Tangan

Tangan masuk dalam ruangannya. Sebuah ruangan warna putih yang hanya diisi dengan sebuah meja kerja dan dua tempat duduk. Dia meraih kepala bangkunya dan menariknya ke belakang sebelum duduk di depannya. Tangan mengangkat kakinya dan menaikkannya di atas meja, lalu menyandarkan kepalanya dengan kedua tangan sebagai bantalnya. Seulas senyum tersungging di bibirnya, mengingat pertemuan dengan teman barunya. Brasta Pratama. Orang yang menarik. Dendam dan kebencian terlihat jelas di matanya, tapi setitik kebaikan masih terlihat di sana. Sesuatu yang membuatnya masih terlihat hidup.

Suara pintu dibuka terdengar di ujung ruangan. Tangan mengangkat topinya sedikit, membiarkan matanya mengintip apa yang datang. Dia segera menurunkan kakinya, mengangkat sebelah alisnya, tersenyum melihat siapa yang datang.

"Susi? Kukira kau tidak suka bertemu denganku." Candanya pada Susi. Dokter utama di sini.

Susi mengambil tempat pada kursi di seberang meja Tangan. "Tidak ada yang suka bertemu denganmu jika kau masih berpakaian seperti itu Tangan."

"Apa? Tidak yang salah dengan pakaianku."

Susi tersenyum, bibir merah mudanya tampak menggoda sekali. "Kurasa, kau harus mempertimbangkan lagi saranku untuk memeriksa otakmu. Oh ya! Bicara soal periksa, ini hasil tes pasien baruku." Susi meletakkan amplop kuning yang sejak tadi didekapnya ke atas meja. "Kau tahu? Dia memiliki tubuh yang kuat. Dengan luka-luka seperti itu seharusnya dia sudah mati."

"Aku tahu itu. Akhirnya aku mendapatkan teman yang sama normal denganku."

Susi tertawa mendengarnya, "Terserah kau saja tangan." Lalu dia bangkit dari tempat duduknya.

"Mau ke mana kau? Tidak bisakah menemaniku lebih lama?" pinta Tangan.

"Masih ingatkah kau aku tidak suka bertemu denganmu? Lagipula aku sibuk, ada pasien baru menungguku." Susi tersenyum dan melangkah meninggalkan ruangan.

"Dia sudah tiba?" tanya tangan.

"Siang ini, lebih baik kau hubungi jenderal kembali." Susi memberikan senyuman terakhir sebelum benar-benar pergi.

BAKAT

"Baik Jenderal. Saya akan menunggu kedatangan anda." Tangan menyudahi pembicaraan via telepon dengan Jenderal. Seperti biasa, hanya kata-kata perintah yang dikatakan Pak Tua Gendut itu. Minim ekspresi.

Tangan melihat jam tangannya. Baru pukul empat sore, satu jam lagi sebelum jam kerjanya usai. Bosan, tangan mencoba tertidur di mejanya menghabiskan waktunya.

Semua unit melapor! Kode merah! Semua unit melapor.

Tangan tersentak dari kursinya. Mendengar peringatan dari pengeras suara dia segera menekan tombol di mejanya. "Apa yang terjadi?!"

"Pak, seseorang berusaha melarikan diri dari karantina!" jawab seseorang dari sisi lain.

"Tampilkan di layar."

Dinding di belakang Tangan berputar, berganti dengan layar besar yang menampilkan setiap rekaman CCTV di bangunan. "Ruang karantina." Lalu layar itu menampilkan 20 puluh gambar berpetak di hadapan Tangan.

"Kamera lima," layar itu sekarang hanya menampilkan rekaman yang di minta Tangan.

Sebuah lorong putih panjang dengan banyak kelokan di kedua sisinya. Terlihat banyak orang berlari berusaha keluar dari sana. Menjauhi sesuatu yang sepertinya mendekat.

"Apa itu?" tanya Tangan pada dirinya sendiri. Cipratan merah baru saja mewarnai persimpangan di ujung lorong. Tangan terus memperhatikan tempat itu dari balik layar. Perlahan seseorang muncul dari kelokan di ujung lorong, atau sesuatu.

"Perbesar." Pemandangan langka buat Tangan. Sesosok tubuh manusia muncul di layar. Mengenakan terusan kain putih hingga menutupi betis — seperti baju operasi/pasien. Noda-noda darah sudah hampir memenuhi pakaiannya.

