2. Kamu Normal, Kan?!
Happy baca 💚
Sorry for typo 🍓
.
.
.
"Nikah, nikah, nikah. Enggak ada kata lain apa, Mas?!" Gistara mendumal menampani ide yang cukup untuk dia anggap 'gila' oleh Naka.
Kenapa bisa orang-orang segampang itu membahas tentang pernikahan? Apa dikiranya menjalani biduk rumah tangga itu gampang? N-i-k-a-h. Kata-kata membosankan yang akhir-akhir ini seringkali mampir ke telinga Gistara.
Kapan nikah Gis? Usia sudah 24 tahun, awas jadi perawan tua?! Astaga! Mulut manusia kenapa semurah itu melabeli manusia lain, apalagi sesama perempuan loh. Di mana yang katanya woman support woman? Sekarang ini sepertinya apa-apa dijadikan bahan lelucon, gibah, atau lebih parahnya jadi bahan konten. Zaman semakin modern, era digitalisasi tapi beberapa orang mungkin masih belum bijak bermedia sosial.
Masih, dengan wajah memberengut sebal, Gistara kembali lontarkan kata-kata pada Naka,
"Tuh, lihat berita yang viral, Mas, yang dihalain di-smackdown sama suaminya. Terus-terus, itu artis yang dulu sering main sinetron, yang keturunan bule, ternyata suaminya pelitnya enggak ketulungan. Married is scarry, Mas Naka!" Rengek Gistara lebay.
Naka merespons rengekan sang adik dengan mimik wajah datar. Kedua bahu kekarnya terangkat bersamaan, seakan lewat gesturenya ingin mengatakan, 'ya Ndak tahu, kok ngeluh ke saya?!'
"Mas Naka yang mau 33 tahun aja belum ada pikiran mau married, kan?" Tembak Gistara. Yang diprotes refleks melempar sang adik dengan bantal sofa.
"Hei, bocah kurang ajar. Ngapain ngurusin hidup Mas? Utangmu tuh, urusin."
"Bantuin, Mas, ya-ya-ya?" Gistara memamerkan puppy eyes-nya, berharap Naka berubah pikiran -- bersedia menyedekahkan tabungannya untuk mengatasi masalah yang menderanya.
"Kembali ke rencana awal, Gis, tinggal gimana kamu, mau, enggak?"
Gistara berdecak. Pikirannya dipenuhi carut marut. Ini mendesak, kalau tidak mengikuti opsi Mas Naka, artinya Gistara harus siap berhadapan dengan pihak berwajib. Mendadak kengerian tergambar jelas di wajahnya. Refleks Gistara menggeleng-gelengkan kepala, seakan ingin mengenyahkan pelbagai pikiran buruk.
"Gis-Gis, daripada hidup kamu dipenuhi sama split bill melulu, mendingan sekalian kamu split hidup sama seseorang gitu loh." Gantian Gistara yang melempar bantalan sofa - tepat mengenai kepala Naka disertai ledakan tawa lelaki itu.
____
Erlangga bergeming. Mata sehitam arang miliknya sejak tadi dilabuhkan pada lantai marmer berlapis karpet yang menjadi tumpuan sofa tempatnya duduk.
Atmosfer tegang tergambar jelas di ruang tengah rumah besar bergaya Mediterania modern mik kedua orangtuanya.
Di seberang Erlangga, duduk perempuan paruh baya dengan dandanan ala ibu sosialita muslimah. Mengenakan setelan kulot putih dipadu blus flower longgar, disempurnakan dengan hijab segi empat yang menutup rapi rambut yang melingkupi kepalanya. Riasannya tipis melengkapi wajah teduh nan anggun meski usianya telah lebih dari kepala lima.
Erlangga sejak tadi terus bergerak tidak tenang menunggu preambul perempuan yang dia sebut 'mama'
"Pokoknya kamu harus secepatnya bawain calon mantu buat mama, Mas!" Sejak memasuki ruang tengah berisi sofa three seater sepaket dengan televisi berlayar 51 inci, ruang televisi - yang juga berfungsi sebagai tempat bersantai, Erlangga telah dikepung rasa khawatir.
