IV. Find Your Way Home
"Kalau begitu berdoalah agar aku tetap hidup, Amato."
Bibiana menahan napasnya ketika mendengarkan perkataan Dante. Diam-diam dia berjalan menjauh dari ruang kerja ayahnya, tempat di mana ada malam ketika Dante terluka hingga ayahnya mengobatinya atau ketika mereka berbincang seperti malam ini, membicarakan sesuatu yang terjadi di dalam Outfit dengan nada berbisik pelan.
Bibiana menunggu, tepat di bawah potret foto keluarganya. Wajah ibunya, Leila, tampak cantik di foto itu, dia yang berada di pangkuan ibunya tertawa riang tanpa tahu apa yang akan ia hadapi ketika lahir dan besar di keluarga ini. Hanya ada mereka bertiga di foto itu, Antonio, Leila, dan Bibiana. Sebelumnya ia tak tahu apa peran Dante yang sebenarnya di keluarga ini. Namun, kini ia yakin betul tujuan Dante diangkat menjadi anak di dalam keluarga Amato. Tidak hanya untuk menggantikan posisi Antonio sebagai consigliere, tetapi juga untuk menjadi tumbal keluarga Amato.
"Bibi." Suara Dante yang memanggil namanya membuat Bibiana mengangkat kepalanya. Air mata yang sedari tadi ia berusaha tahan menyeruak keluar, mengkhianatinya. "Kau mendengarnya." Dante menghela napas panjang. Tidak perlu pria itu bertanya apa yang ia lakukan di tempat ini, dia tahu, bahkan mungkin Dante lebih mengenalnya daripada ia mengenal dirinya sendiri.
"Apa maksudmu?"
"Aku akan pergi." Dante mengusap wajahnya lelah. "Capo memberikanku misi baru, aku akan pergi."
"Tidak bisakah kalian berhenti?" Bibiana menyentuh ujung kaos yang Dante kenakan, berusaha menahan pria itu dengan tenaganya yang tidak seberapa.
"Bibi, kau tahu ini pekerjaanku."
"Kalian semua gila!" Bibiana menaikkan nada suaranya, berang. "Apa kalian tahu apa yang kalian lakukan?! Menyuplai senjata, narkoba, korupsi, bisnis-bisnis itu." Bibiana tercekat, berusaha menahan tangisnya ternyata lebih sulit daripada apa yang ia duga. "Apa kau akan terus melakukannya?"
Dante menarik napas panjang, menghadapi Bibiana tidak sama seperti menghadapi para wanita di luar sana. Dia mengenal gadis itu terlalu dalam, terlalu jauh, dia tidak ingin Bibiana melihat kelamnya dunia yang sebenarnya, tetapi di saat yang bersamaan dia juga tahu dia tidak bisa selamanya membiarkan Bibiana di dalam kegelapan.
Segala bela diri yang Bibiana pelajari dari kecil, begitu juga segala senjata api dan senjata tajam yang ia berikan, pada akhirnya Bibiana akan tahu kenapa dia memaksanya belajar.
"Bibi." Lagi-lagi Dante menarik napas berat lalu mengembuskannya.
"Kau membela orang yang salah." Bibiana mencengkeram ujung kaos Dante lebih erat. "Tidak bisakah kau tinggalkan mereka dan tetap bersamaku?"
Dante menggelengkan kepalanya, dia mengusap puncak kepala Bibiana lalu tersenyum ke hadapan gadis itu. "Tidak, Bibi. Ini pekerjaanku."
Bibiana menahan tangan Dante yang berada di atas kepalanya, ia lalu menariknya dan mengecup telapak tangannya, mata abu-abu platina Bibiana memperhatikan Dante, melihat bagaimana pria itu berusaha keras menyembunyikan getaran di tangan dan raut terkejut di wajahnya.
"Tidur denganku." Bibiana berbisik lirih kepadanya, bagaikan nymph yang tengah menggoda mangsanya. Dante tak mampu bergerak, kakinya seolah terpaku, begitu juga tubuhnya. Ia membiarkan Bibiana mengalungkan tangannya di lehernya lalu mencumbunya perlahan. "Tidur denganku, Dante."
