Pulanglah

Kabut putih terbawa angin menuruni lereng diam-diam dalam malam. Membawa rintihan pada semua makhluk di bawah. Pepohonan inggang-inggung resah, mencari para tetua di antara mereka yang tak kalah gusar. Keributan terjadi, kabar telah sampai. Hutan di utara di bakar oleh manusia. Lolongan pertolongan mereka tak bisa didiamkan. Mereka meminta tindakan. Peringatan, pembalasan, perubahan sikap dari pemimpin mereka. Para tetua tak bisa menenangkan mereka lagi sekarang. Yang terpilih sudah hadir di antara mereka. Bangunkan dia! Buat dia mengambil keputusan. Mereka semua mendesak ingin mendengar suara penyelamat mereka. Saat itulah Tetua yang tertinggi dan terbesar membuka matanya suaranya menggema meminta mereka semua diam.

Di sisi lain, Idon berusaha bangkit dari mimpi buruknya. Kejadian tewasnya bapak terus terulang dalam mimpinya. Seperti drama dengan akhir yang belum ditentukan. Semua cara dicobanya agar Bapak dan Risa selamat. Mencoba menjadi tameng ketika para penembak menyerang, memperingati bapak sebelum terjadi penembakan, menghentikannya untuk pergi ke kebun, sampai mengunci dirinya dan seluruh keluarga dalam rumah. Namun tetap saja gagal, para penyerang itu mendatangi rumah mereka dan lebih parah; semuanya dibunuh oleh mereka. Cara terakhir yang terpikir olehnya adalah melawan. Dia berusaha merebut senjata mereka dan gagal. Kalaupun berhasil dia tetap akan mati ditembak yang lain. Idon jatuh menangis tak kuat menahan sedih, frustasi, kegagalan. Dia memukul tanah di sebelahnya tubuh Bapak tergeletak terpejam, matanya tajam menatap tanah yang basah oleh air mata. Kebaikannya di sana. Habis dan masuk jauh ke dalam tanah. Yang Idon inginkan sekarang hanyalah balas dendam. Kematian yang sama dan lebih menyakitkan untuk mereka semua yang melakukan ini padanya.

BAKAT

Brasta, Risa, dan Teguh kembali ke pintu terakhir sebelum mereka bisa menuju lift dan keluar dari fasilitas. Sambil menggendong Mata dan Pikiran mereka mendapati semua orang bersandar di dinding tertunduk lesu bahkan menangis bersedu-sedu.

"Apa yang kalian lakukan di sini! Ini jalan keluar kita!" Teguh membentak semua orang, emosinya meledak-ledak.

"Tidak, tidak ada jalan keluar." Salah satu dari mereka menjawab.

"Ada apa dengan kalian semua?!" Teguh tak bisa mengerti orang-orang ini. Berjalan ke pintu keluar.

"Jangan!" teriak salah satu dari mereka.

"Apa yang kalian takutkan?!"

"Mereka menunggu kita di luar. Mereka akan membunuh kita jika keluar."

Teguh berbalik menatap Brasta dan melemparkan Pikiran padanya. Reflek Brasta menangkapnya. Melihat Pikiran di tangannya dia berpikir apakah harus membanting anak itu ke tanah atau terus memeganginya. Teguh melihatnya memastikan Brasta tak akan berbuat macam-macam. Setelah yakin dia kembali berjalan keluar. "Jika kalian takut aku yang akan menyelesaikannya."

