CHAPTER 3
Meow ....
Meow ....
Shoera diam. Mempertajam pendengarannya ketika mendengar suara meongan Neko. Tangannya meraba-raba dinding mencari pegangan agar tidak menabrak, ditambah ruangan itu gelap karena listrik padam. Shoera takut gelap, harapannya ada pada Neko, kucing hitam kesayangan. Hanya kucing itu yang mampu membuat Shoera tenang, entah mengapa tetapi dia merasa nyaman berada di dekat Neko.
"Akhh ... sakit," ringis Shoera tak sengaja menginjak pecahan guci tempat abu neneknya disimpan. Dia berusaha berdiri mencari ponsel atau apa pun yang bisa membuat ruangan ini terang. Ia berjalan tertatih-tatih menahan perih.
"Hiks ... hiks ... nenek!" Shoera kembali jatuh tersimpuh, dia dapat merasakan telapak kakinya yang berdarah bercampur abu. Dalam hati dia berdoa agar sang nenek tidak marah karena lancang menginjak abunya. Itu pun tidak sengaja, karena Shoera tahu sengaja atau tidak kesalahan yang ia buat, neneknya akan marah. Sedari dulu Shoera mencoba menjadi anak baik agar mendapat perhatian dan kasih sayang lebih, terutama meredam emosi nenek yang mudah tersulut.
"Aku takut," ucap Shoera pada dirinya sendiri.
Menahan tangis bukan kelebihan Shoera, hanya saja hidup seorang diri membutuhkan keberanian dan kemandirian. Dia bukan lagi bocah balita yang menangis karena ketakutan. Walau demikian, dia berusaha menyemangati dirinya, mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Itu tidak berhasil, Shoera lemah dalam kesepian. Perlahan cairan bening membasahi kedua pipi Shoera. Gadis itu memeluk tubuh kecilnya mengabaikan rasa perih yang mendera di telapak kaki. Berharap lampu cepat menyala dan seseorang datang untuk menenangkannya.
Meow ....
Meow ....
Meow ....
"Neko," panggil Shoera lirih. Mengerjap pelan ketika tidak ada satu pun cahaya yang membuat retinanya memantulkan bayangan. Hampir saja berteriak ketika sesuatu yang lembut mengusap lengannya.
"Neko," panggil Shoera lagi. Tangisnya berubah jadi haru begitu kucing hitam itu memeluk lengannya lagi. Dia mengangkat Neko dan memeluknya erat. Shoera merasa lebih tenang ketika Neko dalam dekapannya. Mungkin karena Neko selalu ada untuknya. Membuat Shoera merasakan punya keluarga kecil. Dia dan Neko.
Shoera mencium dahi Neko dengan sayang sembari memeluk tubuh gemuk yang berlapis bulu lebat. "Aku benar-benar panik tadi," ucap Shoera membelai kepala hingga kaki Neko. "Tapi karena ada kau, aku jadi tenang."
Shoera kembali mendekap kucing hitam itu erat, menimang layaknya seorang bayi dalam balutan kain yang membungkus tubuh mungilnya.
Entah berapa lama Shoera duduk memeluk Neko, tapi rasanya sedikit aneh. Udara terasa lebih dingin dan pengap, bau amis begitu menyengat menusuk hidung Shoera. Padahal dirinya yakin jika darah di telapak kakinya sudah mengering. Tapi kenapa ada bau darah? Dia mengusir pikiran buruk yang merasuk ke otaknya. Ya, harus berpikir positif. Namun sayang, dia tidak dapat menghilangkan kepanikannya.
Waktu berputar cepat setiap dentang jarum jam, Shoera melotot kaget menyadari sesuatu yang aneh pada dirinya sendiri.
Darah dan fobia.
Embusan kasar keluar dari mulut Shoera. Dia memegang dadanya yang berdetak cepat, ada apa ini? Kenapa tidak ada reaksi sama sekali ketika terluka? Apa karena suasana gelap sehingga dia tidak dapat melihat darah? Tapi itu tidak mungkin.
