Part 15: Destroy me

[Aloha! Yang belum tahu, ini cerita series adik kakak. Tiga buku, ya. Semuanya udah tamat di Karyakarsa kataromchick. Ada juga versi ebooknya di google play 'Faitna YA'.  Silakan membaca yang mana aja yang bikin kalian nyaman.]


"It's not good."

Gwen melipat kedua tangannya di dada, duduk di sofa ruang tunggu. Sedangkan Zaland, berdiri bersandar dinding, melipat tangannya di depan dada, dengan salah satunya meremas dagu berulang kali. Keduanya sama-sama menatap ke arah Zephyr yang masih menutup matanya di atas pembaringan.

"Yeah, it is far from good, Mom."

Gwen menghela napasnya panjang dan dalam. Kentara sekali jika wanita itu tidak bisa berpikir lurus untuk menyelesaikan masalah ini dengan mudah. Biasanya masalah akan cepat selesai karena uang dan kekuasaan yang mereka punya. Namun, sekarang tidak. Zephyr memilih perempuan yang menurut Gwen sekarang salah. Diawal, Gwen mencoba berpikir bahwa Reya tidak jauh berbeda dengan Jessa. Nyatanya tidak. Reya lebih rumit dan sukar dimengerti. Belum lagi kakak perempuan itu yang bahkan tidak seterbuka mama Jessa dari segi pemikiran. Ini jelas sangat menyulitkan mereka untuk menjadikan Fin bagian dari keluarga Tatum.

"Mommy nggak nyangka aja, adik kamu diam aja ketika diperlakukan seperti ini."

"Zep memang salah, Mom."

"Ya, memang salah. Tapi apa nggak ada cara lain yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini? Kakak kalian aja nggak perlu babak belur begini untuk bisa bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukannya ke Jessa."

Zaland menghela napasnya. "Kita nggak akan tahu apakah ZK masih bisa hidup atau nggak kalo ayah Jess masih hidup, Mom."

Dengan komentar Zaland itu, Gwen menitikkan air mata. Bagaimana bisa dua putranya menghadapi masalah yang mirip dan tidak bisa menyelesaikan persoalan cinta mereka dengan mudah? Ini adalah salah satu masalah yang rupanya harus dihadapi dalam keluarganya. Persoalan uang, taraf hidup, dan kualitas hidup, tidak ada yang perlu dipermasalahkan sama sekali. Rupanya anak-anaknya memiliki masalah dari segi percintaan.

"Mommy nggak mau kamu menghancurkan diri kamu sendiri karena ceroboh dengan perasaan yang kamu punya nantinya, Zal. Cukup kakak dan adik kamu yang seperti ini. Mommy nggak yakin bisa menghadapi kegilaan kalian lagi soal cinta nantinya. Apalagi Mommy nggak tahu kapan kamu akan bawa calon istri—"

"Oh, please, Mom! Kita lagi bicara soal Zep, bukan aku. Mommy nggak perlu menambah beban pikiran dengan memikirkan aku yang bahkan nggak tahu mau nikah atau nggak."

Gwen langsung menatap putra keduanya dengan tajam meski matanya masih basah dengan air mata.

"Jangan gila kamu! Kamu harus tetap menikah dengan perempuan yang benar! Jangan suka membuat masalah dengan kelakuan kamu yang suka mempermainkan perempuan sembarangan!"

Zaland hanya memberikan tatapan lelah pada Gwen yang rupanya tetap sibuk menantikan kapan dia akan menikah. Padahal Zeke dan Zephyr saja sudah menyumbang cucu untuk keluarga Tatum.

"Yang paling penting aku nggak tidur sembarangan dan punya anak sembarangan. I know my limit, Mom. Aku nggak akan seceroboh ZK dan Zep kalau Mommy takut aku akan menyumbang cucu di luar nikah."

Sekali lagi Gwen hanya bisa menggelengkan kepalanya karena dia tidak tahu harus melakukan apa pada Zaland yang sebagai anak tengah memang bandel, tapi disisi lain tidak menyebabkan masalah seperti anak pertama dan bungsunya.

"Mommy ..."