Begitu Teguh membuka pintu, dua baris pasukan bersenjata lengkap menyambutnya. "Tembak!" dan seluruh senjata mereka menembak bersamaan. Pintu di belakang ditutup rapat-rapat, orang-orang yang ketakutan bergetar menahan pintu tersebut saat ratusan butiran peluru menghujani pintu dengan suara besi beradu. Teguh dibaliknya bertahan sekuat mungkin, dia mengencangkan otot-otot lenganya semaksimal mungkin dan menjadikannya tameng. Peluru-peluru itu memantul di lengannya menimbulkan luka gores. Peluru dengan kaliber lebih besar berhasil menembus kulit dan merobeknya sedikit demi sedikit. Hingga rentetan tembakan itu selesai dengan marah Teguh menurunkan tangan dan bersiap menyerang namun di ujung mata sebuah peluncur roket telah siap menghadapinya. Percikan api di dalamnya mendorong roket begitu cepat, meluncur pada jalur tepat ke Teguh. Terkesiap, Teguh mencoba membuat pertahanan sekuat dan secepatnya. Roket itu menghantamnya perisai tangannya dan meledak tepat di depan wajahnya. Daya ledaknya melempar Teguh, mendobrak pintu di belakangnya hingga orang-orang yang menahannya berjatuhan. Tak ingin ada tembakan susulan mereka yang masih sanggup berdiri sigap menutup dan menahan pintu itu kembali. Mereka semua menatap ngeri saat asap menguap dari seluruh tubuh Teguh. Luka bakar hampir di seluruh tubuh, tangannya terkulai terluka parah, terkoyak. Risa gemetaran, hatinya berduka melihat Teguh. Dia berlutut, berteriak pada siapapun untuk menolong Teguh, apapun. Namun keberanian telah hilang dalam diri semua orang. Jiwa bebas mereka telah direnggut dan hanya menyisakan ketakutan.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan."

"Tidak ada yang bisa kita lakukan."

"Tidak ada yang bisa kita lakukan."

Kata-kata itu membisik dalam lorong sempit. Mulut mereka sembunyi-sembunyi komat-kamit. Risa menatap Brasta hanya untuk mendapati dia menggelengkan kepala. Risa menangis memegangi Teguh yang merintih. "Tidak adakah yang bisa kita lakukan ...,"

"Tidak ada yang bisa kita lakukan."

Risa tersentak dan melihat Brasta yang sama terkejutnya. Pikiran yang ada dalam dekapan Brasta berbicara, "Tidak ada yang bisa kita lakukan ..., diam dan menunggu."

Risa bangkit, mendekati Pikiran hanya untuk meyakinkan diri sendiri, "Apa katamu?" dan jawaban yang keluar tidak berubah, "Tidak ada yang bisa kita lakukan, diam dan menunggu." Risa melihat Brasta meminta penjelasan.

Brasta sendiri hanya diam, matanya terbuka lebar pada sesuatu di depannya. "Hey," tegur Brasta pada Risa untuk menunjukkan sesuatu yang harus dia lihat.

Risa melihat ke balik pundaknya. Mata yang tak sadar di gendongannya sekarang sedang menatap Brasta bulat-bulat seperti boneka. "Hey," tegur Risa, "apa yang kau lihat?" tanyanya pada Mata. Anak itu hanya diam sedangkan Pikiran terus mengulangi kata-katanya membuat suasana di sana lebih tegang.

Brasta bergeser dari tempatnya tak nyaman dengan pandangan Mata. Yang membuatnya sadar bahwa Mata tidak sedang melihatnya. Kepala dan matanya tak bergerak, menatap dalam-dalam dinding keras di kejauhan, menembusnya, jauh dan jauh ke baliknya.

BAKAT

Idon terjatuh bertopang tangan dan kaki. Tubuh bapak tergulai di sebelahnya lemas. Dia menangis menggenggam tanah di bawahnya. Menggeram, berteriak mengeluarkan amarahnya, seluruh jiwa, pikiran, dan kekuatannya dipusatkan pada satu tujuan.

"Mati!" Tubuhnya berdiri perlahan, "Mati!" matanya tajam menatap musuh-musuhnya, "Mati kalian semua!!!" dan seluruh pohon disekitarnya bergoyang tak karuan, mengeluarkan akar dari tanahnya dan berteriak seirama dengan dirinya.

