Bab. 15 Sikap Buruk Maysa


"Maysa..." pekiknya.

Mba Vita menatapku seolah tak percaya melihat kedatanganku, kemudian dia memelukku.

"Gimana kabarnya?" matanya berkaca-kaca, surprise juga melihat ekspresinya bertemu denganku.

"Baik mba, boleh masuk nggak?" tanyaku.

"Oh iya, masuk May,"ajaknya.

Mba Vita langsung mengajakku masuk ke dalam rumah, dan mempersilakan duduk di ruang tengah. Segera dia mengambil minuman dan cemilan.

"Minum dulu may,kamu pasti haus," katanya.

"Terima kasih."

Aku mengambil gelas yang berisi air putih, dan meminumnya, rasanya segar sekali setelah air membasahi kerongkonganku. Mba vita dengan sabar menungguku bercerita, dia juga menawarkan makanan kecil.

"Di cicipi cemilannya May, coba saja, enak lho."

"Iya mba,terima kasih."

"Nah sekarang kamu cerita, bagaimana kabarmu selama ini. "

" Kabarku baik, Sebenarnya maksud kedatanganku kemari ingin menanyakan kabar ibu, aku rindu sekali, tapi aku belum berani langsung menemuinya."

Mba Vita menarik nafas berat, pertanyaanku membuatnya merasa sedih. Aku semakin di buat penasaran.

"Ada apa dengan ibu, tolong beritahu saya." Aku memegang tangannya.

"Ibumu baik-baik saja, hanya dia kesepian karena tidak ada yang menemaninya. Kamu sendiri bagaimana ceritanya ?"

"Sekarang aku sudah menikah dan tinggal di kota. Setiap hari aku membantu suamiku di toko sembakonya, secara materi semua kebutuhanku tercukupi, keadaanku sekarang tentu lebih baik."

"Setahuku ibumu tidak setuju kamu menikah dengan laki-laki itu."

"Ya, itulah yang membuat aku tidak berani pulang,karena ibu mengusirku dari rumah, ibu tidak setuju aku menikah denganya."

"Apakah Kamu begitu mencintainya,sehingga rela meninggalkan ibumu sendiri?"

Mba Vita menatapku, bisa ku lihat raut mukanya tampak kecewa, aku mengangguk memberinya jawaban.

"Semoga pilihanmu baik, May. Asal kamu tahu bahwa setiap pilihan itu pasti ada konsekuensinya. Aku sering mengunjungi ibumu, kulihat dia bersedih karena kamu tidak ada di sampingnya, dia pasti merindukanmu, cobalah sekarang kamu temui."

Aku diam, aku merasa ragu dan takut. Ragu karena ingin bertemu, tapi takut kalau ibu tidak mau menerimaku. Setelah ku pertimbangkan, benar juga saran mba Vita, sebaiknya aku menemuinya dari pada aku juga tidak tenang, dan selalu mengkhawatirkannya.

"Aku akan menemanimu,"ajaknya, "Sekarang, kamu makan dulu ya. Aku siapkan makanannya, hari ini aku masak menu spesial."

Sebelum pergi ke rumah ibu, aku dan mba vita makan siang bersama, kali ini menu ayam goreng spesialnya memang patut di acungi jempol, enak sekali.

"Mantab masakannya, bisa nih kalo buka warung makan,"pujiku.

"Kamu pelanggan tetapnya ya," gelak Mba Vita.

Setelah makan siang, kami berdua pergi ke rumah ibu. Rumah tampak sepi dari luar, Mba Vita segera mengetuk pintu.Beberapa saat kami menunggu akhirnya pintu terbuka dan ibu keluar dari rumah,

"Assalamu alaikum," sapa mba Vita sambil mencium tangan ibu.

"Wa alaikum salam, masuk saja," jawab ibu.

"Saya ke sini bersama Maysa bu," kata mba vita.

Ibu menoleh ke arahku, ku tatap mata sendu ibu. "Ibu tidak mau menerimanya, biarkan dia di luar saja," ketusnya.

"Ibu.." panggilku,"Ijinkan aku masuk, aku kangen..."

Tanpa menghiraukanku ibu masuk rumah dengan mengajak mba vita, kemudian menutup pintu. Aku yakin ibu juga merindukanku, kemarahanlah yang menahannya untuk tidak mengijinkanku masuk.

Aku menunggu di luar, dengan harapan mba Vita bisa membujuk ibu, dan mengijinkanku menemuinya.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, Mba vita keluar rumah, dia memberitahuku kalau ibu belum mau bertemu, aku di suruh pulang.

"Ibu belum mau menemuimu, pulanglah sekarang, semoga lain hari ibu bisa menerimamu lagi."

