12. it suck



"Perlu diingat bahwa perjanjian pra-nikah ini telah disepakati oleh kedua belah pihak dan tidak boleh ada yang dilanggar.
Demikian prenuptial agreement ini dibuat dengan penuh kesadaran dan di bawah naungan hukum yang sah, kuat dan mengikat."

Otak Gistara serasa mendidih begitu notaris selesai membacakan klausul perjanjian. Erlangga tidak hanya berbohong pada Naka, tapi juga berlaku culas, sengaja meninggalkan klausul paling penting untuk dibacakan paling akhir.

"Kamu sudah tanda tangan, artinya kamu setuju sama isi klausul kontrak kita, Tara."

"Enggak!" Tolak Gistara meradang. "Kamu curang, Mas! Kenapa isi paling krusial dari kontrak harus dibacakan belakangan?"

Erlangga tersenyum santai. "Tidak ada yang curang, semuanya transparan, kalau soal dibacakan belakangan itu karena Pak Rudi lupa memasukkan ke dalam map."

Alasan basi! Gistara sama sekali tidak percaya. Pasti itu hanya alibi Erlan, pasti sebelumnya dia dan notarisnya kong kalikong, sepakat untuk berbuat curang.

"Benar, ini murni keteledoran saya, Mbak. Tolong jangan salahkan Pak Erlan, saya yang lupa memasukkan klausul kelima ke dalam map perjanjian." Pak Rudi menukas, Rina paruh baya itu menyiratkan sesal saat menatap Gistara.

Gistara tidak menyalahkan Pak Rudi sepenuhnya, tentu otak dari semua tindakan adalah Erlangga. Dan, Mas Naka, kakaknya percaya begitu saja saja pada mulut manisnya Erlan.

"Saya sudah bilang untuk membacanya ulang, tapi kamu bilang tidak perlu. Artinya kamu sudah sepakat dengan isi perjanjian ini, Tara."

"Kamu enggak sepenuhnya jujur sama Mas Naka."

"Saya sudah menjelaskan semuanya sama Naka. Saya bersedia membantu kamu, dengan syarat kamu juga harus membantu saya. Ini fair, tidak ada yang curang di sini."

"Maaf, karena semuanya sudah selesai, saya pamit undur diri, Pak Erlan, Mbak Tara." Pak Rudi ambil langkah, lelaki itu pamit saat menyaksikan perdebatan sengit Erlangga dan Gistara.

Erlan mengantarnya sampai ke depan pintu, usai merapal terima kasih lelaki itu kembali memasuki ruang kantornya.

"Sudah jelas, kan, kamu terikat perjanjian dengan saya, Gistara."

Gistara memejam, refleks saat otaknya dijejali dengan banyak kebimbangan. Kenapa semuanya jadi serumit ini? Padahal dia hanya ingin keluar dari masalah, tapi malah timbul masalah baru.

Gistara meraih kertas di meja kaca, tangannya dengan gerakan merobek kertas penuh emosi, lantas melemparnya ke lantai. "Aku enggak mau! Perjanjian ini batal!" Sengitnya menatap Erlan. Di luar dugaan lelaki 33 tahun itu malah tertawa lepas.

"Itu cuma salinan Gistara, klausul yang  asli sudah dibawa notaris." Tawa Erlan seperti ejekan untuk Gistara. "Kamu jangan seenaknya membatalkan secara sepihak, itu artinya sama saja kamu menyalahi perjanjian, saya bisa tuntut kamu, Tara!"

Satu kata untuk Erlangga; it fucking suck!

Gistara bergeming. Dia berada di situasi sulit. Maju salah, mundur pun tetap salah.

Erlangga memangkas jarak, lelaki itu berjejak tepat di sebelah Gistara. Erlan menarik salah satu tangannya yang dikantongi lantas menyentuh pucuk kepala Gistara. Respons Tara adalah menghindar.

"Singkirin tangan kamu, Mas!"

"Why? Saya cuma lagi belajar untuk dekat sama calon istri, apanya yang salah?"

"Jangan kurang ajar!" Sentak Gistara merasa risih atas tindakan Erlan.

"Bite the bullet, Tara. Jalani semuanya dengan baik, kita hanya butuh waktu satu tahun." Tatapan Erlan melunak, mungkin ada sebersit rasa bersalah sudah lancang menyentuh kepala Gistara. Nada suaranya ikut melembut ketika berbicara lagi, "Saya tahu kamu orangnya amanah, so ... don't betray me, a promise is a promise, Gistara Swasti Padmaja."