Di lembah cekung tempatnya terbaring, Idon gelisah banjir keringat. Seluruh pepohonan condong ke arahnya memperhatikan Idon lekat-lekat. Para tetua juga tak mau kalah ingin melihat. Mulut Idon komat-kamit tak karuan, lirih awalnya namun semakin lama semakin kuat, "Mati, Mati, Mati, Mati."

Tetua bersamaan tersenyum puas mendengarnya, saling pandang dan berakhir pada dia yang paling menjulang. "Keputusan telah dibuat!" suaranya menggema ke seluruh lembah, "Lepaskan anak-anak!"

Seluruh tumbuhan bersorak macam genderang perang. Pelan-pelan mereka menggerakkan batang, ranting, daun-daun mereka selaras satu arah, seperti tarian yang memiliki irama. Spora-spora jamur di bawah mereka beterbangan ke atas. Butiran-butiran kecil membentuk kabut tipis dan dalam sekali hentakan seluruh pepohonan membuat angin yang mendorong kabut itu terbang ke atas lembah yang disambut pepohonan yang lain membentuk aliran angin ke tempat yang mereka inginkan.

BAKAT

Anton berhasil melarikan dirinya dan berada dalam helikopternya. Dirinya tampak gusar, matanya merah marah, emosinya yang tak pernah terlihat meluap mendapati harga dirinya dilemahkan. Helikopter itu berputar-putar di atas pusat perbelanjaan yang telah dikosongkan. Seluruh kegiatan diganti dengan hiruk pikuk sirene mobil polisi, derungan truk-truk tentara, bahkan tank. Lampu-lampu cerah toko-toko berkelas kalah terang dengan lampu tembak yang di pasang mengelilingi area yang telah di sterilkan. Para warga khususnya wartawan di tahan jauh di ujung pintu masuk dan keluar areal pusat perbelanjaan. Begitulah area seluas dua hektar tersebut disterilkan dan menyisakan pasukan bersenjata dan alat perang.

"Dengarkan aku! Aku ingin gedung ini dihancurkan sekarang. Jangan biarkan mereka berhasil keluar menghirup udara bebas! Mengerti!" Anton memberikan perintah dari heli-nya.

"Tapi pak, bagaiman dengan anggota kita yang bertahan di dalam?" komunikasi di bawah membalas.

"Aku bilang 'apa kau mengerti!'"

"Baik, Pak!"

BAKAT

"Terlambat, mereka akan terlambat." Pikiran kembali berbicara.

Risa dan Brasta dibuat semakin tak paham. "Apa maksudmu?" Risa bertanya-tanya. Dia melihat Mata di pundaknya sedang menengadahkan kepalanya, matanya tetap terbuka tak berkedip. "Ada apa dengan mereka?" tanya Risa pada Brasta. Saat itu Pikiran menjalarkan tangannya memeluk leher Brasta dan jari-jarinya terus merangkak di belakang kepalanya membuat Brasta tak nyaman dan ingin menjatuhkan Pikiran tapi kedua tangannya tak bisa bergerak dan terus menopang tubuh anak itu. Tangan itu merambati rambut Brasta hingga sampai di ubun-ubun dan memberinya tekanan. Brasta tersentak sesuatu merasuki kepalanya dengan paksa. Memberinya kilatan-kilatan cahaya dalam pandangan membawanya pada tempat lain. Brasta melihat dirinya berlari-lari dalam pilar-pilar raksasa, seperti area parkir dalam bangunan. Di depannya orang berpakaian hijau loreng berlari bersamanya. "Menuju posisi kalian! Pasang peledak-peledak itu. Cepat dan berhati-hatilah." Dan Brasta sadar itu bukan dirinya. Dia hanya melihat melalui mata orang lain, lalu dia dibawa kembali ke tempat aslinya.

Brasta kembali mendapati Risa di hadapannya. Melihatnya penuh heran. "Gawat! Mereka akan meledakkan bangunan di atas dan mengubur kita hidup-hidup." Risa yang mendengarnya tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

Pukul empat pagi hawa dingin tak sanggup sampai ke bawah fasilitas yang semakin panas. Brasta, Risa dan tahanan lain mendebatkan cara keluar dari sana, di sisi lain pasukan tetap siaga pada satu pintu di depan menahan posisi tak sabar.