Melihat atau tidak pun jika Shoera mencium bau darah pasti tubuhnya bergejolak seperti pusing dan mual. Yang dia rasakan hanya radar bahaya. Apa ini pertanda buruk?
Tiba-tiba saja tubuhnya menjadi gemetar. Bukan hanya tubuh Shoera, barang-barang di sekitarnya juga ikutan bergetar. Ditambah Neko sedari tadi bergerak gelisah, kedua kaki depan Neko seakan berusaha mencakarnya.
"Tenang, ya! Ini hanya sebentar!" hibur Shoera pada kucing hitam itu. Tetapi semakin cepat Neko bergerak dalam dekapannya, getaran mirip guncangan gempa semakin terasa nyata. Ditambah gemuruh petir yang saling bersahutan menjadi musik disko jatuhnya barang-barang di rumah Shoera.
Dia menggeser tubuh ke samping ketika menyadari rak buku hampir menimpa tubuhnya. Shoera sangat beruntung berkat keahlian dalam bela diri, dia memiliki refleks yang cepat dan gesit. Guncangan dan suara gemuruh petir berhenti bersamaan jatuhnya rak buku itu. Dia jadi berpikir jika ini direncanakan, tapi siapa yang tega melakukan hal ini?
"Shoera, Shoera ... selain polos kau juga bodoh!" Telinganya berdengung ketika samar-samar menangkap suara asing. Siapa itu? Apa dia pelakunya?
"Hei, keluarlah! Jangan jadi pengecut!" teriak Shoera tidak terima. Dia berdiri tegak mengabaikan rasa sakit yang semakin mendera. Namun, bukannya berhenti, bisikan itu semakin berdengung di telinganya..
Meoww ....
Tubuh Shoera berputar dengan sendirinya. Dia semakin panik dan takut ketika mendengar suara Neko seakan mengejeknya. Tidak, tidak. Kucing itu tertawa di saat kondisi genting seperti ini. Neko adalah penolongnya. Tidak mungkin dia merasa senang ketika majikannya kesusahan. Namun, Shoera merasa jika hal itu memang benar.
Masih pasrah ketika tubuhnya berputar 180° dari tempatnya berdiri. Selama itu, Shoera merasa ada orang lain yang berada satu ruangan dengannya, dan membuatnya bergidik ngeri. Dia terperanjat kaget saat lampu kembali menyala.
"Yeiii ...." Shoera berteriak senang.
Melupakan kejadian aneh yang menimpanya. Sayang kesenangannya hanya sementara. Dia mendadak kaku begitu melihat sosok yang dikenalinya telah berubah tepat di depannya. Menjadi kucing bertubuh besar dengan kedua sayap hitam menggantung indah di belakang punggungnya, serta dua ekor belakang yang melambai-lambai. Ditambah mata amber yang selalu menatap teduh kini berganti merah menyala menatapnya tajam. Jangan lupakan perubahan lain yang membuat Shoera syok. Saat itu juga Shoera mati rasa.
Bulu roma Shoera meremang, manik matanya bergerak ke sembarang arah. "A-aku pasti sedang bermimpi," bisik Shoera.
Jari-jari Shoera saling memilin sebelum akhirnya salah satu tangan Shoera mencubit kulit tangannya sendiri. Sakit. Apa itu artinya ia sedang tidak bermimpi? Lalu jika bukan mimpi, apa yang berada di hadapannya saat ini? Mangkinkah hanya ilusi semata?
Napas Shoera terengah ketika makhluk yang tampak menyeramkan itu mendekatinya. Keringat dingin mulai menyebar di kedua telapak tangan Shoera. Pelipis dan punggung gadis berkulit kusam itu pun ikut dibanjiri keringat sebesar biji jagung.
Mata merah makhluk itu membuat tubuh Shoera bergetar hebat. Shoera menutup kedua matanya, berharap ketika ia membuka mata, ia sudah bangun dari tidurnya.
"Jika ini mimpi, aku harap aku segera bangun dari mimpi buruk ini. Jika ini bukan mimpi, aku berharap seseorang menyelamatkanku," batin Shoera.
