Jurnal Brasta : Awal
Sebuah pukulan berhasil Brasta hindari.
Zhub! Zhub! Zhub
Suara tinju itu mengiang di telinga Brasta setiap kali dia mengelak.
"Kau semakin baik, Brasta," Tangan tersenyum. Mereka sedang latihan. Meningkatkan bakat Brasta.
Brasta sudah mundur mengambil jarak. Dia belum bisa mendekati Tangan.
"Ayolah, kenapa kau mundur? Sudah hampir sebulan dan kau belum bisa mengenaiku?" Tangan menaikkan sebelah alisnya
Brasta terus menatap Tangan tajam. Mencari celah, meskipun Tangan tidak bergerak. Tanpa aba-aba, berlari secepat mungkin ke arah Tangan. Matanya berkedut, menimbulkan efek slow motion pada matanya. Tangan mengangkat lengannya membentuk pertahanan di antara dada dan wajahnya. Brasta bergerak ke sisi kanan mengincar rusuknya, tapi Tangan melihatnya dan menangkap tangan Brasta lebih cepat daripada Brasta bisa melihatnya. Lalu, sebuah tinju mengarah ke wajah Brasta. Belum sempat Brasta berpikir untuk menghindar kemana, matanya kembali normal dan tinju dari Tangan menjadi tidak terlihat saking cepatnya. Tidak mampu di hindari dan telak memukul hidung Brasta.
Brasta terpental dan terseret di lantai cukup jauh. Brasta bangkit terhuyung. Kelelahan. Terlihat keringat mengalir di sekujur tubuhnya yang hanya mengenakan singlet. Memperlihatkan kulit coklatnya yang terpanggang matahari dan otot di lengan dan dada bidang yang dibentuknya di jalanan.
Brasta menghapus darah yang mengalir dari hidung dengan punggung tangannya. "Hei, kau berdarah? Maaf, aku kira kau bisa menghindarinya," Tangan tersenyum.
"Matamu normal kembali?" tanya Tangan.
Brasta mengangguk. "Baiklah, kita sudahi untuk hari ini." Tangan melihat jam tangannya, "Tiga puluh menit. Kemajuanmu semakin terlihat."
Brasta melemaskan ototnya. Dia berjalan menuju pintu keluar ruang latihan mengikuti Tangan di depannya. Ruangan itu sudah sebulan ini menjadi tempatnya melatih kemampuan mata dan bertarungnya, meskipun tampak seperti pertarungan sungguhan untuk sebuah latihan. Tempat ini tidak kreatif. Seperti ruangan lain, lagi-lagi berwarna putih terang dari cahaya yang sepertinya berasal dari dalam dinding. Hanya lantainya yang berbeda dengan motif kotak berpetak.
"Kau lanjutkan latihan berikutnya. Aku mau keluar sebentar," ujar Tangan langsung keluar dari ruang istirahat antara ruang latihan dan ruang lainnya.
Brasta tidak memperdulikannya. Selalu begitu, Tangan akan pergi setelah latihan berdua mereka selesai. Entah kemana, Brasta juga tidak ingin tahu. Dia melanjutkan ke kamar mandi dan membersihkan diri di sana.
BAKAT
Bang! Bang! Bang!
Sebulan berada di sini. Brasta menemukan bakatnya yang lain. Menembak. Sejauh ini dia sudah memecahkan rekor disemua jenis senjata; pistol, semi otomatis, hingga senapan laras panjang. Brasta juga lebih sering menghabiskan waktunya menembak di ruang latihan. Dia menyukainya. Senjata pembunuh yang bisa di gunakan tanpa perlu mengotori tangannya. Ya, membunuh. Membunuh orang itu.
Bang! Sebuah peluru menembus sasaran tembak tepat di kepala. Mengingat orang itu membuatnya marah. Tangannya masih menekan pelatuk pistol di tangannya. Suatu saat dia akan membunuhnya. Orang yang telah membunuh kedua orangtuanya.
BAKAT
Sebuket bunga matahari tergeletak di kasur putih ruang perawatan. Tangan duduk di kursi di sebelahnya. Menyilangkan kaki, melihat bunga itu seolah-olah dia adalah seseorang. Ya, dia sedang membayangkan seseorang di sana.
"Siang Susi. Aku membawakan bunga matahari untukmu," Tangan tersenyum. "Aku tidak tahu bunga apa yang kau suka. Aku bahkan tidak tahu kau suka bunga. Jadi, aku membawakanmu bunga yang sepertinya bagus untukmu." Tangan tersenyum lebih lebar. Dia bingung harus membawa bunga apa, jadi dia membeli bunga dengan warna favoritnya.