Kedua orang itu langsung sigap menegakkan tubuh begitu mendengar suara Zephyr.

"Zephyr?" ucap Gwen.

"Mommy ... aku haus."

Gwen dengan cepat berdiri dan memberikan apa yang putra bungsunya butuhkan. Segala hal yang diinginkan oleh Zephyr langsung disodorkan bahkan disaat Zephyr sendiri tidak membutuhkannya.

"Udah, Mom."

Gwen meletakkan gelasnya dan Zephyr menarik napasnya secara perlahan. Dia merasakan dadanya agak ngilu jika digunakan untuk menarik napas seperti biasa.

"Apa yang kamu rasakan, Zephyr?" tanya Gwen.

"Ngilu. Napasnya nggak nyaman, Mom. I feel like ... something broken inside."

"Astaga! Mommy akan panggil dokter—"

"Mommy, stop. Yang hancur di dalam diri Zep sekarang bukan tubuhnya, tapi perasaannya. Dia lagi sakit hati karena nggak bisa menjalankan rencana sesuai yang diinginkan."

Zephyr tidak menyangkal dengan apa yang Zaland ucapkan. Memang benar bahwa Zephyr sedang sakit hati karena dia tidak diterima menjadi ayah bagi Fin. Yang bisa Zephyr lakukan sekarang bahkan adalah merenungi nasibnya sendiri dengan melamun, menatap ke langit-langit ruang perawatannya.

"Mommy," panggil Zephyr.

"Apa, Sayang?"

"Apa Mommy bisa bantu aku?"

Gwen mengiakan bahkan sebelum dia mengetahui apa yang Zephyr minta. "Iya, bilang aja kamu mau Mommy ngelakuin apa?"

"Tolong bawa Reya ke sini, Mom."

Seketika saja tubuh Gwen membeku dan wanita itu langsung menatap ke arah Zaland yang hanya bisa mengangkat kedua bahunya tak memberikan jawaban pada mommy nya.

***

Pada akhirnya bukan Gwen yang berangkat sendiri ke kediaman Reya berada. Anak pertamanya, Zeke, yang mau tak mau menjadi terlibat dalam masalah ini. Akibat sosok papi mereka yang sudah tidak bisa apa-apa lagi, maka Zeke sebagai anak pertama harus mau untuk maju menyelesaikan masalah. Bernegosiasi dengan Raka yang sama-sama anak pertama. Meski tahu akan berjalan sangat alot, tapi Gwen dan Zaland sepenuhnya mempercayakan ini pada Zeke.

Ketika pintu rumah itu terbuka, seorang wanita yang Zeke ketahui sebagai kakak ipar Reya menyambut.

"Selamat siang."

Kinanti mengangguk dan membalas dengan sopan. "Siang. Cari siapa, ya?"

"Saya Zeke Mason Tatum. Saya berniat untuk mencari Raka Pranatha untuk bicara."

Kinanti menatap Zeke dengan manik bergetar takut. Sudah jelas bahwa Kinanti tahu sesuatu, dan Zeke tidak mentolerir raut tersebut baginya untuk mundur.

"Suami saya sedang bekerja. Siang hari seperti ini suami saya nggak akan bisa bicara—"

"Manajer Personalia di perusahan Amalta Bagus itu nggak masuk hari ini. Saya sudah mencarinya lebih dulu di sana. Maaf jika Anda kecewa dengan hal ini, tapi saya nggak berniat untuk main-main dengan hal semacam ini. Sampaikan kepada suami Anda bahwa saya sedang menunggunya. Terima kasih."

Kinanti tidak lagi memiliki peluang untuk mengelabui Zeke yang memang lebih perfeksionis mengenai jadwal pertemuan dengan siapa pun. Jika bukan karena utusan Gwen, saat ini Zeke juga enggan untuk terbang ke Surabaya dan lebih memilih menemani istrinya yang sedang hamil anak kedua mereka.

"Ba-baik, saya panggilkan lebih dulu. Silakan duduk di sini."

