Bab. 14 Rindu Ibu


Maysa Pov

Aku masih ingin menikmati semua kesenangan ini. Apa yang aku impikan,seperti  kebahagiaan dan  kemewahan sudah aku dapatkan meskipun belum sepenuhnya. Karena aku masih harus berbagi suami dengan orang lain, istri pertama suamiku dan anaknya. Hingga terlintas fikiran jahat di kepalaku untuk menyingkirkannya, agar semua harta kekayaan suamiku hanya untukku?He...he... he.... tidaklah, aku tidak segila itu.

Malam ini Jono menanyakan kesiapanku untuk punya anak, aku merasa tidak suka dengan pertanyaannya. Aku belum ingin punya anak, masih ingin bersenang-senang dan mencari uang. Toko sembako itu harus bisa menjadi lebih besar dan maju, atau Jono perlu membuka toko cabang yang baru, ini bisa aku usulkan padanya. Kalau berhasil, kita bisa mendapat uang lebih banyak.

Aku juga ingin memiliki rumah sendiri. Rumah mewah yang menjadi impian dari masa kecilku.Istri pertamanya sudah dibelikan rumah, jadi aku juga harus punya rumah, aku punya hak yang sama dengannya,  aku juga istrinya, apalagi aku juga membantunya bekerja. Aku  pasti bisa membujuknya.

Sebenarnya rumah kontrakan ini nyaman, tapi terlalu kecil, kalau ibu sudah mau ikut denganku paling tidak aku harus punya rumah dengan 3 kamar tidur. Membayangkannya saja membuatku semangat untuk mencari uang.

Aku tersenyum memainkan ponsel dan mendengarkan alunan lembut musik pengantar tidur.

Sebenarnya aku ingin keluar rumah, hari minggu seperti ini pasti banyak orang yang berolah raga di luar. Namun aku masih merasa lelah, karena semalam di toko sangat ramai pembelinya. Rasanya ingin tidur lagi, aku coba merebahkan badan di tempat tidur, tapi karena tidak terbiasa tidur dipagi hari, mata ini tak bisa di pejamkan, mas Jono hari ini dirumah Tika, jadi hari ini aku sendirian saja.

"Ya sudah, keluar rumah saja, hari ini saatnyya berolah raga, semangat Maysa!"

Setelah mandi dan berganti pakaian, aku segera keluar rumah dan menutup pintu. Mulai menyusuri jalan di depan rumah,hingga sampai di jalan raya. Tanpa sengaja aku melihat seorang wanita tua berjualan asesoris, di Antara keramaian pasar tiban dekan jalan raya, wanita itu mengingatkanku pada sosok ibu yang sudah lima bulan tak pernah ku temui, semenjak ibu mengusir aku dan mas Jono dari rumahnya. Ada gelenyar perasaan rindu dan takut karena telah berbuat salah. Teringat ucapan mba Vita tetanggaku yang mengingatkanku untuk tidak menyakiti hati ibu, karena hidupku tidak akan bahagia.

Aku mencoba melihat lebih dekat siapa wanita penjual asesoris itu, apakah benar dia adalah ibu?

Dengan mengendap perlahan, dan melihat situasi di sekitar komplek jualan, aku melangkah perlahan sambil berpura-pura membeli di dekat penjual itu. Kenapa dia tidak menghadap ke sini? Aku ingin melihat wajahnya, debar-debar ini semakin kencang, pertarungan dalam diriku, Antara ingin bertemu ibu, juga takut mendapat kemarahannya. Semakin membuatku salah tingkah tidak karuan.

Apakah benar dia ibuku?

Melihat keadaan wanita itu, aku merasa prihatin, bajunya yang sudah lusuh, wajahnya yang letih namun harus tetap berusaha mencari uang untuk menyambung hidupnya, kenapa aku tidak pernah memikirkan ibu sama sekali, tidak pernah memberinya uang,padahal saat ini aku punya uang, tidak pernah mengirimi makanan, padahal saat ini aku berlebih. Aku termenung sendiri.

"Neng mau beli apa?" ibu penjual sayuran di kios ini membuat lamunanku buyar seketika, "Jangan di bolak balik itu sayurannya, nanti rusak."

"Eh iya bu, saya beli ini," segera aku ambil sayuran yang sedari tadi aku pegang,"Ini uangnya."

Ku berikan uang satu lembar sepuluh ribuan.

