XI. Father-Daughter
"Aku tidak percaya dia memilih tinggal di rumah." Bibiana menggerutu sembari mengupas buah untuk Antonio yang kini terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Alih-alih membuat ayahnya bahagia seperti yang ia rencanakan sebelumnya, Bibiana datang ke kamar rawat ayahnya dan merajuk.
Antonio terkekeh, ia mengambil sepotong buah apel lalu mengunyahnya pelan. Kemoterapi yang ia jalani saat ini membuat tubuhnya menolak asupan makanan, nafsu makannya memburuk karena mual hebat, sedikit demi sedikit dia baik kembali, tetapi kemudian jadwal kemoterapi yang berikutnya menunggu.
"Papa," Bibiana merajuk kembali. Dia menghela napas panjang. "Aku bahkan tidak bisa marah kepadamu."
"Bibi," Antonio mengulaskan senyum tipis. "Aku tahu kau kecewa karena aku tidak memberitahukan apa yang terjadi kepada Dante sebenarnya, tapi aku mengambil pilihan apa yang menurutku terbaik pada saat itu."
"Kau memintaku untuk melepaskannya."
"I did. Aku sungguh ingin kau melepaskannya." Ujar Antonio bersungguh-sungguh. "Hidup atau pun mati, sudah seharusnya dia tidak terkunci di dalam kewajibannya sebagai anggota keluarga Amato."
Bibiana menghela napas gusar. "Lalu kenapa dia kembali?" Dia sudah pergi sekian lama, bahkan berpura-pura mati bagi orang lain, kenapa dia kembali lagi?
Antonio menggelengkan kepalanya. "Apa yang dia lakukan saat ini ... cukup berbahaya."
"Apa karena itu kau menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya?"
"Ya dan tidak." Antonio menambahkan. "Aku melihat bagaimana putriku hancur ketika kematian Dante, aku tidak mungkin membiarkanmu mendapatkan secercah harapan lalu hancur kembali."
Bibiana berhenti bertanya, tangannya berhenti mengupas, tatapannya terarah ke langit yang mendung di luar sana. Dia tidak tahu apa yang Dante lakukan saat ini, atau siapakah dia sekarang ini.
"Aku berharap kau bisa hidup bahagia tanpa menggantungkan kebahagiaanmu pada siapa pun, Bibi."
"Aku juga, Papa. Aku juga." Bibiana bergumam pelan.
***
Mereka mungkin tinggal bersama, tetapi Bibiana belum melihat pria itu sejak kemarin mendeklarasikan dirinya akan tinggal di rumah ini. Bahkan pengasuhnya, Gabrielle, tidak tahu menahu perihal kehadiran Dante yang pindah ke rumah ini.
Gabrielle bersenandung ringan, tubuhnya yang gempal bergerak lincah melewati meja dan pot di dapur. Nyaris setiap hari Gabrielle memasak sesuatu untuk Antonio yang nantinya akan Bibiana bawa ke rumah sakit.
"Letakkan, letakkan saja di sana, Bibi." Gabrielle menggoyangkan sutil yang berada di tangannya. Meminta Bibiana meletakkan kotak makan yang ia bawa ke rumah sakit tadi di bak cuci.
"Hm, aromanya enak. Apa yang kau masak?"
"Lasagna, sayangku." Gabrielle tersenyum singkat melihat Bibiana mendekatkan hidungnya ke panci yang menggelegak, aroma tomat, bawang, dan minyak zaitun berpadu sempurna. "Aku akan menyimpannya di kulkas dan kau tinggal memanaskannya nanti bila lapar."
Bibiana mengerang. "Tidak bisakah kau pindah ke sini, Gabby?"
"Aku punya keluarga yang harus ku urus, bukan hanya dirimu, Bibi." Gabrielle mencubit ujung hidungnya. "Lagipula ku dengar consigliere akan kembali ke sini."