Bibiana yang berjinjit berbisik di telinganya, menggodanya. Pria biasa pun tidak akan bisa melewatkan kesempatan seperti ini, apalagi dirinya. Dante menggeram, berusaha menahan nafsu yang menggelegak. Tangannya menahan bokong Bibiana lalu menggendong gadis itu. "Dasar nymph."
"Nymph?" Bibiana bertanya, tak lama kemudian gelak tawanya mengalun merdu. Nymph, para peri hutan yang memiliki rambut merah panjang dengan mata hijau cemerlang. Entah bagaimana ingatan pria itu kembali ke masa-masa di mana Bibiana kecil sangat menggemari Tinkerbell dan mengenakan gaun hijaunya ke mana saja. "Apa aku seperti Tinkerbell?"
"Tidak, kau seperti nymph. Peri hutan yang menggoda para pemburu." Dante berjalan cepat, melewati pintu demi pintu sebelum akhirnya ia menemukan pintu kamar Bibiana dan mendorongnya cepat. "Kau berani sekali menggodaku di dekat ayahmu."
"Papa tidak akan tahu." Bibiana mengelus rahang Dante.
Dante mendengkus. Bila mereka bersuara lebih keras sedikit saja, tentu ayahnya akan keluar dari ruang kantornya dan mencari tahu.
"Bibi." Dante menahan napasnya, melihat tubuh Bibiana yang berbaring di atas kasur. Gadis itu adalah mataharinya. Dari saat ia pertama kali menyentuhnya bahkan mungkin hingga akhir hayatnya nanti. Tidak akan ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi Bibiana di hatinya. Dia adalah satu-satunya cahaya dalam hidupnya yang kelam, satu-satunya yang ingin ia jaga sepenuh hati. Matahari seperti Bibiana pantas mendapatkan seseorang yang melebihi dirinya, bukan seorang mantan terpidana atau seseorang yang berkubang di lumpur dan darah orang lain.
Dante menarik tubuhnya menjauh, sihir yang seolah melingkupi mereka terbuyarkan seketika dengan pemikiran logisnya. Dia tidak bisa menyentuh Bibiana, tidak ketika ia pun tidak tahu apa yang akan terjadi kepadanya besok, lusa, atau bahkan di hari-hari berikutnya. Dia tidak ingin meninggalkan gadis itu bersama sisa dirinya.
Dante mengusap wajahnya lelah, usianya yang terpaut jauh dari Bibiana pun membuatnya menyadari masih ada hal yang belum gadis itu lewati. Dia bahkan belum pernah berkencan dengan laki-laki lain sebagaimana gadis-gadis seumurannya.
"Dante." Bibiana bangkit duduk lalu memeluk tubuh Dante dari belakang, menyadari perubahan hati dan pikiran pria itu. "Tidur denganku."
"Tidak, Bibi." Dante menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu tetap di sini." Bibiana bersikeras. "Kau tidak perlu bercinta denganku, tetaplah di sini."
Kali ini Dante menuruti perkataannya. Pria itu berbaring di atas kasur, menjadikan lengannya sebagai bantal untuk kepala Bibiana dan menunggu gadis itu tertidur lelap di sebelahnya sebelum ia bangkit dan perlahan meninggalkan kamar Bibiana.
"Dia sudah tidur?" Antonio Amato melihat Dante yang berjingkat keluar dari kamar Bibiana. Pria itu tersentak melihatnya, tidak menyangka Antonio akan menunggu di bawah lampu yang temaram. Dante mengangguk ragu. "Aku mengenalmu Dante."
"Aku tahu." Lagi-lagi Dante mengangguk. Ada hal yang membuat Antonio Amato layak menjadi consigliere Outfit sebelum dirinya, orang lain mungkin tidak mengenal kekejaman Antonio lebik baik dari dirinya atau para capo Outfit.
Beberapa orang yang hanya mengenal Antonio dari luar akan menganggap pria itu lembek karena setia kepada Leila, dia tetap setia ketika wanita kesulitan menghasilkan keturunan bahkan masih tetap setia setelah kematian wanita itu. Antonio memiliki satu prinsip yang Dante kagumi. "Kesetiaan seseorang bisa dilihat dari kesetiaannya terhadap pasangannya." Dante ingat saat itu, ketika Antonio mengingatkannya terhadap kewajibannya kepada Bibiana. "Di keluarga ini, kesetiaanmu tidak hanya berdasarkan Omertà yang kau berikan kepada Outfit, tetapi juga kesetiaanmu kepada pasanganmu."
