13. Gold Digger?
"Naima!" Refleks Erlan. Nada bicaranya naik beberapa oktaf. Rasanya lelah sekali harus memperdebatkan hal yang sama berulang kali. Tidak bisakah sekali saja Naima menghargai usahanya? Memahami kesulitan yang dirasakannya?
Erlan merasa udara di sekitarnya menyusut, membuatnya terasa sesak oleh konfrontasi Naima barusan.
Selama ini apa yang tidak dikabuli olehnya? Hampir semua keinginan Naima selalu dituruti tanpa tapi. Sepasang iris almond milik Erlan memejam sepersekian detik, sebelum akhirnya lelaki itu mengosongkan udara dari paru-parunya. Mencoba meredam emosi yang ingin menguasai.
"... Sayang, enggak hari ini. Sepertinya kamu lagi enggak mood, kita bicara lain waktu, oke." Mencuat juga akhirnya kalimat dari mulut Erlan. Dia beranjak dari duduk, mendekat ke sisi Naima, mendaratkan ciuman sekilas di pucuk kepala Naima sebelum pamit dan melenggang pergi.
Meninggalkan basement tempatnya memarkir kendaraan, Erlangga mengemudi dengan kecepatan sedang. Otaknya semrawut. Belum sempat dia bercerita pada Naima, tetapi kekasihnya itu lebih dulu menciptakan ketegangan. Semua angannya buyar. Temu kangen yang terangkum dalam ekspektasinya tidak terealisasikan.
Mobil melaju membelah jalanan yang ramai lancar. Tujuan Erlan selanjutnya adalah kediaman orangtua Gistara. Kadung membuat janji jika malam ini akan menjemput Gistara untuk membawanya makan malam di rumahnya. Bimbang sempat melanda Erlan, apa dia batalkan saja menjemput Gistara? Tetapi bagaimana nanti kalau mamanya protes? Mamanya sudah terlanjur senang bukan main mendapat telepon dari Erlan kalau dia akan membawa Tara ke rumah.
Mobil Erlangga terparkir sempurna di carport rumah Gistara. Lelaki itu segera beranjak turun. Mata Erlan memonitor dari tempatnya berdiri, ruang tamu kediaman orangtua Gistara tampak benderang. Pintu ganda berpelitur itu terbuka lebar.
"Silakan masuk, Nak!" Begitu kakinya sampai di depan pintu, Erlangga disambut suara ramah laki-laki lima puluh tahunan.
"Terima kasih, Om."
"Andrew, papanya Gistara." Erlan menjabat erat tangan papanya Tara. "Jadi ini yang namanya Erlangga?"
"Iya, Om. Senang bisa bertemu dan berkenalan langsung sama Om Andrew."
"Santai saja, Erlan, Tara sudah banyak cerita tentang kamu."
"Tamunya sudah datang, minum dulu ya, sembari nunggu Tara yang lagi siap-siap." Suara itu milik mamanya Gistara. Perempuan menjelang lima puluh tahun itu bergabung duduk di sofa persis di sebelah suaminya.
"Terima kasih Tante, maaf merepotkan." Erlan meraih cangkir teh di hadapannya. Lelaki itu menghidu aroma kamomil sebelum menyeruputnya pelan. Meski tidak terang-terangan, tapi Erlan tahu dia sedang dimonitor oleh papa dan mamanya Gistara. Tatapan kedua orangtua itu sejak tadi seperti alat pendeteksi yang mencari letak kekurangannya. Wajar. Erlan bisa memahaminya.
"Nak Erlan beneran ingin serius dengan Tara?" Adalah preambul Evelyn - mamanya Tara. "Maaf ya, bukannya apa-apa, tapi Tante masih kaget sama pengakuannya Tara. Masa tiba-tiba bilang mau menikah." Ada tawa sumbang yang terlontar dari bibir mamanya Tara.
Erlangga mengangguk, mengamini premis mamanya Tara.
"Benar, Tante, Om, sejak dekat dengan Tara, saya enggak pernah main-main, makanya saya berniat membawa hubungan kami ke jenjang serius. Maaf kalau saya lancang, padahal saya baru kenal Om dan Tante."
Andrew Padmaja mengibas tangan ke udara. "Tidak apa-apa, saya justru senang karena Nak Erlan tidak main-main dengan Gistara."
"Iya, kami sebagai orangtuanya pasti akan mendukung pilihan putri kamu, selama itu baik kenapa tidak, iya kan, Pap?" Evelyn menggulir pertanyaan pada suaminya yang lebih ke arah minta persetujuan. Andrew manggut-manggut sebagai respons.
"Maaf ya, kalau boleh tahu, Nak Erlan kerja di mana?" Pertanyaan susulan Evelyn.
