Terima Kasih
Idon berhenti di pinggir taman kota dan memarkir motor pinjamannya di samping gerobak penjual minuman. Idon turun dari motornya tanpa menstandarkan dahulu motornya, membuat motornya hampir terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Idon menarik napas panjang dan membuangnya lebih panjang. Apa jadinya jika motor ini pulang dengan lecet di sisinya? Perlahan dia menstandarkan dua motornya. Membuat motor itu tegak berdiri dan langsung berat ke belakang. Dia mengusap dahinya yang berkeringat kelelahan. Jika bukan karena bonsai tua yang di ikat di jok belakang, dia tidak harus melakukan hal merepotkan ini.
Idon mengambil kedua kaktusnya dalam wadah palstik yang diapit antara jok dan setang. Setelah membayar untuk sebotol minuman dingin, Idon berjalan masuk dalam taman dan memilih bangku besi panjang di tengah taman.
"Hei! Kau tidak mau membaginya dengan kami huh? Makhluk serakah!" cletuk Granda melihat Idon sudah menenggak minumannya hingga setengah.
Idon cengar-cengir lalu memberi sedikit air pada dua kaktusnya yang tampak kering.
"Kau tega membiarkan Paktua sendiri disana?" tanya Franda, menatapnya penuh tanya dan iba.
"Ah, biarkan saja dia tertidur di sana. Dia tidak membantu sama sekali." Idon langsung tertunduk lemas. Teringat lagi perjalanannya dua hari ini.
Hari pertama pencarian pohon yang didengar Paktua menyanyikan syair tentang kemampuan Idon itu terlihat berjalan seperti rencana. Idon meminjam motor temannya, dengan sedikit paksaan dan memohon hingga akhirnya kunci motor itu berpindah tangan. Franda dan Granda terlihat begitu senang saat di letakkan dalam wadah plastiknya. Mata mereka membesar, bibir mereka tersenyum merekah. Mereka suka jalan-jalan. Idon mengikat Paktua dengan potnya yang cukup lebar di jok belakang. Tidak ada seruan, tidak ada keluhan. Mata sayu Paktua terlihat pasrah. Lalu, perjalanan itu dimulai.
Satu hari, dari pagi menjelang siang, hingga sore menjelang malam. Lima kecamatan mereka telusur, hingga gang-gang terkecil—jika sempat. Granda dan Franda tidak banyak berbicara, mereka asik melihat apapun yang ada melalui wadah plastik transparannya, dan Idon sedikit tertolong akan itu. Paktua hanya diam, padahal Idon sudah memberitahu untuk memanggilnya jika melihat atau mengingat sesuatu. Takut jika Paktua telah bersuara dan Idon tidak mendengar, Idon sering berhenti dan bertanya, tapi Paktua hanya menggeleng. Dan, sepanjang hari itu habis tanpa hasil.
Hari ini sedikit berbeda. Granda dan Franda mulai berbicara sepanjang perjalanan—bertengkar lebih tepatnya. Meributkan sesuatu tentang apa yang dilihat dan itu cukup mengganggu Idon hingga sering mengerem mendadak karena konsentrasinya terpecah, hampir menabrak. Paktua? Dia tidur sepanjang perjalanan. Idon menghela napas. Setengah hari dan Idon sudah menyerah dan memilih beristirahat di taman.
Semilir angin membelai rambut dan kulit wajah Idon. Sejuk. Ditambah suara gesekan daun dan ranting pohon di atasnya membuat suasana lebih menenangkan. Idon, Franda, dan Granda memejamkan matanya kompak tanpa janjian. Mendengarkan paduan suara merdu nan indah di sekelilingnya. Pohon-pohon di taman itu bernyanyi seirama. Nyanyian alam. Jika, ada yang bisa mendengar itu selain mereka, maka itu adalah suara paling lembut dan menenangkan yang bisa membuat siapapun yang mendengarnya melupakan masalahnya untuk sesaat.
"Indah ya," ujar Idon lirih masih terpejam, tapi jika dia bisa melihat Franda dan Granda, mereka mengangguk bersama setuju.
Brrr! Brrr!
Kantong celana Idon terasa bergetar. Dia mengeluarkan ponsel model lama miliknya yang hanya bisa digunakan hanya untuk sms dan telepon, atau jika bosan bermain game ular memakan telor cicak.
Agung : Di mana lo Don? Lo kuliah kan hari ini?
Idon menggaruk kepalanya membaca pesan itu. Kuliah? Dia ingat sudah dua hari tidak kuliah. Titip presensi dengan Agung. Idon melihat jam di ponselnya, 11.45, masih ada waktu untuknya pulang dan kuliah pukul satu siang nanti.
Idon : Doain aja gua kuliah hari ini.
Idon bercanda.