"Hei, apa kabar dari atas? Di mana bantuan yang mereka katakan?" pasukan itu mulai resah menahan posisi mereka tanpa kepastian.

"Komunikasi dari atas telah diputus."

Semua terhening, getaran sesaat menyadarkan mereka. Tak ada kata-kata. Semua diam pada posisi, bersiap pada apapun yang datang dari depan mereka.

Brasta dan Risa berdebat tak ada hentinya. Risa begitu keras kepala dengan rencana "Harus Keluar Dari Sini Bagaimanapun Caranya" sedangkan Brasta bersikeras mereka harus punya rencana.

"Apa rencanamu?!" Risa berteriak.

"Aku butuh senjata." Brasta berpikir bagaimana, "Seandainya kita bisa mengalihkan perhatian mereka, sehingga kau bisa mendekat dan mengambilkan senjata untukku."

"Kenapa aku?"

"Karena kau cepat!"

"Aku tak akan bisa melakukannya sendirian. Lihat apa yang mereka lakukan pada Teguh!"

"Karena itu aku bilang kita butuh pengalih perhatian! Apa kau tak mendengar." Brasta kesal bukan main. "Sekarang dengar, kau membebaskan semua orang ini; adakah menurutmu yang bisa membantu."

"Yang aku tahu hanya Teguh. Kami keluar dari tembat bertabung kaca. Lalu wanita itu," Risa menunjuk wanita berambut lembab di sudut terduduk, "Dia memiliki suara yang memekakkan telinga."

"Ruangan bertabung?" Brasta mengingat sesuatu, matanya membesar, "Siapa lagi yang ada di sana?!"

"Anak itu," Risa menunjuk anak lelaki yang duduk bingung di sebelah wanita berambut lembab.

Brasta membaringkan pikiran di lantai lalu bergegas mendekati mereka berdua dan berjongkok di depannya. "Hei, siapa namamu?" dia memanggil si wanita namun tak ada respon darinya yang memalingkan muka dari Brasta.

"Sepertinya dia ketakutan." Anak laki-laki di sebelahnya.

Brasta mengalihkan pandangan anak itu, "Oh, ya? Dan kau tidak takut?" dia menggeleng. Brasta tersenyum langsung menyukainya. "Kenapa kau tak takut? Lihat semua orang di sini ketakutan."

Anak itu yang menyembunyikan wajahnya di balik kedua lututnya menatap kebawah, "Ibu bilang tak ada yang perlu aku takutkan kecuali Tuhan. Dia akan menjaga kita semua seperti Dia menjagaku. Ibu bilang Tuhan menyayangiku dan Dia memberiku anugerah sebagai bukti Dia melindungiku."

"Hebat!" Kejut Brasta, membuat anak itu kaget dan mengangkat kepalanya. "Ibumu hebat! Bagaiman jika kita bekerja sama saling membantu agar kita bisa keluar darisini dan bertemu Ibumu. Aku ingin berterima kasih padanya." Anak itu terlihat tertarik, Brasta melempar kalimatnya, "Ngomong-ngomong, apa anugerahmu? Dan namamu? Karena sekarang kita akan menjadi teman."

"Aku Yu'is. Kata Ibu aku pelari yang hebat."

Brasta Tersenyum.

BAKAT

Pasukan di depan lift mulai gusar akan ketenangan. Dalam peperangan ini adalah ketidakpastian. Ada dua kemungkinan baik atau buruk dan dari pengalaman mereka kemungkinan buruk lebih besar.

"Apa yang terjadi di dalam sana? Perasaanku tak enak."

"Diam saja dan tetap fokus. Kita harus siap pada apapun yang datang."

