02.1

[]

"Selamat siang," sapaku sambil sedikit membungkukkan badan pada seluruh manusia yang berada di kelas. setelah sapaanku dibalas kencang dengan kata yang sama, aku tersenyum sebentar sebelum kembali berbicara, "saya Aksara Dumaica Atriyu, ingin mempresentasikan hasil produk yang saya ajukan untuk tugas individu Otomatisasi Tata Kelola Humas dan Keprotokolan."

Usai kurasa cukup untuk pembukaan, aku mulai menyalakan laser yang ada di genggaman tangan kananku dan mengarahkannya ke papan tulis yang sudah menampilkan power point dari materi presentasiku untuk tugas hari ini.

"Sebagai seorang public relation saya merekomendasikan sebuah produk kaos kaki ber-merk Khasocks yang akan menjadi unggulan utama dalam produk yang akan saya ajukan kepada perusahaan. Tentunya, bukan kaos kaki sembarangan. Berdasarkan kuesioner yang sudah saya sebar ke masyarakat luas, perolehan tertinggi untuk bahan baku utama adalah katun disusul spandek, wool, dan nylon. Dengan ukuran bervariasi: S, M, L, XL----juga beberapa desain produk terbaik yang saya dan tim kerahkan untuk Khasocks ini saya yakin Khasocks akan menjadi suatu produk yang banyak diminati oleh konsumen. Apalagi dengan adanya kebebasan untuk mendesain gambar sesuka hati atau biasa disebut costum, Khasocks nantinya akan berpotensi menjadi referensi utama di saat konsumen membutuhkan kaos kaki.

"Dan sasaran pasarnya kami utamakan untuk kaum milenial atau generasi remaja, dikarenakan seusia itu remaja sedang senang-senangnya mem-mix and match gaya berpakaian mereka sendiri. Seperti yang sudah saya jelaskan tadi, jika Khasocks adalah kaos kaki dengan berbagai desai unik dan kekinian, sangat cocok jika dipadukan dengan style remaja zaman sekarang. Bukan hanya untuk memperindah penampilan, kehadiran Khasocks juga begitu pas hadir di tengah-tengah masyarakat, mengingat Indonesia sendiri mempunyai musim hujan di mana membuat suasana akan menjadi dingin. Oleh karena itu, Khasocks sangat multifungsi, bisa sebagai penghangat kaki di kala dingin.

"Lalu perihal harga produk kami yang satu ini sangat merakyat. Tidak mahal, tetapi worth it untuk produk senyaman Khasocks. Sekian presentasi saya. Terima kasih, selamat siang."

Aku mematikan laser, kemudian membungkukkan badan tanda hormat kepada semuanya----terutama Guru pengujiku. Sebuah senyum tulus aku coba ukir di wajah, sesaat Bu Ema----Guruku mulai menatapku dengan tatapan matanya yang sungguh membuatku keringat dingin.

Tolong Bu, jangan kasih saya pertanyaan yang susah-susah, mohonku dalam hati. Mungkin, karena Bu Ema bisa membaca raut wajah memohonku beliau malah tersenyum miring. Membolak-balikkan kertas laporan yang sebelum presentasi tadi aku berikan kepadanya sebelum berdeham. Membuat suasana kelas menjadi hening. Sementara bunyi yang kudengar cuma dari jantungku yang mendadak berdentum kencang seperti ingin keluar.

"Aksara Dumaica...." Bu Ema berujar pelan sambil menatap mataku tegas. "saya terkesan dengan ajuan produk yang baru saja kamu presentasikan. Mungkin, jika saya seorang Direktur perusahaan saya akan mempertimbangkan idemu. Namun, sebelum itu saya ingin bertanya, apa cuma segitu kehebatan produk kamu? Tidak ada yang lebih spesial lagi?"

Kurasa senyumku sudah menjadi senyum terpaksa ketika Bu Ema menyudahi pertanyaannya. Jangan gugup Dumai! Aku meneguk ludahku sebentar lalu menjawab, "Sebelumnya terima kasih untuk pertanyaan Ibu. Saya akan menjawab bahwa tidak hanya 'segitu' keunggulan dari produk saya."

Bu Ema kembali tersenyum miring. Kali ini, alis sebelah kanannya pun ikut dinaikkan. Tuhan, ini sangat mengintimidasiku.

