01.2
[]
Udara di sekitar mendadak berubah jadi racun, sesaat asap rokok yang baru saja Digdaya isap berembus. Berbentuk huruf 'O' sebentar sebelum berubah nggak tentu bentuknya----menyebar. Terkadang Digdaya berpikir kapan kemampuannya bisa membuat kepulan asap berbentuk segitiga itu datang? Tetapi Digdaya sadar jika itu hanya satu dari sejuta khayalan anehnya yang susah untuk diwujudkan.
Digdaya sedang terdampar di Warkung (warung tikungan) dekat sekolah setelah bel pulang berbunyi satu jam yang lalu. Digdaya yang nggak tahu harus melakukan apa ketika sampai di rumah nanti, lebih memilih mampir sebentar----sebentar versi Digdaya itu lebih dari satu jam, di sini. Minum es tejus yang rasanya sudah anyep karena tercampur dengan tetesan air hasil dari es batu yang mencair dan makan mie atau berbagai macam gorengan kesukaannya yang akan menyebabkan panas dalam nantinya.
Namun, Digdaya masa bodoh. Mau itu MSG, gorengan yang digoreng dengan minyak yang sudah menghitam, apa pun lainnya, tapi memiliki cita rasa yang dicintai olehnya pasti Digdaya santap. Karena umur tidak ada yang tahu, orang kurang waras makan dari tempat kotor saja masih hidup. Apalagi cuma Digdaya yang doyan makan makanan yang seperti itu.
"DARAAAP!"
Digdaya menghela napasnya kasar. Kenapa hidupnya selalu dikelilingi oleh orang-orang bersuara keras seperti toa Abang tahu bulat yang suka lewat depan rumahnya? Nggak habis pikir dia.
"Yah, antek pemuja Digdaya seorang dateng," celetuk Koi yang sedang duduk di samping Digdaya.
Digdaya hanya mendengkus sebelum mengisap rokoknya kembali.
"Lo ke mana aja sih?! Gue cariin juga!"
Space kosong di sebelah kiri dari bangku yang Digdaya dan Koi duduki bergoyang. Tanda ada yang sudah mengisinya. Kontan kepala Digdaya menengok dan menemukan cengiran lebar milik Krystal terpampang jelas di depannya.
"Nggak ke mana-mana, di sini aja. Lo-nya aja yang nyarinya kagak bener!" balas Digdaya.
Krystal mengangukkan kepala. "Iya juga, ngapain tadi gue nyari lo ke lapangan ya?"
"Mana gue tahu!"
"Lagian tumbenan lo nyari Darap jam segini?" tanya Koi heran, berusaha menyempil di antara obrolan Digdaya dan Krystal.
"Gabut gue, Oster masih basket gue sendirian di sekolah," jawab Krystal dengan suara lesuh.
Koi tertawa. "Parah, Rap! Lo dicari kalau doi lagi gabut doangan."
"Kenapa sih lo Koi? Biasanya juga gitu!" balas Krystal. Cewek itu menyipitkan mata ke Koi sebelum menatap Digdaya lagi dan berkata, "btw, Darap lo wangi banget dah, mau kondangan Masnya?"
Digdaya memutar bola mata. Membuang putung rokoknya ke bawah dan diinjaknya menggunakan sepatu. "Mau nikahan malah ini gue. Penghulunya aja belum dateng!"
"Betul itu! Nanti makanannya dari si Babeh----bakwan berserta temannya dan mie segala rasa," timpal Koi.
"Widiiih mantap! Mempelai wanitanya mana, nih?" tanya Krystal sambil matanya memindai ke segala arah, berpura-pura mencari pasangan nikah Digdaya.
"Lo aja gimana?"
"MANJIW! Gaster* Masku gaster!"
Mata Krystal kontan melotot. "Gue nggak nyangka, seorang Digdaya langsung ngajakin gue nikah setelah gue bilang dia wangi hari ini. Baper lo kebangetan, dah?"
"Siapa tahu dari wangi turun ke hati?" Digdaya semakin gencar menggoda Krystal, teman perempuannya yang satu itu memang selalu menjadi sasaran empuk Digdaya untuk melempar gombalan nggak bermutu seperti tadi.
Sedangkan Koi yang ada di samping kanannya terbatuk kencang karena tersedak es batu dan tidak percaya dengan apa yang diucap sahabatnya itu. Ngebetnya kelihatan banget buset, malu-maluin gue!