Shoera membuka matanya ketika mendengar suara tawa menggelegar di sekitarnya. "Ini bukan mimpi, Shoera!"
"Ti-tidak, tidak mungkin!" pekik Shoera dengan tergagap, "Bagaimana bisa?!" lanjut gadis itu menatap sosok kucing raksasa di depannya.
Shoera masih tidak percaya dengan apa yang terpampang di depan matanya. Semua yang ia lihat tidak bisa dijelaskan secara logika. Shoera sedang tidak berada di sebuah film atau pun novel. Dirinya tengah berada di dunia nyata. Jadi bagaimana mungkin seekor kucing bisa berubah menjadi monster?
Shoera dengan langkah gemetar, melangkahkan kaki ke belakang dan mundur secara perlahan. Dia harus melarikan diri dari monster mengerikan itu, bagaimanapun caranya.
"Mengapa kau tampak ketakutan dengan kehadiranku? Ayo peluk aku lagi." Makhluk itu tampak menyeringai lebar. Mata merah menyala miliknya tampak menatap Shoera dengan tatapan mengejek.
"Bukankah kau menyukai bulu halusku, Shoera?" Suara yang terdengar rendah itu semakin membuat tubuh Shoera bergetar tak karuan.
"Pergi!" Shoera melempar benda yang berada dalam jangkauannya ke arah Monster itu.
Monster tersebut hanya bergeming menatap Shoera yang ketakutan sebelum kembali angkat bicara.
"Aku kucing kesayanganmu, Shoera. Mengapa kau takut?"
"Tidak! Tidak mungkin!"
Walau Shoera melihat sendiri perubahan wujud Neko menjadi monster, tetapi dirinya masih tidak percaya dengan hal tersebut.
"Monster! Kau adalah Monster!" lanjut Shoera dengan suara yang meninggi.
Makhluk yang mengaku sebagai Neko itu, menatap tajam Shoera. Senyum iblis yang tadi ditunjukkannya pada Shoera sudah luntur.
"Monster? Kau pikir siapa yang membuatku menjadi Monster?!"
Shoera menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan pelan. Dia semakin ketakutan, ketika posisinya sudah terpojok.
"Nenekmu!" ujar Neko dengan penuh penekanan. "Nenek Iblismu itulah yang membuatku seperti ini!" lanjut Kucing berekor dua itu.
"Ne-nenekku bukan iblis! Kaulah yang Iblis!"
Monster bersayap itu tertawa mendengar ucapan Shoera. "Mari kita lihat. Diriku atau nenekmu yang iblis!"
Setelah Neko menyelesaikan perkataannya, tiba-tiba tubuh Shoera dikelilingi debu. Tidak! Itu bukan debu, melainkan abu neneknya. Shoera merasa pusing dan kesulitan bernapas ketika abu neneknya berputar-putar di sekitarnya. Gadis berambut pendek sebahu itu terjatuh ke lantai. Dia sudah tidak mampu menopang berat badannya saat pusing melanda di kepalanya.
Shoera memejamkan mata sejenak sembari memijat pangkal hidungnya. Saat ia membuka mata, ia tidak menemukan sosok Neko yang telah berubah menjadi monster. Jadi, apakah tadi itu hanya mimpi?
Meow ....
Meow ....
Itu suara Neko! Shoera mengedarkan pandangannya ke segala arah untuk mencari keberadaan Neko. Dapat! Shoera melihat sosok kucing berwarna hitam.
Shoera tersenyum senang. Neko tidak berubah menjadi monster. Shoera yakin yang tadi itu pasti hanya mimpi. Dahi Shoera berkerut, senyumnya pun perlahan menghilang. Dia melihat Neko berjalan dengan langkah pincang.
Meow ....
Shoera terkejut ketika mendengar Neko yang mengeong keras. Yang lebih membuatnya terkejut adalah kedatangan wanita tua yang mengangkat Neko dengan kasar.
"Ti-tidak mungkin." Shoera tampak mematung menatap setiap gerak-gerik yang wanita tua itu lakukan.
"Nenek?" Benar, wanita tua itu adalah Nenek Shoera.