Aku melanjutkan, "Khasocks bukan hanya produk bermutu yang hanya ada di bentuk nyatanya. Kami akan memberikan core service yang baik, seperti cara pembelian melalui media online yang tiap daerah akan berbeda costumer service-nya guna menghindari penabrakan pesanan dan mengutamakan kenyamanan konsumen dalam berbelanja.

"Untuk fasilitating service tambahan kami akan membungkus Khasocks dengan packaging yang berkualitas. Mengenakan box setelah sebelumnya produk dibalut plastik bermutu tinggi. Dan supporting service yang kami adakan untuk menjadi keunggulan produk, tentu kami akan menyiapkan diskon-diskon yang menarik minat konsumen. Seperti diskon Harbolnas. Pembelian diatas satu lusin, dan terkadang kami akan melakukan acara give away di akun sosial media kami. Tidak mudah memang untuk merealisasikan itu semua, tetapi kami yakin dengan tekad penuh tim dalam bekerja, Khasocks akan memperoleh kesuksesan yang ditargetkan----bahkan bisa melebihi apa yang diinginkan perusahaan. Sekian jawaban dari saya, apakah ada pertanyaan lain?"

Aku yakin, semua orang yang berada di posisiku pasti berharap tidak akan ada yang mengiyakan pertanyaan basa-basiku barusan. Namun, sepertinya teman sekelasku memang suka melihat temannya kesusahan. Dari pojok kanan kelas, satu tangan terangkat dan aku hampir berdecak malas ketika tahu jika itu Krystal yang ingin bertanya.

"Selamat siang semuanya, saya Chandari Krystalin, ingin bertanya. Bagaimana jika konsumen tidak terlalu tertarik dengan adanya Khasocks dikarenakan mereka tidak terlalu mementingkan desain dan harga yang terlalu mahal. Terima kasih." Krystal berujar cukup panjang yang diakhiri dengan senyum miring meremehkan miliknya.

Aku tebak Krystal berani bertanya dan ingin membuatku kelabakan mencari jawaban karena masalah kemarin. Krystal mungkin lupa, aku----Dumai, sudah tidak takut lagi apa pun ancaman yang akan dia berikan kepadaku. Sama sekali tidak.

Kyrstal kamu salah memilih lawan, aku membalas Krystal dengan kekehan kecil sumbang dan menjawabnya, "Terima kasih. Pertanyaannya cukup sulit, karena seolah menyinggung kebiasan masyarakat kita yang lebih mengutamakan harga murah daripada kualitas. Namun, saya menjadi tertantang untuk menjawab pertanyaannya.

"Soal Khasocks yang sepi pelanggan karena harga terlalu mahal dan masyarakat yang menomor duakan desain, saya akan memberi jawaban: jika itu semua kembali ke diri konsumen sendiri. Tim saya sudah memberika solusi untuk menghadirkan produk yang menomor satukan kenyamanan walaupun dengan harga yang sedikit tinggi dari biasanya. Saya pikir, konsumen memiliki pilihan sendiri, ingin membeli kenyamanan ya memang mesti merogoh kocek yang lebih dari biasanya. Jika memang terbiasa membeli yang murah dan biasa itu hak mereka.

"Saya rasa masyarakat tahu mana yang berkualitas dan tidak."

Tiba-tiba suara tepuk tangan terdengar. Membuatku tersentak dan segera menyimpulkan apa yang baru saja terjadi. Bu Ema berdiri dari singgasananya, di bibir Guruku itu satu senyum terulas yang membuatku mati-matian menahan tangis karena aku tahu jika itu adalah sinyal jika presentasiku barusan berjalan cukup lancar dan hebatnya sampai diberi standing applause oleh Bu Ema yang diikuti teman-temanku.

Aku masih bergeming, serta mataku semakin memanas sesaat Bu Ema menghampiriku dan mengajakku berjabat tangan. "Dumaica, saya kagum dengan keluesan kamu dalam menyampaikan presentasi dan menjawab pertanyaan yang menjebak. Saya pikir, tidak adablagi hal yang meragukan untuk saya memberimu nilai bagus pada semester akhir nanti. Pertahankan, Uji Kompetensi Kejurusan sebentar lagi tiba. Saya pengin, ketika saya----insha Allah terpilih menjadi Guru pengujimu lagi, kamu bisa mempertahankan pecapaianmu ini bahkan bisa lebih----seperti katamu tadi. Bisa?"

