CHAPTER 1
“Shoera!” panggil seorang bos pengiriman barang.
“Iya, Pak. Ada apa?”
“Hari sudah menjelang malam, sebaiknya kamu pulang!” ujar sang Bos setelah matanya melirik jam tangan mahal yang melingkar sempurna di tangannya.
“Baiklah, terima kasih, Pak.”
Gadis berkulit kusam itu mulai mempercepat pencatatan pengiriman. Setelah berkemas dan memastikan tidak ada yang terlewat, dia segera mematikan lampu bilik kantornya.
Shoera pun berpamitan pada bosnya sebelum melangkahkan kaki keluar dari kantor.
Shoera adalah seorang gadis yatim piatu yang tinggal di sebuah pedesaan bersama neneknya. Namun sayang, di usianya yang ke-17, Shoera harus hidup mandiri karena tak lama setelah orangtuanya meninggal neneknya juga menyusul kepergian orang tuanya. Shoera juga terpaksa harus kerja paruh waktu demi mencukupi kebutuhan hidupnya dan juga biaya sekolahnya. Walaupun uang pensiunan dari mendiang ayahnya mencukupi, tapi tak menutup kemungkinan bahwa kebutuhan di masa depannya akan jauh lebih banyak.
“Shoera!” panggilan dari belakang terdengar lantang.
Shoera memutar tubuhnya, melihat sosok temannya yang biasa bersama gadis itu di sekolah. Shoera pun menghampiri lelaki itu.
“Dari mana?” tanya Shoera.
“Beli makanan kucing,” jawab Ken singkat disertai senyum lebar.
“Mau pulang? Biar aku antar! Sekalian aku ingin melihat kondisi desamu,” ajakan Ken dengan mudah diterima oleh Shoera.
Mereka berdua pun pulang dengan motor Ken. Sebenarnya Shoera selalu memakai sepeda, tetapi karena tempo hari sepedanya rusak, dia terpaksa menaiki bus. Untungnya, hari ini berpapasan dengan Ken.
Sejujurnya ia sangat jarang naik sepeda motor, mengingat hampir seluruh orang di Jepang menggunakan transportasi umum atau sepeda. Tapi hal tersebut tidak berlaku pada Ken. Dia lebih suka mengendarai sepeda motor daripada transportasi umum atau pun sepeda kayuh.
“Shoera!” panggil Ken.
“Hmm?”
“Apakah benar ini jalan menuju rumahmu? Maaf aku sedikit lupa.”
“Iya benar. Memang jalan menuju rumahku lebih banyak pohonnya ketimbang jalanan beraspal," jawab Shoera sembari mengeratkan jaket denimnya yang sudah cukup pudar.
Suhu udara di Jepang mulai menurun karena sebentar lagi musim semi akan segera berakhir dan berganti ke musim gugur.
“Ini lebih mirip hutan. Seram, apakah setiap hari kamu melewati jalan ini?!” ujar Ken sembari melirik ngeri pepohonan yang menjulang tinggi di kedua sisi jalan.
Shoera tidak memerhatikan ucapan Ken, dia tahu jika mengobrol di jalan itu berbahaya. Lagipula dia tidak merasa seram karena sudah terbiasa melewati jalanan ini, ditambah rumah peninggalan sang nenek itu di belakangnya ada hutan.
Ken tiba-tiba menghentikan laju motornya secara mendadak, membuat Shoera terperanjat dan kebingungan.
“Ada apa?” tanya Shoera sembari memerhatikan Ken yang melepas helmnya.
“Lihat, di depan!” tunjuk Ken.
Terdapat seekor kucing hitam yang bergelung di atas dedaunan kering. Tubuhnya penuh dengan luka sayatan dan darah basah maupun darah kering. Bola matanya berwarna kuning cerah—sangat cerah—bagai bulan yang bersinar di kegelapan malam.
“Itu hanya kucing, Ken. Jangan bilang kamu mau membawanya pulang?"
Ken pun segera turun dari motornya, dan menghampiri kucing yang dilihatnya tergeletak begitu saja di pinggir hutan. Tega sekali pemiliknya! Apa mereka tidak sadar kondisi kucing ini sangat memprihatinkan seperti ini?
Huh, ternyata memiliki teman seorang pencinta kucing cukup menyulitkan. Batin Shoera.
Shoera pun berjalan ke arah Ken yang sedang mengelus-ngelus kepala kucing hitam. Shoera bergidik ngeri mengingat dongeng yang pernah neneknya bacakan sebelum tidur. Dongeng yang bercerita tentang seekor kucing yang balas dendam pada tuannya. Namun, dia segera menyingkirkan pikiran itu, tidak baik membayangkan sesuatu yang buruk apalagi di dekat hutan yang berpenghuni seperti ini.
