Jurnal Brasta: Percobaan
"Subjek tes Nomor tiga puluh empat, kemampuan penglihatan, percobaan kelima." Seseorang berjubah putih berbicara pada microfon di depan monitornya. Dari kamera di atas monitor, terlihat pria itu berjalan menjauh membelakangi monitor, seorang pria lain sedang berdiri di sebelah ranjang dengan seseorang berbaju pasien di atasnya. Kamera lain di sudutatas ruangan dapat melihat lebih jelas apa yang terjadi di sana. Dua pria berjubah putih tadi berdiri di kanan kiri pria yang tertidur di atas ranjang dengan tangan dan kaki yang terikat di ranjang.
Sesaat kemudian pria itu terbangun, dia terlihat terkejut dan mencoba memberontak. Namun hanya getaran-getaran kecil terlihat dari tubuhnya yang bebas, matanya bergerak ke kiri dan kanan melihat marah pada dua pria berjubah putih. Kepalanya ingin berpaling, tapi ikatan di dahi dan leher mengganjalnya.
Salah satu pria berjubah putih mendekat membawa sebuah mesin, yang lainnya mengambil kabel yang menjuntai di atas mesin dan melekatkan ujungnya di dua sisi kepala atas telinga pria di ranjang yang masih menatap mereka marah.
"Kita mulai dengan 250 volt," Pria di dekat mesin mulai mengatur dan menekan tombol di sana. "Siap?" pria itu mengangguk, "Sekarang." Pria itu menekan tombol merah di sana.
Pria di ranjang bergetar hebat berikut serta ranjangnya selama beberapa detik dan terkulai lemas.
"Naikkan ...," Pria itu meminta pada pria dekat mesin dan mulai menekan tombol-tombol di sana dan menekan tombol merah lagi.
Pria di ranjang bergetar lagi, lebih kuat dari yang pertama, lebih lama, dan perlahan matanya mulai sayup hampir terpejam.
"Naikkan...,"
Sekali lagi, tubuh pria itu bergetar hebat, ranjangnya ikut bergoyang dan bergeser. Sepuluh detik kemudian pria itu mengejang, pinggulnya terangkat keatas, kaku pupil matanya menghilang dan hanya terlihat putihnya. Lalu tubuh itu jatuh kembali. Pupil matanya bergerak kaku turun sedikit demi sedikit. Ketika pupil itu sudah kembali ke tengah, wajahnya menegang, mulutnya terbuka matanya terbuka sekuatnya dan mesin-mesin di ruangan mulai berbunyi peringatan. Kedua pria itu seperti sudah menunggu saat ini dan dengan sigap kesana kemari, mengecek monitor-monitor yang menampilkan data dan mengecek peralatan pada meja alumunium di dekatnya. Dari kamera di atas ruangan, mereka berdua terlihat sedang melakukan operasi pada bagian mata pria di ranjang. Sebuah alat di mata kiri menahan kelopak matanya tetap terbuka. Pria di dekat ranjang dengan tenang mulai mengambil satu persatu alat dan melakukan operasi, pria yang lain terus berada dekat mesin-mesin dan siap memberitahu semua perubahan. Beberapa menit kemudian mata itu sudah lepas dan terangkat dari rongganya, dimasukkan dalam toples yang sudah di isi cairan pengawet. Mata kanannya terus membuka kaku tak berkedip meskipun mata kirinya telah hilang dan ditutupi perban putih. Hingga akhirnya pria berjubah putih menyuntik lengannya membuat tubuh itu melemas dan menutup mata.
BAKAT
Brasta meringkuk pada tempat tidur alumunium tanpa bantal ataupun guling dalam kamar dua kali dua meter yang hanya berteman suara air dari wastafel di sebelah kloset duduk. Menggigil kedinginan, berwajah pucat, penuh keringat. Memeluk dirinya, merasakan sakit di tiap inci tubuhnya. Sebelah matanya terpejam dan sebelahnya tertutup kapas berlapis perban. Kehilangan dirinya dalam ruang remang. Suara jatuh butir air hanyalah penanda waktunya. Waktu kapan kabut akan memenuhi ruangannya, memaksanya terlelap, dan bangun kehilangan sesuatu dari dirinya lagi. Meski waktu terasa lambat di dalam, tapi tidak di luar.