Agung : Lo harus kuliah hari ini!
Idon : Kenapa?
Idon heran.
Agung : Gua mau nitip presensi!
BAKAT
Idon melirik jam tangannya, baru setengah satu siang. Dia sedang duduk di halte seberang kampus, melihat bangunan kampusnya yang cukup besar dan mahasiswa yang sedang keluar masuk gerbang. Apa yang harus dia lakukan untuk membunuh waktu? Ingin ke kantin tapi dompet tipis, habis untuk bensin dua hari ini. Idon menghela napasnya lagi.
Hembusan angin sejuk siliran menerpa wajahnya di tengah panas terik matahari dan polusi jalanan. Suara daun gemerisik terdengar di belakangnya. Idon melihat ke belakang. Pohon tinggi, besar, dan kokoh ada di belakangnya. Seketika dia teringat. Suara itu! suara yang menghentikannya melangkah di tempat ini tiga hari yang lalu.
Idon bangkit. Berjalan ke belakang halte, mengambil langkah panjang melewati gorong-gorong jalan, dan mendekati pohon itu. Tempat itu hanyalah lahan kosong antara dua persimpangan jalan yang sudah di pagari dengan dinding seng berkarat. Lahan kosong beralas tanah merah dan pohon itu berdiri di pinggir lahan, di luar pagar. Tingginya sekitar dua puluh meter dan rimbun, menciptakan bayangan di bawahnya, memayungi siapapun di bawahnya dari teriknya matahari. Satu-satunya pohon dalam radius lima puluh meter.
Idon berdiri tepat di depan pohon itu. Menatapnya seksama dari atas kebawah. Akar-akar besar yang timbul dari tanah hampir membuatnya tersandung. Dia terus memperhatikan, mencari sesuatu—sebuah wajah. Idon mengelilingi pohon itu. Tetap hanya pohon besar dan kokoh yang di lihatnya. Idon mengangkat tangannya, meletakkan telapaknya pada batang pohon. Seulas senyum muncul di wajahnya.
"Terima kasih," Lirih idon berucap tulus dari hatinya.
"Untuk apa?" sebuah suara menggema di telinga Idon. Diam sesaat, Idon melihat keatas, tetap tidak ada wajah yang berbicara.
"Untuk apa?" suara itu menggema lagi. "Selama ini tidak ada yang berterima kasih padaku. Dari aku bisa melihat, berbicara, bernyanyi bersama yang lain, hingga aku sendiri sekarang. Ti-tidak ada manusia yang pernah mengucapkan terima kasih padaku." Suara itu isak terdengar.
Angin berhembus, menggoyangkan ranting-ranting besarnya, menimbulkan suara gemerisik yang terdengar kasar. "Untuk apa..., untuk apa manusia ini sekarang berterima kasih?" tanyanya lebih kepada diri sendiri.
"Karena kamu telah menyelamatkan aku." Idon tersenyum dengan telapak tangan masih menyentuh batang pohon itu.
Diam kemudian. Bahkan angin tidak bergerak.
"Manusia gila. Dia berterima kasih pada pohon sepertiku. Mengatakan aku telah menyelamatkannya? Setelah sekian lama, akhirnya ada manusia yang berterima kasih dan ternyata manusia ini gila," suaranya terdengar lemah dan kecewa.
Idon tersenyum. Bahkan tumbuhan ini berpikir kalau dia gila karena berbicara dengannya. "Tidak. Benar, jika bukan karena suaramu yang menghentikan aku menyeberang saat itu, mungkin aku tidak akan bisa berdiri di sini dan berbicara denganmu sekarang."
Hening. Hanya suara gemerisik daun dan motor berknalpot racing yang terdengar melintas.
"Kau berbicara denganku? Kau bisa mendengar suaraku?!" suara itu terkejut.
Akhirnya dia sadar. Idon tersenyum lebar. Selalu ini reaksi yang didapatnya saat tumbuhan-tumbuhan ini tahu dia berbicara dengannya.
"Tentu saja aku berbicara denganmu!"
"Bagaimana mungkin kau bisa berbicara denganku?" tanyanya ragu.
Lalu perkenalan singkat itu terjadi. Nama pohon itu adalah Fradial. Pohon Mahoni yang mungkin berumur lebih tua dari kampusnya yang sudah 50 tahun berdiri, karena dia masih ingat saat daerah ini masih terdapat banyak pohon. Idon juga mengenalkan dirinya, sejak kapan dia bisa berbicara pada tumbuhan, tentang Franda dan Granda, dan kenapa dia berterima kasih pada pohon yang di hadapannya sekarang.
"Kupikir kamu tahu saat itu aku bisa mendengarmu," Dia sedang berbincang dengan Fradial tentang kecelakaan saat itu.
