V. Five Stages of Grief
Bahkan bila dia hidup, bisakah Bibiana tetap mempertahankan Dante di sisinya?
Apa yang ayahnya katakan menyadarkannya, kehidupan pria itu selama ini ditujukan hanya untuk dirinya. Melindunginya, menggantikan posisinya di dalam Outfit agar dia bisa hidup tenang tanpa tuntutan seperti anak-anak yang lahir dalam keluarga ini.
Ada tahap dalam menerima sebuah kesedihan. Penyangkalan, marah, menawar, depresi, lalu terakhir penerimaan. Bibiana baru menyadari bahwa selama ini ia masih terjebak di dalam tahap marah. Marah karena Dante meninggalkannya begitu saja malam itu, dia juga marah karena ayahnya membiarkan Dante pergi tanpa berusaha menahannya, dia marah kepada setiap orang yang menjadi penyebab kepergian Dante, kepada Carmine yang posisinya digantikan oleh Dante, kepada Ferro Belucci yang merupakan capo Outfit, bahkan hingga dirinya sendiri yang tanpa ia sadari telah menjadikan Dante sebagai tumbal untuknya.
"Rocco," Bibiana memanggil nama pria yang berusia jauh di atasnya itu. Rocco Valenquez, salah satu 'sepupunya', dia sepupu semenda, terikat oleh garis perkawinan ayah Rocco dengan salah satu bibinya.
"Hm?" Rocco mengangkat kepalanya. Bila ada seseorang yang bisa hidup normal seperti manusia lainnya bila tidak masuk ke dalam lingkaran setan ini, mungkin orang itu adalah Rocco. Dia tidak seperti Dante atau para bodyguardnya yang memang memilih masuk ke dalam Outfit dan rela mengorbankan nyawa mereka sendiri demi Cosa Nostra. Rocco lahir dan tumbuh di dalamnya, sama seperti Bibi.
"Kenapa kau merelakan Dani?" Bibiana bertanya dengan nada rendah, enggan memancing pendengaran orang lain yang berada di sekitarnya. Percakapan tentang Daniella dan Rocco adalah hal yang tabu, hubungan keduanya terlarang, bukan hanya karena mereka sepupu, tetapi karena Charles Gage menginginkan wanita itu dan apa yang bisa membuat Outfit berjaya selalu menjadi prioritas utama Cosa Nostra.
"Kenapa kau mempertanyakan ini?" Rocco mengangkat alisnya, dia simpatik kepada sepupu bungsunya ini, tetapi tidak berarti gadis itu bisa melewati batas yang telah ditetapkan oleh Don Outfit. Pembicaraan tentang Daniella dan Rocco seharusnya tidak pernah ada.
"Tidakkah kau bisa kabur? Membuat identitas baru bersama dan hidup jauh dari Outfit?" Bibiana meringis mendengar pertanyaannya sendiri yang cenderung naif.
"Lalu apa Bibi?" Rocco menyenderkan badannya di kursi, tangannya bersedekap. "Lalu selama berapa lama kami bisa seperti itu? Setahun? Dua tahun?"
Bibiana terdiam sejenak, ia memainkan jemarinya gelisah. "Apa sungguh tidak ada jalan keluar lain dari Outfit selain mati?"
Rocco mendengkus. "Kau tahu jawabannya. Orang terakhir yang kukenal berusaha kabur dan mengubah identitasnya tidak bertahan lama."
"Apa dia mati?" Bibiana terkesiap.
"Tidak," Rocco tersenyum misterius. Matanya mengikuti seorang anak berambut kecoklatan. "Dia hidup, tetapi di bawah pengawasan Outfit."
Bibiana mengikuti arah pandang Rocco, dia menggelengkan kepalanya sesaat. "Apa ini berarti tidak ada kemungkinan bagi Dante untuk tetap hidup?"
"Kau terlalu dekat dengan Emilio, dia meracuni pikiranmu dengan berbagai hal." Mungkin apa yang Rocco katakan ada benarnya juga. Bibiana terlalu sering bergaul dengan Emilio akhir-akhir ini sehingga ikut-ikutan memikirkan berbagai teori konspirasi yang pria itu cetuskan.
"T-tapi, ada nama Dante melihat story Instagramku, lalu .... " Bibiana tidak melanjutkan ketika melihat tatapan tajam Rocco kepadanya. Sebaik apapun pria ini kepadanya, Rocco masih merupakan underboss Las Vegas, salah satu jaringan bisnis terbesar yang Outfit miliki. Dia mungkin baik kepadanya saat ini, tetapi ada alasan Rocco bertahan di puncak Outfit.
"Kau mungkin delusional, menolak kematian Dante." Rocco menambahkan. "Atau mungkin ... seseorang menggunakan akun lama Dante dan berusaha membuatmu gelisah seperti ini."