Mata Krystal menyipit. Setelahnya cewek itu berakting muntah yang mengundang tawa Digdaya. "Nyebut Darap nyebut. Heran deh, magrib belum juga lewat, tapi nih anak udah kesambet. Bawa ke Guru Agama gih Koi temen lo ini!"
"Ayuluh Ital, temen gue baper beneran," kor Koi mericuhkan semuanya.
"Lo emang nggak cocok buat digombalin, Tal!"
"Dih, gue mah juga ogah digombalin sama cowok modelan kayak elo!"
Tawa Digdaya perlahan berhenti. "Kayak gue maksudnya?"
"Kang alus, Kang modus. Masih bagusan Kang geprek dah daripada lo!"
Tetiba suara tawa Koi meledak kencang. Si Empunya sampai membungkuk untuk memegangi perutnya yang terasa sakit karena terkocok oleh tawanya yang tidak bisa ke kontrol.
"Sialan!" tangan Digdaya menjitak kepala Krystal. "kalau ngomong suka bener! Lo lagi Koi, bukannya kasihan ngelihat temannya dinistain cewek ini malah ketawa!"
Koi yang masih tertawa mencoba membalas, "Aduh sakit perut gue, Anjir! Kagak ada acaranya gue kasihan-kasihanan sama lo, Sarap!"
Kali ini giliran Krystal yang tertawa, cewek itu terlihat bahagia sekali sampai bahunya beguncang kencang. Digdaya yang ada di sebelahnya bergeming. Dalam diam Digdaya mengamati wajah Krystal. Matanya yang memang minimalis semakin terlihat mengecil ketika tertawa, bibirnya terbuka menampilkan susunan gigi Krystal yang rapi, dan semburat merah di kedua pipinya samar-samar muncul.
Digdaya akui, Krystal adalah salah satu cewek ter-good looking yang pernah Digdaya kenal. Sudah gitu sifat Krystal yang humble walau terkadang suka menyebalkan. Namun, di mata cowok remaja seperti Digdaya dan yang lainnya malah terlihat menggemaskan. Sayangnya Digdaya tidak memiliki sedikit kemistri dengan Krystal.
"Darap, tadi lo kenapa berantem lagi sama Dumai?" usai tawanya cukup terkontrol Krystal melayangkan pertanyaan lagi.
Digdaya yang masih terbengong tersentak kaget ketika tangan Krystal menonjok bahunya pelan." "Hah? Apaan?"
Mata Kyrstal menyipit kesal dan mulutnya berdecak. "Tadi, kenapa berantem sama Dumai lagi?"
Koi yang juga baru kembali mendapatkan sadarnya menyela, "Biasa masalah dia sama Dumai mana pernah usai. Cailah, bahasa gue mantap juga!"
"Diem Koi! Gue nanya Darap bukan lo!"
"Et, iya, iya. Sombong amat!"
"Oh, itu, biasa adu argumen doang," jawab Didaya seadanya. Cowok itu malas mengungkit masalah tadi siang apalagi kalau masalahnya menyangkut Dumai.
"Astaga," desah Krystal. "gue meskipun lemot nggak bloon-bloon amat, ya! Gue juga tahu kalau tadi lo berantemnya adu mulut, yang gue nanyain faktor yang membuat kalian adu mulut itu apa?!"
Cengiran Digdaya muncul. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sebelum menjawab. "Ada masalah yang pasti. Dan gue nggak bisa buka ke orang lain gitu aja."
Kepala Kyrstal mengangguk-angguk seolah dirinya mengerti. "Tapi, lo hebat tahu nggak? Berani lawan Dumai. Dia 'kan galak!"
"Lo kata Dumai kucing yang mau kawin! Galak-galak aja"
"Beneran deh Koi, coba aja lo ajak ngomong, ketus gitu jawabnya," ujar Krystal yakin.
Koi mencoba berpikir. "Iya emang, tapi nggak galak amat ah."
"Terserah! Kalau kata lo giman, Rap?" mata Krystal menatap Digdaya.
"Galak darimananya? Biasa gitu. Buktinya Abi sama Ochi fine-fine aja main sama Dumai?" dahi Digdaya mengerut, heran dengan penilaian orang lain tentang Dumai.
"Ya, kalau sama mereka Dumai udah jinak." Krystal terkekeh. "coba kalau sama yang lain, digoda sedikit langsung kesulut emosinya."