Sekarang Shoera semakin dibuat bingung. Sebenarnya mana yang nyata? Keberadaan neneknya yang berada di hadapannya ini, padahal neneknya telah meninggal? Atau kejadian di mana Neko berubah menjadi monster?
"Jangan lari kucing. Mari bermain-main sejenak."
Shoera menatap figur neneknya yang tengah tersenyum aneh sembari menatap Neko yang berada di dekapannya.
Entah mengapa firasat Shoera tidak enak ketika melihat senyum neneknya. Ia mencoba bangkit dari lantai, tapi entah mengapa Shoera tidak mampu menggerakkan tubuhnya. Shoera kembali mencoba bangkit, tapi hasilnya masih sama. Tidak bisa bergerak.
"Bulumu tampak kotor, bagaimana kalau sekarang kita bersihkan bulumu."
Shoera kembali menatap gerak-gerik neneknya. Ia pikir neneknya akan memandikan Neko. Tapi ternyata tebakan Shoera meleset jauh.
Bukannya memandikan Neko, nenek Shoera malah mengikat ke empat kaki Neko menjadi satu. "A-apa?" Shoera masih tak mengerti dengan tindakan neneknya.
Kucing hitam itu tampak mengeong-ngeong, minta dilepaskan. Tapi rupanya sang Nenek tidak peduli. Wanita tua itu memulai kegiatannya untuk membersihkan bulu Neko. Nenek Shoera mencabuti bulu Neko dengan cepat, membiarkan kucing itu mengeong-ngeong. Benar, yang dimaksud Nenek Shoera membersihkan bulu kucing adalah menghilangkan bulu kucing itu.
Shoera tak bisa melihat perbuatan neneknya. Itu terlihat begitu kejam.
"Berhenti!" teriak Shoera. Tapi tampaknya sang Nenek tak menghiraukan dirinya. Atau lebih tepatnya sang Nenek tak bisa mendengar suara Shoera. Shoera ada di sana hanya untuk menyaksikan, bukan untuk melakukan tindakan.
Setelah mencabuti bulu Neko di beberapa bagian, Nenek Shoera menghentikan kegiatannya. Dan tentu saja hal itu membuat Shoera menghembuskan napasnya lega. Tapi sepertinya perasaan lega itu tak seharusnya datang. Karena tak butuh waktu lama, Nenek Shoera kembali melakukan kegiatan membersihkan bulu-bulu Neko. Tapi kali ini dengan teknik berbeda. Nenek Shoera membersihkan bulu Neko dengan gunting. Setidaknya itu tidak sakit. Tetapi tetap saja itu perbuatan yang tidak manusiawi.
Shoera menjerit tertahan ketika melihat sang Nenek menyayat kulit Neko dengan pisau. Tidak sampai di situ, Nenek Shoera juga mengiris sedikit daun telinga Neko. Kucing hitam itu mengeong tak karuan. Mencoba melakukan perlawanan, tetapi tak mampu.
Shoera merasa perutnya teraduk-aduk ketika melihat darah Neko merembes dari luka sayatan yang dibuat oleh sang nenek. Berbeda dengan Shoera, wanita paruh baya itu tampak senang bahkan tertawa keras melihat hasil karya seninya.
Wanita tua itu masih terus melanjutkan kegiatannya melukai Neko. Hingga akhirnya Shoera melihat sang Nenek mengambil sebuah pisau daging yang tampak berkilau. Shoera yakin, jika pisau itu sangat tajam.
Gadis berkulit kusam-Shoera itu menatap pisau yang dibawa sang Nenek dan Neko yang tampak tak berdaya secara bergantian. Nenek Shoera mengangkat pisau daging itu tinggi-tinggi.
Jangan katakan, jika sang Nenek berniat memenggal kepala Neko!
Jika benar, Shoera berharap mampu menghentikan niat buruk Neneknya.
"Tidak!" cegah Shoera sembari memejamkan matanya. Shoera tidak bisa melihat adegan kejam itu.
"Jadi, siapa yang Iblis? Diriku atau Nenekmu, Shoera?" Shoera membuka matanya. Tidak ada neneknya. Ia kembali dihadapkan pada Neko yang berwujud monster.