Zeke mengangguk dan duduk di kursi teras yang disediakan. Dia menunggu sembari mengabari Jessa mengenai dimana posisinya saat ini. Tanpa perlu diminta, Zeke akan memberitahu posisinya supaya sang istri tidak panik atau mempertanyakan apa yang Zeke lakukan. Toh, Zeke memang suka untuk membuat percakapan dengan perempuan yang dicintainya itu sejak masih menjadi sekretarisnya dulu.

"Saya dan keluarga nggak sedang menerima tamu asing."

Zeke yang mendengar hal itu langsung menoleh dan mendapati Raka Pranatha dengan tampang tak rapi dan kusut saat mendapati Zeke di rumahnya.

"Saya memang nggak berniat bertamu. Adik saya ingin bertemu dengan Raeyadewi Pranatha."

"Nggak bisa. Saya nggak mengizinkannya untuk bertemu siapa pun, termasuk pria brengsek itu."

Zeke mendengkus saat Raka mengejek adiknya dengan sebutan brengsek.

"Semua laki-laki memang makhluk brengsek, Raka Pranatha. Anda harusnya tahu bahwa selain dirimu yang menginginkan hal terbaik untuk adiknya, ada saya juga yang ingin hal terbaik untuk adik saya. Pria brengsek yang kamu sebut itu, dia ayah dari anak balita yang sekarang sedang berjalan ke arah sini dengan langkah pinguinnya."

Zeke melihat Fin, dengan langkah lucu mengikuti Raka yang berada di depan pintu. Anak itu mengingatkannya pada Ollie di rumah, tentu saja Zeke tersenyum pada anak kecil itu untuk memberikannya rasa aman ketika mendekati mereka.

"Fin, masuk!"

Balita itu terdiam karena terkejut. Zeke bisa melihat bagaimana Fin siap untuk menangis.

"Kamu membuat ponakan saya terkejut. Jaga bicara kamu di depan anak sekecil itu."

"Bukan urusanmu! Lebih baik pergi dari sini!" seru Raka yang terlihat tak tenang sama sekali.

"Hai, Fin! Saya paman kamu, paman Zeke. Sampaikan kepada mama kamu, bahwa kalau dia nggak ikut saya kali ini, mungkin dia nggak akan bisa bicara untuk terakhir kali dengan papa kamu di rumah sakit."

Zeke tahu bahwa Reya bersembunyi di dalam. Perempuan itu pasti penasaran juga dengan kondisi Zephyr. Itu sebabnya Zeke berkata demikian di depan Fin yang kebingungan. Dan terbukti, Reya muncul setelah Zeke mengatakan hal tersebut.

"Apa yang terjadi dengan Zephyr?" tanya Reya.

"Rey! Masuk! Jangan pernah ikuti pria ini!"

"Kak ... tolong kasih izin aku lihat Zephyr. Aku mohon."

Zeke dapat melihat perdebatan antara kakak dan adik itu akan terjadi. Meski ada perdebatan, Zeke akan tetap menggunakan kesempatan ini.

"Alangkah lebih baiknya kamu juga membawa anak kalian. Zephyr mungkin bisa punya semangat untuk kembali lagi kalau kalian datang melihatnya."

Raka yang paling cepat bereaksi pada ucapan Zeke itu.

"Apa? Nggak akan! Kamu dan Fin nggak kakak izinkan kemana-mana!"

Reya sudah menangis, dan Zeke hanya perlu melihat usaha perempuan itu untuk membujuk sang kakak.

"Kak, please. Kalo Kak Raka mau menyakiti Zephyr lebih jauh lagi, bukan hanya dia yang merasakannya. You destroy him, you'll also destroy me, Kak. Aku mohon. Izinkan kami untuk melihat kondisi Zephyr. Aku mohon, Kak."

Raka tidak serta merta memberikan izin. Dia hanya mendengkus dan meninggalkan Reya dengan satu kalimat menusuk. "Terserah kamu. Cinta kamu itu akan menyengsarakan kamu, Rey. Dan kalo itu terjadi, jangan minta tolong sama Kakak."

Zeke tidak habis pikir bahwa ada sosok kakak yang menjadikan dirinya seolah sebagai orangtua bagi adiknya. Padahal kehidupan ini tidak sekecil itu hingga semua hal bisa seperti ketakutan Raka saja. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top