"Dari dulu kamu enggak pernah berubah Mas, kamu masih Erlangga yang suka seenaknya sendiri. Nyesel banget kenapa aku buru-buru mengiakan perjanjian sialan ini!" Andai waktu bisa direply ulang?!

"Marah-marah enggak akan bikin masalah kamu kelar. Saya enggak peduli penilaian kamu tentang saya, Tara. Yang saya mau kamu jalani perjanjian kita ini dengan sebaik mungkin."

" ... kamu berengsek, Mas!"

Tawa Erlangga mencuat mendengar makian Gistara. Gadis manis di hadapannya itu ternyata bisa mengumpat juga. Alih-alih tersinggung atau marah, Erlan malah merasa umpatan Gistara barusan terdengar lucu di telinganya.

"Saya pikir kamu enggak bisa mengumpat, Tara. Dugaan saya salah."

"Kalau udah enggak ada yang dibicarakan, aku mau pulang!"

"Biar saya antar."

"Enggak perlu, aku bisa balik sendiri."

Erlangga tidak mendebat. Lelaki itu manggut-manggut. "Siapkan diri kamu, nanti malam saya jemput."

Kedua alis Gistara mengumpul ditengah. "Jemput?"

Erlangga mengangguk. "Kita ketemu orangtua saya, sekaligus membahas tentang rencana pernikahan."

Apa?

Sepasang iris Gistara mendelik tak percaya. Apa harus secepat itu? Erlangga akan membawanya bertemu orangtua lelaki itu? Sumpah! Gistara sama sekali belum siap. Dia tidak tahu harus bicara apa nanti di depan mama dan papanya Erlangga.

"Kenapa kaget begitu?"

"Harus banget malam ini?"

"Harus. Lebih cepat lebih baik, Tara. Saya enggak mau membuang-buang waktu."

"Aku belum siap, Mas!"

"Itu urusan kamu, siap enggak siap, kamu harus ikut nanti malam."

Gistara mendengkus.
Selain menyebalkan, Erlangga ini ternyata outlier manusia tukang maksa. Dia tidak punya pilihan lain, kan? Mau menolak, tapi namanya sudah tertera di surat perjanjian.

"Jam berapa?" Kata Gistara akhirnya.

"Good!" Erlangga tersenyum puas mendengarnya. "Jam tujuh malam, nanti kita sekalian makan malam di rumah saya."

Gistara mengangguk singkat, lantas beranjak dari duduk. Dia pamit pulang usai urusan tanda tangan prenuptial agreement selesai.

____

Erlangga melirik arloji di tangan kirinya, pukul 16.00 sore, artinya masih ada waktu sebentar untuk bertemu kekasihnya sebelum nanti menjemput Gistara tepat di pukul 19.00

Erlan beranjak dari duduk, tangannya sibuk memberesi meja kerjanya, memasukkan dokumen penting ke dalam tas kerja sekaligus mematikan komputer jinjingnya.

Erlan melangkah dengan perasaan ringan. Tujuannya usai ngantor sore ini adalah apartemen Naima. Dua hari tidak bertemu, rasa rindunya pada perempuan itu seakan menggunung. Erlangga butuh tuntaskan rasa kangennya. Tidak sabar untuk membagi cerita pada Naima, bahwa Gistara telah setuju menandatangani kontrak perjanjian mereka. 

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di apartemen Naima. Tiga puluh menit Erlan menempuh perjalanan, akhirnya sampai di  hunian sang kekasih.

Kakinya berderap memasuki lift, menekan angka 16 tempat unit Naima berada. Seperti biasanya Erlangga tidak perlu menekan tombol bel, dia hapal sandi apartemen Naima. Pintu terkuak, pemandangan pertama yang Erlan temui berhasil membuat perasannya menghangat. Di kitchen yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ruang tamu, Naima sedang sibuk memasak sesuatu.

"Welcome, Sayang. Aku lagi bikin  camilan buat kamu, Mas," ujar Naima.

Erlangga mengangguk di antara senyum, langkahnya mutlak tertuju pada Naima. Tanpa aba-aba lelaki itu menautkan kedua tangannya memeluk Naima dari belakang.

"I miss you," bisiknya lembut. "Kamu bikin apa?"

"Kamu awas dulu dong, Mas, aku bikinin bitterbalen," sahut Naima.

"Again?" Tanya Erlan - lebih terdengar seperti sebuah sarkas. Setiap kali membuat sesuatu untuk Erlan, pasti hanya itu saja yang disajikan Naima. Erlangga maklum, karena kekasihnya belum terbiasa masak. Mungkin nanti setelah mereka menikah, Naima akan belajar membuat masakan atau camilan yang lainnya. 

