10. Bimbang


Annyeong... saya balik lagi. Semoga masih ada yang nungguin, ya. ✋💚
.
.
.




"Menikah ... artinya kebebasan kamu bakal dikebiri, kamu enggak bisa lagi kek sekarang, Gis." Kika mencoba menginterupsi Gistara. Sebagai sahabat dia tidak ingin teman baiknya yang sudah seperti saudara itu salah mengambil langkah. Menikah, kan, peristiwa sakral, kalau bisa sekali seumur hidup, jadi harus bersama orang yang tepat. Lagipula Kika pikir, seusia dia atau Gistara masih terlalu muda untuk memikirkan pernikahan. Sekarang sudah bukan zamannya anak gadis harus nikah di bawah usia tiga puluh tahun. Era Siti Nurbaya telah berakhir seiring perkembangan zaman yang makin pesat.

"Ya, gue tahu itu." Respons Gistara singkat. Perempuan berpasmina pinggala itu berkata dengan tatapan mengawang. Kika tahu, biasanya saat tanpa sadar memamerkan lamunan pasti Gistara sedang diapit rasa bimbang.

"Yakin, kamu udah beneran siap?" Saat melontarkan kalimatnya mata Kika tertuju sepenuhnya pada Gistara. Dia perhatikan gesture Gistara yang lebih banyak pasif sejak mereka memasuki kedai kopi. Dua sahabat itu sedang menikmati wetime berdua di sebuah coffe shop bernuansa couzy. Lebih tepatnya Kika yang mengajak ketemuan, sengaja ingin melampiaskan banyak tanya pada sang sahabat.

Gayung bersambung, Gistara pun ternyata ingin bertemu di luar, membahas perihal perjanjian kontrak yang ditawarkan Erlangga. Dia belum berani membicarakan ini di rumah, takut dan khawatir kalau orangtuanya atau bahkan Naka tahu tentang perjanjian gila yang diminta Erlangga.

Tara yakin seratus persen saat nanti Naka tahu, kakak lelakinya itu pasti akan langsung murka. Tara belum siap mendapat penghakiman sepihak, juga tidak ingin pertemanan Erlangga dan Naka jadi rusak karena permasalahan ini. Dia benar-benar diapit rasa bimbang yang memuncak. Di satu terdesak oleh keadaan, di sisi lain hubungan baik kakaknya dengan Erlangga juga terancam punah.

Gistara menyeruput Americano iced pesanannya. Setelah sempat termenung beberapa saat, gadis itu mengalihkan fokusnya pada komputer jinjing yang dia bawa. Sepasang matanya memonitor layar sementara jari-jarinya selaras mengklik tetikus beberapa kali.

"Gis, kamu ngajak ketemuan tapi masih sibuk aja sama laptop!" Adalah protes Kika ketika memindai Tara yang lebih takdzim memandangi layar komputer jinjingnya.

Weekend yang katanya waktu untuk para muda-mudi berburu kesenangan, tapi bagi Gistara tak ubahnya hari biasa lainnya. Oke, Gistara tidak punya pacar atau laki-laki yang disebut sebagai kekasih, jadi dia rasa kata weekend tidak berlaku untuknya. Apa itu malam malam Minggu? Yang ada Gistara lebih sering tenggelam dalam temaram kamarnya, menyelesaikan banyak deadline desain pesanan klien. Kecuali temu kangen bersama Kika atau ajakan mendadak Naka seperti kondangan waktu itu.

"Sorry Sayang. Deadline, Ka, lumayan nih, buat jajan seblak. Kamu tahu, kan, sejak menanggung ganti rugi gue jadi fakir banget."

Kika tertawa. "Ortu kamu tuh tajir, Gigis, ngapain sih, ribet soal uang jajan?"

"Excusme! Yang tajir mereka, lha gue tetap aja kismin."

"Aku masih enggak nyangka, Kak Erlan yang dulu suka gangguin kamu malah sekarang jadi calon suami kamu, Gis. Tapi lebih kaget lagi soal perjanjian  gila itu, bisa-bisanya dia manfaatin kamu." Mata Kika yang tadinya  menyiratkan binar antusias ketika membahas tentang Erlangga berubah layu seketika, mengingat cerita Gistara tentang perjanjian nikah Tara.

Respons Gistara hanya berdecak pelan atau mengangkat kedua bahu tak acuh. Ya gimana, dia sendiri merasa tidak ada yang istimewa menyangkut tentang Erlangga. Apalagi setelah tahu laki-laki itu ternyata punya sifat licik, gemar memanfaatkan kesulitan orang lain untuk keuntungannya sendiri. Ternyata bayangan Tara soal betapa too good to be true-nya seorang Erlangga Danapati terlalu ketinggian. Erlan tidak seprestisius itu untuk dilabeli sebagai cowo high class ... di matanya.