"Tidak, tidak. Itu tidak sengaja. Tanpa sadar aku ingin memperingatkanmu, aku bahkan lupa kalau manusia tidak bisa mendengarku."
"Aku berhutang nyawa pada sebuah pohon," Idon tertawa. "Bagaimana aku bisa membalasnya?"
"Kau bisa datang kesini, temani aku berbicara, jika kau mau. Kapanpun kau bisa," Suaranya terdengar meminta.
"Tentu, itu mudah." Idon terdiam sejenak, berpikir. "Bagaimana bisa kau sendiri di sini? Maksudku... kamu tahu, menjadi satu-satunya pohon di sini."
Hening sejenak. "Manusia. Suatu hari mereka datang dan membunuh saudara-saudaraku." Fradial seperti mengingat sesuatu, "Dulu di sini aku hidup bersama saudara-saudaraku. Saat itu setiap hari terasa menyenangkan. Melihat matahari terbit, bernyanyi, menikmati angin, bernyanyi, melihat burung-burung hinggap di batang kami, tertawa saat burung-burung itu buang kotoran di dahan saudaraku, melihat matahari tenggelam, bernyanyi kembali untuk menutup hari." Idon tidak bisa melihat wajahnya tapi suaranya terdengar bahagia.
"Lalu manusia datang. Membawa alat-alat di tangan mereka. Menjatuhkan saudara-saudaraku satu persatu. Alat mereka memukul! Menghantam! Menebas kami perlahan. Kau tidak akan bisa membayangkan, jeritan saudaraku setiap alat manusia menebasnya. Tangisan, mata-mata yang terpejam karena tidak sanggup melihat, mulut-mulut yang mengatup menahan tangisan. Bahkan aku." Kali ini suara itu terdengar sendu, lirih, ada sedikit sisa kemarahan di sana.
"Mereka menguliti saudara-saudaraku, memotongnya, menjadikannya tempat tinggal manusia." Fradial terdengar menghela napas, "Ketika kupikir semua itu telah usai dan tidak akan terjadi lagi, aku salah." Fradial menahan napasnya. "Manusia mengulanginya lagi. Lebih kasar, lebih kejam, lebih banyak saudara-saudaraku yang di jatuhkan. Akar mereka di cabut paksa! Meninggalkan tanah berlubang sebagai jejaknya,
"Lalu manusia menanam sesuatu. Tanaman baru. Untuk sesaat rasa sakit kami terobati. Tanaman-tanaman kecil itu, selalu bernyanyi sepanjang hari. Membuat aku dan saudara-saudaraku—yang masih tersisa bisa tersenyum kembali. Lalu, suatu hari, saat tanaman kecil itu bernyanyi lebih keras, merayakan kedewasaan mereka, manusia memenggal mereka, sedikit demi sedikit hingga yang terakhir. Teriakan-teriakan terdengar lagi, tangisan tanaman kecil itu menusuk telinga kami. Aku masih ingat, aku tidak berhenti menangis semalaman saat semua itu terjadi."
Idon tidak sanggup berkata apa-apa. Dalam diam, air mata muncul di pelupuk mata, membasahi matanya, membuatnya berkaca-kaca. Bagaimana bisa dia selama ini tidak pernah memikirkan jika tumbuhan, pohon-pohon ini juga memiliki perasaan? Mereka makhluk hidup, sama dengannya. Idon tahu itu, semua orang tahu itu. Pelajaran sekolah mengajarkannya. Tapi, Idon dan manusia lainnya tidak pernah berpikir jika sebenarnya mereka juga bisa mendengar, melihat, dan punya perasaan.
"Idon," Fradial memanggilnya. Seperti tidak butuh jawaban, dia melanjutkan,
"Manusia itu makhluk yang aneh dan kejam. Kau tahu? Setelah mereka membabat tanaman-tanaman kecil itu, mereka menanamnya dengan yang baru. Dan, semua itu terulang lagi. Nyanyian-nyanyian kecil mereka yang ceria sepanjang hari, senyum-senyum bahagia mereka, lalu satu saat manusia membabat mereka lagi. Tapi, kali ini, saat itu kami yang bernyanyi untuk mereka, mencoba membesarkan hati mereka, mencoba memberitahu di antara teriakan-teriakan mereka 'bahwa semua akan baik-baik saja', kami tersenyum pada mereka. Senyuman getir. Tahu tidak akan ada 'baik-baik saja'." Sunggu dalam suara itu terdengar kengerian. Kengerian akan keputusasaan dan kepedihan mendalam.