“Ayo pulang! Sudah malam,” ucap Shoera menggandeng tangan Ken untuk beranjak dari jongkoknya.
“Lihat!” Ken menunjukan sebuah luka di tubuh kucing itu pada Shoera.
Shoera menatap luka itu sekilas dan seketika kepala Shoera mendadak pusing, telinganya berdengung keras bahkan rasanya dia ingin muntah. Ada beberapa luka sayatan di tubuh kucing hitam tersebut yang mulai mengering, ada juga yang darahnya terus mengalir. Mengingat Shoera phobia dengan darah, akhirnya Ken menggunakan jaketnya untuk menutupi luka kucing tersebut.
“Mari kita pulang!” Ken menggendong kucing tersebut sembari menaiki motor.
“Sini, biar aku saja yang pegang,” tawar Shoera membuat Ken kaget. Ken menyerahkan kucing hitam tersebut ke Shoera.
Sejujurnya Ken tahu, jika Shoera pecinta binatang tetapi karena kucing yang didapatnya ini sedang terluka parah, itu membuat Shoera menghindar. Menurut Ken itu juga jalan terbaik, daripada nanti phobia Shoera kambuh lebih parah dari yang sebelumnya. Setidaknya Ken bangga melihat Shorea yang sekarang. Mau berjuang melawan phobianya. Gadis itu memang kuat secara fisik dan batin sejak dulu.
“Akhirnya sampai.” Ken memarkirkan motornya di depan rumah Shoera. Kemudian mengikuti langkah Shoera masuk ke dalam rumah sederhana yang dia ketahui sebagai peninggalan neneknya.
Shoera bergegas masuk rumah dan mengambil kotak P3K. Dilihatnya kucing hitam itu duduk dipangkuan Ken di ruang tamu.
“Ken, bantu aku merawat kucing ini.” Lagi-lagi Ken mendengar ucapan yang membuatnya sedikit terkejut. Namun detik berikutnya raut kagetnya terganti dengan senyum manis.
“Shoera, kamu yakin?” tanya Ken sembari memiringkan kepalanya. Ken bisa mengobati kucing itu sendiri tetapi tampaknya Shoera ingin ikut andil mengurus kucing itu.
“Ya, aku hanya mau kucing ini sembuh,” ucap Shoera sambari mengangsurkan kotak P3K pada Ken. Karena dia takut akan darah jadi lebih baik Ken yang membersihkan lukanya dan Shoera akan membantu memerban kucing itu.
Ken menerima kotak P3K Shoera lalu mulai mengolesi obat cair di bekas sayatan pada tubuh kucing hitam itu. Selanjutnya Shoera mengambil andil, ia meraih perban dan melilitkannya pada bagian tubuh kucing yang terluka.
Ken juga memberikan separuh makanan kucing yang baru saja dibelinya pada kucing itu. Kucing hitam itu pun ditempatkannya di susunan kain. Ken yang menyadari hari semakin larut, segera berpamitan pada Shoera untuk pulang. Tidak baik juga berlama-lama di rumah orang saat malam.
“Hati-hati!” ucap Shoera melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Ken mengacungkan jempolnya merespon Shoera.
Setelah Ken pulang, Shoera memilih untuk membersihkan diri, lalu mengisi perutnya yang sudah menjerit-jerit minta asupan.
Sebelum tidur, Shoera menatap kucing itu sambil tersenyum tipis. Melihat kucing itu, Shoera merasa melihat dirinya sendiri. Hidup sendirian tanpa adanya sanak saudara. Tapi sekarang kucing itu tidak akan sendirian lagi, karena mulai saat ini ada Shoera yang akan menemani kucing hitam itu.
“Tidurlah, kucing manis.” Shoera mengelus kepala si kucing hitam.
Bulunya begitu halus, membuat Shoera terus ingin mengelusnya. Tak mau bangun kesiangan, ia akhirnya beranjak menuju kamarnya untuk menyelami mimpi.
Mentari mulai melakukan tugasnya untuk menyinari dunia, burung-burung pun mulai mengeluarkan kicauan merdunya. Shoera pun terbangun dari tidurnya yang lelap untuk segera melakukan aktifitasnya.
Setelah Shoera selesai bersiap-siap untuk pergi sekolah, dia teringat kucing yang tadi malam dibawanya pulang. Saat menengok di tumpukan kain, kucing itu tidak ada.
Di mana kucing semalam? Apa hanya ilusi tadi malam gara-gara kelelahan?
Batin Shoera menebak-nebak.