Tanpa ragu detik itu pula aku menganggukkan kepala semangat. "Saya janji saya bisa lebih!"

Senyum keibuan milik Bu Ema masih terpasang, kini Guruku itu menepuk punggung tanganku pelan dan mempersilakan aku untuk kembali ke tempat duduk.

"Kamu tadi minta dispensasi untuk hari ini 'kan? Saya beri, tapi jangan lupa konfirmasi ke Guru Piket, oke? Dan untuk yang lain silakan membuat kesimpulan dari presentasi Dumaica tadi. Tiga puluh menit selesai. Nggak ada waktu tambahan!"

Sekali lagi aku mengangguk dan menggumam kalimat terima kasih, berbeda dengan teman sekelasku yang serempak menyorakkan kata protes. Selanjutnya, kakiku melangkah menuju tempat duduk yang hampir setahun ini aku tempati bersama Ochi. Di sana, sahabatku satu itu menyengir lebar sembari tangannya terangkat ke atas dengan sebuah kertas berada di kedua genggaman jari tangannya. Lagi-lagi sisi melankolisku merebak, ketika netraku membaca kertas Ochi: Tim Dumai, semangaaaaaaaaaaat! Hanya kata-kata sederhana, lengkap dengan huruf vokal pertama yang menurutku berlebih, tapi mampu membuatku langsung menerjang Ochi dengan sebuah pelukan ketika aku sudah berada di sampingnya.

"Yeay! Selesai sudah tugasmu wahai Dumaica! Sukses terus, doain temanmu ini menyusul minggu depan!" kata Ochi pelan, tapi sarat akan semangat sambil menepuk puncak kepalaku pelan.

Aku terkekeh. Berpura-pura lupa jika aku sedang berada di kelas dan menghapus air mata bahagiaku. "Terima kasih, Ochi! You're the best!"

"Aaaah, Dumai. I'm so proud of yooou. Serius, nggak bohong! Apalagi kalau lo traktir gue soto kantin entar pas istirahat kedua, hehe."

Dasar Ochi! Hidupnya nggak jauh-jauh dari gratisan. Aku menggerutu sebal dan melepas pelukan kami. Menjitak kepalanya pelan, lalu bersewot ria, "Nyesel gue nangis, sumpah! Gue kira lo tulus ternyata ada maksud terselubung. Dasar lo, ada udang di balik batu!"

Ochi malah terkekeh. "Aduh, Dumai. Gue Yoshinda bukan Tulus yang walau menunggu seribu tahun lamanya itu, tapi masih bisa pamit waktu mau pergi. Gimana, sih?"

Aku yang sudah terlanjur kesal memilih mengabaikan Ochi yang masih terkekeh sendiri di bangkunya. Sementara aku berjalan menuju belakang kelas guna mengambil salinan bajuku yang sengaja tadi pagi aku taruh di loker kelas.

"Semangat lagi Teteh ngelatih pasukannya! Hwaiting eonni!"

Aku memutar bola mata malas, saat Ochi menyemangatiku dengan bahasa yang dicampuk adukan olehnya. Aku tidak membalas, cuma menjulurkan lidah meledek dan berpamitan ke Bu Ema sebelum ke luar dari kelas.

[]

Waktu masih setia bergerak di angka sebelas ketika aku baru saja mengganti seragam pramuka dengan kaos pendek dan celana training. Sendirian melangkah di sepinya koridor sekolah demi menyampaikan langkah untuk tiba lapangan utama. Namun, sayang. Sepertinya khayalanku yang sangat kuingin itu harus terhapus begitu saja, kala tubuhku yang baru saja berbelok bertubrukan----tanpa sengaja dengan Digdaya yang memusatkan dunianya pada sebuah ponsel di tangannya.

Aku berdecak. "Kalau jalan, selain gunain kaki manfatin mata juga! Jangan seenaknya aja, lo pikir ini jalanan nenek moyang lo?!"

