Bagian Kedua
Sorenya, Hafiz pulang dengan membawakanku es kelapa muda. Dia membuka pintu garasi, menegur pembantu kami yang belum selesai menyapu, lalu meletakkan bingkisan itu di atas meja makan. Rani menyambutnya. Mereka berdua berbicara dengan suara lembut tentangku. Aku diam di kamar. Berbaring telentang, masih selimutan, dan merasa menggigil sekali. Tak mungkin aku minum obat apapun hari itu. Di luar, azan Magrib baru saja berkumandang.
Pintu kamarku diketuk, satu kali, dua kali, tiga kali, lalu dengan langkah-langkah menyelinap seperti hantu di film Zombie, suamiku masuk. Ia menutup pintu rapat-rapat, kemudian ikut berbaring. Aku menutup mataku, masih dalam rangka berakting agar dia marah, kesal, sebal, dan takkan mempedulikanku. Tangannya yang kasar namun sejuk itu meraba dahiku, mengusap keringat dingin di sana, mulai dari dahi, pipi, hingga tengkukku.
"Udah baikan, belum?" bisiknya.
Aku mendekat, desah napasku yang memburu berbaur dengan napas dari hidung Hafiz. Aku mengerang, kepalaku serasa akan meledak karena dahsyatnya geloraku akannya. Dia tertawa.
"Sepertinya belum membaik, ya... Tuh, aku udah beliin test pack. Coba dicek dong... Siapa tahu anak kita senang."
Mataku terbuka, kesal. "Jangan ngaco deh! Rohnya saja belum diunduh dari alam akhirat!" ucapku tajam.
Hafiz tertawa lagi, girang bukan buatan, lalu membalas cepat.
"Sayangku Delin, percuma kamu mau menipuku. Bagaimanapun juga, abang tahu kalau kamu udah hamil. Makanya, nurut sama aku. Kamu tuh mestinya menatap ke depan, bukannya malah takut aku tinggalin! Aku sedang nggak ingin ribut. Hariku sudah cukup buruk di kantor."
Aku membalikkan badan, dia juga, kami masih bertelekan di atas ranjang itu. Selimutku makin panas saja, akhirnya kutendang juga selimut itu. Hanya dengan mengenakan daster, aku bangkit hendak berjalan ke kamar mandi. Tiba-tiba saja mataku berkunang-kunang, dan aku jatuh ke belakang. Sigap, suamiku yang sudah menyangkanya langsung menangkapku, tapi gelap sudah semuanya. Hanya telingaku yang masih mendengarkan.
"Rani! Sini cepat! Kakakmu pingsan!"
Terdengar langkah cepat adikku yang tergesa berlari dari ruang makan langsung ke kamar. Aku merasakan lengan-lengan kokoh itu mengangkat bagian belakang lututku dan tengkukku kemudian membaringkanku kembali di atas kasur.
Aku merasakan tangan Rani di dahiku. Suhu tubuhku sudah sepanas gurun Sahara.
Mimpi itu lagi..... Ada seorang pria yang amat tampan berdiri di hadapanku. Siapa dia? Betapa bersinarnya dia, tampan, lembut, dalam balutan putih seputih kapas. Hafizkah itu? Atau justru Malaikat Maut Izrail yang hendak mencabut nyawaku?
"Kenapa kamu takut, Adelinda? Apa yang kamu resahkan mengenaiku?"
Kali ini, aku menjawabnya. "Aku tak pernah takut kecuali kepada Tuhanku. Tapi entah kenapa aku tidak pernah siap untuk menerima seorang anak."
Setitik air mata yang hangat kini tumpah juga di pipiku akhirnya. Pria itu bergeming. Penglihatanku semakin jelas kini. Ada sebatang bulu ekor merak yang dicelupkan pada sesuatu yang keemasan, lalu disapukan pada wajahku.
"Inilah akibatnya kalau kau kurang berserah, sayang."
Mataku mengerjap, membuka, dan seketika aku mengenali pria itu. Dia ayahku.
Ian Syah Shodry Manan.
"Papa... kenapa pergi begitu lekas tahun lalu? Sampai sekarang, Mama masih menangisi kepergianmu. Aku sudah melantunkan Yasin setiap malam Jumat...."
"Takdir Allah berkehendak lain, Lin. Contohnya, kecemasanmu pada adikmu Rani. Dia kini sedang naksir seseorang yang sejak dulu kutentang keras. Boleh saja jodoh, rezeki, dan kematian di tangan-Nya, tapi pria ini jelas bukan orang yang cocok. Yang Papa maksudkan bukan Rani, melainkan sifat dasar pria itu. Lihatlah betapa dia berambisi terlalu besar hingga mencemarkan nama baiknya dan juga keluarga kita. Rani itu rapuh. Dia adalah tipe seorang wanita yang manut saja pada pasangan. Meski ia selalu menaati perintah Papa, masalah terbesarnya ada pada si pria. Bukan padamu."