Sebulan sudah Brasta dimasukkan dalam ruang yang baginya adalah penjara dan dua minggu telah berlalu sejak dia kehilangan matanya. Mata itu mulai sembuh dari lukanya, rasa dingin mulai hangat, keheningan tetap bergeming, dan kegilaan bersiap menyerangnya. Sebuah celah pada pintu membuka, sebuah tangan masuk melewatinya membawa jatah makan harian untuk Brasta dan meletakkannya di lantai.
"Makanlah."
Suara itu menarik perhatian Brasta, "Tangan!"
"Ya, kenapa? Kau rindu padaku?"
"Keluarkan aku dari sini ...." Brasta gontai mendekati pintu lalu terjatuh di depannya, "aku mohon padamu, Tangan."
"Aku tidak bisa. aku sudah memberimu kesempatan, tapi kau sendiri yang membuangnya."
"Tolonglah," Brasta terdengar terisak, "Aku akan melakukan apapun! aku akan membunuh siapapun yang kau mau! Kumohon Tangan, keluarkan aku dari sini."
"Maaf Bras, aku tidak bisa. Lebih baik kau makan makananmu, kau akan membutuhkannya."
Suara langkah Tangan mulai menjauh membawa harapan Brasta untuk bebas bersamanya. Kekecewaan pada kebodohannya sendiri membuatnya begitu marah. Nampan makanan itu dilemparnya ke dinding, berantakan.
"ARRRGGHHHH!!!" Brasta putus asa. Dia memukul pintu kuat-kuat, seperti saat-saat pertama dia berada di penjara ini, "KELUARKAN AKU DARI SINI!"
Kabut mulai masuk ke dalam lewat celah di langit-langit. Brasta yang terisak lalu tertawa seperti orang gila dan menghirup kabut itu sekuatnya, membuatnya terbius dengan cepat, membawanya kembali pada keheningan. Setelah keadaan aman, pintu itu terbuka. Dua orang berpakaian serba putih berdiri di sana dengan Tangan di dekatnya. "Keluarkan dia dari sana," ujar Tangan.
BAKAT
Tangan duduk bersilang kaki di ujung ruangan. Memperhatikan Brasta yang mulai mendapatkan kesadarannya kembali. Ketika Brasta membuka matanya dan melihat cahaya terang memenuhi sebelah matanya, dia pikir berada di surga. Brasta tersenyum, berterima kasih pada Tuhan telah mengangkatnya dari penderitaan lalu memejamkan matanya dan berharap tidur selamanya.
"Hei, hei, jangan kau berani tertidur kembali Brasta!"
Brasta terkejut, membuka matanya kembali, mencari asal suara.
"Aku di sini."
Brasta mengikuti arah suara, dengan kedua sikunya dia mencoba bersender pada kepala tempat tidur dengan menggunakan telapak tangannya untuk menghalangi cahaya dia bisa melihat lebih jelas siapa di ujung ruangan. "Tangan! Apa yang kau lakukan di sini?" Tangan hanya tersenyum membuat Brasta bingung dan melihat kembali tempat dia berada. Kamar lamanya. "Kenapa aku di sini?"
"Aku mengeluarkanmu."
"Ba-bagaimana? Kau bilang tidak bisa."
Tangan tertawa, "aku bercanda, hahaha. Tentu saja aku bisa. Aku pemilik tempat ini," dia merentangkan tangannya.
"Apa kau bilang?!" Brasta tidak bisa menahan amarahnya. "Jika kau bisa kenapa baru kau lakukan sekarang! Kau pikir ini lucu, hah?!" dia menunjuk mata kirinya yang hilang.
"Teruslah berbicara dengan nada seperti itu dan kau akan kembali ke sana." Tangan kehilangan senyumnya. "Aku mulai merindukan mendengar kau mengemis dan memohon sebelumnya." Tangan mempraktekka bagaiman Brasta memohon, lalu tersenyum puas. Brasta menutup mulutnya. "Aku memberikanmu kesempatan untuk memulai dari awal. Buktikan dirimu berguna dan kau tidak akan kembali ke tempat itu dan tentu saja perjanjian akan informasi orang yang kau cari tetap kuberikan. Namun jika kau gagal, aku akan langsung mengirimmu ke peti mati. Sekarang ganti pakaianmu. Aku menunggu di luar."