Embusan napas Naima. "Kamu tau, kan, aku bisanya cuma bikin ini aja. Kenapa? Kamu enggak mau, Mas?"

Erlangga segera menggeleng. "Mau, tapi ada yang kurang, Sayang."

"Dan kopi tentunya, makanya kamu minggir dulu." Naima melepas kaitan tangan Erlan. Perempuan itu sibuk menata hasil masakannya ke atas piring, lantas sigap meracik kopi untuk Erlan.

"Ada sesuatu yang mau saya obrolin sama kamu, Nai."

Naima meresponsnya dengan senyum semringah. "Aku juga, Mas." Tidak butuh waktu lama, secangkir kopi dan sepiring bitterbalen dia tas nampan dibawa Naima ke ruang tamu. Di sana Erlangga menunggu seraya menyandarkan bahu sepenuhnya. Naima bergabung, mengambil tempat persis di sisi kekasihnya.

"Minum dulu, Mas."

"Makasih, ya." Dibalas senyum manis Naima. "Jadi, kamu mau cerita apa, Nai?"

Naima beringsut menegakkan posisi duduk. Wajahnya memancar antusias, ketika meraih tab di atas meja.

"Kamu ingat, kan, Birkin twenty five   yang aku mau dari beberapa bulan lalu, Mas?" Naima bercerita tentang tas branded mewah seharga satu Lexus IS itu dengan rona menyirat semangat. Erlangga manggut-manggut mendengarkan.

"Kenapa memangnya, Nai?" Pertanyaan retoris, padahal dia sudah tahu ke mana arah bahasan Naima.

"Warna yang aku mau udah ready loh, Mas. Kamu jadi, kan, mau beliin aku tas itu?"

Erlangga terdiam sejenak. Hobi Naima yang satu ini sebenarnya agak keberatan bagi Erlangga.

"Memang agak pricey sih, Mas, tapi ini bisa buat investasi juga loh, kapan-kapan kalau kita jual harganya bisa melambung tinggi karena rare."

"Harus banget beli sekarang, Sayang?"

"Kenapa, Mas?" Airmuka Naima berubah keruh.  Harap-harap cemas menanti reaksi Erlan.

Erlangga menggeleng dua kali. Bukan tidak ingin memanjakan Naima, tapi baru bulan kemarin kekasihnya itu membeli Baguette-nya Fendi yang harganya tidak bisa dibilang murah.

"Mas, kok diam sih?"

"Kita lihat nanti ya, Nai. Saya enggak janji--"

"Kamu perhitungan banget sama aku. Kamu bisa loh Mas, ngasih perempuan lain tiga miliar, kenapa buat aku yang cuma segitu aja kamu keberatan?"

"Nai, bukan seperti itu. Ini enggak ada hubungannya sama nilai kontrak itu. Kamu-"

"Kenyataannya memang begitu, kan. Kamu rela kasih nominal besar buat Gistara. Tapi buat aku?! Kamu perhitungan, Mas Erlan. Harusnya aku yanga dan di posisi itu!" Protes Naima.

Erlangga mengusap wajahnya, frustrasi. Sungguh, tidak ingin ada perdebatan apa pun dengan Naima. Katakanlah uang Erlangga tidak terbatas. Materinya melimpah, bisa dengan mudah menuruti kemauan Naima. Tetapi masalahnya adalah, Erlan ingin mengubah habbit konsumtifnya Naima. Bagaimana mamanya bisa merestui kalau sifat yang tidak disukai itu terus dilakukan Naima?

"Nai, kita sudah sepakat, kan, kamu harus mulai belajar menekan keinginan belanja. Bukan karena saya pelit, tapi ini salah satu usaha untuk meyakinkan mama kalau kamu enggak seperti dugaan beliau."

Tawa kering Naima mencuat. Dia memandang Erlan dengan mata membara. "Aku enggak butuh penilaian mama kamu, Mas! Dari awal dia emang enggak suka sama aku. Mau apa pun yang aku lakuin pasti akan tetap salah di mata mamamu!"

"Naima!" Refleks Erlan. Nada bicaranya naik beberapa oktaf. Rasanya lelah sekali harus memperdebatkan hal yang sama berulang kali. Tidak bisakah sekali saja Naima menghargai usahanya? Memahami kesulitan yang dirasakannya?







___













29-01-2025
1550



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top