Pelarian Risa: Lepaskan!

"Apa kau sudah bangun?" suara itu memanggil Risa. "Apa kau sudah bangun sekarang?" terdengar begitu lemah di telinga Risa.

Perlahan Risa membuka matanya. Hanya gelap yang bisa dia lihat. Risa mencoba bergerak, tapi tidak bisa. Sekelilingnya gelap, tapi dia bisa melihat dirinya dengan jelas mengenakan piyama putih bermotif anjing dan kucing berpelukan favoritnya dan duduk terikat di atas kursi kayu tua.

"Apa kau sudah bangun?" suara itu lagi.

"Siapa di sana?!"

"Kau sudah bangun."

"Siapa di sana?! Lepaskan aku!"

"Kau berisik, bisakah kau tenang sedikit," ketus suara itu membalas.

"Apa yang kau ingin kan dariku?! Di mana aku?!"

Suara itu diam. Hanya gema suara Risa yang terdengar. Ruangan itu hening seketika.

"Le-lepaskan aku ...," Risa mulai menangis. "Biarkan ..., biarkan aku sendiri,"

Suara itu mendecak, "Tadi kau minta dilepaskan, sekarang kau minta dibiarkan sendiri. Bagaimana kau bisa melepaskan diri jika sendiri? Dasar wanita bodoh."

"Lepaskan aku..., kumohon."

Tak! Tak! Tak! Suara langkah sepatu berhak terdengar mendekat. Samar terlihat bayangan seseorang mendekat, rambutnya yang terurai bergerak ke kanan-kiri di balik tubuhnya. Semakin dekat bayangan itu semakin jelas Risa bisa melihatnya, sepasang mata merah menatapnya tajam. Saat jaraknya tinggal selangkah dia berhenti, membungkukkan tubuhnya menatap Risa yang terikat dengan tatapan merendah. "Lemah."

Risa tertunduk melihat penampakan di depannya. Dia tidak tahu apa itu, kulitnya sehitam malam, begitupun rambutnya, tanpa pakaian tubuhnya jelas wanita, tapi mata merah dan kuku berbentuk cakar membuat Risa berpikir lagi apa yang di depannya.

"Apa yang akan terjadi padamu jika tidak ada aku di sini," jemarinya menyentuh Risa, membelai rambutnya dan menyibakkan rambut Risa yang berantakan ke belakang telinga. Punggung tangannya terasa kasar di pipi Risa. Sentuhan itu terus turun ke dagu Risa mengangkatnya, memaksa Risa untuk melihatnya. Tidak berdaya, kepala Risa terangkat sejajar dengan wajah di depannya. "Lihat aku."

Risa memejamkan matanya.

"Lihat aku." Suara itu begitu dekat, Risa bisa merasakan napas yang menyentuh ujung hidungnya.

Risa memejamkan matanya semakin kuat.

"Lihat Aku Risa!" Suaranya begitu menakutkan. Setiap inci tubuh Risa bergetar mendengarnya, tanpa sadar Risa tidak bisa menolak permintaannya. Risa membuka matanya kuat-kuat.

"Lihat aku Baik-baik!" ada penekanan di sana. "Aku adalah kamu!"

Risa menggeleng dan memejamkan matanya kembali. "Lihat aku! Aku adalah kamu!"

"TIDAK! Kau bukan aku, aku bukan kamu, aku tidak mengenalmu!" Risa berontak, tapi tetap tak berani menatap mata yang ada di depannya.

"Tentu kau tahu siapa aku, atau perlu aku ingatkan lagi?"

BAKAT 

Lonceng di pintu masuk berbunyi. Risa kecil tahu ayahnya baru saja pulang. Dia berlari ke depan pintu, membawa boneka beruang kecil di tangannya.

"Ayah, lihat! Ibu membelikan boneka baru untuk Risa. Bagus kan?" Risa menunjukkan bonekanya dengan senyum selebar-lebarnya. Ayahnya berdiri di depan pintu menatap Risa. Risa menunggu, namun ayahnya hanya berlalu, meninggalkan kesan dingin di belakangnya.

"Itu saat kau umur tujuh tahun. Aku rasa kau masih ingat kejadian setelah itu." Sosok itu tersenyum, lalu membawa Risa ke memori yang lain.

Prang! Sebuah piring pecah, terpeleset dari jemari kecil Risa yang sedang mencucinya.

"Apa itu?!" Ibunya muncul dari balik pintu, melihat Risa sedang berdiri di depan wastafel dengan pecahan piring di bawahnya. "Apa yang terjadi Ris?" Ibunya terdengar khawatir.

