03.2
[]
Dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring, bunyi kursi yang ditarik Mama antara kayunya dengan lantai keramik, suara kriuk yang dihasilkan Papa ketika sukses menggigit kerupuk garing, dan lafalan 'dug' pada kata bedug yang kuciptakan karena mempertemukan gelas dan permukaan meja, adalah sedikit yang bisa kudeskripsikan tentang apa yang kujalani sekarang.
Makan malam. Seperti keluarga-keluarga pada umumnya, keluargaku pun ikut memberi setidaknya setengah jam di malam hari untuk berkumpul di meja makan dan menyantap beberbagai hidangan yang Mama masak atau terkadang Papa beli di luar. Meskipun lebih banyak fokus pada makanan, tapi Papa sesekali menyempilkan berbagai obrolan, seperti saat ini contohnya: Papa baru saja bertanya 'lagi' soal jurusan apa yang nanti akan aku ambil di sbmptn.
"Oseanografi. Papa sarankan kamu ambil itu, walau nggak sejalan sama jurusan kamu di SMK sekarang, tapi bisa kalau kamu udah paham dengan soalnya. Masuk saintek itu, kamu udah belajar 'kan?"
Terhitung sejak aku kelas sebelas semester dua. Tiap harinya Papa selalu meracuniku dengan memberi jurusan-jurusan perkuliahan----yang kata Papa akan membawaku pada masa depan cerah secerah mentari siang, entah itu dari soshum atau saintek. Padahal bidang yang aku tekuni di SMK masuknya ke soshum, tapi aku----lagi-lagi diracuni oleh materi saintek dari beberapa buku dan situs web yang Papa daftarkan untukku mempelajarinya.
"Sudah, tapi Dumai fokus ke soshum. 'Kan sudah belajar duluan daripada saintek," jawabku sambil mencomot satu kerupuk milik Papa.
Menjadi siswi SMK membuatku sadar jika persenan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lewat jalur snmptn tidak gampang. Cuma 40% ditambah sekolahku swasta meski akreditasi Satu Nusa itu 'A' tapi tidak menutup kemungkinan untuk aku gagal nantinya. Maka dari itu, sejak kelas sebelas semester pertama aku sudah terlebih dahulu mencoba menguasai materi soshum seperti yang aku minati.
Papa mengangguk lemas, beliau mengedikkan bahunya sambil cemberut dan berkata, "Papa maunya kamu di Oseanografi, jurusannya belum banyak yang minat, tapi peluang kerjanya besar di masa depan. Perihal gaji nggak usah ditanya lagi! Gede. Cukup untuk hidup di Jakarta yang keras."
"Dumai nggak terlalu suka, Pa. Lagian Dumai nggak minat kerja neliti laut. Papa tahu 'kan kalau Dumai terobsesi untuk kerja di perkantoran? Itu lho Pa, yang gedungnya tinggi-tinggi."
"Di Sudirman ya, Mai?" Mama menyimpil di obrolanku dengan Papa.
Aku menatap Mama sambil mengangguk antusias. "Iya! Ish, Mama tuh tahu banget anaknya sih?"
Mama hanya tertawa. Sementara aku mulai membayangkan gedung yang berjejer rapi di jalan sekitaran Sudirman yang selalu aku temui dan kupandang kagum kalau aku sedang mengikuti car free day----gedung yang seolah ingin menyentuh sang langit. Satu dalam bayanganku: indah. Meskipun aku tahu, cita-citaku sangat tidak masuk dalam kategori cita-cita anak lainnya, seperti profesi pada umumnya. Namun, bagiku menjadi orang kantoran itu keren, dan aku ingin membuat nyata impianku sejak SMP itu.