Digdaya yang kutebak terkejut segera meminta maaf. "Gue nggak sadar, ini lagi penting banget. Online shop yang gue tunggu-tunggu akhirnya ngadain diskon. Wuhu! Akhirnya hoodie yang gue idamin bakalan kesampaian juga. Lo mau ikutan beli nggak? Biar kita couple gitu."

Sejujurnya, dari hatiku yang paling dalam aku ingin tertawa kencang. Digdaya ini enggak sedang kerasukan setan gede rasa 'kan?

"Minggir!" mengabaikan curhat colongan Digdaya tadi, aku memilih untuk kembali bersikap seperti biasanya.

Di depanku Digdaya tidak bergeming. Dia memasukkan ponselnya ke saku celana, dan menyengir. "Dumai hari ini kita temenan bisa nggak?"

Tanpa berpikir panjang aku membalas, "Enggak!"

"Dih, gitu. Sumpah, gue nggak nemuin teman sekarang ini. Seenggaknya 'kan ada lo yang gue kenal. Gimana?"

Aku menggelengkan kepala. Menatap Digdaya galak, dan memukul tubuhnya dengan seragam yang aku bawa. "Awas, ah! Lo ngehalangin jalan gue tahu nggak? Dan, makasih tawarannya, gue sama sekali nggak tertarik."

Aku melengos begitu saja, tapi telingaku masih bisa mendengar bagaimana Digdaya mendesah dan hentakan suara sepatunya yang berciuman dengan lantai koridor di belakangku. Abaikan Dumai, dia enggak sepenting itu untung kamu hiraukan! Batinku yang selalu membenci Digdaya lebih mendominasi tubuhku daripada keingintahuanku atas tingkah laku Digdaya yang sangat aneh sekarang.

Berteman? Ayolah, bahkan Digdaya tahu jika digambarkan hubunganku dengannya adalah kata yang terpisah oleh spasi, saling berdampingan, tapi juga saling membatasi diri. Sebanyak apa pun celahnya untuk kami bersikap layaknya seorang teman asli, itu tidak akan mungkin terjadi. Sebelum masalah yang ada di antara kami terselesai, dan tidak hari ini.

"Dumai, lo tahu nggak sih gue diusir dari kelas gegara gue ngunyah permen karet? Aturan Bu Iyah tahu, kalau lagi ngitung itu enaknya sambil ngunyah biar fokus. Ini malah gue dikeluarin, mana absen gue di alpa. Kasihan 'kan gue?"

Digdaya semestinya bisa menebak jawaban diriku yang tidak mungkin bermanis ria. "Enggak. Enggak kasihan dan enggak mau tahu apa pun kelanjutan dari cerita sampah lo lagi!"

Masa bodoh aku bersikap seperti ini. Tidak ada rasa bersalah sama sekali, selain ada rasa----jauh di dalam hati kecilku sana yang menolak jika aku memperlakukan Digdaya terkesan kasar setelah semua pengorbanan dan perjuangan yang Digdaya kerahkan untuk menyelesaikan masalah di antara aku dan dia----meski aku tidak memintanya sama sekali, dan malah aku membenci caranya itu. Karena dengan begitu tanpa sadar Digdaya telah menyakiti diriku berlebih dan menyakiti dirinya sendiri, aku----aku menghela napas gusar, kala kurasa pikiranku mulai ke mana-mana. Berdekatan dengan Digdaya hanya membuatku kembali terjatuh pada lubang kesakitan yang sama sekali tidak aku dan dirinya buat. Hanya bisa membuatku ingin menyumpahi dirinya kasar dan membuat cowok itu tersadar. Jika memori hitam yang kelam itu tidak akan bisa mengurai begitu saja tanpa atau adanya semua usaha besar yang Digdaya cuma-cuma berikan dengan landasan sebagai pengorbanan.

"Dumai! Sini, lo harus bantu gue evaluasi gerakan anak-anak."

Lamunan menyesakanku buyar, ketika telingaku menangkap suara Katara----atau Tara teman seperjuanganku dalam pilihan ekskulku di Satu Nusa. Aku membalas lambaian tangannya dan berjalan menghampirinya.

"Dumai lo sudah makan belum? Kalau belum, ya makan!"

Aku melupakan keberadaan makhluk yang sayangnya invisible di mataku itu. "Belum. Digdaya stop! Gue nggak mau mood gue berantakan. Gue mesti ngelatih anak-anak, lo ngerti?"