Erlangga masih diam, belum merespons apa pun ucapan sang mama. Dia ingin tahu, kenapa tiba-tiba mamanya menitahkan dirinya yang notabene adalah putra sulungnya untuk cepat pulang sore ini usai bubar kantor.
Bunyi ketukan bolpoin di meja kaca memecah ketegangan yang menyelimuti Erlangga. Matanya seketika mendongak, memandang sosok perempuan paruh baya yang saat ini menatap intens ke arahnya.
Dia - Saraswati membidik Erlangga dengan tatapan tajam bak lesatan anak panah yang tepat mengenai targetnya. Sesekali menunjuk putranya menggunakan bolpoin yang ada di tangannya.
"Ayo, cepat katakan! Kapan kamu mau menjalankan bakti pada mama dan papa?" Tanpa basa-basi, Saras menodong putranya dengan kata-kata lugas penuh pengharapan.
"Ma--" Erlangga baru akan bicara tapi disetop oleh tangan sang mama yang melayang di udara - menandakan jika si Nyonya Danapati tidak ingin disela lebih dulu.
"Erlangga Putra Danapati, cepat putuskan dengan jelas, kapan kamu mantu dan cucu ke mama papa?!" Saras mengulang lagi poin penting dari pembicaraan sore ini.
Hela napas Erlangga menguar panjang.
"Mama, yang pasti enggak dalam waktu dekat," sahut Erlan.
"Lusa kita ada undangan pernikahan anaknya Mas Surya sama Mbak Rembulan. Elbayu, sepupu itu mau nikah loh. Ralat, sudah menikah, tinggal resepsinya." Ada embusan napas berat di sela ucapan Saras.
"Kalian ini sepantaran loh, Elbayu udah nikah Er," ujar Saras mengulang kembali kata-katanya, lantas membidik Erlangga lagi.
"Kamu ini kapan?" Cecarnya berapi-api. "Mama tuh sedih, setiap kali kumpul keluarga besar pasti yang ditanyain kapan mantu, kapan Erlan menikah. Capek mama, Erlan!" Pengimbuhan disertai rona wajah yang memancar sendu - membuat Erlangga kembali mengembuskan napas panjang.
"Ya tinggal jawab saja belum ada calon, Ma. Erlan belum mau menikah."
Erlangga paham, sebagai sulung dari dua bersaudara yang nyaris menjadi anak tunggal, pasti mama dan papanya memiliki kekhawatiran tersendiri. Namun, bukan Erlangga ingin membantah keinginan mama, tapi bagaimana mau bawa calon istri kalau mama selalu menolak gadis pilihannya sendiri?
"Kali ini enggak ada alasan lagi loh, Erlan. Mama maunya kamu secepatnya nikah. Kalau bisa habis acara Elbayu, langsung kamu yang ijab qobul."
"Mana bisa gitu, Ma. Menikah itu bukan perlombaan Ma, jadi jangan diburu-buru."
Saras mengibas tangan ke udara. "Banyak alasan kamu, Er! Kalau enggak bisa nyari calon istri, bilang, sini biar mama yang nyariin."
"Maa...."
Erlangga tahu, kalau kalimat pamungkas mamanya sudah terlontar, itu artinya dunia sedang tidak baik-baik saja. Ah, maksudnya dunia dalam rumah ini. Terutama dunia Erlangga. Sialnya dia menyandang gelar sebagai sulung dari keluarga Danapati. Mau tidak mau pasti dia yang akan terus diusik untuk segera memberikan menantu dan cucu. Apalagi si bungsu jaraknya lumayan jauh. Usianya masih 13 tahun.
Bukan tidak ingin mengabuli keinginan mama. Bagi Erlan mencari perempuan yang sefrekuensi, menyamakan visi dan misi, atau kata sakleknya adalah sekufu menurut mama itu lumayan rumit. Makanya di usia menjelang 34 tahun, Erlangga masih betah melajang. Terlalu asyik berkutat dengan dunia kerja membuat prioritas mencari sosok pendamping hidup masuk dalam skala paling akhir dalam kamus hidupnya.