"Atau kamu nerusin cita-cita Masmu saja, Mai. Sarjana teknik ITB, nggak kesampaian 'kan waktu si Damai mau ambil itu? Lagian sudah Papa bilang, mimpi ketinggian masih aja ngeyel. Damai masuk teknik ITB, tes awal saja Papa yakin dia nggak bakalan masuk. Dia tuh cocoknya musik atau tekuni aja lagi atletnya waktu itu daripada susah-susah belajar yang bikin dia senewen sendiri."
Mendengar ucapan terakhir Papa sebelum meninggalkan meja makan, Mama mencoba tersenyum. Aku tahu Mama sedang mati-matian menahan sedihnya. Papa membawa nama Damai dalam obrolan kali ini, membuat keluargaku mau tidak mau terlempar kembali ke masa-masa di mana Damai yang notabenenya putra sulung dan kakak laki-lakiku menutup umur pada usia yang masih sangat muda karena orang-orang bajingan itu.
"Jangan nangis lagi, ya? Nanti Masmu sedih kalau kamu terus-terusan nangisin dia. Mama susul Papamu dulu." ucapan Mama berbarengan dengan elusan halusnya di pundakku.
Aku tidak membalas apa pun, karena memang aku nggak tahu harus membalas apa. Pikiranku seketika blank. Menyangkut kematian Damai aku memang sesensitif itu, rasanya aku masih tidak percaya jika saudara kandung satu-satunya yang kupunya sudah pergi. Damai memang masih berada di dunia----jasadnya yang terkubur tanah, tapi jiwanya sudah kembali ke pangkuan-Nya.
Aku menghela napas, melirik sisa makanan yang masih ada di piringku dengan pandangan tidak minat lagi. Aku memutuskan untuk menyudahi acara makan malamku setelah meneguk air putih. Lalu, melangkah menjauh dari dapur. Tujuanku kini adalah sampai di kamar Damai. Aku ingin melepas rindu, walau hanya dengan menatap cengiran Damai di figura yang Mama pasang rapi di dinding kamar Damai.
Masih sama. Adalah dua kata yang menggambarkan suasana kamar Masku ketika aku berhasil membuka pintunya yang sengaja tidak dikunci. Kamar itu berwarna campuran antara warna navy dan khaki. Sesaat aku terkekeh, mengingat betapa anehnya selera Damai dalam mengagumi warna. Lemari kaca yang berisi beberapa pajangan action figure dari serial hero marvel dan beberapa manga yang Damai favoritkan sedikit berdebu. Aku menyentuhnya pelan. Debu tadi langsung merangsek menempel di jemariku, seolah memberitahu sudah lama ia tidak dibersihkan dari sana.
"Dumai jangan sentuh Astro Boy, Mas!"
Lima tahun lalu, kala aku sebal dengan Damai dan berencana menghancurkan mainan miliknya, Damai berteriak lantang. Satu bantal biru miliknya dilempar ke arahku. Membuatku membalasnya menjerit, lalu menangis. Sayangnya, air mata yang sudah kusiapkan sebagai bukti untukku mengadu pada Mama tidak tersampaikan, karena pada saat itu Mama sedang pergi arisan di blok tetangga dan Papa belum pulang kerja.
"Bandel!" tukas Damai seraya menyentil dahiku. "kalau Mas bilang jangan, berarti jangan. Lagian nggak jelas, tiba-tiba marah. Kamu kenapa? sini aduin sama, Mas."
Aku yang masih sesegukkan menatap Damai malas. Sebagai seorang kakak Damai memang tidak bisa diandalkan. Dia terlalu tidak peka. "Apa? Mas makan keju aku! 'Kan aku udah bilang jangan, berarti jangan. Mas bandel!"
Bukannya prihatin dengan aku yang kehilangan keju karena ulahnya, Damai malah tertawa kencang. Dia turun dari rangjangnya, kemudian duduk di sampingku. Pelan, Damai merangkul bahuku untuk dipeluknya. Lembut Damai berkata, "Nanti aku ganti. Kamu mau yang mana? Yang batangan atau yang bantalan? Kita beli di Indomaret. Oke? Sekarang jangan nangis. Sudah anak putih-biru, cengeng ah!"