Shoera segera mencari di setiap ruangan di rumahnya. Namun nihil, ia tak menemukan kucing itu. Akhirnya Shoera segera keluar rumah untuk menemui Ken. Dalam perjalanannya, Shoera menyempatkan menelepon wali kelasnya untuk meminta izin.
“Pak, saya izin tidak berangkat sekolah hari ini karena ada sedikit masalah.” Shoera meringis dalam hati. Masalah apa sampai ia harus izin seperti ini? Kucing hilang saja dibilang masalah!
Jujur, sebenarnya Shoera sangat malas pergi ke rumah Ken hanya untuk mengabari jika kucing hitam itu hilang yang menurutnya sangat berlebihan. Bukan karena rumah Ken yang besar dan megah yang sampai-sampai membuatnya tak nyaman berada di sana, tetapi karena rumah Ken berisi kucing-kucing peliharaanya yang bebas berkeliaran.
“Ken, aku ada di depan rumahmu,” ucap Shoera yang sedang menelpon Ken dan berdiri di gerbang rumah Ken.
“Wah, akhirnya setelah sekian lama seorang Shoera Tanaka mau main lagi ke rumahku. Hahaha.” Ken tertawa pelan sambil membuka gerbang rumahnya.
Ken meninggalkan Shoera di ruang tamu untuk mengambil beberapa camilan dan soda.
"Jadi, ada masalah apa?" tanya Ken penasaran melihat Shoera yang terlihat berantakan dengan seragamnya. Ken tiba-tiba saja tersenyum penuh arti.
"Oh, ingin berangkat sekolah bersama aku, ya?"
“Bukan, bukan ingin mengajak pergi sekolah bersama,” kata Shoera setengah kesal dan panik.
“Kucing hitam yang tadi malam kita temukan, dia menghilang! Ken, bantu aku menemukan kucing itu.” Aneh, tapi Shoera malah hampir menangis ketika memberi tahu Ken tentang kucing itu.
Lama Ken terdiam, sampai akhirnya lelaki itu mengangguk. “Hey, mari kita cari bersama. Tetapi kamu harus tenang terlebih dahulu.”
Shoera mengangguk, dan berusaha menenangkan dirinya sendiri. Sebenarnya Shoera pun merasa aneh, karena ia tidak pernah mengkhawatirkan sesuatu sampai seperti ini sesudah kepergian neneknya.
Sudah berjam-jam lamanya Shoera dan Ken mencari kucing itu, tetap saja sampai saat ini mereka belum menemukan kucing hitam tersebut. Shoera menghela napas frustasi, Ken menepuk-nepuk pundak Shoera mencoba menenangkan gadis itu.
“Ken, kita belum menemukannya!” ujar Shoera sambil menatap Ken.
Tunggu, Shoera tidak salah lihat kan? Ia melihat sekilas ada lingkar merah samar di kedua pupil mata Ken.
“Ken, mata–” ucap Shoera terputus, ia memastikan sekali lagi penglihatannya, dan lingkar merah samar itu sudah hilang. Sepertinya ia berhalusinasi karena frustasi tidak menemukan kucing hitam itu.
“Mata? Maksudmu mata siapa?” tanya Ken heran. Shoera menggeleng, ia yakin itu hanya permainan otaknya saja yang seolah melihat lingkar merah di pupil Ken.
“Tidak, tidak ada.” Ken mengangguk pelan dengan alisnya yang mengerut.
“Sudah petang, sebaiknya kita pulang saja,” ajak Ken. Dan Shoera menyetujuinya, walau berat hati.
Ken mengantarkan Shoera ke rumah gadis itu.
“Kamu tenang saja, aku akan mencarinya sampai ketemu. Masuklah dan istirahat.” Shoera hanya mengangguk lemas, lalu Ken pun pamit pulang.
Shoera masuk ke dalam rumahnya, bau amis darah langsung memenuhi indera penciumannya bahkan sampai membuatnya mual dan pusing. Rumahnya kusut dan banyak darah menggenang.
Matanya berkunang-kunang melihat banyaknya darah dan bau amis yang tak tertahankan. Kepalanya pusing bukan main, Shoera bahkan tidak bisa berdiri tegap dan butuh berpegangan kepada benda di sekitarnya. Sebelum akhirnya ia jatuh karena kehilangan kesadarannya.
🐈🐈🐈
Wah! Siapa yang udah ga sabar buat baca chapter duanya, cung jari coba?!
Hayuk vote, komennya ditungguin loh!
Itu bintang di pojokan ono jangan dianggurin yaww..
Kasihan, dia butuh sentuhan. Eh,👀
Sampai jumpa pada chp berikutnya~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top