"Hish," Tangan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Entah, sudah berapa kali aku berbicara seperti ini, di sini, tapi aku menyesal tidak pernah mengenalmu lebih dekat. Ah, tapi kau juga tidak pernah memberi kesempatan aku untuk mengenalmu lebih jauh. Hanya pembicaraan singkat saja yang terjadi antara kita dan selalu tidak jauh dari pekerjaan,
"Kau tahu, aku baru sadar telah kehilangan seorang teman setelah kau pergi. Hahaha, lucu ya. Hanya dari obrolan-obrolan singkat itu saja aku bisa merasa dekat denganmu. Tunggu, mungkin karena hanya kau lah yang berbicara denganku makanya aku merasa begitu. Jenderal? Dia tidak masuk hitungan. Siapa yang mau berteman dengan orang tua sinis yang suka memberi perintah sepertinya," Tangan terkekeh.
"Bicara soal teman, kau ingat Brasta? Dia sudah banyak kemajuan, dalam beberapa minggu lagi mungkin dia akan siap untuk misi pertamanya. Hanya dia sekarang yang bisa kuajak bicara, meskipun dia lebih buruk darimu. Dia jarang sekali menanggapi yang aku bicarakan," Tangan mendesah lesu, "Tapi, itu lebih baik di banding Mata yang tidak bisa bicara sama sekali atau Pikiran yang sampai saat ini belum juga sadar.
"Kekacauan beberapa waktu lalu, Jenderal terlihat senang. Dia ingin segera mungkin mendapat aset itu kembali. Sudah kuduga, dia bahkan tidak perduli dengan personil yang jadi korban dalam kekacauan itu. Begitu pula aku, namun aku peduli denganmu," Tangan mencengkram pinggiran kursinya kuat. Teringat lagi saat pertarungannya dengan sosok yang membuat kekacauan di tempatnya. Bahkan, setelah Tangan melukainya cukup parah dia masih bisa melarikan diri dan membunuh tim yang mengejar untuk menangkapnya. Saat semua kekacauan itu mereda, Tangan baru tahu bahwa Susi adalah korban pertamanya dan keadaannya saat ditemukan begitu kacau. Terbaring di tempat tidur dengan sekujur tubuh berwarna merah bermandikan darahnya sendiri. Luka sayatan dimana-mana dan wajah yang sulit dikenali jika tidak ada tanda pengenal yang masih bertengger di saku jubah—yang dulu—putih.
"Tenang saja, aku akan membalaskan dendammu. Aku akan menemukannya dan membunuhnya. Masa bodoh dengan perintah Jenderal."
BAKAT
"Lima puluh satu, lima puluh dua, lima puluh tiga, lima puluh ...."
Pintu kamar terbuka. Brasta melihat siapa yang masuk, masih dalam posisi awal push up yang sedang dilakukannya.
"Apa aku menganggu latihanmu?" Tangan masuk dan tampak seolah terkejut.
"Lima puluh empat, lima puluh lima, lima puluh enam," Brasta mengabaikan Tangan.
"Jenderal baru saja menelepon. Dia senang dengan kemajuanmu. Dia ingin kau menjalankan misi pertamamu minggu depan."
Brasta berhenti, masih dalam posisi push up dia melihat Tangan, "Misi?"
"Ya, walau pun aku meragukan kau sudah siap untuk sebuah misi ... sigh, tapi tidak ada yang bisa menolak perintah orang tua itu."
"Aku siap!" jawab Brasta tegas.
Tangan tersenyum, "Baiklah, jika kau berkata seperti itu. Hanya itu yang ingin kukatakan. Lanjutkan olahragamu," Tangan melambaikan tangannya.
"Tunggu, Tangan!," Brasta menghentikan langkah Tangan di muka pintu. "Jangan lupa dengan perjanjian kita."
"Heh, aku tidak lupa. Jika kau bisa membuktikan kau berguna bagi kami, maka aku akan memberimu informasi tentang orang itu," Lalu pintu itu tertutup.
Akhirnya update! *Nggak ada yang nanya*. Maaf dengan kebohongan yang saya buat bulan lalu Hahaha. Jika ada kekurangan dalam chapter ini mohon sampaikan di kolom komentar. Jika kalian suka jangan lupa VOTEnya.
Buktikan jika kalian pembaca yang baik dan menghargai usaha penulis yang karyanya kalian baca. Terima Kasih dan sampai jumpa di update selanjutnya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top