"Dan sekarang aku udah putih abu-abu masih cengeng, Mas," kataku sambil memandang foto Damai yang tersenyum lebar di dinding. Berusaha menciptakan satu ilusi, tentang Damai yang kini sedang berbincang denganku.
"Sekarang kulkas selalu penuh sama keju, Mas. Papa yang beli kalau pulang kerja. Tahu nggak Mas? Papa bilang biar Dumai nggak rebutan lagi sama Damai. Padahal Papa harusnya tahu, cuma aku sekarang si tikus di rumah. Mas di sana pasti lagi ketawain aku 'kan? Ketawa Mas yang kenceng, kalau bisa sampai aku dengar. Aku nggak takut."
Setelah berkata seperti itu aku beranjak untuk rebahan di kasur dingin Damai. Menelentangkan badanku dan melihat berbagai tempelan glow in the dark dengan bentuk yang beragam di atap kamar. Damai itu sangat suka dengan tempelan-tempelan. Kalau saja Mama tidak melarangnya untuk menempelkan stiker di dinding kamar, sudah pasti kamar Damai akan terlihat mengerikan. Sebagai gantinya Damai menjadikan meja belajar kayunya sebagai sasaran. Meja yang tadinya berwarna coklat muda hampir tertutupi oleh stiker aneh yang entah darimana Damai dapatkan dulu.
Tanpa sengaja, ketika aku masih memindai meja belajar Damai mataku menangkap adanya beberapa buku berjudul SBMPTN 2014. Aku ingat, Masku sangat bercita-cita untuk masuk ke ITB seperti yang tadi Papa katakan. Segala usaha Damai kerahkan, meski sebenarnya dia tahu jika semuanya akan berujung pada sia-sia. Namun, Damai tetap Damai, dia terus mencoba meski pada akhirnya memang tidak bisa dia dapatkan ITB.
"Mas pusing, Mai. Gimana dong?"
Biasanya, jika Damai mulai jenuh dalam belajar dia akan pergi ke kamarku. Tiduran tanpa izin di kasurku dengan posisi tengkurap, lalu dia mengadu. Dan sebagai adik yang mengerti keadaannya aku mengulurkan tangan untuk mengelus rambutnya. Membiarkan Damai kembali bertemu damainya. Karena ketika Damai sudah mengeluh pusing itu bertanda kegigihannya sudah kembali berpulang pada keputusasaan. Batinnya sedang berperang pada keadaan. Dan aku nggak mau Damai benar-benar terpuruk.
"Jangan dipaksa. Mas, main piano aja, yuk?"
Ajakanku selalu diindahkan Damai. Kami akan melupakan masalah yang Damai rasakan tadi dengan cara seperti ini. Menyentuh tuts piano dan membiarkan melodinya mengalun indah seantero rumah. Selain bulu tangkis, musik adalah teman yang selalu tepat untuk Damai.
"Kalau nanti Mas nggak ada, jangan pernah berhenti main piano ya, Mai? Anggaplah kalau piano bakalan ngobatin kangen kamu ke aku."
Versi 'nggak ada' bagi Damai dulu adalah di mana dia tidak akan tinggal di rumah lagi karena ikut asrama di Pelatnas, bukan seperti saat ini. Damai benar-benar menghilang dari rumah dan tidak akan pernah datang lagi. Mengingat itu semua membuatku tersenyum kecil alih-alih menangis. Aku bangga pada Damai dan Damai tahu itu. Tidak semua orang yang berada di posisinya akan bertahan dengan lapang dada seperti yang Damai lakukan. Enggak aku dan enggak juga orang lain.