"Lagian lo-lo pada ngegoda orang yang nggak tahu apa-apa. Ya, marah orangnya. Coba lo di posisi dia?"
"Tapi, dia kayak antipati gitu sama orang lain."
"Antipati gimana? Biasa aja kali. Malah bagus dia seolah 'membatasi diri' dari orang-orang kayak lo!"
"Kayak gue tuh kayak gimana?"
"Kaum suka gibahin orang! Urusin hidup orang mulu, hidup sendiri dilupain. Inget dosa daripada nimbun dosa."
Raut wajah Krystal mengeras. Tangannya terangkat untuk menjambak poni Digdaya yang jatuh di dahi. Membuat si empunya mengaduh sakit. "BUTUH KACA YA ANDA?!"
"Buset dah! Sakit Ital, jambakan lo kayak cewek lagi rebutan pacar! Perih nih kulit kelapa gue!" adu Digdaya sambil tangannya menepis tangan Krystal.
Mungkin Kyrstal teramat kesal dengan Digdaya, karena cewek itu langsung menyabet tasnya dan pergi dari Warkung. Meninggalkan Digdaya yang masih mengusap-ngusap kepalanya, guna mencoba menghilangkan rasa perih di kulit kepala karena jambakan sadis Krystal tadi. Digdaya tidak tahu kalau ternyata Krystal bisa seganas itu.
"Darap dan mulut lemesnya. Sampai si Ital ngadu ke Oster abis lo diamuk cowoknya." Koi yang dari tadi membisu, akhirnya membuka suara sambil menatap Digdaya ngeri.
"Gue amuk balik si Oster, ngapain takut!"
"Lagian lo kenapa sih berdua?!"
Digdaya tersentak sedikit ketika nada suara Koi agak naik. "Gue sama Ital? Nggak apa-apa. Lagi PMS kali tuh bocah, marah-marah gaje*."
"Bukan lo sama Ital, Ferguso!" bantah Koi sebal.
Digdaya melirik malas ke Koi. "Ya, terus siapa Antonio? Gue sama lo atau gue sama semesta alam?"
"Nggak usah sok puitis lo, nggak pantes!" hina Koi puas. Setelah melihat muka Digdaya sudah mulai memasuki mode bete, dia kembali berucap, "lo sama Dumai! Sama-sama langsung ngegas kalau ada sangkut pautnya antara lo berdua!"
"Apaan sih? Jadi ke Dumai, nggak ngerti gue," elak Digdaya sealami mungkin.
"Nggak mungkin lo nggak tahu. Bosen gue ngasih nasihat ke lo berdua, masuk kuping kanan ke luar kuping kiri. Terutama lo Digdaya, move on! Jangan stuck di situ aja, Dumai-nya juga sudah makin ke depan, lo masih jalan di masa lalu!"
"Gue juga harus berapa kali sih bilang ke elo, nggak usah ikut campur. Masalah gue punya gue, bukan makanan publik yang seenaknya diikut campuri!
Koi berdecak. Pengin rasanya dia menonjok Digdaya biar bisa kembali ke jalan yang benar. "Masalah lo? Mabok lo emang! Gue kayak gini karena peduli sama lo sama Dumai! Di antara kalian nggak ada yang mau kalah. Lo tahu yang kayak Krystal bukan satu aja, tapi banyak! Semakin lo berdua kibarin bendera perang tinggi-tinggi semakin banyak angin yang nyamperin buat cari tahu!"
Digdaya terdiam. Bukannya cowok itu tidak mempunyai bahan yang akan diberinya kepada Koi sebagai sanggahan. Namun, Digdaya memilih mengalah. Suara Koi yang emosi sangat Digdaya yakini terdengar hingga luar, dan Digdaya malas memperpanjang masalah. Malu. Seperti katanya tadi; masalahnya bukan makanan publik.
"Lagipula lo terlalu memaksakan. Gue setuju dengan sikap Dumai yang menjauh dari lo----bahkan dia benci. Jujur, gue mau bersikap kayak Dumai, tapi gue takut semakin banyak orang yang menjauh dari lo, semakin lo tenggelam sendirian. Kasihan Ayah sama Bunda lo Digdaya.
"Lo bukan dia. Nggak usah buat semua masalah jadi rumit lagi! Berhenti, jadi lo sebagai Digdaya! bukan dia yang bahkan menghirup udara saja udah nggak bisa!"