Dan akupun tak dapat menahan lagi air mata. Rasa sedih sampai membuat sesak dadaku, aku melangkah meninggalkan rumah. Aku memeluk mba Vita, kami berpisah di jalan. "Kabari aku jika terjadi sesuatu dengan ibu."

"Kamu sudah simpan no mor hpku?"tanyanya

"Iya."

***

Dua hari semenjak kejadian itu, suasana hatiku masih belum bagus. Aku memilih berada di rumah dan tidak pergi ke toko. Dalam kondisi tidak bagus seperti ini aku takut marah-marah tidak jelas dan melampiaskan kepada pembeli. Mas jono juga menyarankan agar aku di rumah saja, beristirahat.

Sore harinya, aku baru saja membersihkan rumah dan menyiram tanaman, ketika melihat Tika dan anak-anaknya datang ke rumah.

"Assalamu alaikum..." sapanya.

"Wa alaikum salam."

"Mas Jono ada May?" tanyanya.

"Bukannya hari ini giliran mas jono ke rumah mba, Dia tidak ada di sini."

"Mas Jono tidak ke rumahku hari ini, bahkan hari minggu kemarin juga tidak ke rumah."

"Hari minggu aku juga sendirian di rumah, tapi aku bisa telponnya, dia bilang di rumahmu."

"Aku tidak bohong, dari hari Minggu dia tidak ke rumah, hari ini juga tidak."

Aku menatap heran, sama sekali aku merasa tidak suka dengan kehadirannya, bahkan aku juga tidak mau mengajaknya masuk rumah.

"Aku tidak tahu ke mas Jono pergi, kamu telpon saja."

"Aku sudah menelponnya, tapi tidak di angkat."

"Lha terus kenapa tanya aku, aku juga tidak tahu, mas Jono kemana."

"Apa kamu tidak curiga May, sebenarnya mas Jono itu kemana?"

Aku mengangkat bahu. Lalu membalikkan badan meninggalkannya.
"Tunggu maysa, "panggilnya.

Aku menghentikan langkah kakiku.

"Sudah pulang saja, Mas Jono tidak ada di rumahku."

Tika memandangku dengan tajam kemudian berkata," Ingat Maysa, suatu saat kamu akan mengalami nasib sepertiku, mas Jono akan membuangmu jika dia sudah bosan denganmu, dia akan mencari wanita lain yang lebih menarik."

Aku tertawa mendengarnya, mas Jono sangat mencintaiku tidak mungkin dia berbuat seperti itu. Wanita ini hanya ingin mengadu domba aku dan suamiku, kemudian aku marah dan meninggalkannya. Aku tidak percaya padanya.

"Tidak mungkin mas Jono seperti itu, dia sangat mencintaiku."

"Baiklah saat ini kamu boleh tidak percaya, nanti juga kamu akan percaya, bahwa apa yang aku katakan itu benar."

"Sudahlah tidak perlu mengadu domba aku dan mas Jono, pulang saja." Aku segera masuk ke rumah tanpa menoleh. Aku merasa kesal dengan wanita itu. Aku percaya mas Jono sangat mencintaiku, apa yang menjadi keinginanku selalu di turuti, mungkin wanita itu hanya iri saja.

Dari balik jendela ku lihat anaknya yang paling kecil menangis. Sebenarnya ada rasa kasihan, tapi aku abaikan rasa itu, dia akan sering main ke sini jika aku bersikap baik terhadapnya.

Sementara Tika sedang menenangkan anaknya, bocah kecil itu mungkin lelah dan haus.

"Keterlaluan sekali kamu May, bahkan kamu tidak membukakan pintu, kamu biarkan kami di luar seperti ini." Tika mengelus dadanya mencoba sabar dengan sikap jelek Maysa.

"Coba ibu telpon ayah," saran anak sulungnya.

Tika mengeluarkan telpon seluler dari tas kecilnya, dan mencona menghubungi suaminya.

"HPnya tidak aktif,"katanya lesu.

"Kita duduk di pos ronda itu." Ajak sulungnya.

Mereka berempat berjalan menuju pos ronda, dan duduk di sana.

Siapapun yang melihat ketiga anak ini sungguh akan merasa kasihan. Beruntungnya ada tetangga Maysa yang menolong mereka. "Maaf bu, ini anak-anak mau di ajak kemana?"

"Saya dari rumah teman,"jawab Tika," Kami mau pulang ke rumah, istirahat dulu di sini."

"Mampir dulu ke rumah saya, itu yang catnya biru," dia menunjuk rumahnya,"Saya buatkan es teh dan makanan."

"Asik.." jawab anak-anak dengan gembira.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top