"Aku juga mengenal putriku." Antonio menatap pintu kamar Bibiana dalam. "Aku tidak yakin dia akan senang bila kau pergi seperti ini."
"Aku tidak akan bisa meninggalkannya bila dia bersikap seperti tadi." Dante tersenyum simpul. "Kau tahu, sebelum kehadiran Bibiana, aku tidak peduli apa aku akan tetap hidup di tengah ring atau tidak. Bibi, menjadi alasanku untuk tetap hidup."
"Kalau begitu tetaplah hidup, Dante." Antonio menepuk punggungnya. "Temukan jalan untuk kembali ke rumah."
***
Bibiana menatap nanar nama pria yang ada di layar ponselnya. Wajahnya memucat, napasnya menderu cepat, keringat dingin membasahi tengkuknya. Rasanya sama seperti mengetahui bila Dante telah tiada, tewas dalam ledakan mobil yang seharusnya membunuh Carmine Belucci.
"Ada apa?" Alessio menahan lengannya ketika ia nyaris saja menabrak pembatas balkon. "Apa ada kabar buruk?"
"Aku harus menemui ayahku." Bibiana melepaskan tangan Alessio lalu terburu-buru kembali ke ruang dansa, mencari ayahnya di antara kerumunan para pria yang tengah berbincang.
"Apa terjadi sesuatu kepada Antonio?" Alessio yang berada di sisinya turut mencari puncak kepala Antonio yang dipenuhi rambut putih.
"Bibi." Keduanya menegang saat mendengar suara Ferro Belucci. Tubuh jangkung pria itu menjulang di sebelahnya, mata birunya menatapnya tajam, tengah menilainya. "Kenapa kau berlari-lari seperti itu?" Ferro menyipitkan matanya, memperhatikan pakaian dan rambut Bibi yang telah acak-acakan. "Kau sudah bertemu dengan Alessio?"
"Capo." Alessio tersenyum singkat. Napasnya tertahan, berada satu ruangan bersama pria itu selalu terasa menyesakkan. Ferro Belucci punya aura yang pekat, cenderung kuat hingga orang-orang yang berada di sebelahnya memilih menghindar.
Bibiana menggigit bibirnya gelisah sebelum akhirnya tersenyum canggung dan bertanya. "Apa kau lihat di mana ayahku?"
"Aku bertanya kepadamu lebih dahulu." Perkataan singkat
"Seperti yang kau lihat kita sudah bertemu." Bibiana menjawab untuk Alessio. "Jadi di mana ayahku?"
Ferro mengangkat alisnya, para pria yang berada di sekeliling pria itu tertawa canggung. "Apa terjadi sesuatu?"
Alih-alih menjawab pertanyaannya, Ferro melontarkan satu pertanyaan lagi. Bibiana berusaha menahan kepalan tangannya, memori terakhir saat Dante pergi berputar di benaknya. Bila bukan karena pria ini dan Carmine Belucci, Dante masih akan berada di sisinya dan tidak tewas dalam kecelakaan nahas itu.
"Nothing." Bibiana menggelengkan kepalanya dan memberikan senyum seanggun mungkin. "Tidak ada apa-apa, Capo."
Ferro berdecak, terlihat tidak puas dengan jawaban Bibiana, tetapi kemudian ia mengibaskan tangannya dan menyuruh gadis itu pergi. "Ayahmu ada di ruang rekreasi."
"Terima kasih, Capo." Bibiana mengangguk lalu bergegas menuju ruang rekreasi.
"Kau berani sekali bersikap seperti itu di depan seorang Ferro Belucci." Alessio masih mengikut di sebelahnya, pria itu tertawa kecil.
Bibiana menarik napas panjang. "Ya, dia memang terlihat mengerikan, tetapi Ferro masih merupakan pria yang masuk akal."
"Masuk akal?" Alessio tampak tak percaya kepadanya. "Apa kau tahu ada rumor yang beredar bagaimana Ferro menuangkan sebotol anggur ke kepala keponakannya dan nyaris membakarnya hidup-hidup?"