Napas Shoera tampak tak beraturan. Ini gila! Shoera tidak dapat membedakan kenyataan dan ilusi.
"Ti-tidak. Nenekku tidak mungkin melakukan itu."
"Tapi kenyataanya, nenek iblismu telah melakukan itu!"
"Ka-kau pasti telah memanipulasi pikiranku!" Shoera masih berpegang teguh pada apa yang ia percaya.
Walaupun sang Nenek sering kali melakukan kekerasan pada Shoera-itu pun karena Shoera yang salah--tapi Shoera yakin neneknya tak mungkin tega melakukan hal tersebut.
"Jadi, kau menuduhku berbohong?!" Shoera berjengkit kaget ketika suara Neko berteriak bersamaan dengan meja makan yang terlempar tanpa ada yang menyentuhnya. Neko menatap Shoera penuh amarah. Detik berikutnya, Shoera merasa lehernya seperti ada yang mencekik.
Sakit. Shoera kesusahan bernapas. Padahal tidak ada apa pun di lehernya, tetapi mengapa Shoera merasa tercekik. Shoera meraba-raba leher, kemudian menatap Kucing bersayap itu. Shoera yakin, lehernya sakit karena perbuat Monster Kucing itu.
"Menurutmu, siapa yang menyebabkan orangtuamu mati?" Shoera diam. Tidak ada yang menyebabkan orang tuanya meninggal. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan.
"Atau kau masih berpikiran, orang tuamu meninggal karena kecelakaan?" Shoera masih diam. Dia lebih fokus pada lehernya yang sakit dan pernapasannya yang tersendat.
"Coba kau pikir! Bagaimana mungkin tak ada satu pun berita yang mengabarkan kecelakaan mobil saat nenekmu memberitahukan kecelakaan itu? Bahkan kau tidak tahu mereka kecelakaan di mana! Harusnya kamu curiga mengapa mayat mereka tak ditemukan!"
Shoera mematung. Shoera tidak pernah memikirkan hal itu. Yang ia tahu orang tuanya meninggal karena kecelakaan mobil, itu pun sang Nenek yang memberi tahunya. Neneknya bilang kedua orang tua Shoera kecelakaan di tempat yang jauh. Dan mayat mereka tak ditemukan. Bahkan mobil yang dikendarai orang tuanya juga sudah hancur.
"Nenek psikopatmu itulah yang sudah membunuh kedua orang tuamu!"
Shoera menggelengkan kepalanya. "Ti-tidak. Ma-mana mungkin Nenek me-melakukan itu. Ti-tidak ada untungnya beliau melakukan itu!"
"Tentunya untuk memuaskan hasrat gila nenekmu yang suka menyiksa dan menbunuh. Jangan lupakan asuransi kedua orang tuamu yang akan cair," sahut Neko diiringi dengan senyum miring. Dia menatap Shoera sejenak sebelum melepas sihirnya dari leher Shoera.
Shoera terbatuk hebat. Dia segera meraup napas sebanyak-banyaknya. Dia beberapa kali tampak memukul dadanya sendiri. "Jika kau ingin, aku dapat memperlihatkan detik-detik kematian orang tuamu di tangan nenekmu sendiri," ujar Neko setelah memundurkan tubuhnya beberapa langkah.
Tidak. Shoera tidak akan mampu jika harus melihat detik-detik kematian orang tuanya. Apa lagi jika penyebab kematian orang tuanya adalah sang Nenek. Shoera dengan gerakan tertatih merangkak mendekati abu milik neneknya. Ia menatap Neko sejenak sebelum akhirnya mengambil segenggam abu milik neneknya lalu bangkit dengan perlahan.
Neko menatap gadis di depannya dengan raut datar. Tanpa disangka, Shoera melemparkan abu di tangannya ke mata Neko. Dan hal tersebut berhasil membuat mata Neko sakit beberapa saat. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Shoera segera berlari memasuki kamarnya. Dengan gerakan terburu-buru Shoera mengunci pintu kamarnya.