Memang dasarnya Digdaya bebal. Kuberi amarah dia malah membalasnya dengan kekehan geli. "Nah, gitu dong guenya diwaro* 'kan enak. Btw, mending makan dulu daripada lo pingsan pas lagi ngelatih."

"Sumpah, gue nggak butuh sama sekali ocehan penuh perhatian lo itu. Karena gue tahu, lo nggak seperhatian itu Digdaya. Sana, jauh-jauh! Minimal radius limapuluh meter!"

"Buset, baper amat lo. Gue cuma basa-basi doang padahal."

Aku memutar bola mata malas sebelum meliriknya sinis dan berujar, "Basa-basi lo biasa banget tahu nggak? Kayak ucapan 'selamat mengerjakan' di soal ujian! Sana jauh-jauh."

"Tawar deh, sepuluh meter gimana? Kan lumayan tuh, kita terpisah tigapuluh kotak ubin."

"Terserah!"

Adalah kata yang menjadi pengakhir dari perdebatan anehku dengan Didaya kali ini. Aku juga nggak peduli dengan cowok itu yang benar-benar mematuhi aturanku atau memilih berdiri dengan jarak sepuluh meter seperti tawarannya tadi. Nggak penting. Sangat tidak penting untuk kutahu.

"Masih kayak gitu? Heran, lo sama Darap mana pernah akur!" Katara tertawa, ketika aku sudah menyajarkan tubuh di sampingnya.

"Emang begitu 'kan?" sesungguhnya aku malas menanggapi.

"Hati-hati."

"Apaan, hati-hati?"

"Jatuh hati."

Detik itu aku menyumpah Katara dalam hati. Meski Katara bukan satu-satunya orang yang pernah berpikiran seperti itu, tapi lama-lama aku gerah mendengarnya. Seolah perkataan mereka adalah tebakan yang akan menjadi ending dari permasalahanku dengan Didaya. Namun, mereka salah. Aku dan Digdaya tidak didasari dengan benci yang tidak beralasan hingga akan menimbulkan cinta. Alasanku sangat kuat. Dan Digdaya mengetahui itu. Sayang, terkadang kita tidak bisa mengatur perspektif masing-masing orang.

"Udahlah, malas gue bahas dia," ujarku agak ketus. "sekarang izinkan gue ngomel-ngomel boleh?"

Katara yang masih mempertahankan ketawanya mengangguk mempersilakanku.

Langsung saja aku menatap limabelas orang yang sedang duduk menyelonjorkan kakinya dengan kepala yang menunduk. Baju seragam olah raga khusus Paskibra mereka sudah basah lepek karena keringat. Wajah mereka yang seharusnya di jam segini belum lesuh-lesuh banget sudah memasuki tahap lesuh kuadrat. Kumal. Kotor. Entah apalagi sebutannya, tapi nggak sama sekali membuatku----dengan jabatan senior mereka merasa puas.

"Tadi ngapain? Gue tanya tadi lo ngapain?! Sudah jelas aturannya langkah tegap! Lo tahu tegap! Tapi, tadi apa? Bahu turun, tangan lemes, pandangan ke mana-mana. Itu namanya langkah tegap?!"

Menyangkut materi Paskibra sudah sepatutnya seorang senior memberi komentar tentang apa yang dilakukan juniornya. Aku masih santai, segini masih dalam tahap wajar. Walau sebetulnya aku bisa lebih marah daripada ini, tapi aku tahan. Nanti dulu, perlahan biar suasana tegangnya tercipta dengan sempurna.

Aku melirik Katara dan bertanya, "Berapa menit semuanya? "

"Sebilan menit pas banget, tapi belum termasuk formasi dan variasi," jawab Katara menyengir. Seolah dia tidak stress menganggapi masalah serius ini.

Aku memijit kening. "Sembilan menit baru statis dinamis?! Itu juga masih kecot. Lo pikir ini lomba main-main. Lo bawa nama manajemen kita, lo bawa Satu Nusa, lo bawa harga diri pelatih dan diri lo sendiri. Nggak malu?! Lo juga, jadi Danton yang becus! Materi jangan alot, terus tembak. Lo ngerti apa yang diajarin senior lo nggak sih?!"