"Cuma formalitas, Ka, enggak usah lebay ya. Dia bukan husband materials aku." Tara mencoba menangkan Kika, menebar afirmasi seakan semua akan baik-baik saja, meski dia juga belum tahu kedepannya akan bagaimana nanti. Tara menatap serius pada Kika lantas kembali mengatakan sesuatu, "Gue minta satu hal sama lo, Ka," ucapnya memasang wajah pengharapan.

Kika meresponsnya dengan gerakan mata, gesture wajahnya mewakili kata-kata yang ingin keluar dari bibir, "Apaan?"

"Tolong banget, lo jangan cerita apa-apa dulu sama Mas Naka. Please ya, Ka. Gue pasti ceritain nanti ke dia, tapi enggak sekarang."

Kika merespons dengan gelengan samar. Sebenarnya tidak setuju dengan tindakan Gistara. Bohong itu risikonya besar. Yang awalnya bohong sedikit pasti lama-lama akan jadi banyak. Belum lagi risiko orang yang disayangi bakal merasa dikecewakan nantinya.

Ekspresi Kika dengan cepat berubah geram ketika mengingat sesuatu, "ini semua gara-gara Siska." Ronanya memancar marah ketika menyebut nama Siska. "Coba aja dulu kamu dengerin aku, Gis, buat enggak berhubungan sama dia, pasti--" dipotong Gistara dengan gelengan kuat.

"Udah terjadi, Ka, disesali juga enggak ada gunanya. Iya gue salah udah percaya sama betina satu itu. Tadinya gue pikir dia lempeng aja, enggak neko-neko, ternyata kejadian kayak gini."  Raut Tara sama geramnya seperti Kika, mengingat betapa culasnya teman yang sudah dipercaya ternyata menusuk dari belakang. Tidak tanggung-tanggung, gara-gara masalah ini Gistara dirugikan banyak sekali, tidak hanya soal materi tapi juga kepercayaan orang-orang terdekatnya.

Dia percaya sepenuhnya pada Sisca, mengingat track record temannya satu itu cukup bagus di bidang jastip. Yang mungkin sudah banyak orang tahu, beberapa brand terkenal tidak bisa dibeli sembarangan, meski kamu punya uang banyak sekalipun, kalau tidak ada tracker record atau keanggotaan, kamu tidak akan bisa membeli tas mewah impianmu itu.
Beberapa merek tas mewah memang menerapkan kebijakan tertentu untuk pembelian produk mereka, terutama untuk model tertentu atau edisi terbatas. Peluang inilah yang dimanfaatkan Gistara untuk mengembangkan bisnis jastip tas mewah bermerk. Sayangnya baru jalan sebentar usahanya harus tersandung kasus penipuan.


____

Usai bertemu Kika, Gistara tidak langsung pulang. Gadis itu melipir ke kafe shop lain untuk melanjutkan janji temu dengan Erlangga. Ah! Memang ya, Tuhan memang paling tahu cara bercanda. Padahal hidup Gistara sebelumnya lurus-lurus saja, tidak ada kendala berarti, semua bisa teratasi, tapi sekalinya Tuhan ngajak bercanda tidak main-main, dunia Gistara seperti dijungkir balikkan oleh keadaan. Apa ini termasuk salah satu cara Tuhan agar Tara menyadari sebelum ini betapa banyaknya syukur yang harusnya dia amini di setiap momen perjalanan hidupnya? Bahwa, tanpa teguran dari Tuhan kita tidak akan pernah sadar bahwa hidup ini bukan hanya sekedar bernapas.
Tetapi ada perkara yang harus dipelajari dan perlu diperbaiki.

Entahlah, Tara masih belum bisa menemukan hikmahnya.

Begitu kakinya memasuki dalam kafe, mata Tara langsung tertuju pada sosok yang sedang berjejak di depan salah satu meja. Sepertinya lelaki itu juga baru sampai, belum sempat mengenyakkan tubuhnya ke kursi.

Erlangga terlihat lebih santai dengan Lengan kemeja digulung sebatas siku, lalu sepasang tangannya dijejalkan ke celana hitam legamnya. Dengan tatapan khasnya yang sedingin staklaktit seoalah menembus dada Gistara.

"Gimana Tara, kamu sudah punya keputusan?" Lewat gerakan mata Erlangga membidik kursi tepat di hadapannya, isyaratkan agar Gistara segera duduk.

Gistara menurut tanpa jawaban. Gadis itu berada tepat di seberang Erlan, hanya bersekat meja bundar.

Senyum tipis Erlangga menyembul. "Oke, mari kita dengar apa jawaban kamu?" Dari sudut matanya tergambar jelas antusiasme lelaki itu.

Gistara memejam sepersekian detik. Mencoba meyakinkan diri dengan bertanya sekali lagi pada hatinya. Kalimatnya terus berputar di dalam isi kepala sampai membuatnya sedikit pening.