Brasta mencari pakaian yang dimaksud Tangan dan menemukannya pada meja kecil di sebelahnya. satu persatu Brasta mengenakannya hingga sarung tangan dan penutup wajah yang diberikan. Setelan baju ini pernah di lihatnya dipakai para penjaga tempat ini. Seragam tempur serba hitam. Di bawah semua itu ada file coklat yang menarik perhatian Brasta. Foto seorang wanita muda dan cantik ada di dalamnya tanpa penjelasan apapun, sama seperti saat misi pertamanya. Brasta menyimpan foto itu dalam sakunya dan keluar.
"Kenapa aku memakai pakaian ini?" Brasta dalam perjalanan bersama Tangan menyusuri lorong-lorong putih yang familiar.
"Kau akan menjalankan misi rahasia. Hanya beberapa orang yang tahu dan kau harus tetap menjaga itu." Mereka berhenti depan sebuah pintu yang Brasta tau adalah tempat penyimpanan senjata. "Sekarang ambil apapun yang kau suka. Ingat, ini misi rahasia, tidak ada yang boleh tahu bahkan targetmu tidak boleh tahu kau akan menghabisinya. Kita berangkat malam ini."
Brasta paham maksudnya. Di dalam dia mengambil senapan laras panjang SS2-V4, pistol FN-57, kacamata malam, beberapa magasin, dan pisau komando. Setelah semua dikiranya siap, Brasta kembali keluar menemui Tangan. "Aku siap."
"Temui aku di atap lima menit lagi." Tangan pergi setelah menyampaikan pesannya.
Brasta mengikuti perintahnya dan bergerak menuju atap. Dengan pakaian dan penutup wajahnya tidak ada yang nampak curiga dengan gerak-geriknya membuatnya tenang hingga akhirnya sampai di atap. Di atap, baling-baling dua helikopter sudah berputar begitu kencang siap berangkat. Dua tim beranggotakan lima orang per tim sudah menunggu di depan heli. Tak lama Tangan muncul dari dalam lift mengenakan sarung tangannya. Melangkah cepat menuju helikopter, memegangi topinya agar tidak terbang terkena hembusan baling-baling, memberikan kode telunjuk memutar di atas dan semua personil masuk dalam helikopter.
BAKAT
Di atas pepohonan yang tidak diketahui jenisnya dalam gelap malam, heli itu melayang rendah. Empat buah tali meluncur dari heli ke tanah. Enam orang termasuk Brasta turun dan heli itu menghilang di atas rimbunnya pepohonan.
"Dengarkan! Posisi target empat kilometer arah utara. Eksekutor adalah Brasta yang lain akan membantu jika terjadi sesuatu di luar rencana." Tangan memberi perintah melalui heli yang masih berputar-putar di sekitar area penerjunan.
"Diterima!" jawab semua serempak. "Nyalakan penglihatan malam," perintah kapten tim. Semua mengaktifkan penglihatan malamnya dan mulai bergerak maju melewati pepohonan yang nampak tak berujung. Brasta yang berada di belakang terus mengikuti sambil memantapkan hatinya untuk bisa mengambil nyawa seseorang malam ini.
Beberapa menit kemudian di kejauhan mereka sudah bisa melihat cahaya samar-samar. Dalam langkah yang tetap namun diam mereka terus mendekat hingga terlihat sumber cahaya. Sebuah gubuk dengan tiga orang di dalamnya. Brasta maju ke depan mencari posisi yang tepat. Ketika jaraknya dan target hanya tinggal lima ratus meter Brasta berhenti. Dari balik pohon dia melihat melalui teleskop senjatanya. Mencari targetnya. Seorang wanita terlihat mengisi bingkai bundar teleskopnya. Tersenyum dan tertawa, wanita itu terlihat tidak berbahaya atau seorang penjahat, yah, sama seperti targetnya pertama. Namun bayangan fasilitas tempatnya ditahan dan diperlakukan seperti hewan percobaan membuatnya menepis pikiran baik tentang targetnya dalam-dalam. Brasta mengatur napasnya saat sosok dalam teleskop itu bergoyang tidak stabil.
"Apa yang kau tunggu Brasta!" suara Tangan di earphone-nya terdengar kesal.
Brasta tidak memedulikannya. Satu tarikan napas lagi dan selama beberapa detik waktu terasa berhenti saat Brasta menghempaskan sedikit nafasnya lalu menarik pelatuknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top