"GUE DIGDAYA!"
Wajah Koi terlempar ke sebelah kiri, setelah tangan kanan Digdaya melayangkan satu tinju ke pipi kiri Koi. Dada Digdaya naik turun karena napasnya yang memburu. Segala emosi yang dari tadi dicobanya untuk disembunyikan kini terpampang jelas. Matanya yang biasanya menampilkan sinar jahil berubah menjadi pandangan kosong yang menyimpan beribu emosi. Digdaya kalah dari segala omong kosong Koi, lagi.
Koi menyentuh pipi kirinya yang berdenyut. Dia terkekeh sumbang, sebelum menendang tulang kering Digdaya dan membiarkan temannya itu tersungkur di tanah. "Segitu doang kemampuan lo buat ngalihin diri? Banci lo! Digdaya, lo lupa kalau dia nggak pernah emosi seburuk apa orang menilai dirinya? Ingat, dia cinta damai."
Pada kata terakhir Koi sengaja menajamkan ucapannya. Membuat Digdaya berdiri dan menyabet tas miliknya kasar, lalu memilih pergi dari Warkung. Meninggalkan Koi yang setia memberinya sumpah serapah kotor.
Digdaya berhenti melangkah beberapa meter di trotoar dari Warkung. Dia berusaha mencari dirinya yang selama ini lagi. Pelan-pelan Digdaya mengambil napas dan diembusnya, begitu beberapa kali sampai cowok itu merasa dirinya tenang. Jiwanya tenang.
Baru saja ketika Digdaya ingin melangkah lagi, ponsel yang ada di saku kirinya celananya bergetar. Satu pesan masuk yang hanya Digdaya baca tanpa niat untuk dibalasnya.
Coach : jangan lupa setengah enam sudah sampai di gor! Pertandingan kamu akhir pekan depan akan menjadi pertimbangan untuk kompetisi antarnegara. Jangan mengecewakan saya, dan dirimu sendiri.
Alih-alih mengacuhkan pesan dari Pelatihnya, Digdaya memilih untuk melanjutkan langkahnya. Dia teringat dengan Krystal yang telah dibuatnya marah. Padahal Digdaya hanya bercanda, tapi kenapa Krystal justru menangkap sebaliknya? Entah. Seperti yang Digdaya bilang tadi, mungkin Krystal sedang dalam mode galaknya.
"Ngapain balik lagi lo?"
Sapaan Pak Karyo----satpam sekolah, Digdaya balas dengan acungan tangan kanan saja.
Kakinya terus melangkah ke arah lapangan. Dalam pemikirannya siapa tahu di sana ada Krystal yang sedang mengadu pada langit di bawah tiang bendera----ah, maaf, kalau sedang bersalah sisi melankolis Digdaya suka keluar dengan sendirinya. Langkah Digdaya sampai di lapangan, dia mengedarkan pandangan mencoba mencari Krystal, tapi nihil Digdaya tidak bisa menemukan Krystal di sana.
"Upan! Liat Ital nggak?!" teriaknya bertanya kepada seorang lelaki yang sedang men-drible bola basket di tengah lapangan.
"Nggak. Ke kelasnya kali. Soalnya tadi Humas ada tugas baru dia," balas Upan acuh tidak acuh.
"Sip. Thanks."
Kepergian Digdaya dari pinggir lapangan dibarengi dengan acungan jempol serta anggukkan dari Upan. Digdaya mendesah dalam hati, kenapa cewek kalau ngambek harus main petak umpet, sih? 'Kan susah nyarinya. 'Kan lo duluan yang mulai, Darap, batin Digdaya yang terlalu jujur berkata membuat cowok itu terkekeh sendiri dengan pemikirannya. Mungkin, jika ada orang yang melihat tingkahnya sekarang, Digdaya pasti dianggap pasien rumah sakit jiwa yang kabur; di tengah sepinya koridor berjalan sendiri, kemeja sudah terbuka semua kancingnya memberi akses untuk kaos hitam dalamannya kelihatan, muka banjir keringat, dan tertawa sendiri. Sudah pas.
Kakinya berbelok untuk memasuki koridor kelas Sebelas. Sayup-sayup dari jendela ujung kelas XI Adm. Perkantoran-3 terdengar suara-suara yang membuat kaki Didaya otomatis berhenti melangkah.
