Perjalanan Idon: Mimpi Buruk

"Lepaskan!"

Idon tersentak dari tidur malamnya. Dia mendengar suara wanita berteriak.

"Lepaskan aku Talisa!"

Suara itu terdengar dari kamarnya, tempat Risa berada. Idon bangkit, terduduk di atas sofa, mencoba mendengarkan lebih seksama.

"Tidak! Jangan bicara lagi!"

Idon bergegas ke kamarnya. Ragu dia mencoba menyibakkan tirai di pintunya. Risa terlihat seperti ketindihan. Di atas kasur dia mengejang, tangannya mengepal dan jari-jari kakinya menekuk menyentuh telapak. Idon mendekat, keringat memenuhi seluruh wajah Risa yang tampak tersiksa, matanya terpejam kuat dan kepalanya terus bergerak ke kiri dan kanan.

"Mbak, Mbak Risa," Idon mencoba membangunkan Risa, dengan malu dia menyentuh lengannya yang telanjang.

"Hentikan!" teriak risa yang mengigau tepat ke wajah Idon.

Idon tersentak ke belakang, namun dia memberanikan dirinya lagi untuk membangunkan Risa, "Mbak! Bangun mbak!" kali ini dia memegang dua pundak Risa dan mengguncangnya. Idon terus melakukannya meskipun tubuh Risa terus memberontak. Semakin lama, Idon mengguncangnya semakin keras hingga akhirnya mata Risa membelalak, jatuh dari mimpinya kembali ke dunia nyata.

Idon bernapas lega melihat Risa yang membalas melihatnya dengan nanar. Tiba-tiba jantungnya terasa berhenti di tempat, lalu kembali berdebar sangat kencang saat Risa mendadak memeluk dirinya. Menangis sesenggukan. Idon sekarang yang menegang merasakan pelukan seorang wanita, kebingungan harus berbuat apa dan hanya bisa diam tak bergerak. Menikmatinya.

Paginya, seperti biasa Bapak menyesap kopi dalam gelas besarnya. Idon duduk di sebelahnya tidak berkata. Bapak melirik anaknya yang melamun entah apa.

"Masih kerasa, ya, enak semalam?" goda bapak.

"Apa, sih Pak!" Idon tertangkap basah.

Bapak senyum-senyum kembali menyesap kopinya, sebelum ibu muncul di bawah rongga pintu.

"Nak, kamu temani Risa ke pasar, ya!"

Idon kembali menegang mendengar namanya, jantungnya berdebar kencang. "Bedua aja, Bu?" Idon memastikan.

"Iya, ibu sudah kasih daftar belanjaan ke dia. Kamu minta uangnya sama bapak, tambahkan sedikit untuk Risa membeli baju. Kasian dia pake baju ibu yang kebesaran terus."

Idon melihat bapaknya yang sedang merogoh kantung bajunya. "Nih," sambil menyerahkan uang berbagai pecahan dalam karetan, "Kau belikan baju. Jangan belikan emas buat melamar."

Idon memasang wajah kesal pada bapak, lalu menyambar kunci motor di atas meja. Risa sudah berdiri di belakang Ibu menunggu waktunya. "Ayo, Mbak."

Mesin motor dua tak itu meraung saat dinyalakan. Risa duduk menyamping di belakang, satu tangannya memegang besi di belakang jok dan tangan yang lain memeluk keranjang belanja. Saat motor itu mulai keluar pekarangan dan menjauh dari rumah, Ibu dan Bapak tersenyum karena rencananya.

BAKAT

Idon merasa salah sepanjang perjalanan dan Risa juga sama. Mereka hanya diam hingga pasar. Saat sampai di pasar akhirnya Idon memberanikan diri membuka suara.

"Mbak Risa, apa yang pertama di daftar belanja?"

"Cabai."

Dan begitu seterusnya. Setiap selesai membeli satu bahan Idon akan menanyakan hal yang sama, hingga akhirnya dua tangan itu penuh membawa keranjang dan kresek belanjaan. Idon merasa hari ini akan makan enak, tapi dia tidak tahu alasannya. Tidak mungkin karena dia pulang.

Setelah semua yang di daftar terbeli, mereka berdua berjalan ke toko pakaian. Idon yang mengingatkan, kasihan melihat Risa mengenakan daster tanpa lengan ibunya hingga Idon meminjamkan jaketnya untuk melindungi lengan telanjangnya dari tatapan pria-pria hidung belang yang terus memperhatikan mereka semenjak menginjak pasar. Idon tidak ingin berbagi Risa meski hanya lengannya.