Erlan tahu pasti cepat atau lambat pertanyaan semacam ini akan mampir padanya. Manifasting, padahal dia berharap sedang berhadapan dengan orangtua Naima, justru di hadapan mama papanya Gistara.
"Saya ... bantu mengurus usaha orangtua, Tante, Om."
"Di bidang apa, Nak Erlan?"
"Perusahan kamu bergerak di bidang retail, Om."
Andrew Padmaja manggut-manggut, lantas menyambung pertanyaan, "Retail online?"
"Dua-duanya, Om. Offline dan online," sahut Erlan.
"Oh, apa itu nama retailnya, Nak Erlan?"
"Offline kami ada Sunny Department Store, Indomarket, beberapa gerai resto siap saji dan beberapa line khusus kosmetik. Online kami ada ShopZone, Om, Tante."
"Wah, mama kan sering belanja di ShopZone, Pa." Evelyn menukas antusias. Siapa yang tidak tahu ShopZone? Salah satu retail terbesar di Indonesia. Saingannya Lazarus. Dua retail raksasa itu menjadi rival yang sama kuatnya.
Mata Andrew berbinar mendengar penuturan Erlan. "Loh, Sunny dan Indomarket bukannya punya Harris Danapati, ya?"
"Itu papa saya, Om." Erlangga bisa melihat senyum puas di wajah papanya Tara. Rata-rata pebisnis pasti tahu ketika dia menyebut nama Harris Danapati, papanya.
"Wah, saya enggak nyangka kamu putranya Harris Danapati. ShopZone juga sekarang jadi marketplace besar di Indonesia, ya."
"Alhamdulillah, Om."
Dua laki-laki beda generasi serta perempuan paruh baya itu langsung akrab berbincang. Dari arah bordes, ketipak langkah terdengar menuju ruang tamu. Gistara menuruni tangga perlahan. Perempuan itu tampak anggun dan cantik mengenakan setelan Maxi dress kekinian berwarna cream dipadu kerudung warna senada. Kakinya dilapisi sneakers putih bertali hijau. Tipikal Gistara yang suka sekali memadukan dua gaya kontras. Menarik, sekaligus staylish.
"Nah, itu Tara udah siap." Sang mama menunjuk Tara lewat gerakan mata. Erlan refleks ikut menoleh. Sedikit takjub dengan penampilan Gistara malam ini. Tatapannya jatuh pada sepasang kaki Tara yang dilapisi sneakers. Ada senyum tipis yang coba Erlangga sembunyikan. Dasar Gistara! Mau pakai dress apa pun tetap kakinya dibungkus sneakers. Kontras, tapi unik.
"Sudah siap, Tara?" Tanya Erlan.
"Bentar, aku ambil sesuatu dulu." Gistara melangkah ke kitchen. Dapur bersih yang biasanya digunakan untuk aktivitas ringan seperti membuat minuman atau memanggang roti. Tangan Tara cekatan menata sesuatu ke dalam kotak hampers.
"Tadi Tara bikin kue loh, Erlan, katanya spesial untuk mamanya Erlan." Evelyn menspoiler.
"Apa sih, Mama!" Gistara menyahut rikuh. "Buah tangan biasa kok, kan, enggak enak kalau datang enggak bawa apa-apa, Ma." Gistara menghampiri Erlan, isyaratkan agar lelaki itu segera beranjak. "Ma, Pa, Tara pergi dulu, ya."
"Hati-hati ya, salam buat mamanya Erlan." Evelyn dan Andrew menyahut bersamaan.
___
"Kamu bikin apa, Tara?"
"Lekker, katanya Mas Naka, Tante Saras suka banget sama kue ini."
"Serius kamu bikin sendiri?" Erlangga melirik sangsi. Lelaki itu sedang fokus pada roda kemudi.
"Seriuslah, ngapain boong." Sungut Tara.
"Udah cantik gitu, enggak pantes kalau ngomongnya sengak, Tara."
Apa? Gistara memutar matanya. Apa barusan tadi secara tidak langsung Erlangga memujinya cantik? Kalau iya, Tara tidak butuh pujiannya.
Soal kue tadi? Gistara memang hobi baking, kok.
Lekker keju, salah satu kue yang lezat dan populer di Indonesia. Kenapa dia membuatnya untuk Tante Saras? Selain informasi dari Naka tentang camilan favorit mamanya Erlan. Menurut Gistara, Lekker keju sangat cocok untuk orangtua karena memiliki rasa yang lezat dan tidak terlalu manis. Selain itu, kue ini juga memiliki kandungan keju yang baik untuk kesehatan tulang.
Hening merayapi. Gistara asyik dengan ponselnya, sementara Erlangga memilih sibuk dengan pikirannya. Ironi! Padahal dia ingin sikap yang Gistara tunjukkan sekarang ini ada pada Naima. Lihat saja, Tara bahkan bisa repot-repot membuatkan camilan kesukaan mamanya. Sementara Naima? Selain bitterbalen, perempuan itu enggan belajar membuat sesuatu lagi yang lain.