"Oh, itu bukan rumor. Aku berada di sana dan melihat langsung kejadian itu." Bukan memori yang menyenangkan tentu saja, tetapi masih ada memori lain yang lebih buruk.
"Dan menurutmu itu masuk akal?"
"Dia tidak membunuh pria itu, hanya menakutinya sedikit." Bukan hanya pria itu saja, tetapi juga orang-orang yang berada di ruangan itu dan melihat langsung kekejaman Ferro Belucci. Itu adalah sebuah peringatan bagi mereka.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Alessio kembali menahan pergelangan tangannya.
"Aku harus bertemu ayahku." Bibiana bersikeras. Dia baru mengenal pria ini hari ini dan entah bagaimana pria itu berhasil merangsek masuk begitu dalam ke kehidupannya dalam waktu singkat. "Alessio," Bibiana menghentikan langkahnya secara tiba-tiba lalu berbalik menatap Alessio, lalu kemudian menatap ke arah tangan pria itu yang masih berada di pergelangan tangannya.
"Maaf." Alessio melepaskan genggaman tangannya. "Bisa kau jelaskan kepadaku kenapa?"
"Aku akan menjelaskan kepadamu nanti." Bibiana memberikan senyuman singkat lalu meninggalkan pria itu seorang diri di tengah aula. Pria itu tidak mengikutinya lagi, membiarkan Bibiana melenggang lebih dahulu menuju ruang rekreasi untuk mencari ayahnya.
Bibiana melewati ruang demi ruang rekreasi, sebagian diisi oleh orang-orang yang tengah bersenda gurau sembari menikmati gelas demi gelas alkohol yang tidak ada habisnya dengan cerutu di tangan kanan mereka, sebagian ruangan lain diisi oleh para pria dan pasangan mereka yang tengah bermain billiard, Bibiana mengernyitkan hidungnya ketika menciup aroma rokok yang pekat.
Ia baru bisa bernapas lega dan berhenti mengernyit ketika berhenti di perpustakaan sekaligus ruang catur. Di dalam ruangan ini, mereka tidak diperbolehkan merokok karena dapat merusak buku-buku tua nan antik yang tersimpan di ruangan ini. Di dalam ruangan ini pula Bibiana bisa melihat ayahnya tengah bermain catur dengan salah satu pamannya.
"Papa." Bibiana menegur ayahnya yang tampak tengah mempertimbangkan antara benteng atau kuda yang dapat yang ia gerakkan terlebih dahulu. Bibiana menggeser langkah kuda, membuat perhatian ayahnya teralih kepadanya.
"Bibi!" Antonio menegurnya.
"Aku perlu berbicara denganmu." Bibiana berdecak kembali ketika melihat lawan main ayahnya telah menggerakkan pion lainnya.
"Tidak bisakah kau melihat aku tengah bermain saat ini?" Antonio kembali memusatkan perhatiannya ke papan hitam putih catur yang berada di hadapannya. Lawan mainnya kini ingin melahap ratunya.
Bibiana menggeser pion kuda. Antonio tidak menegurnya, pria itu berusaha melihat ke mana lawan mainnya akan membawa pion lainnya atau menyudutkan rajanya. Menyadari ayahnya tidak akan segera menjawabnya sebelum permainan ini selesai, Bibiana memutuskan untuk segera menyelesaikan permainan ini sesegera mungkin. Menggerakkan benteng lalu uskup, menyudutkan rajanya hingga tidak lagi bisa bergerak.
"Skakmat." Bibiana menatap ayahnya, ia menarik napas dalam dan menunggu. "Bisakah kau memberikan waktumu sekarang?"
"Permainan yang bagus, Bibi." Pamannya bangkit berdiri lalu menyelamatinya. "Aku akan memberikanmu waktu dengan ayahmu."
"Terima kasih, Paman." Bibiana duduk di hadapan ayahnya, menggantikan posisi pamannya lalu menunggu.
"Apa yang ingin kau tanyakan, hm?" Antonio mengusap dagunya, memperhatikan papan catur itu dalam. Permainan telah usai, tetapi entah kenapa dia tidak bisa melepaskannya begitu saja.
"Dante."