Dan semua kembali hening. Saat itulah pintu di depan terbuka perlahan. Wanita kurus dengan lutut gemetar berdiri di tengah menatap mereka ketakutan. Semua tentara dibuat bingung dan ragu bertindak. Ketika wanita itu mulai berteriak sekencang-kencangnya mereka baru sadar telat bertindak. Brasta dan Risa berlari ke luar bersembunyi di balik meja bundar di sekeliling pilar. Yu'is berlari seperti kilat, hanya sekelebat-sekelebatnya terlihat. Dia mengambil pistol salah satu tentara memberikannya pada Brasta dan kembali masuk ke dalam. Dalam hitungan detik semua kembali tenang, pintu itu kembali tertutup rapat. Pasukan itu berusaha meraih kesadaran mereka menggenggam senjata mereka dan mencari sasaran. Namun kesunyian kembali pada mereka.

"Sekarang bagaimana?" Risa berbisik pada Brasta di sebelahnya.

"Kau mengalihkan mereka, lalu aku akan menembak mereka. Ketika mereka teralih padaku giliran kau yang menyerang."

"Apakah kau akan membunuh mereka?"

"Apa kau tidak?"

"Hei kalian!" Suara Risa menggema ke seluruh ruangan.

Nanap Brasta melihat Risa. "Apa yang ..., kau gila?! Kau baru saja memberi tahu mereka posisi kita!" kegilaan merasuki Brasta lebih dahulu.

Risa tak acuh dan melanjutkan, "Mereka yang di atas ingin meruntuhkan bangunan ini dan mengubur kami hidup-hidup! Apa kalian sudah tahu?" Para tentara di balik persembunyian Risa diam tanpa balasan. Brasta masih kesal pada Risa tapi di sisi lain ini rencana yang tak terduga dan dia tertarik untuk melihat akhirnya. "Jika kalian tidak tahu ini, berarti kalian juga termasuk yang akan mati di sini."

Dari balik persembunyian mulai terdengar nada-nada gusar. Tentu saja mereka percaya tidak percaya. Bagaimana mereka bisa memastikan jika komunikasi dengan atas telah di putus sepihak. Keraguan mulai timbul. Apa benar mereka akan ditinggalkan? Atau mungkin telah ditinggalkan? Brasta menunggu respon dari lawan. Jika mereka menembak duluan maka Risa harus mengikuti rencananya. Tembakan pertama pecah. Suara pistol ditembakkan menggema. Brasta mengintip dari tempat persembunyian dan terkejut melihat salah satu tentara tergeletak di depan lift. Residu masih menguap dari senjata yang dipegang pria berbaret hitam di belakangnya.

Brasta berbalik pada Risa, "Hei, aku pikir rencanamu berhasil. Salah satu dari mereka sepertinya mencoba lari. Apa selanjutnya?"

"Kita bisa bekerja sama!" Risa bersuara. "Ada cukup banyak lift di sana untuk membawa kita semua ke atas tanpa ada kekerasan."

Suara tembakan pecah lagi, lebih banyak dari tadi. Brasta ingin melihat lagi tapi penasarannya dihentikan, "Tidak ada yang boleh keluar dari sini tanpa seizinku!" sepertinya itu pria berbaret hitam tadi, "dan tidak akan ada yang keluar. Sekarang hanya ada satu lift yang tersisa. Tidak peduli apa yang terjadi di atas, di sini hanya kalian atau kami yang mati!"

"Rencanamu hanya sampai sini." Brasta berkata tegas pada Risa.

"Tidak! Kita masih bisa menyelesaikan ini tanpa ada yang terluka."

"Apa kau benar-benar tidak waras? Lihat temanmu di balik pintu itu! dia hampir mati dan kau ingin menyelesaikan ini tanpa ada yang terluka?!"

Risa tertunduk, dia merenungkan apa yang terjadi. Hatinya belum mati, "Jika kau benar-benar ingin melukai seseorang ..., aku ingin kau menembak pimpinan mereka."

"Bagaimana sisanya?!"

"Hiraukan yang lain! Hanya pimpinannya. Kita lihat dan tunggu reaksi mereka."