"Manusia memanfaatkan kami, tapi tidak menghargai kami dan mereka tidak akan berhenti melakukan kekejaman itu. Kami sadar saat itu. Sejak saat itu dan seterusnya, kami belajar untuk menutup mata agar tidak melihat kekejaman manusia, menulikan pendengaran agar tidak mendengar jeritan kesakitan siapapun kembali, dan bisu agar kami tidak bisa menangis lagi. Sejak saat itu aku dan saudara-saudaraku hidup namun mati. Tidak ada lagi yang berbicara, tidak ada lagi yang bernyanyi, tidak ada lagi yang tertawa. Aku tertidur dalam gelap. Entah berapa lama, dan saat aku terbangun... hanya tinggal aku sendiri di sini."
Ketika ingatan buruk dan perasaan sedih itu muncul kembali dalam benak Fradial, sebuah perasaan hangat merasuki serat-serat kulit pohonnya. Menjalar hingga seluruh urat nadinya dan itu menenangkan.
Idon tengah memeluknya—meski hanya sanggup setengah lingkar batangnya. Saat itu, Idon bisa merasakan semua kesedihan Fradial, membuatnya bangkit, digerakkan oleh hanya perasaan dan memeluk Fradial . Tidak peduli apa pohon itu bisa merasakannya, tidak peduli apakah pohon itu mengerti jika Idon merasakan apa yang dirasakannya, tidak peduli tatapan aneh orang-orang sekitar yang melihat Idon yang memeluk pohon pinggir jalan. Dan saat itu, ketika dua perasaan yang saling memahami bertemu, sebuah hubungan baru antara dua makhluk hidup ciptaan Tuhan terbentuk.
Perbincangan itu berlanjut hingga sore hari. Hanya dalam hitungan menit, hubungan mereka sudah lebih erat daripada serat-serat dalam tubuh Fradial.
BAKAT
Sore itu Idon kembali ke indekosnya dengan membawa kisah baru dan pelajaran baru dalam hidupnya. Seperti biasa dia memberi air rutin pada Franda dan Granda, tapi kali ini dia juga membersihkan pot mereka berdua beserta debu-debu di sekitarnya, dengan tersenyum. Tidak dengan wajah kusut seperti beberapa hari yang lalu. Franda dan Granda bahkan hanya bisa melongo melihat manusia "bodoh" di depannya yang tiba-tiba bersikap ramah, tersenyum, mencoba bercanda dengan mereka. Paktua juga mendapat perlakuan yang sama, tapi dia tidak bisa melihatnya. Dia masih tertidur. Idon sedang belajar menjaga perasaan makhluk lain, khususnya tanaman. Dimulai dari yang terdekat—meskipun berat memulainya dari dua kaktusnya.
Malam itu Idon tidak bisa melupakan Fradial. Dia berjanji besok akan mengenalkannya pada Franda dan Granda. Yang diceritakannya sebagai dua kaktus yang tidak bisa diam. Begitu senang memikirkannya hingga dia lupa bahwa hari ini harusnya dia kuliah, bahwa hari ini dia harusnya menyelamatkan Agung dari absen di presensinya dan melupakan bahwa kebahagiaan hanya seperti selembar kertas dengan kesedihan di sisi lainnya.
Saat Idon tertidur pulas dengan senyum di wajahnya, suara gergaji-gergaji mesin memekakkan telinga di salah satu sudut kota. Sebuah pohon tua di pinggir jalan sedang berusaha di robohkan. Mengganggu jalan katanya, dan akarnya merusak trotoar. Suara mesin pemotong kasar itu meredam teriakan kesakitan Fradial, kegelapan malamnya membutakan air mata yang jatuh di sela-sela kulit kasarnya, dan angin malam tidak mampu menyampaikan kata-kata terakhir yang di ucapkannya, "Terima kasih, Idon."
Haii! Maaf sekali updatenya telat (banget). Untuk Informasi, bab ini mengakhiri kisah mereka sementara. Penulis mau istirahat karena mulai ada kesibukan lagi. Hmm, mungkin dua minggu istirahat. Oh, ya! Bab berikutnya dan seterusnya tidak akan pinda-pindah karakter sesering yang kemarin-kemarin. Penulis akan fokus menceritakan satu tokoh dahulu baru memulai menceritakan tokoh yang lain. Anggaplah bab ini adalah akhir dari BAKAT Season 1 (halah kayak film).
Semoga kalian menikmati Bab ini. Maaf jika ada kesalahan dan kekurangan. Kekecewaan kalian akan saya tampung di komen, dan saya akan berusaha memperbaikinya di bab selanjutnya. Jangan lupa VOTE jika kalian suka.
Sekali lagi, Buktikan kalau kalian adalah pembaca yang bermoral dan sopan. Beri penghargaan pada para penulis yang karyanya kalian baca dengan Vote atau komen. Itu berharga sekali bagi kami. Mengobati sedikit kelelahan kami untuk menciptakan suatu karya (yang semoga baik pula).
Bye! Sampai jumpa di Update selanjutnya :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top