang tidak salah. Kalau kantor ini mengadakan pemilihan untuk model kalender, aku sangat yakin Pak Pala akan masuk dua belas besar. Dia mungkin akan menghiasi halaman bulan April atau Mei, jika didasarkan pada peringkat.
Dia memiliki wajah kotak dengan garis rahang yang tegas. Cambang rapi membalut rahang itu. Membuat kharismanya tumpah ke mana-mana, apalagi kalau sedang berstelan formal. Mata hitam tajam bernaung alis bak ulat bulu. Bibirnya terlihat penuh. Orang-orang di grup gibah bilang bibir itu masih perawan. Tadinya aku tak percaya. Namun melihat lamaran tak romantisnya tempo hari dan mulutnya yang tajam, aku sedikit banyak mulai percaya. Sepertinya Pak Pala memang tidak terlalu lihai urusan wanita. Apa ini alasan dia masih melajang sampai sekarang?
"Lo nyarinya yang kayak apa, sih?" tanya Ben lagi. Dia menarik ponselnya dan menggeser layar ke foto-foto lain. Entah ada berapa puluh foto cowok ganteng kantor yang tersimpan di folder media grup itu.
"Yang kayak Mas Sagara," jawabku langsung tanpa berpikir.
Seorang jomlo sepertiku harus punya sosok yang bisa dijadikan bahan untuk tetap menyalakan api semangat. Sosok yang senyum sedetiknya mampu membuat hidup lebih berwarna hingga seminggu kemudian. Bagiku, Mas Sagara, karyawan senior dari Divisi Produksi adalah sosok itu. Cakep, sudah pasti. Karir, cukup bagus. Umur, cuma enam tahun lebih tua dariku. Secara teori, dia pilihan sempurna. Faktanya, menyedihkan. Dia bahkan mungkin tak menyadari keberadaanku.
"Mas Sagara terus," ejek Ben. "Nge-halu emang enak, Gris, tapi lo kudu sadar. Lo sama Mas Sagara itu nggak ada hubungan apa-apa selain hubungan fans ke idolanya. Beda sama ke Pak Pala. Asal lo mau buka hati, Pak Pala udah pasti jadi milik lo."
Kata-kata Ben memang benar, tapi aku tak merasakan ketertarikan apa pun pada Pak Pala. Sulit memandangnya selain sebagai atasan yang perlu dihormati. Rasa hormatku malah semakin tinggi ketika ingat dia hanya beberapa tahun lebih muda dari Ibu.
"Udah, ah. Gue mau beresin laporan dulu buat rapat besok." Aku berbohong. Laporanku sudah selesai sejak sebelum jam makan siang. Sore ini aku bisa saja membawa laporan itu ke Pak Pala untuk di-review sebelum kupresentasikan di rapat. Tapi, aku masih ingin bermain petak-umpet dengannya.
"Oh, mau beresin laporan," ejek Ben. Dia tersenyum jail, pasti sadar aku berbohong untuk menghindari obrolan soal Pak Pala. "Terus yang tadi lo print itu apa? Undangan nikah?"
Sial!
Author Note:
Mau ngumpet ke mana juga bakal tetrp ketemu, Gris, kalau masih sekantor. Apalagi se-divisi. Kalau resign baru bisa nggak ketemu lagi. Masalahnya, Gris masih butuh cuan. Dia belum siap jadi pengangguran kalau harus resign.
Dari Bab 1 ini, ada yang bisa nebak nggak kira-kira Gris kerja di bidang apa?
Dan, kalau dari deskripsi yang dibilang Ben, kalian mau nggak kalau dilamar laki-laki hampir setengah abad kayak Pak Pala?
Yang 'mau' komen sini~
Yang 'nolak' komen sini~
Kita lihat lebih banyak yang mau atau yang enggak.
Oke, segini dulu update perkenalan kita. Petak umpet Gris dan Pak Pala akan berlanjut setiap hari Selasa pukul 19.00 WIB di akun ini.
See you~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top