"Consigliere?" Untuk sesaat Bibiana lupa, tetapi kemudian teringat, Dante dahulu merupakan consigliere Ferro sebelum digantikan oleh Carmine.
"Oh Dio mio, ku dengar dia bangkit dari kematian?" Gabrielle meracau tentang orang-orang yang entah sengaja atau tidak dia lihat kematiannya. "Aku ingat bocah itu, ckck, sungguh, sungguh berani."
"Kau ingat Dante?" Bibiana meletakkan dagunya di tangan, dia memperhatikan gerak gerik Gabriella yang sedari tadi sibuk dari satu panci ke panci lainnya.
"Ya, tentu saja. Antonio sangat menyayanginya." Bibiana mengangkat alisnya tinggi. "Aku ingat aku menjadi sosok pertama yang diminta Antonio untuk membersihkannya. Dia kotor sekali, wajahnya lebam sana sini, lututnya lecet, dan ujung bibirnya sobek." Gabrielle merinding ngeri sendiri. "Usianya mungkin baru lima belas tahun saat itu, dia tinggi dan kurus. Aku ingat dia nyaris meninjuku saat mengulurkan handuk kepadanya. Mungkin dia kira aku akan menyakitinya."
Bibiana menahan napasnya. Dia tahu cerita ini sekilas lalu dari Dante dan ayahnya, tetapi tidak sedetail ini. Dia tidak tahu bila Dante mungkin juga pernah mengalami pelecehan seksual sebelum menginjakkan kakinya di tempat ini.
"Well, bocah itu kini tumbuh menjadi pria dewasa." Gabrielle mengerling kepadanya.
"Apa yang kau maksud tadi dengan bangkit dari kematian?" Bibiana memicingkan matanya, dia ingin tahu bagaimana Ferro mengatur kehadiran Dante kembali ke permukaan setelah delapan tahun 'mati'.
"Kudengar mereka salah mengidentifikasi jasad yang terbakar itu." Gabrielle mengerutkan keningnya.
"Lalu?" Bibiana menuntut jawaban yang lebih jelas, tetapi Gabrielle tak mampu memberikan apa yang ia inginkan.
"Bibi, apa pun yang menjadi penyebab Dante pergi selama delapan tahun ini, aku yakin hanya orang-orang tertentu saja yang bisa tahu." Gabrielle berdecak. "Oh Dio mio, aku hampir menghanguskan lasagna ini."
Bibiana mengabaikan Gabrielle, dia tahu tidak ada yang bisa dia dapatkan di tempat ini, ayahnya saja menolak memberitahu sesuatu kepadanya, apalagi kepada Gabrielle.
"Bibi! Ku dengar kau punya jadwal fitting baju pengantin sore nanti?" Gabrielle berteriak dari dapur ketika Bibiana berlalu menuju ke kamarnya.
"Oke, Gabby!" Bibiana balas berteriak. Dia menghela napas lelah, dia hanya punya waktu beberapa menit untuk mandi, berganti baju, lalu pergi ke salah satu butik dan kembali mencoba salah satu gaun yang ada di sana. Apakah dia tidak bisa menunda pernikahan ini sama sekali?
***
"Apa yang kau lakukan di sini?" Bibiana membelalakkan matanya melihat Dante, dengan celana jeans dan jaket kulitnya bersandar di depan mobil hitam yang seharusnya membawanya ke butik pengantin. "Di mana Aidan?" Aidan, bodyguard sekaligus supirnya itu tak terlihat di mana pun.
"Aidan tengah menjalani tugas negara." Bibiana memutar bola matanya kesal. Tugas negara tak lain dan tak bukan adalah tugas demi cosa nostra yang jelas jauh lebih penting daripada menjaganya dan mengantarnya ke butik pengantin. "Masuklah, Bambina. Aku akan mengantarmu." Dante membuka pintu penumpang untuknya.
Bibiana mengabaikan Dante dan memilih membuka pintu kursi belakang lalu masuk ke dalamnya.