Erlangga melirik sekilas tas yang dikenakan Tara. Simpel tapi tidak meninggalkan kesan anggunnya. Dia tebak bahannya pasti dari letter berkualitas, terlihat kokoh dan jahitannya rapi. Iseng, Erlan melontarkan pertanyaan.
"Tas kamu bagus, Tara, merk apa itu?"
Gistara refleks mengangkat tas di bahunya. "Kenapa emangnya? Kepo kamu, Mas!"
"Mau tahu aja, enggak boleh? Siapa tahu kapan-kapan saya mau beliin mama." Alibi Erlan. Pertanyaan retoris, dia hanya ingin memancing reaksi Gistara.
"Lokal brand ini, bagus dan awet. Letter asli."
"Brand apa, Tara?"
"Swastamita Bag. Mereka juga ada produk sepatunya, aku punya beberapa juga. Udah lah, enggak level di kamu, Mas. Enggak usah beli."
Tawa Erlan berderai. "Kenapa bisa mikir begitu, Tara?"
Mata Gistara menekuri penampilan Erlangga dari atas sampai bawah. Dia tahu dan paham, apa-apa yang melekat di tubuh Erlan bukan sesuatu yang bisa disebut terjangkau. Peduli apa dengan kalimat ; tidak sopan.
"Setelan Hugo Boss, jam tangan Rolex, pantofel Berluti, dasi Paul Smith. Dan, kamu sok-sokan mau beli lokal brand, Mas? Ha-ha-ha, becanda kamu enggak lucu!" Sarkas Gistara.
"Jangan meremehkan, Tara, biar begini saya pencinta brand lokal."
Bibir Gistara mencibir, meremehkan statement Erlangga barusan.
"Bukannya kamu dapat masalah juga karena hobi belanja barang mewah, ya?"
"Itu bisnis, Mas. Aku beli barang-barang branded buat dijualin lagi."
Dari sekian banyak interaksi yang terjadi malam ini, Erlangga bisa menyimpulkan satu hal; kenapa gaya hidup Naima dan Gistara jauh sekali? Tara ini sederhana, tampil selai apa adanya, tapi tidak meninggalkan kesan anggun. Sementara Naima? Ah, sudahlah, memikirkannya membuat kepala Erlan serasa mau pecah.
"Kalau nanti kita menikah, maksudnya kita sudah menjalani pernikahan kontrak itu, apa kamu bakal sering beli barang-barang branded, Tara?"
"Oh iya jelas, kapan lagi bisa morotin putra tunggalnya Harris Danapati? Aku bakalan belanja banyak-banyak, sampai kamu bangkrut, sampai tiba saatnya Lo-Gue, End!" Jelas ini hanya satir. Mana mungkin Tara berlaku seperti perampok. Alih-alih kaget, tawa Erlangga mencuat mendengar nada bicara Gistara yang meletup-letup. Lucu, khas Tara seperti gadis itu berusia sepuluh tahun dulu.
"Ada dendam apa kamu sama saya, sampai mau dibikin bangkrut gitu?"
"Banyak dendamku sama kamu, Mas. Siap-siap aja kamu, ya. Aku bikin bangkrut sebangkrutnya nanti."
"Matre juga kamu, Tara."
"Oh iya jelas, hari gini cewe mana yang enggak matre, Mas? Cuma cewe bego yang makan cinta buta."
"Ingat Tara, kita menikah bukan karena cinta."
"Nah, justru itu, mumpung nikahnya enggak karena cinta, jadi aku bakal atur strategi jitu buat bikin kamu bangkrut."
Erlangga hanya manggut-manggut meresponsnya. Dia dengarkan semua ocehan Gistara tanpa ingin mendebat. "Definisi matre menurut kamu itu apa, Tara? Apa yang bisa beliin semua kemauan kamu? Termasuk barang-barang kayak tas dan sepatu branded?"
Gistara refleks menggeleng keras. "Matre itu enggak melulu tentang barang-barang branded, subyektif aku sih ini, matre itu menuntut pasangannya buat memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya, yang kiranya enggak bakal kekurangan, itu aja sih."
Disadari atau tidak, Erlangga dibuat takjub dengan pemikiran Gistara. Perempuan semuda Tara bisa memiliki pemikiran sedewasa itu? Ah, bahaya! Erlan menggeleng sendiri ketika tanpa sadar mulai membanding-bandingkan Tara dengan Naima. Usia Naima lebih tua dari Gistara, tapi kenapa visi misinya bisa jauh sekali dengannya?
_____
30-01-2025
1624
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top