Erlangga ini ternyata tipe ambisius yang tidak membiarkan lawan bicaranya mengambil jeda sejenak. Padahal Tara baru sampai, setidaknya berikan dia segelas minuman dulu sebelum berbicara. Kerongkongan Tara terasa kerontang bukan hanya efek haus, tapi juga gara-gara langsung ditodong jawaban oleh Erlan.

"Tara?" Erlangga menginterupsi lagi.

Gistara memejam sebentar seraya mengosongkan udara dalam paru-parunya, sebelum menjawab Erlan. Sekali lagi, dia ingin meyakinkan hati pilihan ini sudah tepat.

".... aku terima tawaran Mas Erlan." Seiring dengan membukanya kelopak mata Gistara menyatakan jawaban pada Erlangga, telinga gadis itu juga mendengar tepuk tangan sekali.

"Great!" Erlangga tentu menjadi manusia yang paling berbahagia mendengar jawaban Gistara. "Kamu mengambil keputusan yang tepat, Tara."

Mata Gistara berotasi mendengar ungkapan si Bapak Eksekutif Muda di seberangnya. Lebay!

Embusan angin sore mengecupi wajah Tara. Harusnya semilir angin bisa membawa kesejukan, tapi kenyataannya berbanding balik. Tara masih belum bisa menghilangkan remah-remah cemas di dalam hatinya. Bagaimana nanti kedepannya? Kalau keluarganya tahu, kalau Mas Naka juga tahu menyoal perjanjian tak masuk akal ini?

Mata Erlan menekuri barang bawaan Tara. Tas laptop gadis itu diletakkan di kursi kosong sebelahnya. Alisnya terangkat sebelah seraya memamerkan senyum tipis.

"Bukannya kamu ini pengangguran  ya, Gistara?" Ucapannya dibarengi dengan mata membidik pada tas laptop Gistara. Tatapan meremehkan tergambar gela di wajah Erlangga.

Gistara tertawa kering, "Kayaknya julid jadi hobi baru Mas Erlan yang aku baru tahu." Sarkasnya, dibalas tawa renyah Erlangga. Gistara mengibas tangan ke udara. "Stop ngurusin urusanku, sekarang jelasin soal isi perjanjian."

"Oke, kita atur pertemuan ulang sama notaris yang sudah saya siapkan, Tara."

"Harus banget pakai notaris?"

"Iya, menghindari masalah di kemudian hari atau salah satu dari kita yang berniat curang." Erlan merincikan. "Oh iya, kalau bisa kamu bawa satu orang untuk saksi--" dipotong oleh Gistara. Delikan matanya mencuat ke arah Erlan.

"Kamu beneran gila ya, Mas?! Perjanjian ini rahasia, enggak ada yang boleh tahu, kenapa malah suruh bawa saksi?"

"Itu prosedurnya Tara, kamu bawa satu saksi di pihak kaku, begitu pun sebaliknya. Saya akan membawa satu saksi. Dan, pastikan saksi yang kamu bawa itu bisa tutup mulut dengan baik."

"Kalau aku enggak mau gimana?" Tantang Gistara.

Decakan menguar dari mulut Erlan. "Tidak ada saksi berarti tidak ada prenup, artinya wacana menikah batal, dan mungkin saya bakal cari kandidat lain ... Gistara."

Apa?

Tara gelagapan. Dari semua orang yang dikenal Gistara hanya ada satu nama yang terlintas di kepalanya saya ini, Kika, cuma sahabat dekatnya itu yang tahu tentang rencana ini.

"Ya oke, iya, aku bakal bawa saksi. Puas kamu?!"

Erlan tersenyum dibarengi acungan jempol, "Good!"

"Terus, gimana nanti setelah nikah? Uang nafkah? Tunjangan kesehatan? Kita tinggalnya di mana? Mala pertamanya..." Gistara menggantung kalimat, menyadari terlalu banyak bicara, apalagi kalimat terakhirnya pasti bercabang makna di kepala Erlan.

Erlan memasang senyum ganjil, "Wah, Gistara, saya enggak nyangka, jauh banget kamu mikirnya, sampai baha soal malam per---" dengan segera dipotong Gistara.

"Stop! Itu refleks, engak usah GR ya kamu. Aku cuma mau memastikan kalau nanti enggak ada interaksi fisik antara kita." Disadari atau tidak, pipi Gistara mendadak berhias semburat merah, dia salah tingkah sendiri gara-gara salah ucap di depan Erlan.

"Tenang saja, itu enggak akan pernah terjadi, Tara. Nothing ...."


_____







Tebak, Mas Erlan bakal bawa siapa buat jadi saksi prenup-nya?














03-01-25
1675

Calangeyo 💚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top