Penjual sayur itu memberiku uang kembalian. Pas kebetulan wanita tua penjual asesoris mendekatinya untuk menukar uang, Oh... ternyata dia bukan ibuku. Ada rasa kecewa yang menghampiriku, begitu menyadari kenyataan bahwa wanita itu bukan ibu. Tapi perasaanku juga menjadi lega karena dia bukan ibuku, aku berharap keadaan ibu lebih baik.

Setelah meyakinkan diri bahwa wanita penjual asesoris itu bukan ibu, aku lanjutkan lagi jogging pagi yang tertunda, hari ini aku berencana mengunjungi ibu secara diam-diam.

Rasa rindu dan khawatir dengan keadaan ibu,membuatku segera pulang ke rumah. aku mulai membersihkan badan dan berganti pakaian.

Aku mencoba menghubungi mas jono melalui telepon.

Tut...tut...tut

Masih sabar ku tunggu panggilan di telepon selulerku.

"Halo, ada apa May?"

Syukurlah mas Jono langsung menjawab telponku.

"Mas hari ini aku minta ijin ke rumah mba Vita, tetanggaku yang rumahnya dekat ibu."

"Ada perlu apa May?"

"Aku ingin menanyakan kabar ibu, aku kangen sama ibu."

"Bukannya ibu tidak mau ketemu sama kamu."

"Iya mas, karena itu aku main ke rumah mba Vita. Untuk menenyakan kabarnya."

"Kenapa harus ke sana May?di telpon saja."

"aku belum punya no telponnya."

" Ya sudah, kamu mau aku antar?"

"Tidak usah mas, aku naik angkutan umum saja."

Aku merasa lebih baik pergi sendiri, lebih bebas jika ingin bicara dengan mba Vita.

" Hati-hati di jalan May, kalo sudah sampai segera kabari."

"Baik mas."

Aku merasa lega setelah mendapat ijin dari mas Jono, setelah menutup pintu rumah dan menguncinya.

Kemudian berjalan keluar komplek menuju jalan raya. Cukup lama menunggu angkutan umum tiba, hari libur seperti ini biasanya sepi, aku masih sabar menanti sampai akhirnya datang. Selama perjalanan aku membayangkan wajah ibu yang sedih, di rumah sendiri dan kesepian. Sejak ayah dan kakaknya meninggal kami hanya hidup berdua.

Air mataku menetes membayangkan betapa marahnya ibu, ketika aku datang bersama mas Jono yang sudah menjadi suamiku.betapa marahnya hingga ibu mengusirku dari rumah. Harus ku akui jika aku bersalah pada ibu, namun untuk meninggalkan mas Jono aku juga tidak mau.

Angkutan yang aku tumpangi terus melaju di antara banyaknya kendaraan di jalan raya. Meski nampak lengang di jalanan tetaplah udara di sekitarnya kotor bercampur asap yang keluar dari knalpot kendaran.

Aku yang berniat untuk membuka jendela kendara mengurungkannya. Terasa panas dan pengap memang, tapi lebih baik dari pada bercampur bau asap.

Di dalam kendaraan hanya ada lima penumpang, sopir bahkan tidak menggunakan jasa kernet,seperti biasanya. Mungkin karena sepi penumpang jadi pendapatan lebih sedikit, semua dikerjakan sopir sendiri, dari mencari penumpang hingga membayar ongkos.

"Desa Sidakaton, mba... " suara pak sopir membuayarkan lamunanku.
"iya pak, berapa ongkosnya," tanyaku.

"Sepuluh ribu."

"Ini pak, terima kasih."

"Sama-sama, mba."

Setelah turun dari kendaraan aku segera berjalan ke rumah mba Vita, Untuk sampai di rumahnya, aku melewati rumahku sendiri. Sejenak ku pandang rumah yang ku tempati bersama ibu selama bertahun-tahun. Rasanya ingin segera masuk rumah dan tidur di kamarku yang tenang. Kamar yang sederhana, tapi penuh kenangan. Di halaman rumah ini dulu tempat aku dan kakak bermain semasa kecil.

Aku menguatkan hati dan melanjutkan perjalanan ke rumah mba Vita. Sampai di rumahnya segera aku mengetuk pintu.

Tok...tok...tok...

Dan ketika pintu terbuka.

"Maysa...!" pekiknya.

Mba vita sampai menangis begitu melihatku ada di depannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top