"M-mungkin." Bibiana menutup pembicaraannya. Matanya berkelana melihat deretan keluarganya yang datang ke tempat ini untuk menyantap makan siang. Selalu ada alasan untuk mengadakan pertemuan, kali ini hanya sebuah jamuan makan siang yang disiapkan oleh Nonna, neneknya, sekaligus wanita tertua yang ada di dalam keluarganya.
Di dalam dunia yang dikuasai oleh para lelaki, mereka hanya punya beberapa kelemahan, terhadap pasangannya sendiri dan mungkin saja nonna. Nonna yang pandai memasak dan sangat cerewet tidak membuat mereka berani mengeluarkan umpatan kasar di hadapan wanita lanjut usia itu.
Bahkan Ferro pun menyambut Nonna dengan kehangatan ketika pria itu mengecup kedua pipi wanita itu. "My dear nonna," Ferro mengecup pipi wanita lanjut usia itu, sekali, dua kali, tiga kali. Bibiana memperhatikan di belakangnya, anak pria itu mengikuti gerakan yang sama seperti ayahnya.
"Beritahu kepadaku lagi, kenapa kita mengadakan jamuan makan siang seperti hari ini?" Bibiana bertanya kepada Rocco, ia berusaha menutup wajahnya yang terkena sinar matahari langsung dengan telapak tangannya. Sebuah topi berpinggir lebar yang telah hinggap di kepalanya masih tidak mampu menghalau sinar matahari itu. Emilio bahkan tidak ada di sisinya hari ini sehingga membuatnya mau tak mau terjebak bersama Rocco.
Rocco berdecak. Matanya lalu menyusuri pintu utama hingga berhenti di sosok seorang pria yang baru saja datang dengan sebuket bunga di tangan, Alessio Rivierra.
"Apa ini?"
"Perkenalan." Rocco menjawab singkat, dia sudah pernah melewati hal ini sebelumnya. Mereka tidak selalu serta merta menikahkan anak gadis mereka ke orang asing, tentu saja selalu ada tahap perkenalan terlebih dahulu walaupun akhirnya tetap sama. Setidaknya hubungan yang didasari oleh rasa ketertarikan satu sama lain jauh lebih baik daripada hubungan hambar tanpa rasa atau yang dimulai dengan kebencian.
"Oh tidak," Bibiana duduk dengan gelisah, kini dia mengerti kenapa kursi di sebelah kanannya kosong sedari tadi dan tidak ada seorang pun yang duduk di sisinya hingga saat ini.
Bibiana tersenyum canggung ketika Alessio menarik kursi yang berada di sebelah kanannya lalu duduk di atasnya. "Hey," Alessio menyapanya.
"Hey," Bibiana membalas sapaan singkat itu dengan senyuman yang tetap sama canggungnya.
Alessio mengulurkan sebuket bunga yang ia bawa. "Kuharap kau tidak keberatan atau alergi dengan bunga."
Bibiana menerima sebuket bunga itu lalu menyerahkannya kepada salah satu pelayan yang berada di belakangnya. "Aku tidak alergi, terima kasih Alessio. Aku akan meminta seseorang menatanya nanti di rumah."
Alessio mengangguk sekilas. Rocco berdecak di sebelah kirinya. Bibiana tidak tahu hal apa lagi yang telah ia lakukan sehingga semuanya terlihat salah. Dia tidak bisa menghentikan dirinya sendiri dan berhenti membandingkan sosok Dante dengan Alessio, mereka jelas jauh berbeda. Dante tidak akan membawakan sebuket bunga untuknya, dia bukan pria seperti itu. Bila itu Dante, pria itu akan membawa berkotak-kotak pizza dan menghabiskan waktunya menonton acara tv yang membosankan bersama Bibiana.
Bibiana menghela napas panjang, dia harus menghentikan kebiasaan ini, mengingat Dante dan mengulang kembali memori delapan tahun lalu di dalam benaknya.
Makanan pembuka datang untuk siang yang panas ini. Nonna sendiri yang menyiapkan salad dan hidangan yang mereka santap ini. Bibiana lagi-lagi mengernyitkan dahinya ketika merasakan sinar matahari yang memantul di sendoknya.
"Jadi, di mana Antonio?" Alessio bertanya kepadanya, pria itu berusaha melakukan percakapan.
"Ayahku tidak bisa datang karena kondisi tubuhnya memburuk belakangan ini." Bibi menjawab singkat, tangannya menusuk-nusuk daun selada yang merupakan makanan pembukanya.
Meja panjang ini dipenuhi keluarganya yang lebih dewasa sementara anak-anak bersama para pengasuh mereka di dalam rumah. Bibiana berharap dia bisa bergabung di kelompok anak-anak daripada bersama mereka yang jauh lebih tua dan dewasa di sini, membicarakan omong kosong yang tidak ada hubungannya dengan bisnis dan Outfit sekali pun.