"Siap Kak, mengerti!"

Aku mendongak menatap wajah Okin----Danton pasukan kelas X. "Apa yang lo pelajarin? Sembilan menit, Main gila lo?! Waktu cuma dibatasi sepuluh menit. Lo pikir cukup satu menit cuma buat variasi formasi?!"

Lagi, Okin menjawabku tegas sebagaimana anak Paskibra biasanya, "Siap Kak, Tidak."

"H-3 dan masih nggak ada perubahan. Jumat gladi bersih, penentuan pasukan kalian turun di lomba kali ini atau nggak. Nggak usah ngerengek, dibeginiin seharusnya kalian lebih semangat. Buat apa dispen hampir tiap hari di minggu ini kalau hasilnya ecek-ecek? Buat apa gue kudu muter otak buat ngasih proposal biar dana lo semua keluar kalau kaliannya aja malas berjuang.

"Intropeksi diri masing-masing. Sehabis itu persepsi berdasarkan banjar. Okin, coba lebih nembak materi lagi. Banjar A langkahnya sesuain biar banjar E bisa ngejarnya, banjar E juga jangan malas ngejar. Suara keluarin pas vafor. Gue nggak peduli lo sakit atau nggak, yang gue mau suara satu! Bulet! Ngerti?!"

Dan senyumku kembali terpasang ketika mereka semua menyahut, "Siap, mengerti Kak!"

Sehabis itu mereka bubar, mengambil posisi pilihan dengan banjar sendiri-sendiri. Katara menghampiriku, menepuk pundakku pelan seperti biasa. Mencoba membuat emosi yang sebenarnya manifestasi dari beribu sedih ini kembali tenang. Sedih karena ternyata aku tidak seberhasil itu untuk mengasuh dan mendidik Adik-adikku.

"Jangan terlalu nyalahin diri sendiri, Dumai. Ada gue, yang sama sedihnya kayak lo. Ada pasukan kita yang meranannya kayak kita. Gue nggak ngerti sama mereka, gue terlalu lembek atau merekanya yang tahan banting dan malas berusaha, sih?" Katara mengoceh, matanya serius menatap ke arah lapangan.

"JANGAN BERCANDA! SEKALI GUE LIAT LO NYENGIR ATAU KETAWA, SATU PASUKAN SEMUANYA TURUN! 5 SERI BUAT SATU CENGIRAN! JANGAN LUPA UTANG SERI LO SEMUA MASIH GUE TUNGGU BUAT DILUNASI!"

Aku terengah-engah usai mengeluarkan seluruh teriakanku. Tenggorokanku terasa lecet karena berteriak terlalu kencang. 

"Nggak usah teriak-teriak, mereka semua masih punya kondisi telinga di atas aman."

Rasa sakit di tenggorokanku berubah jadi rasa dongkol, posisi Katara sudah berubah menjadi seorang yang mati-matian aku jauhi. Kenapa Digdaya ini munculnya selalu di saat yang tidak tepat, sih? Dan ke mana perginya seorang Katara?

"Jangan marah dulu," cegah Digdaya. Menyodorkan sekaleng minuman dingin isotonik yang sengaja ditempelkannya di lenganku. "minum dulu. Segerin badan lo. Nggak enak lama-lama dikuasai amarah."

Aku yang malas mendebat Digdaya----juga kehausan mengambil minum yang cowok itu kasih. Sebelum aku membukanya, ternyata Digdaya sudah terlebih dahulu melakukan itu. Aku senang saja, toh jadinya aku hanya tinggal minum tanpa repot-repot. Satu tegukan terus berulang ke tegukan entah berapa, hingga kurasa isi kaleng minuman di tanganku hanya tetesan sisa dari airnya yang telah kuhabiskan.

"Kapan rambut lo mau panjang lagi?"

Pertanyaan aneh yang keluar dari bibir Digdaya membuatku mengerutkan dahi. "Gue masih anggota Paskibra. Rambut gue mesti pendek, itu aturannya."

Aku mencoba bersikap santai.

Digdaya mengangguk, bibirnya mencibir sebentar lalu kembali bertanya, "Lo emang nggak capek gitu? Tiap hari ketemu matahari, lapangan, terus?"