Sosok itu berjalan dengan santai, rambut hitam terurainya yang  terlihat di balik betisnya terlihat bergoyang-goyang mengikuti langkah kakinya yang gemulai. Tangannya maju mundur seiring langkahnya, menjatuhkan tetesan darah dari ujung jarinya yang terlihat seperti cakar elang besar. Tapi, yang membuat Tangan yakin itu bukan manusia, adalah kulit yang menutupi seluruh tubuhnya berwarna hitam pekat, seperti aspal panas, dengan mata merah menyala yang menatap tajam.

Lalu tiba-tiba, sosok itu tersenyum. "Kamera enam," layar berganti, sudut pandang berubah ke belakang sosok itu, memperlihatkan ujung lorong yang lain. Terlihat satu tim bersenjata lengkap baru saja datang dan mengambil posisi menembak. Tanpa membuang waktu, kilatan-kilatan cahaya keluar dari moncong senjata mereka, meluncurkan puluhan peluru yang mengarah dengan tepat pada satu target di depan.

Bayangan hitam terlihat bergerak cepat menghindari arah tembakan. Regu penembak yang melihatnya terus memberondong peluru mereka ke arah mana pun bayangan itu bergerak. Sosok itu terlihat bermain-main. Dia hanya menghindar sambil memperkecil jaraknya. Sampai saat peluru mereka habis. Tim itu mundur dengan cepat, menghilang di persimpangan lorong. Sosok itu juga bergerak, lebih cepat. Menangkap orang paling belakang. Tangan tidak bisa melihat apa yang dilakukannya, tapi Tangan tahu orang itu sudah tidak bernyawa saat senjatanya jatuh ke lantai dan sosok itu menggenggam lehernya, menyeretnya di lantai seperti boneka yang tidak berharga.

"Kamera tiga," layar berganti lagi. mengambil posisi di ujung lorong lain. Memperlihatkan tim yang sedang bergerak mundur dari ujung lorong ke arah kamera. Sosok itu juga muncul mengikuti mereka. Tanpa aba-aba, rentetan peluru kembali melesat tanpa jeda. Sosok itu mengangkat tubuh tidak bernyawa yang dibawanya. Menjadikannya tameng tanpa iba. Tubuh itu bergetar dan bergoyang menerima peluru dari teman-temannya sendiri. Peluru mereka habis lagi. Kehilangan sosok pemimpin, tim itu kehilangan kerja sama dan mulai bergerak sendiri-sendiri. Terlihat sebagian mulai berlari menjauh menyelamatkan diri, ada yang masih menjaga posisi dan mengisi amunisi kembali. Sosok itu membuang tamengnya, dan bergerak kembali.

Tangan tersenyum, melihat anggota tim itu dihabisi satu persatu dengan sadis dan tanpa jeda. "Jenderal pasti menyukai ini."

"Pak, kami tidak bisa menahannya. Apa yang harus kami lakukan?" tanya seseorang dari pengeras suara di meja Tangan.

"Kirim unit yang lain, jangan lukai dia. Gunakan senjata bius. Evakuasi semua orang, kosongkan aula utama. Saya segera ke sana." Tangan bangkit dari duduknya, dan keluar dari ruangan.

BAKAT

Tangan berada dalam lift menuju lantai di mana area karantina berada. Dia mengeluarkan sarung tangan kulit kuning cerah yang sewarna dengan jasnya dan mengenakannya. Lift itu berhenti, terlihat pada layar di atas pintu lift, 10B. Sepuluh lantai di bawah tanah.

Tangan melangkah keluar. Di hadapannya terdapat ruangan luas dengan atap kubah menjulang ke atas. Pada tengah ruangan ada meja spiral untuk resepsionis. Alat pendeteksi metal, mesin x-ray untuk barang bawaan di depan lift. Bangku, meja, di sisi-sisi ruangan, dan beberapa kamera cctv di tiap sudut. Namun selebihnya ruangan ini kosong.

Tangan berjalan melintasi ruangan itu, memasang alat pendengar di telinganya sekaligus alat komunikasi. "Bagaimana keadaan di dalam?" tanyanya.

"Semua personil telah di evakuasi. Tim dua dan tiga masih mencoba menahan orang itu. sepertinya mereka tidak bisa bertahan lebih lama lagi Pak." ujar suara di sisi lain.

"Suruh mereka mundur, keluar dari tempat ini."

"Baik pak."

Tangan masih berjalan melewati meja resepsionis. Di depannya sekarang ada sebuah pintu besar yang cukup di lewati beberapa orang sekaligus. Tak lama, pintu itu terbuka. Terdengar suara tembakan dari dalam, dan beberapa orang bersenjata keluar.

