Pelarian Risa: Tiada Akhir

Sesuai janji Alvi hari ini. Mereka pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di kota. Toko pertama yang mereka kunjungi adalah butik khusus wanita. Risa berhenti di depan pintu, di atasnya tertulis sebuah nama brand yang biasa di lihatnya di majalah fashion ternama.

"Kenapa kau diam saja Ris?" Alvi kembali menjemput Risa di depan pintu. "Ayolah...," Alvi meraih pergelangan Risa dan membawanya masuk.

"Kenapa kemari? Bukankah kita akan membeli baju untukmu?" Risa menggigit bibirnya, ada perasaan mengganjal membayangkan Alvi mengeluarkan uang untuknya.

"Apa kau percaya aku akan melakukan itu?" Alvi tertawa. "Jika benar seperti itu aku tidak perlu mengajakmu kan? Sudahlah Ris, lebih baik kau sekarang pilih baju yang kau suka, agar aku bisa mengenakan kembali baju-bajuku di rumah."

"Terima kasih, Vi,"

"Terima kasihnya nanti saja, lebih baik kau pilih bajumu, aku tidak suka berlama-lama di sini."

Risa tertawa riang. Perlahan dia memilih baju-baju yang ada di dalam, bertanya pada Alvi apa pilihannya sudah bagus? Cocok? Dan Alvi selalu memintanya untuk mencoba di ruang ganti jika ingin mendengar pendapatnya.

Setelah mengunjungi beberapa toko, Risa memutuskan untuk mengajak pulang Alvi. Sudah terlalu banyak yang dia beli. Risa bahkan tidak tahu apa dia akan memakai semua pakaian itu. Kedua tangannya penuh dengan tas belanjaan dengan merek-merek terkenal di depannya. Jika bukan Alvi yang memaksanya dia tidak akan membeli semua ini.

Sampainya di rumah, Risa kembali ke kamar. Dia mengeluarkan semua pakaian dari tas belanja dan mengambil satu dan membawanya ke depan cermin. Meskipun Risa merasa tidak enak pada Alvi karena membelikannya pakaian-pakaian ini, tetap saja Risa merasa senang. Pakaian-pakaian ini terlalu bagus untuk tidak dicoba. Satu persatu Risa mencobanya dan melihat bagaimana penampilannya di pantulan cermin.

Alvi tidak bisa berhenti tersenyum hari ini. Entah kenapa dia terlalu mencoba menyenangkan Risa. Bahkan dia sampai meminta ijin dari pekerjaannya di club malam agar bisa menepati janjinya hari ini. Sepertinya semua itu terbayarkan dengan melihat Risa yang terlihat gembira bersamanya dan itulah yang membuat dia tidak bisa berhenti tersenyum membayangkan.

Alvi melangkah menuju kamar Risa di lantai dua. Dia mengetuk pintu kamarnya ingin melihat apa ekspresi Risa sekarang.

"Sebentar!" jawaban dari dalam. Tak lama kemudian Risa membuka pintu. Untuk sesaat Alvi tidak bisa berhenti menatap Risa. Risa terlihat begitu cantik, anggun, semua keindahan serasa tertangkap dalam matanya saat melihat Risa mengenakan gaun malam putih yang sengaja dia belikan. Bidadari datang menyambutnya.

"Hei, Vi, kenapa?" Risa menyadarkan Alvi dari bayangannya.

"Ah, tidak. Hanya saja kau terlihat sangat cantik sekarang."

Risa tidak bisa menahan rasa senangnya. Dia tertawa, "benarkah?"

"Mungkin sebentar lagi akan tumbuh sayap di punggungmu," canda alvi dengan senyum mengembang.

Alvi masuk ke dalam. Dia melihat pakaian yang baru saja dibelinya sudah berserakan di atas tempat tidur. Lagi-lagi senyum merekah di bibirnya, "Apa kau sudah mencoba semuanya?"

"Hanya beberapa."

"Kau suka?"

Risa mengangguk, "Aku suka. Terima kasih Vi, kau sudah begitu baik padaku."

"Aku juga berterima kasih. Jika tidak ada kau Ris, mungkin rumah ini tak akan terasa sehidup ini."

Risa menjatuhkan bokongnya ke kasur, "Kau tahu..., aku selalu bertanya-tanya kenapa kau tinggal sendiri di rumah sebesar ini?"

Alvi terlihat sedang memikirkan jawaban, "Hmm, mungkin itu takdir. Agar aku bisa bertemu seorang bidadari yang terluka jatuh di depan pintuku."

"Alvi..., aku serius."

"Aku juga, memang ada alasan lain?"