"Enggak. Karena gue emang suka setengah mati sama Paskibra. Kalau lo?"

"Kenapa gue?" Digdaya menyatukan alisnya.

"Kenapa jadi baik begini? Kerasukan? Butuh gue panggilin Guru Agama nggak?"

Menanggapin pertanyaan ngawurku Digdaya terkekeh pelan. "Nggak tahu. Gue pengin aja."

"Nggak capek main bulu tangkis?" tanyaku balik.

Digdaya diam beberapa saat. Sebelum menatapku lima detik----iya aku menghitungnya! Dan kembali melemparkan tatapan ke arah lapangan yang ternyata ada Katara sedang mengomel di bawah pohon mangga sana.

"Dumai, mau tahu nggak? Gue ada turnamen penentuan gue bisa ikut di tingkat antarnegara minggu depan nanti. Hari minggu tepatnya, tapi nggak tahu kenapa gue nggak minat. Gue capek. Gue----gue pengin ini selesai, tapi gue nggak bisa 'kan, Dumai? Terlalu banyak yang tersakiti kalau gue berhenti sekarang...."

"...Dan kalau lo lanjutin lo tahu, lo yang bakalan tersakiti berlebih, 'kan?"

Digdaya mendengkus ketika aku memotong ucapannya. Cowok itu menyugar rambutnya ke belakang. Dan menatapku lagi. "Nggak apa gue, tapi jangan yang lain. Karena yang lain sudah banyak tersakiti gara-gara pilihan bodoh gue. Lucu ya? Takdir bisa berbalik begitu?"

Aku sama sekali tidak mengindahkan tawa Digdaya yang terasa seperti keputusasaan di telingaku apalagi menimpalinya. Aku dan Digdaya----setelah cowok itu melemparkan pertanyaan terakhirnya yang tidak dapat aku jawab, kami memutuskan untuk berdiam. Menyelam pada satu masalah yang sama, tapi dengan pemikiran yang berbeda. Aku yakin itu.

Sampai akhirnya aku menyerah, aku menghela napas. Berdiri dengan perlahan, dan menepuk puncak kepala Digdaya lumayan hingga membuat cowok itu menatapku.

"Berhenti Digdaya. Gue ... gue sudah nggak sesakit itu."

Untuk pertama kalinya aku melemparkan senyum, sebelum berlari menjauh dari jangkauan mata Digdaya. Membiarkan jantungku berdebar kencang. Tidak, ini bukan pertanda jatuh hati akan tiba, ini berbeda. Ini sakit. Sangat sakit. Dan sangat mampu membuat dadaku terhimpit sesak dan meluruhkan beberapa tetes air mata yang sengaja kusembunyikan isakannya di balik pintu kamar mandi yang tertutup dengan sebuah pesan yang terkirim ke ponselku yang membuatku semakin tidak bisa mengendalikan semuanya.

Al : Daya bilang minggu depan dia ada turnamen. Aku mau datang, tapi kamu tahu aku nggak akan bisa 'kan? Dumai, ternyata dia seserius itu dengan perkataannya. Dia rela sakit, demi aku dan kamu tersenyum. Aku harus apa? Kita mesti gimana? Aku buntu Dumai, Demi Tuhan!

--------------------

*Waro : ditanggapi/dihiraukan.

[]

Selasa, 4 Desember 2018
8:58 PM.
[Revisi: 5 Desember 2018
2:20 PM]

----rani yang bahagia siksaan pengawas killer di PAS ini selesai juga, big thanks to God!----

(Gila 3000 lebih kata aku mabok. Btw, jurusan Dumai itu OTKP (Otmatisasi Tata Kelola Perkantoran) jangan bingung-bingung, emang begitu belajarnya. Poor me, and Dumai 😭)

#GrasindoStoryInc

Halo, sesama pengikut kompetisi grasindo! Salam kenal kalau-kalau kamu menemukan ceritaku ini. Sila dibaca jika berkenan. Sila beri kritik dan saran bila menurutmu ada yang kurang pas. Sila koreksi si typo kalau dia muncul. Sila pencet bintang atau komentar jika ingin, hehe.

🌼Gomawo🌼

Psssssst, sekiranya seperti itu muka kesal Dumai kalau lagi digangguin Digdaya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top