"Tidak! Kau kehilangan akal sehat. Jika aku membunuh pimpinan mereka apa kau pikir mereka akan diam? Yang kita tunggu dan lihat nanti hanyalah kematian kita!"

"Tidak, tidak. Jangan membunuhnya. Cukup membuatnya tak sadar atau apapun yang membuatnya diam tapi jangan membunuhnya. Mengerti!"

"Sejak kapan kau bisa mengaturku!"

Risa menampar lantai di dekat Brasta dan melototinya, "Sudak lakukan saja!"

"Agh, dasar gila!" Brasta beranjak dari duduknya. Mengintip dari persembunyiannya. Melihat dua baris pasukan di ujung pandangannya mulai meregang. Dia mencari pria berbaret hitam di antara mereka ada celah di sana.

"Ingat, jangan membunuhnya," Bisik Risa. Brasta melepaskan tembakan, peluru melesat melewati celah di antara kepala dua tentara dan menembus dada kiri pria berbaret hitam.

Melihat pimpinannya jatuh menghantam tanah, reflek seluruh pasukan menembakkan senjata mereka pada Brasta dan Risa. Suara besi beradu dari peluru-peluru yang ingin menembus meja membuat Risa dan Brasta menutup telinga mereka. Ketika brondongan peluru itu berhenti yang terdengar hanya suara erangan kesakitan dari pria berbaret hitam.

"Sekarang apa? Aku sudah mengikuti perintahmu. Nyonya," ejek Brasta.

"Dengarkan aku! Aku tidak ingin melukai kalian. Aku tidak ingin siapapun terluka. Tidak akan ada yang mati jika kita bisa menghentikan semua ini!" tidak ada jawaban, Risa menambahkan, "Kalian bisa pergi lebih dahulu! Bawa pimpinan kalian untuk mendapatkan pengobatan. Aku mohon!"

Satu tembakan dilepaskan ke udara memecahkan keheningan di pihak bersenjata.

"Pak?" salah satu tentara melihat pria di sebelahnya penuh pertanyaan.

"Kami akan pergi!" pria itu berteriak.

"Pak, apa maksudnya?" tentara tadi kembali bertanya.

"Tidak ada yang perlu kita lakukan lagi. Aku punya keluarga yang menungguku pulang. Jika kalian memiliki hal yang sama denganku aku yakin kalian juga ingin pulang. Melihat kondisi kapten yang tidak memungkinkan maka aku yang memimpin sekarang dan aku yang akan bertanggung jawab." Seluruh pasukan menunduk tak membantah. Batin mereka bergejolak antara haru dan tugas. Tembakan ke udara kembali pecah menggetarkan perasaan. "Kalian dengar! Kami akan pergi! Dalam dua gelombang karena hanya ada satu lift yang tersisa. Jika kalian setuju jangan keluar sebelum aku memberikan tembakan berikutnya atau peluru ini akan mengarah pada kalian. Mengerti!"

Tembakan ke udara terdengar kembali, kali ini dari senjata Brasta. Dia tersenyum dengan senjata mengacung ke atas. "Rencanamu berhasil!"

"Tentu saja." Risa merasa lega.

BAKAT

Untuk sesaat semua terasa telah usai. Perjalanan ini akan berakhir. Langkah terakhir siap di tapaki. Ketika gelombang kedua pasukan memasuki lift; Brasta, Risa dan semua Bakat yang ada mengintip penuh harap menunggu suara kebebasan.