Idon berdiri di luar toko pakaian, membiarkan Risa masuk dan memilih sendiri bajunya, sebenarnya dia malu masuk ke toko yang tidak hanya menjual baju namun juga dalaman wanita sebagai pajangan. Dari kejauhan Idon terus memperhatikan Risa yang ditemani pemilik toko memilih pakaian. Berharap bisa mengetahui sedikit tentang Risa, apa baju kesukaannya, apa warna favoritnya. Ketika Risa mengambil sebuah gaun putih dan menatapnya lekat-lekat, Idon merasa ada yang salah dengan jantungnya. Risa terlihat berbeda dari biasanya. Untuk pertama kalinya Idon melihat Risa tersenyum di sana. Meski Idon hanya bisa melihat sisi wajahnya, tapi dia bisa melihat sudut bibir itu terangkat, tapi mata Risa terlihat sendu berkaca-kaca. Idon ingin mendekat dan bertanya kenapa, penasaran menghinggapi kepalanya tapi dia tidak berani karena merasa tidak pantas melakukannya.

Dalam perjalanan pulang, dua orang itu kembali tidak berbicara. Tidak ada yang tahu apa yang mereka pikirkan hingga akhirnya Risa bersuara,

"Panggil saja aku Risa."

Idon nampak terkejut, terlihat dari cara dia menoleh ke belakang tiba-tiba dan dengan cepat kembali melihat jalan berbatu di depan.

"Iya, Mbak. Eh, Risa," Idon masih melihat jalan di depan, di antara kebun durian yang sepi. Berpikir apa yang akan keluar dari balik pohon-pohon dan dari mulutnya, "Kalau begitu, Risa bisa panggil aku Idon sekarang," dan mereka berdua tersenyum tanpa saling melihat.

BAKAT

Seusai makan siang, Idon mengajak Risa keluar, membawanya berkeliling dalam kebun di belakang rumah. Mereka berbincang di bawah rindangnya pepohonan. Idon menceritakan masa kecilnya dan dongeng yang kakeknya ceritakan tentang desanya. Tanpa sadar mereka telah berjalan cukup jauh hingga melewati perbatasan dan masuk ke hutan.

"Kenapa berhenti?" Risa bertanya pada Idon di depan yang berhenti di hadapan ilalang dan pohon-pohon berdiameter besar.

"Kita harus kembali," dan Idon memutar tubuhnya bergegas menarik tangan Risa menjauh.

Di sebuah gubuk di tengah kebun akhirnya Idon berhenti dan melepaskan pegangannya.

"Apa yang terjadi padamu?" Risa begitu ingin tahu melihat keanehan Idon.

"Itu hutan terlarang. Seharusnya kita jangan memasukinya atau nasib buruk akan datang."

Risa tertawa, dia tidak menyangka mendengar alasan konyol sebagai penyebabnya ditambah ekspresi Idon yang serius membuatnya tidak bisa berhenti kegelian.

"Aku serius. Kakekku bilang hutan itu hidup," lalu Idon teringat kemampuannya. Bukankah memang mereka hidup? Namun dia mengesampingkan itu. Idon teringat kenangan masa kecil saat malam menemani bapaknya keliling menjaga kebun durian hingga perbatasan dan Idon merasa pohon-pohon di sana memerhatikannya dan saat dia mengarahkan senter ke hutan hanya ada bayangan gelap pohon-pohon di sana. "Pokoknya jangan masuk ke sana."

Risa malah tertawa mendengarnya ditambah ekpresi Idon yang tampak sekali ketakutan dan percaya nasib buruk akan datang padanya. "Idon, nasib buruk bisa datang di manapun, kapanpun. Bukan hanya karena masuk hutan." Idon mendengus kesal mendapati Risa tidak menganggapnya serius, "Serius Don. Aku pernah mengalaminya."

"Iya, Ris, aku tahu itu." jawab Idon menanggapi maksud Risa.

"Tidak, kau tidak tahu sama sekali."kali ini Risa yang serius.

Idon melihat Risa dalam, mencari sesuatu, arti dari kata-katanya. Ingin dia bertanya apa maksudnya, tapi dia tidak punya keberanian, malah tertunduk merasa bersalah atas perkataan yang tidak dia sangka akibatnya.

Risa juga sama. Dia melihat Idon yang tidak lagi menatap matanya. "Maaf, Don, aku tidak menyalahkanmu. Hanya saja... aku tidak percaya nasib buruk memiliki syarat, atau pantangan apalah untuk menghindarinya."

"Bagaimana jika kau bisa menghindarinya?" Idon membalas meski masih belum bisa melihat mata Risa dan malah menatap kosong kebun di sekitarnya.

Risa malah tertawa, "Bagaimana caranya?"

"Aku pernah hampir mati tidak lama ini. Sebuah angkot hampir menghantam dan melindasku andai saja..." Idon tidak melanjutkan.

"Andai saja apa?" Risa sudah duduk bersila menghadap Idon sepenuhnya.

Idon berpikir keras, apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya? "Tidak, kau tidak akan percaya yang aku katakan."

"Kenapa kau bisa berpikir begitu?"