Mendadak sekeliling kami berubah menjadi pantai berpasir putih, dengan ombak berlarian, nyiur melambai. Aku menatap ke bawah, kakiku ada di dalam pasir itu. Papa menggandeng tanganku, membawaku menyusuri tepi pantai. Ini pantai selatan. Pantai Pangandaran tempatku bermain semasa aku masihlah kecil dulu.
"Kamu lihat ke belakang, wahai Adelinda? Ada jejak kita yang terbenam. Kamu melihat sepasang jejakmu, juga jejakku."
Aku menikmati sensasi itu. Kegelian kerikil kecil yang bercampur dengan pecahan kulit kerang kemilauan. Ombak memecah karang, seolah-olah hendak menelan kami, tapi aku sama sekali tak takut. Aku juga sadar pertemuan ini hanya bersifat sementara. Begitu memutih, semua akan sirna.
"Pa?"
"Hm?"
"Kalau jejak itu hilang, apa yang akan terjadi padamu, padaku, Hafiz, juga Rani?"
Ayahku tertawa cemerlang hingga gigi geliginya tampak.
"Kalau untuk kasus itu, ketahuilah bahwa saat itu Tuhan sedang menggendongmu, anakku."
Mataku terbuka. Menampakkan kembali kamarku yang terang benderang.
"Halo cantik, mimpi apa barusan?"
Aku menoleh. Itu suamiku. Di sampingnya, Rani berdiri dengan tangan tergenggam, gurat wajahnya tampak amat cemas mengenaskan.
Aduh...
Aduh...
Aduh...
"Aku nyerah kakanda Hafizku, coba kemarikan test packnya," ujarku. Rani dengan cepat membuka bungkusan dan menuntunku ke kamar mandi. Aku berkemih, lalu mengecek. Kertas itu berubah warna. Langsung jadi positif. Rani hendak melonjak kegirangan. Sebelum teriakannya terdengar, aku langsung membekap mulutnya.
"Adeeeeee! Jangan bilang-bilang dulu!" ancamku.
"Hmpf..? Hrrmmm... Hrrrrm..." Dia menggumam tak jelas. Di luar kamar mandi aku mendengar gelak tawa yang lebih membahana. Suara Hafiz, tentu saja. Rani melepas tanganku.
"Kan bagus, tandanya dia lelaki sejati?" bisiknya.
"Hus! Kamu tuh ya... Dari dulu nggak pernah berubah. Aku tadi sampai mimpi kalau Papa masih nggak setuju kamu sama pacarmu yang sekarang!" Aku menukas.
Rani tercengang. Hafiz membuka pintu dan masuk, melihat alat test pack di tanganku, lantas berhenti tertawa. Sambil menggenggam tanganku, suamiku bertanya.
"Ukhti, aku nggak bermaksud menggodamu. Sudikah kamu melahirkan putraku, dari ikhwan yang menyebalkan ini, dan selamanya hidup bahagia walau bagaimanapun keadaanku?"
Mukaku bersemu merah. Aku melempar pandangan ke samping.
"Hei hei, lihat aku."
"Kak, fokus ke depan kak!"
Aku merasa semakin tidak nyaman, dan akhirnya memaksakan sebuah senyum tipis sebelum menjawab. "Ya, bersedia. Terserah ayahnya saja. Kamu jadi calon Papa. Rani, tolong rebusin air dong. Aku ingin teh hangat," pintaku. Rani meleletkan lidah padaku, lalu berjalan keluar. Pintu kamarku benar-benar menutup akhirnya.
"Yuk, makan?" ajak suamiku yang terlalu ganteng itu. Aku mengangguk.
Demikiahlah akhir kisah ini. Anak kami lahir 8 bulan setelahnya, pada musim umroh ketika pertama kali turun hujan es di Mekkah. Hafiz menamainya Bilal Azkanian Sanubari Rahman. Tak perlu lebih panjang lagi, hanya akan membuatnya bingung menulis namanya ketika TK. Kami semua bahagia. Dalam berkah-Nya, setiap nyawa yang lahir akan diberkati, kemudian ditarik bila memang sudah waktunya. Aku menatap kedua pria dalam hidupku itu, tersenyum bahagia. Rani ternyata memang tidak berjodoh dengan pacarnya sebelumnya. Ia mendapat beasiswa ke Jerman, dan menemukan seseorang yang lebih baik di sana.
Harapanku hanya satu, bahwa anakku akan mendewasa. Agar kiamat ditunda oleh doa-doa orang-orang pilihan yang ikhlas hatinya. Tanpa perlu kusebutkan, inilah akhir kisahku, sebuah keluarga yang sempurna karena tak sempurna. Bilal, Hafiz, Rani, dan Adelinda. Keluarga kecil yang berbahagia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top