"Cepat semua mundur! Pergi dari sini!" perintah Tangan.

"Baik Pak!" ujar mereka hampir serempak. Segera mereka menghentikan tembakan dan berlari menuju lift.

Sosok itu tersenyum melihat mereka berlari. Tangan juga tersenyum melihatnya. Sosok itu mulai bergerak, begitu cepat, mata biasa hanya melihatnya seperti bayang hitam, tapi tangan melihatnya cukup jelas. Belum saja dia mendekat, tangan sudah meninjukan tangannya ke arah sosok itu dengan kuat. Tepat! Sosok itu terkena pukulan Tangan dan menghempaskannya hingga ujung lorong.

Sosok itu membentur dinding di belakangnya. Sesaat dia terjatuh dengan tangan dan lutut menopang badannya. Dia berdiri lagi. Senyumnya lebih mengembang, menampilkan gigi-giginya yang begerigi tidak teratur. "Kau bukan manusia juga ternyata." suaranya terdengar berat dan besar hingga terdengar meskipun jarak mereka sampai 50 meter.

Tangan hanya tersenyum ketus. Dia menaikkan tangannya dan memperlihatkan kelima jarinya pada sosok itu, dan menggerakkannya maju mundur, memberi isyarat untuk makhluk itu maju.

Sosok itu menerima tantangannya. Lagi-lagi tubuh itu hitam itu bergerak begitu cepat, lebih cepat dari yang tadi. Tangan terus meninju udara ke arahnya, tidak kalah cepat, tapi sosok itu bisa menghindari, menimbulkan suara dentuman di dinding yang di arahkan Tangan. Dengan cepat makhluk itu sudah tepat berada di depan Tangan. Cakar kanannya maju mengincar leher Tangan. Dengan cepat Tangan menepisnya dengan lengan kiri, tanpa jeda kepalan kanan Tangan mengarah dagu sosok itu dari bawah. Bum! Suara dentuman keras terdengar, melemparkan sosok itu ke atas, jauh hingga langit-langit.

Sosok itu dengan cepat mencengkram langit-langit dengan cakar di tangan dan kakinya, menahan dirinya agar tidak jatuh, Dia melihat Tangan jauh di bawah kembali memberikan isyarat maju padanya. Sosok itu terlihat kesal. Merasa di remehkan oleh Tangan yang bergeming selangkah pun dari tempatnya, sosok itu berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan, barang-barang terlihat sedikit bergetar karenanya.

Tangan hanya tersenyum melihat sosok itu yang tampak kesal. Dia tidak melepaskan pandangannya saat sosok itu kembali bergerak, di langit-langit. Berjalan menuruni dinding dengan cepat, lalu kembali meluncur ke arah Tangan. Lagi-lagi, dalam waktu singkat salah satu cakarnya kembali sudah berada di depan wajah Tangan. Tangan menepisnya kembali, tapi dia melihat sekelebat bayangan dari bawahnya. Tangan dengan cepat melangkah mundur beberapa langkah.

"Hehehe, akhirnya kau bergerak." Ujar sosok itu.

"Hmph, apakah itu penting?" Tangan menaikkan sebelah alisnya.

"Kali ini, aku akan membungkam mulut itu!" kata sosok itu tegas.

"Ayo," Tangan  menaikkan kedua tangannya mengambil kuda-kuda seorang petinju, jari-jarinya memberi isyarat lagi untuk makhluk itu maju.

Makhluk itu baru melangkah dan tangan sudah melancarkan tinjunya. Sosok itu terkena tapi dia seperti sudah terbiasa dan hanya terdorong sedikit tanpa arti. Sosok itu tersenyum, Tangan terkejut untuk sesaat, namun dengan cepat dia memberikan tinju bertubi-tubi ke arah sosok itu. Sosok itu mengangkat dan mengapit kedua tangannya di depan wajah, menahan semua serangan Tangan, tapi dia terdorong cukup jauh.

"Sepertinya kau bukan makhluk bodoh. Kau sudah mengetahuinya." Tangan tersenyum.

Sosok itu tertawa. "Apa? Kekuatanmu? Kau tidak kuat, kau hanya cepat. Dan kau menggunakan kecepatan itu untuk memukul udara di depanmu untuk menciptakan daya kejut yang kuat."

"Kau benar, tapi tidak hanya itu. Kau mau melihat yang lain?" tantang Tangan.