Jantung Shoera bertalu-talu. Napasnya tampak memburu. Shoera menatap tangannya yang tampak bergetar memegang gagang pintu. Ia tahu, kamarnya bukan tempat terbaik untuk bersembunyi. Tapi, setidaknya ia sudah menjauh dari Neko yang sudah berubah menjadi monster.
Shoera menghembuskan napasnya panjang, kemudian membalikkan badannya. Shoera seketika mematung. Jantungan rasanya berhenti berdetak. Ia mendapati figur Ken berdiri di depannya. "Ke-Ken? Me-mengapa kau bisa ada di sini?"
Ken tak menjawab. Lelaki itu hanya melirik pada jendela kamar Shoera yang terbuka. Shoera tidak yakin sosok di depannya itu adalah temannya. Firasat Shoera mengatakan sosok di depannya bukanlah Ken yang asli.
Lelaki itu terus menatapnya. Dan pada menit ke sekian, mata Ken tampak memperlihatkan lingkaran merah yang menakutkan.
"Shoera, harusnya kamu tahu. Abu menjijikkan itu tak dapat membuatku buta. Dan juga, di mana pun kamu bersembunyi, aku pasti akan tetap menemukanmu."
Dalam hitungan detik Ken berubah menjadi kucing bertubuh besar dengan sayap dan dua ekor. Shoera kesusahan menelan ludahnya sendiri. Dia meraba-raba gagang pintu kamar. Dengan pelan Shoera mencoba membuka kunci pintu tersebut. Setelah berhasil, dia dengan kilat melemparkan beberapa buku pelajarannya pada Neko. Melihat Neko yang sedikit lengah, Shoera segera berlari keluar kamar.
Tapi sayangnya, kecepatan yang dimilikinya tak sebanding dengan kecepatan berpindah tempat milik Neko. Neko mencoba mencambuk Shoera dengan ekornya tapi dengan cepat Shoera menghindar.
Neko tampak berancang-ancang untuk menerkam Shoera, tapi lagi-lagi Shoera mampu mengelak ketika Neko loncat ke arah Shoera. Neko menggeram melihat Shoera yang mampu menghindari setiap serangannya.
Shoera berdiri dengan siaga, matanya was-was menatap mata tajam Neko. Neko mengeluarkan cakar miliknya dan dengan cepat mengarahkan pada Shoera.
Shoera merintih ketika kuku itu berhasil menggores sedikit kulit lengannya. Shoera segera berguling ke kanan ketika Neko kembali ingin mencakar dirinya. Kali ini Shoera aman dari kuku tajam kucing raksasa itu. Dengan segera Shoera bangkit, lalu berlari ke arah dapur.
Tanpa aba-aba mata Neko mengeluarkan cahaya laser yang begitu panas. Untung saja Shoera dapat menghindar. Entah apa yang terjadi jika Shoera telat menghindar.
"Berhenti." Shoera mengacungkan sebuah pisau ke arah Neko. "Sebenarnya apa salahku padamu? Tidak seharusnya kau melakukan hal ini padaku. Sedangkan yang menyakitimu adalah nenekku."
"Benar, kamu tidak salah. Yang salah adalah nenekmu dan takdir yang membuatmu harus menjadi cucu dari wanita tua itu," ujar Neko sembari menatap pisau yang diacungkan padanya. "Kamu tidak akan menang melawanku. Jadi, mari kita selesaikan ini dengan cepat," lanjut Neko.
Shoera menatap Neko sejenak sebelum mengayunkan pisau di tangannya pada Neko. Tapi sayangnya, pisau itu hanya mampu memotong sedikit kumis Neko, bukan melukai tubuh Neko. Dengan cepat Neko membalik keadaan.
Tubuh Shoera tiba-tiba tidak bisa dikontrol oleh gadis itu. Tangan kanan Shoera yang memegang pisau, bergerak tanpa ada perintah dari otak Shoera. Perlahan tapi pasti, mata pisau itu menggores kulit Shoera.
Napas Shoera tersendat-sendat. Shoera berusaha mengalihkan pisau itu dari kulitnya, tapi tidak bisa. "Lihat Shoera. Aku tidak menyakitimu. Kamu sendiri yang menyakiti tubuhmu."