"Gue kelompok sama lo Dumai, berdua doang?"
"Iya."
"Gue ada acara hari ini, Mai, sumpah. Gue nggak bisa ikut kerja kelompok. Lo aja yang ngerjain gimana? Tapi, nama gue tetap dicatat. Lo 'kan anaknya baik. Ya, ya, Dumai? Please?"
Digdaya mendengar itu semua, menyaksikan bagaimana Dumai melirik datar Krystal dan tersenyum miring. Karena Digdaya tahu jika sebentar lagi pasti ada perang adu mulut, cowok itu memutuskan untuk masuk ke kelas.
"Bukan lo doang yang sibuk, Krystal. Semuanya sibuk. Termasuk gue. Dan asal lo tahu, tugas ini dikumpul minggu depan bukan besok. Lo masih bisa ngatur acara lo ulang. Itu juga kalau lo mau."
Digdaya yang baru saja menginjak kaki di ambang pintu melihat itu semua. Melihat bagaimana mulut Dumai dengan tegasnya mencecar Krystal dan tidak mau begitu saja mengiyakan kemauan Krystal.
"Astaga Dumai, biasanya lo juga begitu. Sumpah gue beneran nggak bisa," mohon Krystal terus.
Dumai berdecak kencang. "Lo bisa, tapi lo nggak mau. Krystal nggak selamanya lo bisa menumpang nilai sama orang lain. Dan selamanya juga orang yang lo tumpangi nilai mau melakukannya dengan ikhlas."
"Gue ada usaha, ya!" bela Krystal membentak Dumai.
Senyum sinis Dumai tersungging. "Usaha lo cuma memuji-muji gue di sini. Sementara gue tahu lo nggak segitunya suka sama gue di luar sana. Gue balik, chat gue kalau lo punya pikiran."
Mata Digdaya beradu dengan mata Dumai. Sinar benci yang selama ini dipersembahkan Dumai memang untukknya terlihat nyata. Membuat sesak di dada Digdaya mendadak hadir berbarengan dengan semua ocehan Koi tadi. Hingga tatapan Dumai berubah menjadi pias sesaat Krystal berteriak dengan kerasnya.
"GUE MAU PERGI SAMA OSTER DUMAI! PANTAS OSTER MUTUSIN LO, SADAR DUMAI, LO TERLALU AMBISIUS UNTUK JADI ORANG YANG KELIHATAN PERFECT!
Oster. Digdaya mengeja nama itu dalam hati dan cepat-cepat kembali melirik Dumai.
"Gue terlalu ambi?" Dumai mendengkus. "Krystal coba sadar sama diri lo sendiri, merebut seseorang dari temannya sendiri demi pamor lo? Siapa yang terlalu ambisius dari siapa di sini?"
Usai itu Dumai kembali berbalik dan melangkah. Melewati Digdaya dengan cara yang sudah cowok itu tebak----sengaja menyenggol bahunya kencang tanpa permisi sama sekali. Dan Digdaya terkekeh karena itu. Kekehannya menjadi ketika mendengar Krystal memberi sumpah serapah kepada Dumai yang meninggalkannya begitu saja.
Dumai yang ketus. Dumai yang tidak pintar membaca situasi. Dumai yang terlalu ambisius----kata Krystal. Digdaya mendengkus: Dumai tidak berubah, selalu begitu. Kalau dia mencintai damai, maka Dumai sebaliknya. Dan yang Digdaya ketahui hingga sekarang, Dumai tetap sama.
[]
Depok, 14 November 2018
7:35 PM.
[Revisi Selasa, 20 November 2018
5:57 PM]
-----rani yang moodnya lagi down gegara 'on your wedding day' dan tiba-tiba naik lagi karena mulai mencintai Ong Seongwoo. Dan bahagia ketika memperebutkan siapa yang terganteng di antara; Ong Seongwoo, Cha Eun Woo, dan Suho.
Padahal mereka semua ganteng):----
*Gaster : gas terus.
*Gaje : nggak jelas.
#GrasindoStoryInc
Halo sesama pengikut kompetisi grasindo! Salam kenal kalau-kalau kamu menemukan ceritaku ini. Sila dibaca jika berkenan. Sila beri kritik dan saran bila menurutmu ada yang kurang pas. Sila koreksi si typo kalau dia muncul. Sila pencet bintang atau komentar jika ingin, hehe.
🌼Gomawo🌼
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top