Karena kau tidak percaya yang sebelumnya. Idon mendengus kesal, secepat itu dia lupa. "Serius, kau tidak akan percaya."

"Yasudah. Aku tidak akan bertanya lagi." Risa membalikkan tubuhnya kembali ke depan gubuk melihat pepohonan.

"Baiklah... aku menyerah. Aku diselamatkan oleh sebuah suara."

Risa menoleh. Dia ingin tertawa melihat Idon, menyerah kenapa? Dia pikir aku masih ingin tahu dan marah? tapi Idon sudah terlanjur mengatakannya dan Risa kembali penasaran, "Suara apa?!"

"Suara pohon."

Hening. Beberapa detik kemudian Risa tertawa lebih keras dan mulai mempertanyakan keseriusan dari cerita Idon dan selama lima belas menit berikutnya Idon berusaha keras meyakinkan Risa bahwa dia berkata sejujurnya. Namun tetap saja Risa tidak percaya. Sampai akhirnya mereka memutuskan pulang, Idon masih berusaha meyakinkan Risa meski akhirnya dia menyerah dan meminta Risa tidak menceritakan apa yang dia ceritakan pada orangtuanya.

BAKAT

Hari telah gelap, Idon dan semuanya baru saja selesai makan malam. Bapak mengajaknya ke kebun durian. Musim panen telah tiba. Idon berusaha menolak, tapi saat dia tahu Risa ikut Idon langsung menyetujuinya.

"Kamu tahu, nak Risa, Idon ini sebenarnya tidak mau ikut bapak, tapi setelah tahu nak Risa ikut dia langsung minta ikut juga." Bapak mulai menggoda anaknya, mereka baru saja sampai dan duduk dalam gubuk di tengah kebun.

Idon yang sedang mendengarkan pohon-pohon merintih kesakitan terkejut mendengar bapaknya, "Pak!" dan menatap kesal bapaknya. Si Bapak malah tersenyum lebar.

"Memang kenapa Idon tidak mau ikut?" Risa bertanya pada bapak dan berpura-pura tidak mendengar kalimat terakhir bapak.

"Katanya dia melihat hantu waktu terakhir bapak ajak kemari dan sejak itu dia tidak mau ikut lagi."

Risa terkekeh mendengarnya. Di sisi lain wajah Idon memerah panas karena kesal dan malu. Bapak terus melanjutkan cerita tentang anaknya yang seperti tak ada habisnya. Idon dibuat tak berkutik. Protesnya tidak digubris bapak sama sekali hingga suara buah jatuh terdengar. Bapak langsung mengambil senternya dan mencari durian jatuhnya. Idon merasa terselamatkan.

Tak lama kemudian Bapak kembali, menenteng dua durian di tangan dan langsung membelah keduanya, aroma khas durian langsung menyeruak. Idon langsung bersemangat tanpa diminta dia langsung mengambil satu dan memakannya lahap.

Risa terlihat diam saja, Bapak mengambil inisiatif dan menawarkan durian padanya, "Nih, makanlah." Risa bergeming melihat durian di tangan bapak, "Kenapa? Kau tidak suka?"

"Eee, aku belum pernah makan durian sebelumnya. Ini pertama kalinya aku melihat dari dekat. Baunya tidak enak Pak..." Risa menahan rasa mual di perutnya.

Bapak malah tertawa mendengarnya, "Kau ini ada-ada saja. Enak ini, coba dulu. Lihat Idon."

Risa melihat Idon yang terus saja menggigit, mengemut, menjilati durian lahap. "Coba dulu Ris, durian bapak terkenal paling enak di sini," Idon membujuk.

Akhirnya dengan perasaan terpaksa Risa mengambil durian dari tangan bapak dan menggigit kecil ujungnya. Merasakan asam manis dalam mulutnya. Enak juga pikirnya dan dengan malu-malu dia menyukainya dan memakannya. Idon dan Risa asik menikmati durian yang bapak bawa sementara bapak terus mencari durian yang jatuh. Semakin lama durian yang terkumpul semakin banyak. Karung yang bapak bawa sudah penuh dengan durian dan siap di bawa pulang.

"Bapak selalu sendiri memanen durian ini?" Risa bertanya, terkejut dan kasian melihat bapak.

"Seharusnya bapak dibantu anak bapak, tapi dia terlalu takut di kebun malam-malam."

Idon langsung memicingkan mata pada bapak, Risa tertawa, "Kamu jahat, Don."

"Tidak apa, bapak masih kuat!" Bapak berdiri, mengangkat kedua lengannya untuk menunjukkan ototnya.

Risa tertawa begitu lepas; Idon mendengus kesal.

Idon tidak kuasa melihat bapaknya, matanya membesar dan dunia terasa berjalan lambat di depannya saat bapak tiba-tiba jatuh ke lantai keras. "BAPAAAK!!!"




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top