Risa kecil yang ketakutan mulai menangis, "A-aku hanya ingin membantu ibu...," ujarnya sesenggukan.

Ibunya tersenyum, dia berjongkok di depan Risa, mengelus kepalanya. "Tidak apa-apa," ucapnya tenang dan mulai memunguti pecahan beling di kakinya.

"Apa yang kau lakukan?!" suara lain muncul di dapur.

"A-aku hanya membersihkan pecahan piring ini. Aku takut seseorang akan terluka," jawab ibunya.

"Apa kau yang melakukannya?" tanya ayahnya dan ibunya hanya diam. "Jika bukan, lebih baik pergi dari sini dan biarkan yang menyebabkan ini bertanggung jawab!"

"Tapi..."

"Kau berani melawan?!" Ibunya terdiam, perlahan dia bangkit dan pergi meninggalkan Risa di sana. "Dan kamu Risa, bersihkan semua ini. Belajarlah bertanggung jawab dan berguna!" Risa hanya mengangguk kecil. Setelah itu dia membersihkan beling itu sendiri, jarinya terluka dan dia mengobatinya sendiri di kamar.

"Itu sore harinya setelah kejadian beruang dan aku yakin kamu masih ingat apa yang terjadi setelahnya sepanjang hari itu."

Makhluk itu terus membawanya kembali pada kejadian masa lalunya. Satu persatu, mengembalikan lagi ingatan yang telah Risa tutup rapat-rapat. Perlakuan dingin ayahnya, pertengkaran orang tuanya, kekerasan yang diterima ibunya, ibu yang berhenti membelanya, adik laki-laki yang dibanggakan dan selalu menang, pukulan yang diberikan setiap anggota keluarga padanya, dan berapa banyak air mata yang jatuh dari sudut matanya.

"Dan kau masih tidak mengenalku?" makhluk itu bertanya. Risa masih menangis karena ingatannya. "Semua perasaan itu, keinginan untuk dikasihi, dimengerti, dipedulikan, dan dianggap. Semua kebencian itu, kemarahan, dan sakit hati yang kau rasakan. Dan satu hal yang selalu kau minta dari setiap saat-saat itu, kau masih ingat? 'Tolong aku'."

"Talisa," Lirih Risa berkata.

"Akhirnya kau ingat Risa." Makhluk itu tersenyum merangkul Risa mesra. "Ya, ini aku Talisa. Aku yang selalu ada untukmu, aku yang memberimu apapun yang kau butuhkan, rasa peduli, diperhatikan, dilindungi, teman, dan pertolongan yang kau cari."

"Talisa ..., pergilah. Aku tidak butuh pertolonganmu lagi." Risa berkata tepat di telinga Talisa.

"A-apa kau bilang?!" Talisa melepas pelukannya, menggenggam pundak Risa kuat. "Ulangi Ris, apa yang kau bilang?!"

"Pergi. Aku tidak butuh pertolonganmu lagi."

"Ke-kenapa?"

"Kau pembunuh! Kau menyakiti orang lain!"

"Tapi itu semua demi melindungimu Risa!"

"Jika itu adalah caramu melindungiku, aku tidak butuh perlindunganmu lagi!"

"Lalu bagaimana aku harus melindungimu! Kau pikir mereka akan berhenti menyakitimu hanya dengan kamu memintanya?! Kau pikir Genta akan berhenti memperkosamu saat kau memohon dan menangis memintanya?! Tidak kan! Lalu bagaimana aku harus melindungimu?!" Risa terdiam. "Jika bukan aku siapa lagi! keluargamu membencimu, temanmu palsu. Tidak ada orang baik di dunia ini Ris! Tidak ada yang akan membantumu jika kau tidak berguna bagi mereka! Hanya aku, hanya aku yang kau punya."

"Tidak! Masih ada orang baik di dunia ini. Aku yakin."

"Tidak ada Risa. Itu hanya mimpimu saja." Talisa mengelus pipi Risa.

Sontak Risa bangkit dari duduknya seolah tak pernah ada tali yang mengikatnya. Talisa terkejut melihat Risa bisa bergerak, wajahnya terlihat kebingungan. "Ada! Dan aku akan membuktikannya padamu. Jadi kuminta kau pergi dan jangan pernah menolongku lagi."

"Kau wanita keras kepala!" Talisa mulai geram, terlihat dari matanya yang semakin merah terang dan wajahnya yang lebih menyeramkan. "Dan aku tidak akan pergi. Aku ingin melihat apa kau berhasil menemukan orang itu. Tapi aku berjanji tidak akan membantumu lagi sebelum kau memohon dan menangis memintanya."

"Sekarang kau yang bermimpi Talisa."