"Mana keluargamu? Orangtua?"

"Mereka sudah tidak ada. Meninggal dalam kecelakaan pesawat setahun yang lalu."

"Maaf. Aku turut berduka."

"Bukan masalah. Malah sebenarnya ada hal baik dari kepergian mereka."

"Maksudmu?" Risa tidak mengerti. Bagaimana kehilangan orang tua bisa menjadi hal baik.

"Setidaknya aku bisa benar-benar hidup setelah kepergian mereka. Tidak ada lagi yang memberitahuku apa yang harus kulakukan."

Risa memandang Alvi tak percaya. Keheranan.

"Orang tuaku sudah merencanakan semua hidupku Ris. Sejak kecil aku sudah dibimbing untuk menjadi seperti mereka. Untuk meneruskan nama besar mereka di bidang kedokteran. Mereka tidak mengijinkan aku memilih. Jalan hidupku sudah dibangun bahkan sebelum aku lahir. Jalan lurus yang dingin dan mereka selalu menjaga jalan itu agar tidak bercabang atau berbelok. Kau tahu rasanya hidup seperti itu? saat orangtuamu hanya menyentuh, tersenyum, dan memuji jika kau berhasil memenuhi target yang mereka berikan. Namun saat kau tidak berhasil, lebih buruk, atau kau memiliki tujuan lain, kau akan dibuat merasakan dikucilkan oleh orang tuamu sendiri. Heh, itu neraka tanpa api aku bilang."

Risa berpikir sebentar, "Dan setelah itu kau memilih musik?" sebagai pelarianmu?

"Ya, akhirnya aku bisa terbuka dengan musikku." Lalu hening. "Kau belum mendengar musik yang aku buat. Akan aku tunjukkan."

Alvi berjalan ke alat DJ miliknya di atas meja. Disana dia membuka laptopnya, memilih musik yang ingin dimainkannya. Alvi berbalik, mendekati Risa kembali.

Suara siulan panjang terdengar dari belakang Alvi. Dilanjutkan dengan degupan jantung mengisi irama. Kepala Alvi mulai naik turun mengikuti irama musiknya. Sekarang suara alat pengukur jantung terdengar. Seperti perkenalan, suara-suara baru masuk mengisi musik yang menggema di ruangan. Siulan, mesin pengukur jantung, bahkan suara seseorang bernafas, dan tertawa terdengar menyatu menjadi sebuah musik dengan degupan jantung menjadi pengatur temponya.

Sekarang temponya semakin cepat dengan degupan jantung sebagai penandanya. Semua suara itu menyatu menjadi satu dengan suara tepuk tangan yang membuatnya semakin terdengar meriah. Kepala alvi naik turun mengikuti irama. Risa tertawa melihatnya. Mendengar suara musik yang konstan dan menyenangkan membuat Risa tidak bisa menahannya juga. Kepalanya ikut naik turun mengikuti irama. Giliran Alvi sekarang yang tertawa. Alvi mengulurkan tangan mengajak Risa berdansa bersamanya. Musik terus menggema dalam kamar, membentuk satu kepaduan. Risa dan Alvi tidak berhenti menghentakkan kaki, berputar, berjingkrak, bertepuk tangan, dan tertawa dalam irama. Namun kebahagiaan tidak pernah berlangsung lama bagi Risa.

Suara alarm menggema ke seluruh penjuru rumah. Sistem keamanan yang dipasang Alvi bereaksi. Ada yang masuk rumahnya tanpa izin. Alvi bergegas mengambil telepon genggam di meja. Dia membuka aplikasi khusus yang tersambung dengan CCTV dalam rumahnya. Orang-orang berseragam militer hitam lengkap dan bersenjata berada dalam rumahnya. Terlihat kebingungan akan alarm yang terus berbunyi dan berusaha mematikannya. Risa mendekati Alvi dan melihat hal yang sama. Seketika wajahnya memucat, dia ingat orang-orang itu. Orang-orang yang sama yang menyerangnya saat di kostnya.

"Kita harus pergi dari sini," ucap Risa tanpa ekspresi. Namun, tubunya jelas sekali gemetar.

"Kenapa? Kau kenal mereka?" tanya Alvi heran.

"Tidak ada waktu untuk mejelaskan Vi. Kita harus pergi dari sini secepatnya!"

"Iya, tapi kenapa?!"

"Aku akan menjelaskan nanti! Yang penting kita pergi dulu selagi bisa!" Risa menarik-narik lengan Alvi.

"Baiklah, Ayo!" Alvi menarik tangan Risa, membawanya keluar. Suara alarm masih berbunyi di seluruh rumah. Alvi turun dari lantai dua dan bergegas menuju garasi di bagian belakang rumah.