Boom! Boom! Boom! Gelegar mengerikan memecah kesunyian. Langit-langit bergetar, serbihan debu dari retakan di atas berjatuhan. Menggerakkan hati yang cemas. Pasukan yang tersisa terburu-buru memasuki lift berdesakan. Saat komandan baru mereka ingin masuk, pintu besi terbuka keras. Tahanan yang sedari tadi menunggu sekarang berlari ketakutan berusaha mengejar lift yang belum bergerak. Risa keluar dari persembunyiannya berusaha menghentikan mereka untuk tidak mendekat. Janji tembakan pertanda giliran mereka untuk naik ke atas tiba berubah menjadi bencana yang menumbangkan nyawa-nyawa kesakitan. Bukan satu peluru dari satu senjata namun ratusan peluru dari puluhan senjata serbu beterbangan menuju mereka yang berlari mendekat membabi buta. Tubuh-tubuh renta yang bergelimpangan di depan mata Risa membuatnya lemah. Dia bertekuk lutut di hadapan pemimpin pasukan seraya pintu lift tertutup. Dua pasang mata itu saling tatap sesaat penuh kepedihan, penyesalan, dan permintaan maaf. Brasta pun melemah, hatinya hancur sesaat melihat semuanya. Wanita yang sedang di dekatinya sekarang lah telah meluluhkannya. Dia berlutut di belakangnya, menyentuh pundak Risa, "Ini bukan kesalahanmu. Kau sudah melakukan yang terbaik." Dan sentuhan itu mengeras melihat tubuh-tubuh bersimbah darah di depannya. Sebagian hatinya semakin mengeras tak bercelah. Membenci semua orang dan kemunafikannya.

Langit-langit bergetar lagi, duli berjatuhan tak berhenti. Semua yang masih bersembunyi di balik pintu besi keluar mendekati Risa yang menangis dalam sunyi. Mengelilinginya mencoba menangkap emosi yang meluap dan mengembalikannya dengan pelukan dan isak tangis. Hanya yang kuat sanggup berdiri menyesapi sedih dan menelannya pahit-pahit.

Di atas lift berdenting. Pasukan terakhir sampai di lantai dasar area parkir. Langit-langitnya retak dan runtuh sebagian, lantainya bersimbah darah teman-teman mereka yang lebih dulu naik. Sadar mereka tak di terima menginjak permukaan. Mereka menyebar bersembunyi di balik pilar-pilar yang ada. Hanya kesunyian yang datang membawa hawa aneh yang membuat mereka cemas. Tembakan pertama pecah. Tak ada suara peringatan atau jeritan kesakitan. Tembakan kedua pecah dan ketegangan bertambah. Pasukan yang baru saja keluar dari fasilitas dengan perasaan lega sekarang saling menembak. Teman berubah menjadi lawan. Pimpinan mereka berusaha menghentikan tapi nyala api di ujung senapan membuatnya bersembunyi kembali di balik pilar. Dia melihat anggotanya yang terdekat ingin bertanya tapi moncong senjata sudah mengacung padanya. Tangan itu bergetar hebat, jari di pelatuk tersendat-sendak ingin menembak. Dia mengambil keraguan temannya dan menembaknya tepat di kepala. Dadanya sesak, bingung, menambah beban. Dia mendekat mencari jawaban. Temannya tewas dengan lubang di dahi, mata merah darah, dan mulut berbusa. Ada yang tak wajar. Dia berlari keluar tak menghiraukan suara tembakan di sekelilingnya. Menembak siapa yang menghadangnya meski dia tahu namanya. Sampai di luar keadaan tak kalah panas. Medan perang tercipta di luar.

Semua orang saling menembak, truk-truk tentara terbakar, tank berjalan tanpa arah. Pemimpin regu berusaha mencari siapapun yang masih berpikiran jernih di antara kegilaan. Seorang tentara muda tampak bersembunyi di dinding pintu keluar parkiran, ketika pemimpin itu mendekatinya tentara muda itu menodongkan senjata padanya.

"Jangan bergerak!" bentaknya.

Tangannya bergetar memegang senjata. Pemimpin itu tahu dia ketakutan dari matanya, "Tahan!" pintanya pada tentara muda itu. Pemimpin regu menurunkan senjatanya. "Letnan Satu, Wira Jaya memperkenalkan diri. Perkenalkan dirimu prajurit?!"

"Prajurit satu ..., Dwi Putra Prakoso. Pak ...," jawabnya dengan gemetaran.