"Baiklah, kalau itu yang kau inginkan." Dante bersiul ringan lalu duduk ke bangku pengemudi. "Apa kau juga tidak akan berbicara kepadaku sepanjang perjalanan?" Dante melirik kaca spion tengah, dia melihat Bibiana yang bersedekap dan berwajah cemberut, mengabaikannya sama sekali. "Okay, kita akan langsung ke butik tanpa berbicara kalau begitu."
Perjalanan menuju butik sunyi senyap, Dante tidak berbicara, Bibiana sibuk dengan ponselnya, sementara tidak ada satu pun suara musik yang keluar di dalam mobil. Mobil berhenti di depan sebuah mall berwarna kuning gading dengan deretan toko di kanan dan kirinya. Dante membuka pintu untuk Bibiana lalu melemparkan kunci mobilnya ke salah satu petugas valet.
Bibiana mengabaikannya lalu masuk ke dalam butik di mana seorang pramuniaga telah menunggunya dengan senyum yang terkembang lebar.
"Nona Amato, kami sudah menyiapkan gaun yang akan Anda coba." Gigi geliginya yang rapi terlihat jelas ketika menyambut Bibiana. Wanita itu menolehkan kepalanya sedikit, melihat Dante yang mengikut di belakang Bibiana.
"Aku akan menunggu di sini." Dante menunjuk ke salah satu sofa.
"Kau akan menunggu di dalam butik?" Bibiana mengeluarkan kalimat pertamanya untuk Dante. Alisnya terangkat naik, dia sangsi Dante akan menunggunya mencoba aneka gaun yang akan ia gunakan di pernikahannya nanti dengan Alessio.
"Aku harus menunggu di mana?" Dante melihat ke sekelilingnya, hanya ada gaun dan gaun. Di sini memang tempat menunggu tamu.
"Di luar? Kau bisa berkeliling di mall sementara aku mencoba gaunku, Dante."
"Aku akan menunggu di sini, Bambina." Kata Dante final. Ada nada tidak terbantahkan yang membuat Bibiana bungkam dan membiarkan Dante menunggu di sofa itu seorang diri sembari membaca majalah pernikahan.
"Mari, baju-bajunya berada di sini." Pramuniaga menuntun Bibiana ke ruang ganti.
Ini bukan kali pertama Bibiana melakukan fitting baju dan bisa saja juga tidak menjadi kali terakhirnya mencoba gaun lagi. Sebuah gaun berdada rendah dengan rok mengembang ini terlihat indah, tetapi tidak cukup sopan untuk pemberkatan di gereja.
"Apa Anda akan memperlihatkannya kepada ayah Anda?"
"Ayahku?" Bibiana mengerutkan keningnya dalam. Pramuniaga itu sepertinya salah mengira bila pria yang mengantarnya adalah ayahnya. "Ah, kau benar. Aku akan meminta pendapat ayahku." Bibiana melebarkan senyumnya. Dia meremas gaunnya lalu menyeretnya keluar.
Dante tidak duduk di sofa tadi, pria itu tengah bercengkrama dengan seorang pramuniaga berambut pirang dengan lipstik merah menyala. Wanita itu terang-terangan menggodanya, kukunya yang juga berwarna merah merapikan dasi kupu-kupu dan tuksedo yang Dante kenakan.
"Papa!" Bibiana memanggil Dante.
Dante mengerutkan keningnya dalam dan memutar badannya melihat Bibiana dalam balutan gaun pengantin berdada rendah dengan rok lebar. "Papa?"
"Bagaimana gaunku, Papa?" Bibiana melebarkan senyumnya kembali.
Wanita pramuniaga berambut pirang yang melayani Dante bertepuk tangan keras. "Oh, Anda ayahnya? Anda pasti menikah sangat muda ya."