Neko terkekeh sinis melihat Shoera yang bergetar ketakutan. Tanpa aba-aba pisau di tangan Shoera bergerak cepat menusuk perut Shoera. Gadis berkulit kusam itu memekik kesakitan. Shoera terduduk di lantai ketika pisau di perutnya ditarik keluar secara perlahan oleh Neko.
"Sa-sakit."
"Tahan sebentar. Sakit itu hanya sebentar," ujar Neko sinis bersamaan dengan terdengar suara sayup-sayup orang memanggil nama Shoera dari luar rumah.
Mulut Neko berkomat-kamit, tampak membaca mantra. Detik berikutnya muncul sesuatu yang menyerupai bola berwarna hitam di depan tubuh Neko. "Kau harus menerima balasan atas apa yang diperbuat oleh Nenekmu."
Bola hitam yang tampak berkobar itu melesat ke arah Shoera. Satu detik sebelum bola itu menyentuh Shoera, Shoera sempat berucap lirih, "Maaf."
"Shoera!" pekikan Ken yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, disusul oleh suara berdebum yang menggetarkan.
Ken terhempas beberapa langkah ke belakang. Tapi dengan cepat ia bangkit dan berlari ke arah Shoera. Tapi semuanya sudah terlambat. Tubuh gadis yang ia sayangi sudah penuh darah yang menghitam.
"Tidak! Shoera!"
Di sisi lain, Neko hanya diam sembari menatap kosong ke depan. Mendengar permintaan maaf Shoera di detik-detik terakhir membuat Neko merasa ..., sedikit menyesal. Hanya sedikit saja.
"Ini terasa tidak benar," bisik Neko sembari menatap tubuh Shoera yang sudah tak bernyawa. Ungkapan maaf itu terdengar begitu tulus di telinga Neko, meninggalkan rasa bersalah dalam relung hatinya.
Ken menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri tubuh Neko yang perlahan-lahan menghilang, sebelum ada udara yang terasa menyesakkan berhembus pelan, menerbangkan abu nenek Shoera dan membawa pergi jejak Neko.
Dengan susah payah Ken bangkit, tubuhnya sakit semua akibat benturan dari efek bola hitam Neko. Ken mengusap pipi Shoera yang sudah mulai terasa dingin kemudian memeluk tubuh Shoera. Malam itu Ken menangis penuh pilu kehilangan sahabatnya yang ia sayangi.
***
Hari ini lebih cerah dari biasanya, Ken mengikat tali sepatunya kemudian mengambil helm dan kunci motornya. Rumah besar Ken terasa lenggang, kucing-kucing yang biasa berkeliaran, sudah tidak tampak lagi.
Sejak insiden itu, Ken memutuskan melepas semua kucing-kucing peliharaannya kecuali kucing putih bermata biru yang selalu mengingatkannya kepada Shoera.
Ken berkunjung ke makam Shoera, laki-laki itu meletakkan sebuket bunga yang sempat ia beli di perjalanan tadi lalu berdoa. Terukir senyum tipis di bibir Ken begitu membaca nama Shoera di batu nisan, rasa sesaknya masih sama seperti enam bulan yang lalu.
"Aku pamit pulang, maaf akhir-akhir ini aku tidak sempat mengunjungimu karena ujian," lirih Ken sambil mengusap nama Shoera dengan sayang.
Selepas Ken pulang, seorang laki-laki jangkung dengan rambut hitam halus datang ke makam Shoera sambil membawa sebuket bunga Hyacinth ungu. Matanya yang kuning terang itu menyiratkan penyesalan yang mendalam, tubuh laki-laki itu menghilang seiring langit yang menggelap.
***
TAMAT
Yeay!! Finally ending.
Gimana perasaanmu setelah membaca cerita ini? Komen di sini.
Vote sebanyaknya juga untuk mendukung cerita ini. Jangan lupa share dan kritsarnya yes..
Hiyaa 3200+ words untuk chapter ini:v
Ayok baca cerita lainnya juga di lapak ini📝
See u,
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top