"Apa yang terjadi prajurit?"

"Saya tidak tahu, Pak. Awalnya hanya terdengar suara tembakan suara tembakan lalu tiba-tiba semua orang saling menembak. Saya tidak tahu, Pak. Saya ketakutan. Siapa kawan, siapa lawan. Saya tidak berani menembak, Pak."

"Tenang Prajurit. Tidak apa-apa. Apa perintah terakhir Kaptenmu?"

"Mengamankan area dan ..., rubuhkan gedung ini Pak."

"Apa progresnya?"

"Maaf, Pak. Sebelum kami sempat memasang semua peledak pemberontakan ini terjadi, Pak. Dalam keadaan darurat Kapten memerintahkan untuk meledakkan semua peledak yang telah siap. Namun hanya satu pemicu yang berhasil di aktifkan. Saya belum mendapat informasi dua pemicu lain telah diaktifkan."

"Baiklah. Sekarang kita harus mengaktifkan dua pemicu yang tersisa. Perintah harus di laksanakan. Apa kau tahu di mana dua pemicu yang ada?"

Prajurit itu mengangguk.

Lift kembali ke bawah. Risa, Brasta dan yang lain melihat pintu lift itu terbuka merasa lega. Risa mengarahkan mereka untuk masuk dan membawa Teguh dan yang terluka lainnya. Saat semua telah masuk dan pintu lift mulai tertutup Risa membawa pandangan terakhir yang dilihatnya; tubuh-tubuh berbaring tak bernyawa dan menyimpannya untuk disampaikan pada siapapun yang bertanggung jawab pada tempat ini, baik-baik atau lainnya.

Mereka semua dalam perjalanan ke atas, dentuman kembali terdengar membuat semua orang berteriak berpegangan pada sisi lift. Lift berdenting pada lantai dasar area parkiran. Pintu terbuka dan mereka kehabisan kata-kata. Pintu keluar tertutup sebuah pilar jatuh tepat di pintu lift yang tidak bisa terbuka penuh karenanya. Brasta mengusulkan untuk naik ke lantai lebih tinggi. Dia memberitahu tak ada yang perlu di khawatirkan. Bangunan di atas mereka hanya sebuah pusat perbelanjaan. Tentu saja bukan cuma orang-orang yang tidak segan menembakkan senjatanya pada mereka yang ditakutkan. Mereka takut akan ada ledakan lain yang kemungkinan besar akan mengubur mereka jika terlambat keluar.

BAKAT

"Pak, apa yang kau lakukan?" Prajurit yang menemani Wira untuk mengaktifkan pemicu yang terakhir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Wira mengacungkan senjatanya pada prajurit itu. "Jangan berani kau dekati pemicu itu prajurit."

"Tapi pak ...."

"Pulanglah, tugasmu sudah selesai sampai di sini."

"Pak ...," prajurit itu menatap Wira ingin menyampaikan pikirannya. Wira berjalan mendekati pemicu itu dan mengeluarkan pisau komando miliknya. "Maaf Pak, saya tidak bisa membiarkan anda melakukan itu. Saya tahu bapak tidak gila seperti mereka, membuat saya semakin tidak mengerti dengan tindakan anda. Tapi, jika anda secara sadar ingin melanggar perintah saya anggap itu pengkhianatan pada kesatuan pak." prajurit itu menodongkan senjata miliknya pada Wira.

"Maaf Prajurit, ada janji yang harus saya tepati. Jika kau ingin menembakku tembaklah."

Suara senjata meletup. Wira terkejut. Prajurit itu jatuh ke tanah dengan pisau komando menancap di dadanya. Wira tak menyangka namun bukan berarti dia tidak siap. Dia memotong kabel pada pemicu dan menghancurkan pemicunya. Ada kebanggaan dalam hatinya, dia merasa telah melakukan sesuatu yang benar. Dia bangkit dan melihat bangunan menjulang itu dengan cahaya lampu warna-warni di dalamnya. "Pulanglah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top