Tangan membentuk kedua tangannya seperti pistol dan mengarahkannya pada sosok itu. Kemudian, Tangan menggerakkan kedua tangan itu maju mundur begitu cepat, menembakkan udara seperti peluru yang melaju sangat cepat.

Sosok itu melihatnya dan mencoba menahannya dengan kedua tangan. Suara desing angin terdengar tepat di kedua telinganya. Sesaat setelahnya makhluk itu berteriak. Kedua tangannya berlubang ditembus angin yang begitu cepat.

"K-kau! Aku akan membunuhmu!" ujarnya marah.

"Coba saja." Tantang Tangan. Kedua tangannya berada di pinggang, seperti koboi yang siap mengeluarkan senjatanya saat adu tembak.

BAKAT

Sosok itu tergulai lemas, badannya bergetar menahan sakit yang timbul dari luka-lukanya. Ada dua lubang di kakinya yang membuatnya sulit bergerak sekarang. Tangannya mengepal keras. Tidak terima dengan kekalahannya. Dia bahkan belum menyentuh lawannya dan orang itu sudah membuatnya terluka hampir di setiap bagian tubuhnya.

Tangan melihat sosok itu tidak bergerak. Sepertinya dia tidak sadarkan diri. Yang pasti dia belum mati karena Tangan sengaja melukai daerah non-vital. Tangan berjalan mendekat, ingin memeriksa lebih dekat.

Suara langkah kaki terdengar mendekat, sosok itu bisa mendengarnya. Dia menunggu dengan sabar, mengumpulkan kekuatan terakhirnya. Dia tidak akan melawan lagi, dia hanya ingin keluar dari tempat ini. Menjauhi orang di depannya yang untuk pertama kali membuat sosok itu merasa ketakutan.

Tangan melihat sosok itu dari dekat. Tidak bergerak sama sekali. Apa dia mati? Tidak mungkin dia selemah itu. Dia mencoba membalikkan tubuh itu dengan kakinya. "Agghhh!" benda tajam dan keras seperti mencengkram kakinya. Sosok itu tersenyum, lalu melempar Tangan sekuat tenaga.

Tangan terlempar dengan rasa sakit di kakinya, membuatnya tidak bisa berpikir hingga punggungnya menabrak dinding. Tangan tercekat sesaat, terjatuh, dan terduduk bersandar pada dinding. Dia melihat kakinya yang berlubang karena cakar itu menembus dagingnya. Celana dasar kuningnya yang dikenakan terlihat memerah dan terus membesar.

Tangan melihat sosok yang sudah berada di depan lift di ujung lain ruangan. "Bajingan! Kau merusak celanaku!" teriak Tangan marah.

Pintu lift terbuka. Sosok itu dengan cepat masuk kedalam. Tangan meluruskan tangannya membentuknya seperti tombak. Kali ini dia benar-benar akan membunuh sosok itu. Dia mulai mendorong tangannya ke depan. Menciptakan lima bias angin seperti ujung tombak yang bergerak sangat cepat menembus udara. Sosok itu masih terus menekan tombol lift berulang kali agar pintunya tertutup. Sosok itu melihat serangan Tangan, dan mencoba menghindar ke sisi lift yang lain. Suara pintu lift tertutup terdengar bersamaan dengan selesainya serangan Tangan. Sosok itu melihat sisi lain lift yang bersebrangan dengan pintu. Ada celah halus disana, tapi sosok itu merasakan angin berhembus dari luar ke dalam lift melalui celah itu. Bukti serangan itu begitu cepat, lebih cepat dari yang tadi, hingga bisa menembus besi. Membuatnya mengingat orang itu, sebagai masalah yang harus dijauhi.

BAKAT

"Pak, anda baik-baik saja?" tanya suara dari telinga Tangan.

"Aku tidak apa-apa," jawab tangan sambil merobek celananya dan mengikat kain itu di kakinya.

"Bagaimana dengan makhluk itu?"

"Jangan biarkan dia sampai permukaan! Kerahkan semua tim yang ada. Dia sudah terluka cukup parah. Satu lagi, jangan bunuh dia."

"Baik Pak."

Hai para pembaca semua. Pertama kali nulis pertarungan. Kalian bisa merasakannya? Jika tidak tolong berikan komentar kalian bagian mana yang kurang dan butuh polesan :)

Jangan lupa VOTE jika kalian suka. Buktikan kalian adalah pembaca yang sopan yang menghargai kerja keras penulisnya.

Sampai ketemu di bab berikutnya :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top