"Huh, kita lihat saja nanti. Sekarang giliranmu yang harus pergi."

BAKAT

"Akhirnya kau sadar!" Seseorang menyambutnya. Risa tidak bisa melihat siapa hanya bayangnya yang terlihat, cahaya menusuk matanya membuatnya sulit melihat. "Hei, Aku di sini." Risa mengerjapkan matanya beberapa kali hingga matanya terbiasa dan dapat melihat jelas siapa di sana. Seorang pria berperawakan oriental terlihat seumuran dengannya melihat Risa lega.

"Siapa kau?" Risa merasa heran.

"Aku Alvi." Pria itu memperkenalkan diri.

"Di mana aku?"

"Di kamarku," Alvi tersenyum.

"Apa?!" Risa melonjak, "Ow, ow, ow."

"Pelan-pelan," Alvi membantu Risa untuk bersandar di kepala tempat tidur, "Lukamu belum pulih sempurna."

Risa melihat dirinya kedua lengannya dibalut perban, begitupun kedua kakinya, dan Risa merasa keningnya juga. Namun yang paling membuatnya terkejut adalah bajunya, celana pendek selutut dan kaos putih yang dikenakannya.

"Apa yang telah kau lakukan kepadaku?!" Risa menutupi dadanya dengan kedua lengannya, dia bisa merasakan tidak ada bra yang menahannya. "A-a-apa yang telah kau lakukan padaku?! TOLON... hmph." Alvi menutup mulut Risa.

"Sssttt...," Alvi memberi gestur untuk diam dengan telunjuknya. "Aku tidak melakukan apapun padamu," dan Alvi membuang napas lega. "Sejujurnya aku tak tahu apa yang terjadi padamu. Aku menemukanmu di depan rumahku terluka parah. Aku hanya mengobatimu dan mengganti bajumu. Sumpah, hanya itu yang kulakukan."

Risa masih menutupi dadanya yang sebenarnya sudah tertutup pakaian. Keterkejutan dan ketakutan masih terlihat di wajahnya.

"Baiklah, sepertinya kau belum bisa percaya yang aku katakan. Aku akan meninggalkanmu sebentar agar kau bisa berpikir dengan tenang." Alvi bangkit dan pergi uring-uringan menggaruk kepalanya kasar.

Sepeninggalnya Alvi, Risa mencek kembali keadaannya. Apa yang terjadi padanya? Melihat perban-perban yang membalut bagian tubuhnya. Hal terakhir yang dia ingat adalah orang-orang berseragam dengan penutup wajah dan bersenjata masuk ke dalam kamar kost menyerangnya. Sebelum Risa akhirnya terjatuh dan hilang kesadaran, dia ingat meminta pertolongan. Lagi.

Risa mengutuk dirinya. Kenapa dia tidak bisa membantu dirinya sendiri, kenapa dia begitu lemah, kenapa dan kenapa lainnya. Dia mengetuk keningnya geram, lalu mengaduh kesakitan karena lukanya.

Risa memperhatikan kamar tempat dia berbaring sekarang. Televisi slim ukuran besar terpatri pada dinding depan tempat tidurnya. Di sudut ruangan tak jauh dari televisi, sebuah meja panjang berdiri penuh dengan buku-buku tebal dan pemutar piringan elektronik, dan di sebelah Risa cairan infus mengalir ke tangannya. Siapa orang ini sebenarnya? Tapi sepertinya dia bukan orang jahat. Tunggu, Risa tidak tahu apa yang pria itu telah lakukan padanya saat dia tidak sadar. Jika dia berani mengganti baju Risa mungkin saja dia melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya kan? Jangan mudah mempercayai orang lain Risa.

Pintu terdengar terbuka. Alvi masuk membawa makan siang. "Aku harap kau bukan vegetarian," Alvi tersenyum.

Risa hanya diam memperhatikan saat Alvi meletakkan meja kecil di atas paha Risa agar dia bisa makan di kasurnya. "Makanlah. Aku yakin kau lapar, infus itu tidak membuatmu kenyang kan?"

Risa terlihat ragu untuk menyentuh makanannya, sampai perutnya yang berbunyi mengusir keraguan itu. "Terima kasih," salam Risa sebelum menyendok makanannya.

Alvi menunggu dengan sabar hingga Risa menelan suapan terakhir dan menenggak segelas air yang dibawa. "Aku belum tahu namamu."

"Risa. Kau bisa memanggilnya begitu."

"Baiklah Risa. Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"

"Aku tidak tahu. Aku tidak ingat apapun?"

"Kamu yakin? Maksudku dengan luka-luka seperti itu jelas sekali itu bukan perkelahian antar wanita."