Mesin mobil menyala, Risa mengencangkan sabuk pengamannya, Alvi memegang kuat kemudinya, menunggu pintu garasi terbuka. Dari atas cahaya-cahaya senter sekelebat terlihat sedang menuruni tangga. Di balik pintu garasi terlihat juga beberapa kaki yang sepertinya siap menanti mereka.

"Injak gasnya Vi!" teriak Risa saat melihat kaki-kaki di balik pintu garasi.

Alvi menginjak pedal kuat-kuat. Ban sedan mewah itu berdecit sebelum melaju menembus garasi yang bahkan belum terbuka setengah. Orang berseragam yang di luar terlihat berusaha menghindar ke segala arah. Alvi dan Risa berhasil melarikan diri dari rumah.

Ketegangan belum berakhir di situ. Dua mobil SUV hitam mengikuti mereka dari belakang. Tidak cukup dengan itu, mereka menembaki mobil Risa dan Alvi. Alvi berusaha menghindar ke kiri dan kanan. Berlindung di balik mobil lain yang ada di jalan. Kepanikan terjadi di jalan. Beberapa mobil yang tertembak berhenti di tengah jalan, dua pengendara motor jatuh tergelincir berusaha menghindar dan menepi ke pinggir jalan. Kekacauan terjadi, tabrakan beruntun menutup jalan di belakang Alvi.

Alvi membawa mobilnya ke jembatan kota. Dua mobil yang mengikuti sejak tadi berusaha mendekat. Mencoba mengapit mobil Alvi dari kiri-kanannya. Di balik kemudi Alvi berusaha menjaga mobilnya tetap utuh sambil melindungi dirinya dengan menunduk. Risa berteriak di sebelahnya setiap kali suara tembakan terdengar dan mengenai bagian mobilnya.

Suara ledakan berseru keras ketika peluru berhasil menembus ban belakang mobil. Dengan cepat ban itu kempis terkikis berganti dengan bunga api ketika velg beradu dengan jalan. Dalam kecepatan tinggi mobil hilang kendail, kemudinya bergerak sendiri ke kiri dan kanan tanpa Alvi bisa menahannya. Tanpa sadar mobil itu telah berada di sisi jembatan dan terus mendekati dengan cepat. Alvi memejamkan matanya saat dia tahu tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Mobil itu terpental keluar jalan. Terjun dari jembatan setinggi dua puluh meter ke dalam sungai keruh yang dalam.

Cipratan air terlontar tinggi keatas saat benda besar itu mengantam permukaan air. Mobil itu tenggelam perlahan. Air mulai masuk kedalam melalui celah yang ada. Beruntung bagi Risa, dia baik-baik saja, kantung udara menyelamatkannya dari benturan, tapi tidak bagi Alvi. Dia tidak sadarkan diri setelah kepalanya membentur kemudi. Air naik dengan cepat melalui lubang peluru di kaca, sela pada pintu, kap mesin, dan mulai menggenangi kaki Risa. Risa membuka sabuk pengamannya dan melepas milik Alvi. Risa mencoba menyadarkan Alvi, mengguncangnya, memanggil namanya kuat, namun Alvi tidak bergerak.

Air mulai menggenangi pinggang Risa. Membuatnya panik tidak karuan. Dia mencoba mencari cara mengeluarkan Alvi dari dalam mobil. Tanpa pikir panjang dia membuka pintunya dan berenang keluar. Mengitari mobil ke pintu tempat Alvi berada dan mencoba membukanya. Tidak bisa, pintunya terkunci. Air yang masuk semakin banyak. Kepala alvi mulai terbenam dalam duduknya. Risa mencoba kembali ke tempat dia keluar dan menarik Alvi keluar dari sana, tapi air telah memenuhi bagian dalam mobil seluruhnya. Membuatnya tenggelam semakin cepat hingga Risa tidak mampu mengejarnya. Saat nafasnya mulai habis Risa menyerah. Dari kaca depan mobil Risa bisa melihat bayangan Alvi yang masih terduduk di dalam dengan air yang sudah memenuhi isinya. Semakin dalam, semakin jauh dalam kegelapan. Sungguh, Risa tidak ingin kehilangan Alvi sekarang. Risa menangis di kedalaman. Dadanya sesak akan pedih, air matanya menambah keruh sungai. Dalam air Risa terisak, menjerit, meraung tak sanggup menahan gejolak di dadanya. Air masuk dalam paru-parunya, dia tersedak, pandangannya memudar dan dalam keruhnya sungai dia jatuh dalam kegalapan.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top