"Hm?" Antonio masih tidak mengalihkan pandangannya dari papan catur.
"Dia masih hidup, bukan?"
Antonio mengangkat kepalanya sekilas lalu menatap Bibiana sebelum kembali menatap papan catur itu. "Omong kosong apa lagi ini, Bibi?"
"Apa kau menutupi sesuatu dariku?" Bibiana menggeser kursinya mendekat ke meja catur lalu berbisik dengan nada lirih. "Dante masih hidup, bukan?"
"Bibi." Antonio menghela napas panjang, lelah.
Bibiana mengeluarkan ponselnya, nama Dante masih tertera dengan jelas di sana. "Aku juga tahu kau belum mendaftarkan kematian Dante walaupun sudah tujuh, tidak, nyaris delapan tahun sejak kematiannya."
Seketika, raut wajah Antonio berubah, pria itu menegakkan badannya. "Apa yang kau lakukan, Bibi? Apa kau menyelidikiku?"
"Aku tidak akan melakukannya bila kau jujur sedari awal."
"Ah, pasti ini ulah bocah itu. Aku akan berbicara kepada orang tua Emilio--"
"Apa kau lupa usiaku sekarang berapa? Aku dan Emilio bukan lagi bocah, Papa. Begitu juga Dante. Dia bukan lagi bocah lima belas tahun yang kau angkat dan kau jadikan sebagai tumbalmu di Outfit!"
"Jaga omonganmu, Bibiana!"
"Dia mati karena kau membawanya masuk ke dalam Outfit!"
"Dia akan tetap mati bila aku tidak membawanya masuk ke dalam keluarga kita." Antonio memperingati putrinya. "Kau tahu seperti apa latar belakang Dante sebelum masuk ke dalam keluarga Amato, berhentilah bersikap kekanakan dan lupakan pria itu. Dia sudah mati."
Bibiana menatap ayahnya tidak percaya. "Apa kau setega ini kepada anak yang kau angkat?"
"Bila bukan Dante maka kaulah yang akan mati, Bibi." Bibiana terkesiap. "Kau tahu ada banyak pengorbanan yang terpaksa kita lakukan demi hal yang lebih baik."
"Apa maksudmu bila bukan Dante maka akulah yang akan mati?"
"Aku tidak ingin kau menjadi seperti diriku, yang terpaksa meninggalkan cita-citaku dan masuk ke dalam Outfit. Membunuh atau dibunuh, aku tidak ingin kau mengalami apa yang aku alami di dalam sini demi bertahan hidup." Antonio mengembuskan napas gusar. "Dante tahu betul apa yang akan terjadi ketika ia menjadi anak angkatku, tujuan hidupnya hanya untuk menggantikanmu sebegai penerus keluarga Amato di dalam Outfit."
"Dan dia mati. Menggantikanku."
"It's you or him. Dia tahu perempuan di dalam keluarga Outfit hanya akan dijadikan sebagai objek barteran, sebagai pion untuk mengeratkan antar keluarga. Satu-satunya alasan kau bisa memilih pasanganmu dengan bebas dan tidak menjadi objek seperti Daniella hanya karena kontribusi Dante dan ayahmu selaku consigliere Outfit." Melihat raut wajah Bibiana yang memucat, Antonio berusaha meraih tangan putrinya itu.
"Jangan." Bibiana menepis tangan ayahnya.
"Bibi, Dante tahu apa yang akan terjadi setiap kali ia keluar dari rumah. Dia bisa mati kapan saja. karena apa saja, entah karena musuhnya atau karena afiliasinya dengan Outfit dan dia rela melakukannya sepanjang kau aman." Antonio menjelaskan dengan sabar. "Bahkan menggantikan Carmine pun sudah menjadi tugasnya. He knows what he is doing."
"Apa dia benar-benar telah tiada?" Bibiana bertanya lirih. Jiwa raganya seolah tersedot ke relung terdalam karena apa yang ayahnya katakan. Dante tahu konsekuensi ketika ia masuk ke dalam keluarga mereka, bahkan sejak usia pria itu masih lima belas tahun, dia sudah ditekankan tujuan hidupnya hanya untuk Bibiana, menjaga agar gadis itu tetap aman. Tidak ada jalan keluar lain dari Outfit selain mati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top