Damai adalah yang terhebat bagiku. Mas paling baik dan aku adalah adik yang paling beruntung di dunia karena memilikinya. Mama dan Papa adalah orang tua terkeren karena telah membuat Damai ada. Juga Alara si cewek yang sangat dicintai Damai dan kebetulan Alara juga baru saja membalas pesanku pesan setelah tadi aku mengirimnya foto kamar Damai.
Alara : Kangen Damai, ya? Sama, aku juga. Hehe. Dam memang sengangenin itu sih.
Aku terkekeh membacanya. Alara untukku bukan hanya sekadar seseorang yang dicintai Masku. Alara lebih dari itu semua. Karena bersama Alara aku bisa menumpahkan semua duka, meski dalam porsi yang berbeda. Karena kami sama-sama kehilangan seseorang yang sangat kami cintai.
Dumaica : Papa bahas sbmptn lagi. Nyeret-nyeret Dam, juga.
Aku disuruh masuk oseanografi masa Al? Aku kan gabisa berenang.
Alara : Hahaha. Sama kayak si Daya. Tuh anak juga lagi bingung mau masuk mana. Ayahku sudah pasti nggak sejalan sama apa maunya Daya. Pemikirian kolot orang tua memang.
Dumaica : Masa? Terus gimana sekarang Dayanya?
Alara : Ya, gitu. Kamu kalau ketemu dia jangan bahas-bahas Dam sama bahas sbmptn deh. Sensi dia.
Dumaica : Ish, aku nggak pernah bahas. Dianya aja yang ngajakin aku gosip mulu. Dia bilang apa ke kamu?
Alara : Kayak yang kamu bilang. Katanya dia bikin orang nangis gitu-gitu. Terus tadi masa dia wa aku ngasih kamu kemeja pramukanya.
Lamat-lamat otakku mulai mencerna arti dari pesan yang beberapa detik lalu masuk ke ponselku. Masih Alara sebagai pengirimnya. Kontan pipiku mendadak merona panas. Ah, Digdaya terlalu pintar untuk membuatku terjebak pada situasi seperti ini. Malu. Omong-omong kemeja pramukanya sudah aku cuci dan sekarang dalam tahap pengeringan. Mendadak pertanyaan muncul : bagaimana aku pulanginnya? Ah, Dumai ayo berpikir.
Dumaica : Bilangin ke Daya, aku nggak main-main sama ucapanku tadi di sekolah. Dan errr, bilangin Daya juga kemejanya lagi dicuci.
Alara : Sudah kubilang. Seperti biasa, Digdaya dengan keras kepalanya. Dia nanggepinnya gitu-gitu. Btw, tadi dia juga liat foto Damai di kamarku. Haha, selaw dia cuma malu kayaknya.
Dumaica : Hmm, aku nggak tahu harus bilang apa.
Alara : Hmm aku juga.
"Dumaica belajar! Jangan tidur di kamar Damai!"
Teriakan Papa dari kamarnya yang tepat berada di bawah tangga terdengar. Aku meringis sebal. Lalu membalas pesan Alara terlebih dahulu sebelum masuk ke kamarku dan berpacaran dengan buku sbmptn lagi. Melupakan sebentar kalau seharusnya aku mempersiapkan diri dan materi untuk UJIKOM kejurusan yang sudah ada di depan mata.
Dumaica : Babay. Aku mau ngapelin buku sbmptn dulu.
[]
Kamis, 27 Desember 2018.
1:19 PM.
----rani yang pusing dikit lagi liburan selesai):
Btw, selesaaai perkenalannya dengan Damai. Bagaimana menurutmu Damai? Buatku dia loveable banget sih(":
GrasindoStoryInc
grasindostoryinc
Halo, sesama pengikut kompetisi Grasindo! Salam kenal kalau-kalau menemukan ceritaku ini. Sila dibaca jika berkenan. Sila beru kritik dan saran bila menurutmu ada yang kurang pas. Sila koreksi si typo kalau dia muncul. Sila pencet bintang dan komentar jika ingin, hehe.
🌼Gomawo🌼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top