"Apa maksudmu?"

"Lebam di seluruh tubuh, luka sayatan di kepala, delapan luka tusukan: dua di tiap lengan dan dua tiap kaki. Kau seperti korban kejahatan atau kau pahlawan super yang habis berkelahi dengan monster?"

"Aku tidak tahu," kepala Risa terasa berkedut-kedut. "kepalaku sakit."

"Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk mengingatnya. Tapi jika nanti kau ingat sesuatu kau bisa bilang padaku. Aku yakin kita harus melaporkan siapapun yang melakukan ini padamu pada polisi." Alvi mengeluarkan sebotol obat dari dari kantungnya dan mengambil satu kapsul di dalamnya. "ini minumlah, untuk meredakan sakit kepalamu."

Risa langsung meminum obatnya. "Apa kau seorang dokter?"

"Hampir!" pekiknya di ujung pintu.

BAKAT

Sudah satu minggu Risa siuman dan Alvi merawatnya. Setiap pagi Alvi akan datang mengetuk pintu kamarnya, membawa sarapan pada Risa, memberikan ucapan selamat pagi untuknya dan semangat pagi bersama senyumnya. Saat matahari mulai meninggi dan menghangatkan kamar, Alvi selalu pamit untuk tidur siang setelah lelah bekerja sebagai DJ di sebuah klub malam.

"Setelah kau sembuh, kau harus memijati punggunggku. Aku rasa itu cukup untuk membalas budi baikku setelah merawatmu," candanya suatu pagi setelah mengeluhkan punggungnya yang sakit karena sebulan ini tidur di sofa.

"Jika itu maumu, tapi aku tidak bertanggung jawab jika punggungmu bertambah buruk."

Alvi tertawa, "Jika itu terjadi, aku tidak akan membiarkanmu pergi dari sini dan memintamu merawatku hingga aku sembuh kembali."

Candanya renyah dengan senyum hangat yang terus menghiasnya membuat Risa semangat setiap paginya. Kebiasaan yang baru pertama kali Risa rasakan. Memberikan perasaan yang Risa percaya sudah tidak ada, kepercayaan, kepedulian, diperhatikan, dan sebuah perasaan lain yang tidak bisa Risa jelaskan. Risa tersenyum dalam sendirinya. Terlihat manis, namun getir di dalam. Entah kenapa Risa merasa tidak pantas mendapatkannya.

Pukul tiga sore, pintu kamar diketuk. Alvi masuk membawa makan siang untuk Risa. Tidak pernah terlambat. Risa mulai melahap makan siangnya. Alvi yang duduk di dekatnya terus memperhatikan.

"Jangan lihat aku seperti itu. Kau membuatku takut," cletuk Risa di sela-sela suapan.

"Aku hanya memastikan kau mengunyah makananmu."

"Kau pikir aku anak tujuh tahun yang bahkan perlu diawasi makannya?"

"Justru aku berpikir, dengan kondisimu sekarang kau adalah bayi mungil yang tidak boleh lepas dari pengawasan."

"Pikirkan dirimu sendiri. Kamu melihatku dengan kantung mata sebesar itu, membuatmu seperti zombi yang sangat ingin memakanku," Risa merasa bersalah melihat kantung mata milik Alvi yang menjuntai dan hitam. Dia pasti kurang tidur karena harus merawatnya dan siksaan punggungnya.

"Jangan pikirkan aku. Kau yang pasien di sini. Bagaimana kakimu? Sudah baikan?" Alvi menyentuh kaki Risa. "Bisa kau gerakkan?" Risa mencoba menggerakkan kakinya. "Terasa sakit?" tanya Alvi. Risa menggeleng, bukan sakit yang dia rasakan, tapi gatal yang dia coba sembunyikan.

"Kenapa kau begitu baik padaku? Kau bahkan tidak mengenalku." Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari Risa.

Alvi terlihat mengerutkan dahinya, "Kenapa kau bertanya seperti itu? Apa harus ada alasan untuk berbuat baik?"

Risa terlihat berpikir matanya bergerak ke atas, "Hm, ya. Semua ada alasan, ada maksudnya."

Alvi sekarang yang berpikir. Dia mengetuk-ngetuk dagunya berpikir, "Baiklah, kalau begitu alasannya adalah aku butuh teman dan karena kakimu sudah tidak sakit lagi besok kau harus menemaniku."

"Hah, kemana?"

"Membeli baju baru. Aku kehabisan baju bersih karena seseorang terus memakainya," Alvi tertawa menghina dan meninggalkan Risa dalam kamar tanpa memberi salam.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top