Bibiana menatap sudut lain meja di mana seorang wanita dengan rambut bersanggul tinggi dan lipstik merah merona tengah berbicara dengan Ferro, terang-terangan mengedipkan matanya dan menggoda pria itu sementara di sebelah wanita itu sendiri sudah ada pria lanjut usia yang mengenakan kursi roda dan mata yang setengah tertutup.
"Martina." Alessio yang berada di sebelahnya tiba-tiba bersuara.
"Hm?" Bibiana menoleh cepat hingga serbetnya terjatuh.
"Nama wanita itu, Martina. Dia istri pamanku, pria lanjut usia yang memakai kursi roda." Alessio menjelaskan kembali.
"Oh," Bibir Bibiana berbentuk huruf O, matanya kembali menatap Martina. Wanita itu terlihat lepas, bebas, terlepas dari hubungannya yang tidak wajar bersama pria berkursi roda yang berada di sebelahnya. Dia seperti Anna Nicole Smith, model playboy yang menikahi seorang bilyuner J. Howard Marshall. Rambut pirang Martina diikat tinggi dengan scarf berwarna merah terang yang senada dengan lipstiknya. "Apa dia tahu Ferro memiliki istri?"
"Apa kau pikir dia peduli?" Alessio tertawa kecil.
"Oh," lagi-lagi hanya itu yang bisa Bibiana katakan. Wanita itu bahkan tidak peduli ketika suaminya jelas berada di sebelahnya.
"Apa kau tahu apa tujuan pertemuan ini?"
"Untuk saling mengenal."
"Tepat sekali," Alessio mengelap mulutnya. Tidak seperti sebelumnya ketika mereka pertama kali bertemu, Alessio tidak memakai kacamatanya hari ini dan Bibiana bisa melihat mata pria itu lebih jelas. Biru. Tidak gelap seperti Ferro, warna matanya biru terang, cocok dengan rambut pirang gelapnya. "Aku tidak merasa kau berusaha mengenalku saat ini Bibi."
Rocco lagi-lagi mendengkus di sebelahnya, pria itu mungkin diam, tetapi jelas memperhatikan percakapan mereka sejauh ini. Kini Bibiana mengerti kenapa Rocco duduk di sebelah kirinya, pria itu menjaganya sekaligus mengawasinya seandainya saja Alessio bertindak di luar batas atau seperti saat ini, Bibiana tidak berusaha mengenali pria itu.
"Apa itu perlu? Kenal atau tidak kenal, kita akan tetap menikah."
"Apa kau berharap baru mengenalku tiga bulan lagi?"
"Apa maksudmu tiga bulan lagi?"
"Apa Ferro belum memberitahumu? Pernikahan kita telah ditetapkan, tiga bulan lagi." Perkataan Alessio membuat tubuh Bibiana menegang. Dia tahu kondisi kesehatan ayahnya menurun drastis akhir-akhir ini, tetapi tidakkah ini sangat tidak adil? Dia tidak bisa mengelak dan memberikan alasan kepada Ferro bahwa dia belum siap atau belum cukup mengenal Alessio.
Mata abu-abu platina Bibiana mencari sosok Ferro yang masih berbincang dengan Martina dan suaminya, tangannya mengepal kuat. Dia tahu Ferro adalah Don Outfit dan pria itu jugalah yang menentukan pernikahannya saat ini, tetapi ini semua begitu terburu-buru.
Bibiana baru saja hendak berdiri dan bertanya kepada Ferro ketika lengan tangan kirinya ditahan oleh Rocco. "Berhentilah."
"Tapi, Rocco.... "
Pria itu menggeleng singkat. "Tiga bulan adalah waktu yang cukup."
"Apa yang kau katakan?" Bibiana berbalik dan mendesis ke arah Rocco.
"Kau tahu berapa usiamu saat ini? Dua lima, tepat sekali. Sepupu-sepupumu yang lain telah menikah lebih dahulu daripada kau, kau diberikan waktu selama ini tidak lain dan tidak bukan karena pengorbanan Antonio dan Dante." Rocco mendesiskan nama Dante. "Jangan sia-siakan pengorbanan yang telah mereka berikan untukmu, Bibi."
Alessio menarik napas panjang ketika melihat ekspresi Bibiana. "Aku tidak ingin memaksamu, Bibi. Sungguh, aku tidak ingin menikahimu karena terpaksa. Bukankah lebih tepat kita saling mengenal saat ini daripada nanti?"
Bibiana tahu betul apa yang Alessio maksud. Dia mengangguk singkat. "Maafkan aku."
"Dimaafkan." Alessio memberikan senyuman untuknya. "Jadi apa yang kau lakukan di waktu senggangmu?"
Alessio berusaha mengenalinya kembali, bahkan tidak begitu mengambil pusing terhadap sikap tidak sopannya juga penolakannya yang begitu terang-terangan. Ferro benar-benar memilihkan sosok yang tidak mudah ditebak untuknya. Alessio ... begitu jauh berbeda dari Dante Amato.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top