0 | Prolog

"Bertahan, ya?" Lelaki itu masih membalut pergelangan tangan gadis di depannya. Gadis itu tidak menjawab. Tapi tatapan hampa dari matanya sudah lebih dari cukup untuk menjadi sebuah jawaban untuk lelaki bersurai hitam itu. "Jangan lakukan itu lagi. Kumohon bertahan lebih lama lagi."

"Hidupku ..." gadis itu membuka suara dengan serak dan pelan, "aku tidak merasa hidupku berarti untukku. Tidak ada gunanya aku melanjutkannya."

Lelaki itu menatap ke dalam mata gadis di hadapannya. Menelisik jauh ke dalamnya. Nihil. Hal yang dia cari tidak ada sama sekali.

Alih-aliu menyerah, sebuah senyuman tulus terbit di wajah lelaki itu. "Hiduplah untukku."

Mereka hanya dua anak manusia yang dipertemukan dengan kemalangan. Beban sudah mereka emban sejak dini dan mereka terbiasa. Namun bedanya musim semi kala itu, mereka menemukan bagian hilang dari jiwa masing-masing yang bahkan mereka tidak sadar itu telah lama hilang.

Musim semi itu membuat jiwa mereka terhubung. Dan bertahun-tahun ke depannya, mereka menghabiskan waktu bersama, melewati banyak musim dengan saling menguatkan. Menjadi sebuah rumah hangat yang mereka dambakan sejak lama. Hal itu berhasil membuat mereka dapat bertahan hingga beranjak remaja.

"Aku mendapat sebuah pertanyaan konyol di pikiranku," ucap lelaki itu duduk di tepi kolam sembari menatap birunya langit musim semi. Sedangkan gadis di dekatnya tengah mengapungkan dirinya di air. Gadis itu membuka matanya dan ikut menatap langit.

"Kau ingin tahu?"

Gadis itu mengangguk, "Ya."

"Apa hal yang paling menyakitkan sepanjang hidupmu?"

Semilir angin melewati mereka. Mengisi keheningan yang tercipta dari pertanyaan itu. Lelaki itu terkekeh. "Konyol bukan? Jika sepanjang hidup ini manusia sudah banyak melewati rasa sakit dan disuruh untuk memilih salah satu yang paling menyakitkan, dia pasti tidak akan tahu jawabannya."

Lelaki itu menoleh untuk melihat reaksi lawan bicaranya. Gadis itu sudah menepikan dirinya dan berdiri di bagian pinggir kolam, menatap lurus ke depan dengan tatapan hampa seperti kala itu.

"Aku ... tidak tahu."

Dia memutuskan untuk mendekati gadis itu dan memasukkan kakinya ke air. Tangannya mengusap rambut gadis di sampingnya dan tersenyum. "Jadikan itu alasan lain untukmu bertahan. Temukan jawaban itu. Berjanjilah untuk menemukannya."

Gadis itu menatap manik mata lawan bicaranya. Sudut bibirnya ikut tertarik ke atas. "Aku berjanji."

Lengah. Gadis itu lengah sekali karena tidak menyadarinya. Karena lelaki itu memberinya sebuah alasan baru untuknya bukan tanpa sebab. Semesta sudah merencanakannya.

Tahun berikutnya gadis itu harus pergi jauh. Tentu saja dirinya sendiri tidak mau melakukannya. Namun ada sebuah keputusan yang lebih mutlak dari keinginannya sendiri. Lelaki itu juga tidak bisa berbuat banyak selain mencoba membuat gadis itu yakin untuk tetap melangkah maju ke depan sana karena dia akan selalu berada di belakangnya.

Setahun kemudian gadis itu baru bisa untuk kembali. Setelah sekian lama menahan semuanya sendiri, dia sudah menunggu momen ini untuk pulang ke rumahnya. Dia menuju ke rumah lelaki itu yang hanya tinggal bersama neneknya itu.

Gadis itu disambut dengan rumah yang hancur separuh. Bekas noda hitam banyak terpatri di dindingnya. Tetangga dari lelaki itu yang melihat dirinya berdiri di depan rumah kosong menjelaskan bahwa beberapa bulan lalu rumah itu mengalami kebakaran besar setelah terjadi sebuah ledakan dari dalam rumah.

Kalimat terakhir dari orang tersebut adalah hal yang paling gadis itu tidak ingin dengar. Karena kedua penghuni rumah itu dinyatakan tewas di tempat saat kejadian terjadi.

Gadis itu menangis tanpa isak. Air matanya mengalir deras dan menyatu dengan kesunyian. Matanya menatap kosong ke rumah yang hangus di hadapannya.

"Di mana? Di mana lagi aku harus pulang sekarang?"

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top