"Ah, aku bayi yang tidak direncanakan." Bibiana menambahkan, dia menikmati setiap detiknya ketika melihat raut wajah Dante semakin mengkerut tidak suka. "Bukan begitu, Papa? Kau memilikiku saat usiamu baru lima belas tahun."
"Ini tidak lucu, Bibiana." Dante berbisik kepadanya, napasnya memberat. "Dan gaun itu tidak cocok untukmu, ganti dengan gaun lain."
"Lalu apa yang kau lakukan dengan setelan tuksedo itu? Kau bukan Ferro." Bibiana membalas Dante.
"Aku yang akan mengantarmu ke altar." Dante mendengkus kesal. "Antonio memintaku untuk menggantikannya mengantarmu ke altar."
Bibiana memutar matanya kesal. "Aku suka gaunnya, apa bisa disesuaikan sedikit? Mungkin roknya bisa diperpendek, ini cocok untuk after party." Bibiana mengabaikan Dante dan kembali berbicara dengan pramuniaganya.
"Bambina," Dante menggeram tidak setuju.
"Dante, aku bukan lagi bocah delapan belas tahun yang kau antar ke pesta prom. Aku bisa memilih pakaian mana yang akan ku gunakan sekarang." Membuat Dante marah dan frustrasi adalah hal yang paling bisa dia lakukan saat ini.
"Bisakah aku berbicara dengan putriku berdua saja?" Dante mengulas senyum kepada dua pramuniaga yang sedari tadi menunggu mereka.
"Baiklah," Keduanya memberikan ruang untuk Dante dan Bibiana berbicara di ruang ganti.
"Kau tidak bisa mengaturku sesukamu lagi, Dante." Bibiana berkacak pinggang di depan cermin sementara Dante mengusap rambutnya frustrasi. "Kau kehilangan kelebihan itu setelah pergi delapan tahun yang lalu."
"Aku berada dalam misi, Bibi. Dan aku tidak akan melibatkanmu hingga membahayakanmu."
"Lalu kenapa kau kembali?"
"Aku tidak akan membicarakan ini di sini." Dia menolak, terlalu banyak tahu juga berbahaya bagi Bibiana.
"Dante," Bibiana menahan lengan pria itu.
"You know what, you are right. Aku tidak bisa mengaturmu sesukaku lagi, kau bisa pakai gaun itu, Bibi." Dante menghela napas gusar. Dante hendak memutar badannya dan pergi ketika Bibiana menahan lengannya dan justru menarik tubuhnya.
Bibiana mengalungkan tangannya di leher Dante, lalu berjinjit dan mencumbunya. Delapan tahun telah berlalu, tetapi seolah baru kemarin Dante memutuskan untuk pergi dalam misi berbahaya dan meninggalkannya selamanya.
Seperti seseorang yang berada di tengah gurun dan baru saja menemukan sebuah telaga, Dante meraup kesempatan itu sebanyak-banyaknya. Dia mendorong tubuh Bibiana hingga rapat di dinding. Bibirnya membalas cumbuan dari bibir ranum gadis itu. Tangannya bergerak melewati lapisan demi lapisan dalaman gaun pengantin yang gadis itu kenakan, matanya terpejam membayangkan bila suatu hari nanti pria lain lah yang akan mengoyak dan melepaskan gaun itu dari tubuhnya.
"Dante," Napas Bibiana terengah-engah, dia membiarkan Dante meninggalkan jejak-jejak di lehernya sementara tangannya sendiri meremas rambut cokelat tebal pria itu.
"Bibi, Bibi, Bibi. Bambinaku. Nymph-ku."
"But I'm not yours."
"Kau benar, kau bukan lagi milikku." Dante menyurukkan kepalanya di lekukan leher Bibiana, menghidu aroma gadis itu dalam-dalam. Dia akan kehilangan ini sekali lagi. Delapan tahun bukanlah waktu yang mudah ketika ia memutuskan meninggalkan Bibiana, tetapi demi gadis itu, dia rela mati sekali lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top