"Tega ya kamu sama mama, sama papamu? Tidak kasihan sama perempuan cantik yang sudah berusia setengah abad lebih ini?"
"Erlangga Putra Danapati, jangan lupa ya, lima tahun lalu kamu janji ke mama, katanya sebelum mama ulang tahun ke lima puluh akan membawa calon menantu ke sini. Mana buktinya? Mana? Bohong saja terus sama mama." Tipikal Saras kalau sudah mendumal, pasti kalimatnya bakal berentet dan susah berhenti sebelum benar-benar merasa puas melampiaskan kekesalannya.
"Astagfirullah!" Tiba-tiba Saras menegakkan posisi duduk. Tangan kanannya menangkup mulut disertai tatapan mata membulat sempurna. Polah mamanya seketika direspons Erlan dengan tatapan, bingung.
"Kamu normal, kan, Erlan?!" Roman Saras berubah tegang saat melontarkan tanya pada putra satu-satunya.
"Astaghfirullah, Mama ini. Normal lah, mama jauh banget mikirnya. Sejauh ini suuzan yang paling jauh, Ma." Erlangga mencak-mencak, protes atas pemikiran mamanya.
"Mama tenang saja, jangan terlalu dipikirkan, nanti malah stress dan sakit. Erlangga janji, secepatnya akan membawa calon menantu ke rumah ini."
"Sudah deh, jangan janji-janji palsu. Capek mama di-P-H-P terus. Kamu itu ya, sudah kayak wakil rakyat yang kebanyakan janji, tapi enggak pernah ditepati."
"Lima tahun lalu Erlan sudah bawakan mama calon mantu, tapi apa? Mama malah berkeras menolak gitu." Seketika ingatan Erlangga terbawa pada memori lima tahun lalu. Airmuka Erlan berubah keruh mengingatnya. Ada sesuatu yang terus berkelindan dalam isi kepalanya sampai kini. Sesuatu yang enggan untuk dia enyahkan dan masih bertahan di sana.
Saras memamerkan wajah kerasnya mendengar statement Erlan barusan. "Mencari menantu tidak bisa asal pilih, Erlan. Ada hal-hal krusial yang penting untuk dipertimbangkan, terutama bagaimana perempuan itu dididik dan dibesarkan. Kamu lihat, kan, berapa banyak suami atau mertua yang kesusahan gara-gara ulah mantunya yang tidak bisa menjaga privasi keluarga?! Modal cantik lantas gaya hidup hedonis, suka pamer ini itu di medsos?" Terangnya lugas. "Mama hanya tidak mau kamu salah pilih."
Saras bangkit dari sofa, kakinya melangkah ingin kembali menapaki anak-anak tangga. Tepat di pintu tangga perempuan itu memaku langkah dan menoleh pada putranya. "Pokoknya mama enggak mau tahu, kamu harus secepatnya membawa calon menantu ke rumah ini. Tahun ini kamu genap 34 tahun, mau tunggu apa lagi, hah? Mau nungguin jadi bujang tua, terus enggak ada yang mau sama kamu lagi begitu?"
"Sadisnya Mama, omongan itu doa loh, Ma." Respons Erlangga. "Terus kalau sudah 34 tapi belum nemuin calon mantu buat Mama gimana?" Pengimbuhan yang memantik reaksi Saraswati.
Perempuan paruh baya itu masih membeku di tempat, menatap tajam pada Erlan. "Kalau seperti itu, nama kamu yang bakal mama hapus dari kartu keluarga Danapati," ujarnya lantas membalik badan meneruskan langkah menaiki anak-anak tangga.
_____
Genks, seperti biasa, yang rajin mampir, kasih vote serta komentar, bakalan ada hadiah novel buat kamu.
Ah, kachan boong nih, mana buktinya pernah ada yang beneran dapat?
Enggak perlu bukti. Yang penting siapa yang kepilih beneran kachan kirim novelnya. Gratis ya, termasuk ongkirnya. Mau kamu tinggalnya di Berau sekali pun. 😂
05-09-24
1435
Tabik
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top